• Tidak ada hasil yang ditemukan

Landasan Teori

Dalam dokumen i (Halaman 27-44)

Kebijakan Kriminalisasi

Kebijakan penal (Penal Polcy) dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana. 6 Dengan demikian istilah kebijakan penal mempunyai pengertian yang sama dengan istilah kebijakan hukum pidana (Criminal Law Policy) dan politik hukum pidana (Strafrechtpolitiek).

Berdasarkan pada sudut politik hukum, kebijakan penal berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. 7 Disamping itu, kebijakan penal dapat pula berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai

6

Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum PIdana, Bandung, Citra Aditya Bhakti, 1996, Hal 29

dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. Dengan demikian, tujuan yang hendak dicapai dengan kebijakan penal adalah pembuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik yang memenuhi rasa keadilan masyarakat pada waktu sekarang dan pada masa yang akan datang dan dapat diterapakan.

Kebijakan legislatif atau kebijakan perundang-undangan adalah kebijakan politik dalam menyusun dan mewujudkan ide-ide para pembuat undang-undang (legislator) dalam bentuk norma-norma Baku yang terumus secara eksplisit dalam bentuk peraturan perundang-undangan nasional, dengan berkekuatan sebagai apa yang dikatakan oleh Austin, “The Command of the Sovereign”8

Maka dalam konstalasi kebijakan legislatif dalam lingkup hukum pidana, Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan, “dilihat sebagai satu kesatuan proses dalam kerangka upaya penetapan suatu ketentuan pidana (Baik Pidana Materiil maupun formil) Dalam suatu perundang-undangan, maka tahap kebijakan legislative tersebut merupakan suatu tahap yang paling strategis”. 9 Karena untuk dapat dilaksanakan tahap berikutnya, yaitu pemidanaan (mulai dari penyelidikan sampai dijatuhkan putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap) sampai pelaksanaan putusan pengadilan itu, haruslah sudah didasarkan pada adanya aturan hukum yang berlaku. Hal ini sesuai dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip asas legalitas.

8 Joko Setyono dalam Muladi (Edt.). 2005. Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep &

Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: PT. Refika Aditama. Hal. 123

9

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Alumni. 1998, Hal. 173

Maka dalam Kebijakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri atas tiga tahapan yakni:

1. Tahap Kebijakan legislatif (Formulatif). 2. Tahap kebijakan Yudikatif ( Aplikatif) 3. Tahap kebijakan Eksekutif (Administratif)

Berdasar tiga uraian tahapan kebijakan penegakan hukum pidana tersebut terkandung didalamnya tiga kekuasaan atau kewenangan, yaitu kekuasaan legislative atau formulatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan, pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-undang, kekuasaan yudikatif atau aplikatif merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan dan kekuasaan eksekutif atau administratif dalam melaksanakan hukum pidana oleh apparat pelaksana/eksekusi pidana.

Berdasarakan tiga tahapan kebijakan penegakan hukum tersebut diatas penanggulangan kejahatan selalu diorientasikan pada upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana diutarakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan (criminal policy) pada hakekatnya

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). 10

Dalam menyusun suatu perundang-undangan, agar aturan hukum itu dapat berlaku efektif dalam arti mempunyai dampak positif, menurut Soerjono Soekanto haruslah memperhatikan empat hal, satu di antaranya yaitu hukum positif tertulis

yang ada harus mempunyai taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal yang selaras, 11

Artinya, dalam menyusun peraturan perundang-undangan harus memperhatikan ketentuan yang lebih tinggi dan jangan bertabrakan antar sesama peraturan yang setingkat, apalagi yang kedudukannya lebih tinggi.

Dalam prakteknnya sering yang dilupakan oleh pembentuk undang-undang (legislator), adalah masih menyisakan berbagai persoalan dalam hukum pidana. Khususnya perumusan ketentuan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini bukan hanya dalam tataran teoritis saja, tetapi lebih jauh lagi dalam praktik hukum. Kenyataan dalam praktik perumusan tindak pidana di Indonesia menunjukan belum adanya kesamaan pola dalam merumuskan suatu tindak pidana.Dalam merumuskan subyek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut ( Addressaat Norm), perbutan yang di larang (Strafbaar), baik dalam bentuk melaksanakan sesuatu (Commission), tidak melakukan sesuatu ( Omission) dan menimbulkan akibat (kejadian yang timbulkan oleh kelakuan), maupun dalam dalam

10 Barda Nawawi, Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Cet ke 2, Hal 73

11

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan

menentukan atau merumuskan ancaman pidana (Strafmaat), sebagai sarana memaksakan keberlakuan atau dapat ditaatinya ketentuan tersebut.

Maka setidaknya dalam menentukan suatu perbuatan itu kejahatan atau tercela maka kebijakan formulatif harus lah di dasarakan pada perkemabangan masyarakat sosial agar tidak menjadi korban undang-undang tersebut hal ini sesuai dengan pandagan hukum yang responsif. Akan tetapi kita pahami bahwa UU itu merupakan produk DPR yang mengisaratkan pada kepentingan individu atau kelompok tertentu sehingga kebijakan formulatif itu tidak sesuai dengan masyarakat.

Bahwa peranan badan pembuat undang-undang dalam hukum pidana dan penerapannya sangatlah penting. Peranan legislative dalam hal pemidanaan meliputi penentuan kebijakan dasar yang tidak hanya mengenai pidana yang tepat untuk tiap-tiap tindak pidana, akan tetapi tipe pidana yang disediakan untuk kekuasaan pemidanaan lainnya di tingkat bawah sampai keatas dan kebijakan yang dibuat itu memberikan yang tepat terhadap pelaku kejahatan tersebut.

Kebijakan Penalisasi

Hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja di timpakan kepada sesorang sedang pidana merupakan pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai

negertian khusus, masih juga ada persamaan dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan. 12

Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan itu sinomim dengan perkataan penghukuman. “Penghukuman itu berasal dari kata hukum, sehingga dpt di artikan sebgai penetapan hukumanatau memutuskan tentang hukumnya (Berechten). Menetapakan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, Akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena itu tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah hukum pidana harus di sempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali sininim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan Sentence atau Vevoordeling”. 13

Untuk pengertian lebih jelasnya, penalisasi adalah perumusan suatu sanksi pidana dan atau tindak pidana terhadap perbuatan yang dilarang ataupun diperintahkan. Sedangkan lawan dari penalisasi atau depenalisasi, yang artinya menghilangkan ancaman pidana dari suatu perbuatan yang semula dilarang, tetapi masih dimumgkinkan adanya penuntutan dengan car lain, yaitu melalui hukum perdata atau hukum administrasi.14

12 Tonggat, Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana Di Indonesia, UMM press 2004 Hal 58

13

Sudarto Op, Cit Hal 49

Lebih lanjut mengenai perumusan sanksi pidana, Harkristuti Harkisnowo menegaskan pada orasi pengukuhan guru besarnya di UI sebagai berikut: 15 “menentyukan parameter untuk menetapkan sanski pidana dan penjatuhan pidana dapat dilakukan setelah disepakati makna dan tujuan pidana. Moral Gravity dari setiap tindak pidana dapat disusun melalui suatu penelitain eksploratoris, yang menuntut adanya upaya sinergistik dengan disiplin ilmu lain, seperti Kriminologi, Psikologi, Sosial, Sosial dan Antropologi. Hasilnya menjadai landasan bagi disiplin ilmu hukuj pidana untuk menciptakan suatu indeks skala penetapan pidana yang sungguh didasarkan atas Collective Conscience, dengan Performance Indicator yang disumbangkan oleh disiplin-disiplin lainya. Perencanaan setiap perumusan pidana, karenanya akan mempunyai acauan yang jelas, yang di harapkan akan dapat menghindari terjadainya inkonsistensi dan ketidak jelasan dalam penentuan sanksi”.

Fouconnet mengatakan penghukuman dalam arti pemidanaan dan pelaksanaan pidana pada hakekatnya merupakan penegasan kembali nilai-nilai kemasyarakatan yang telah di langgar dan di ubah oleh adanya kejahatan itu. Roger Hood menambahkan, bahwa sasaran pidana disamping untuk mencegah si terpidana atau pembuat potensial melakukan tindak pidana, juga untuk memperkuat nilai-nilai sosial dan menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan itu. Hal itu senada juga di kemukakan oleh G. Peter Hoefnagels yang mengatakan bahwa tujuan tujuan

pidana adalah untuk menyelesaikan konflik serta mempengaruhi para pelanggar dan orang lain kea rah perbuatan yang kurang lebuh sesuai dengan hukum. 16

Pada hakekatnya pidana dapat di artikan sebagi penderitaan atau nestapa yang dilakukan oleh kekuasaan yang berwenang atas nama Negara terhadap seseorang yang telah melanggar aturan-aturan tertntu. Sedangkan pemidanaan sendiri dapat diartikan sebagi tahap dalam penentuan sanksi dan tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Dalam Bahasa lain Sudarto mengemukakan bahwa pemidanaan dapat bermakna pmebrian In Abstracto, yaitu penetapan sanksi pidana dalam tahap legislasi dan bermaksan In Concreto, yaitu pelaksanaan pidana sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam tahap legislasi. 17

Menurut Dirk Merckx, penetapan sanksi pidana harus memperhatikan tahapan sebagai berikut 18

1. Gathering Knowledge And Information On Crime Phenomena And Their Social Impact And Threat ( mengumpulkan informasi tentang fenomena kriminalitas serta akibat dan ancaman pada masyarakat)

16

Muladi dan Barda Nawawi Arfi, Op,, Cit, Hal 20-21.

17

Teguh Prasettyo,,Op Cit, Hal 78

18 Marjono Reksodiputro, Kritreria Penentuan Berat Ringannya Perumusan Ancaman Pidana. Makalah disampaiakn dalam focus Group Discussion (FGD) Politik perumusan ancaman pidana dalam Undang-undang di luar KUHP yang di selenggarakan oleh badan Pembinaan Hukum nasional kementrian hukum dan HAM Jakarta, 21 Oktober 2010.

2. Determining Legality And Illegality As Well As The Social Use Of The Standard (menentukan sifat yang legal dan illegal sesuai dengan standar masyrakat).

3. The Definiation Process (deskripsi alasan terhadap standar yang dituju, mksalnya perbuatan seperti apa, kesalahan macam apa, Lex Certa Lex Stricta).

4. Determination Of The Intensity Of The Sanctioning Reaction (menentukan intensitas reaksi terhadap sanksi).

5. Determination Of The Necessity Of Sanctions (menentukan perlunya sanksi).

6. If The Sanctionas Are Necessary, Which Ones? (jika sanksi diperlukan, lantas saksi yang mana ).

7. Determination Of The Sanction Level (menentukan tingkat sanksi). 8. Assessment Of The Result Of The Sanction (dugaan hasil dari pada

sanksi).

9. The Task of Informing, Convincing and Educating the Addressees of the Rule (memberikan tahu target delik dengan sekaligus menyakinkan dan mendidiknya).

10. Measuring Of the Impact/ Use of the Regulation and Sanction Linked to It (mengukur dampak/ pengguna aturan dan sanksi peraturan tersebut).

11. Re-eavaluation and Adaptation of th Sanctions of Necessary ( melakukan re evaluasi dan perubahan terhadap sanksi, apabila diperlukan),

12. Re-Evaluation And Adaptation Of The Regulation If Necessary (melakukan re evaluasi dan perubahan terhadap peraturab, apabila di perlukan).

Bicara soal masalah pidana dan pemidanaan, tidak bisa di kotomi dengan jenis-jenis perumusan sanski pidana yang terdapt dalam aturan pidana, yaitu sebagai berikut: 19

a. Sistem Perumusan Tunggal/ Impresif

Sistem perumusan Tunggal/Impresif adalah Sisten Perumusan Sanksi Pidana yang merupakan sutu-satunya yang di ancam pada suatu tindak pidana.

b. Sistem Perumusan Alternatif

Sistem perumusan alternative merupakan sistem perumusan sanksi pidana yang memberikan alternative sanksi pidana lebih dari satu terhadap suatu tindak pidana. Cicri-ciri perumusan ini adalah penggunaan kata “atau” yang menunjukkan pilihan, misalnya penjara atau denda.

c. Sistem Perumusan Kumulatif

Sistem perumusan kumulatif ini merupakan sistem perumusan sanksi pidana dengan lebih baik daru dua jenis sanksi pidana untuk sutau tindak pidana. Ciri-ciri dari perumusan ini adalah penggunaan kata “dan”, misalnya penjara dan denda.

d. Sistem perumusan alternative-komulatif.

Sistem ini merupakan penggabungan dari sistem perumusan alternative dan komulatif. Ciri-ciri dari sistem perumusan alternative-komultif adalah penggunaan kata” dan/atau”, misalnya penjara dan atau denda.

19 Lilik Mulyadi,,,, Op Cit, Hal 16-25

Pendekatan dari aspek ekonomi misalnya, pendekatan ini bukan hanya terbatas pada keharusan untuk memperbandaingkan biaya atau denda yang harus dipikul dengan hasil yang igin dicapai, tetapi juga mempertimbnagkan efektifitas sanksi pidananya. Suatu sanksi pidana dapat dikatakan sebgai alat pencegahan yang bersifat ekonomis apabila sanksi pidana tersebut benar-benar dapat berfungsi sebagai alat pencegahan dan tidak justru menimbulkan bahaya yang lebih berbahaya atau merugikan. 20

Maka wujud hukum pidana itu adalah Sanksi yang berupa pidana yang diancamkan kepada pelaku kejahatan merupakan ciri dari perbedaan hukum pidana itu sendiri dengan jenis hukum yang lain. Pada dasarnya hukum pidana mempunyai sanksi yang negatif, sehingga dengan sistem sanksi yang negative tersebut tumbuh pandagan bahwa pidana hendaknya diterapkan jika upaya lain sudah tidak memadai lagi maka fungsi hukum pidana bersifat pada subsider.

Usaha hukum pidana untuk mencapai tujuan itu tidaklah semata-mata dengan jalan menjatuhkan pidana (Straf) yang dapat dirasakan sebagai Custodia Honesta, tetapi disamaping itu jug dengan menggunakan tindakan-tindakan (Maagtregel) yang dapat dirasakan sebagai Noncustodial Honesta. Tindakan ini pun merupakan suatu sanksi juga, tetapi tidak ada sifat pembalasan padanya, sehingga maksud mangadakan tindakan itu untuk menajaga keamanan pada masyarakat terhadap orang-orang atau

20

Barda Nawawi Arif, dalam Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana Dan Kriminologi ( sebuah Bunga Ramai), PT alumni Bandung 2009, Hal 24

anak0anak yang sedikit banyaknya berbahaya dan akan melakukan perbuatan-perbuatan pidana. 21

Dalam banyak hal batasan antara pidana dan tindakan itu adakalanya sulit ditentukan, karena pidana itu sendiri pun dalam banyak hal juga mengandung pikiran-pikiran melindugi dan memperbaiki. Karena apa yang dicantumkan pada pasal 10 KUHP itu dinamakan pidana, sebagai yang lain dari pada itu adalah tindakan.Jadi tindakan itu walaupun merampas dan menguragi kemerdekaan seseorang, tetapi jika bukan yang disebutkan dalam pasal 10 KUHP bukan lah pidana, melainkan hanya merupakan tindakan saja. 22

Dalam hal ini sistem pemidanaan adalah menetapkan suatu sanksi, keberadaannya akan memberikan arah dan perimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan sanksi didalam suatu perbuatan pidana untuk menegakkan berlakunya norma. Maka dengan munculnya teori pemidanaan itu muncul di dalam sistem hukum Eropa Continental yaitu Teori Absolut, Teori Relative, dan Teori Gabungan. Pembagian teori pemidanaan yang demikian berbeda dengan teori pemidanaan yang dikenal di dalam sistem hukum anglo Saxon, yaitu Teori Retribusi, Teori Inkapasitas, Teori Penagkalan dan Teori Rehabilitasi. 23 Hal ini diperkuat

21

Arum Sakidjo Dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana dasar aturan Umum Hukum Pidana

Kodifikasi, Yogyakarta, Ghalia Indonesia, 1988. Hal 70

22

Ibid. 71

23

Salman Luthan, Kebijakan Penal Mengenai Kriminalisasi Di Bidang Keuangan, Disertasi, Program Doctor Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007. Hal 73

dengan pengklasifikasian ilmu hukum, di mana hukum pidana adalah bagian dari hukum publik yang tidak membolehkan campur tangan individu.

Maka pemidanaan itu sendiri merupakan prosess paling kompleks dalam sistem peradilan pidana karena melibatkan banyak orang dan institusi yang berbeda. Pemidanaan dapat diartikan sebagi tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Hal ini dapat diketahui dalam pendapat Sudarto yang menyatakan bahwa pemberian pidana in abstracto adalah menetapkan stelsel sanksi hukum pidana yang menyangkut pemebentukan undang-undang. Sedangkan pemberian pidana in concerto menyangkut berbagai badan yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu. 24

Secara konseptual, Barda Nawawi Arief, mengutip pernyatan L.H.C. Hulsman, mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan. Apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatuproses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah/dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup pengertian:

1. Keseluruhan sistem (Aturan Perundang-Undangan) untuk pemidanaan. 2. Keseluruhan sistem (Aturan Perundang-Undangan) untuk pemberian,

penjatuhan dan Pelaksanaan pidana.

3. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi, Operasionalisasi, Konkretisasi Pidana.

4. Keseluruhan sistem (Perundang-Undangan) yang mengatur bagaimana hukum Pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang Dijatuhi sanksi (hukum pidana).

Secara umum sanksi dalam hukum pidana dapat dibagi menjadi sanksi pidana dan sanksi Perbuatanan. Keduanya bersember dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar “Mengapa diadakan Pemidanaan”. Sedangkan sanksi Perbuatanan bertolak dari ide dasar “Untuk apa diadakan Pemidanaan. 25 Degan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi Perbuatanan lebih bersifat antisifatif terhap si pelaku perbutan fokus.Fokus sanksi pidana ditunjukkan pada perbuatan salah yang dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi menyesala.

Ditinjau dari perkembangan aliran-aliran hukum pidana yang berkembang menjadi kecenderungan internasional, maka konsepsi „keseimbangan‟ yang ingin diwujudkan melalui perlindungan individu/pelaku tindak pidana tersebut ternyata relevan dengan perkembangan aliran modern dalam hukum pidana yang mengalami pergeseran orientasi ke arah pemidanaan yang lebih humanis, yaitu dari prinsip menghukum yang cenderung mengabaikan aspek hak asasi manusia ke arah gagasan

25

Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System &

pembinaan yang lebih menghargai dan menjunjung tinggi hak asasi manusia sehingga menghendaki adanya individualisasi pidana, yaitu pidana harus sesuai dengan sifat-sifat dan keadaan si pelaku tindak pidana baik itu mengenai pemilihan jenis pidana (strafsoort), berat- ringannya pidana (starfmaat) maupun cara pelaksanaan /eksekusi pidananya (strafmodus).

Maka pidana penjara sebagaimana yang telah di kemukakan R.M. Jockson, 26 Mengatakan pidana penjara termasuk jenis pidana yang relative kurang efektif, berdasrkan hasil studi perbandingan efektifitas pidana di kemukakan olehnya.Angka perbandingan rata-rata pengulangan atau penghukuman kembali (Reconviction Rate) bagi orang yang pertama kali melakukan kejahatan berbanding terbalik dengan usia pelaku.

Di antara jenis-jenis pidana yang terdapat di dalam KUHP (WvS) jenis pidana denda merupa pidana tertua 27 lebih tua dari pidana penjara 28 mungkin setua pidana

26 R.M Jockson, yang di Kutif oleh’ Barda Nawawi Arif’ Kebijakan Legislatif Dalam

Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Yogyakarta, Genta Publish,2010. Hal. 44

27

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Op.Cit. Hal. 53

28

Berdasarkan Sejarah Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia Yang Ditelusuri Dari Kitab Perundang-Undangan Majapahit Sama Sekali Tidak Dikenal Mengenai Pidana Penjara Dan Pidana Kurungan. Hal tersebut dapat diketahui dari jenis-jenis pidana yang dijatuhkan kepada orang yang bersalah pada saat itu adalah meliputi: a. Pidana Pokok yaitu: 1) Pidana Mati, 2) Pidana Potong Anggota Badan orang yang bersalah, 3) Denda, Ganti Kerugian atau Pangligawa atau Putukucawa; b. Pidana Tambahan: 1) Tebusan; 2) Penyitaan, 3) Patibajampi (uang pembeli obat). Menurut Koesnoe, pidana penjara baru dikenal di Indonesia ketika VOC (Verenide Oost Indische Compagnie) memeperkenalkan lembaga “bui” pada tahun 1602 yang kemudian dilanjutkan pada jaman Hindia Belanda menjadi pidana penjara. (Lihat Slamet Muldjana, Perundang-undangan Majapahit, Bratara, Jakarta, 1967, Hal. 20; bandingkan dengan: Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif…... Op.Cit. Hal. 53.

mati 29 Sebelum menjadi bagian dari sanksi yang mendukung sistem pemidanaan (KUHP), pidana denda telah dikenal secara luas hampir setiap masyarakat, termasuk masyarakat primitip, walaupun dengan bentuknya yang primitif pula misalnya jaman Majapahit maupun pada perbagai masyarakat primitive dan tradisional di Indonesia.

Sebagai perbandingan, di Negeri Belanda misalnnya, untuk mengantisipasi kerentanan pengancaman denda dengan sistem maksimum khusus sekaligus sebagai upaya mengefektifkan pidana denda adalah mengganti Sistem Maksimum Khusus dengan Sistem Kategori. Denda tidak lagi diancamkan dalam setiap rumusan delik dengan ancaman maksimum khusus, tetapi cukup disebutkan kategorinya.Menurut Remmelink 30 keunggulan dari sistem kategori ini mudah dimengerti dan diawasi dalam pelaksanaannya oleh pemerintah dan juga memiliki keuntungan bahwa jika terjadi perubahan nilai tukar mata uang maka penyesuaian terhadapnya cukup dilakukan dengan mengubah satu Pasal saja dari UU yang bersangkutan.

Berdasarlkan Pasal 23:4 KUHP Belanda, denda dikelompokkan dalam 6 kategori denda: Kategori I, maksimum lima ratus gulden; Kategori II, maksimum lima ribu gulden; Kategori III, maksimum sepuluh ribu gulden; Kategori IV, maksimum dua puluh lima ribu gulden; Kategori V, maksimum lima ratus ribu

29

Sanksi Pidana Mati Telah Dikenal Sejak Jaman Nabi Musa (Mozaische Wetgeving). Bandingkan Di dalam Buku S. R. Sianturi dan Panggabean Mompang, Hukum Penitensia di Indonesia,

Op, cit. Hal. 51

30

Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-asal Terpenting Dati Kitab

gulden; Kategori VI, maksimum satu juta gulden 31 Kemudian pada tahun 2001, jumlah ancaman pidana denda dalam sistem kategori ini dilakukan perubahan/pentesuaian lagi. 32

Maka peningkatan pidana denda yang lebih berat ini sejalan dengan pandangan ilmu hukum pidana modern yang berpendapat bahwa dalam hal-hal tertentu pidana denda harus lebih berat adalah lebih baik dan lebih bermanfaat dari pada pidana penjara atau pidana kuruangan yang pendek, dan kebanyakan orang atau korporasi lebih memilih penjara dari pada denda.

Maka perhatian pemerintah terhadap jaminan perlindungan hak asasi manusia,

Dalam dokumen i (Halaman 27-44)