• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Kebijakan dan Penanggulagan Kejahatan

Dalam dokumen i (Halaman 186-193)

BAB IV Penutup. Berisi kesimpulan dari pembahasan tentang rumusan masalah

PERKEMBANGAN DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

E. Kebijakan legislatif Penanggulangan Kejahatan dalam Perundang- Perundang-Undangan Di Bidang lingkungan Hidup

E. 1. Pengertian Kebijakan dan Penanggulagan Kejahatan

Kebijakan Hukum Pidana terdiri dari rangkaian kata “kebijakan” dan “hukum pidana”. Pengertian “Kebijakan” secara harfiah, mempunyai beberapa arti seperti kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan Atas dasar itulah dapat dipahami kiranya apabila dalam beberapa karya tulisan istilah kebijakan seringkali dipakai secara bergantian dengan istilah kebijaksanaan. 153

Pengertian kebijakan/politik hukum pidana dikaji dari perspektif „Politik hukum‟, tentu akan membahas pengertian „politik‟ itu sendiri. Menurut Utrecht, “politik adalah suatu jalan (kemungkinan) untuk memberi wujud sungguhsungguh kepada cita-cita”. 154 Sedang “Politik” menurut Logemann, “berarti memilih beberapa macam cita-cita sosial tertentu dan berusaha dengan segala daya yang ada untuk mencapai cita-cita”. Oleh karena itu, wajar apabila Hans Kelsen membedakan politik

152 Ibid.,

153

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hal 115

154

E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT. Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1962, hal. 127

dalam 2 (dua) pengertian, yaitu “Politik” sebagai “Etika” dan“Politik” sebagai “Tehnik”. Politik sebagai”Etika”, berarti politik itu memilih dan menentukan tujuan-tujuan sosial mana yang harus harus diperjuangkan; dan Politik sebagai “tehnik” berarti, politik memilih dan menentukan jalan-jalan apa dan mana harus ditempuh untuk merealisasi tujuan-tujuan sosial. 155

Negara Indonesia dalam melaksanakan politik hukumnya berlandaskan dasar filsafat negara, ialah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Di samping itu, setiap Lima tahun ditetapkan Propenas yang memuat prioritas rencana pembangunan nasional (termasuk bidang hukum) selama lima tahun. Sehubungan dengan 3 (tiga) landasan politik hukum tersebut, Soedarto menyatakan bahwa ketiga hal tersebut (Pancasila, UUD 1945 dan Propenas. pen) hanya merupakan landasan dan petunjuk arah dalam garis besarnya saja untuk menciptakan berbagai bidang, yang dicita-citakan dalam politik, ekonomi dan sebagainya. Untuk menjamin terlaksananya apa yang dicita-citakan itu perlu dukungan kerangka hukum.Maka perlu adanya pembinaan hukum yang meliputi perencanaan hukum dalam perundang-undangan. 156

Maka dengan alasan atas dasar itu, Soedarto kemudian menyimpulkan bahwa politik hukum adalah: 157

155 Ibid.

156

Soedarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap

Pembaharuan Hukum Pidana), Sinar Baru, Bandung, 1983, hal. 17

a. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan;

b. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.

Menurut G.P. Hoefnagels, kebijakan hukum merupakan bagian tidak terpisahkan (integral) dari kebijakan sosial (social policy); atau dengan kata lain, kebijakan sosial mencakup di dalamnya kebijakan hukum, yang selengkapnya dikatakan kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Jadi dengan demikian, kebijakan perundang-undangan (legislative policy) dan kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) merupakan bagian dari kebijakan sosial (social policy). 158

Dalam pandangan Sudarto, politik hukum atau kebijakan hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat, Pada kesempatan lain beliau mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dari badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan mencapai apa yang dicita-citakan. 159 Padmo Wahyono memberikan pengertian politik hukum nasional yakni kebijaksanaan dasar

158

Barda Nawawi Arief. 1998. Op-Cit Hal 48

159

Sudarto. Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar Baru. 1983. Hal 20.

yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Segi lain dari politik hukum adalah mengenai nilai-nilai, penentuan, pengembangan, dan pemberian bentuknya.

Sedangkan dari tulisan Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat dapat disimpulkan, bahwa politik hukum adalah nasional adalah pernyataan kehendak negara melalui pembuat undang-undang (legislatif), melakukan kebijakan hukum untuk membentuk suatu pilihan hukum yang berlaku dan dikembangkan sesuai dengan tujuan negara berdasarkan kebijakan yang akan atau telah dilaksanakan oleh pemerintah.160

Sementara itu, kebijakan sosial (social policy), menurut Barda Nawawi Arief, adalah segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi dalam pengertian “social policy” sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare policy” dan “ social defence

policy”.161

Sementara itu, Sudarto mengemukakan tiga arti kebijakan kriminal (criminal policy), yaitu: (a) dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; (b) dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya

160 Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat.Hukum Pajak dan Permasalahannya. Bandung: Refika Aditama. 2003, Hal 4

161

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1996, Hal 30.

cara kerja dari pengadilan dan polisi; (c) dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakan norma-norma sentral dari masyarakat. (d) Pada kesempatan yang lain beliau mengemukakan definisi singkat, bahwa politik criminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”.162

Dalam penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan yang integral, dalam arti: (a) Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial; (b) Ada keterpaduan (integralitas) antar penangulangan kejahatan dengan “penal” dan “non-penal”. Penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” tentu saja dilakukan melalui serangkaian kebijakan hukum pidana (penal policy). Dengan demikian usaha dan kebijakan untuk membuat hukum pidana yang baik dan berdayaguna atau politik hukum pidana (penal policy) merupakan bagian dari politik criminal (criminal policy) sebagaimana telah diuraikan panjang lebar di atas. 163

Kebijakan hukum pidana, menurut Marc Ancel, adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan

162

Ibid. Hal. 29.

undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Lebih lanjut dikatakan, di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, di mana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis, dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat.

164

Senada dengan pendapat di atas, Sudarto mengatakan bahwa, melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna. Pada kesempatan lain beliau menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti, usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.

Sementara itu, A. Mulder yang menggunakan istilah “Strafrechtspolitiek”, mendefisikannya sebagai garis kebijakan untuk menentukan: (a) seberapa jauh ketentuanketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui; (b) apa yang

dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; (c) cara bagaimana penyelidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

Dengan memperhatikan ruang lingkup sistem hukum pidana sebagaimana dimaksud Marc Ancel tersebut, maka dalam arti luas, kebijakan hukum pidana mencakup juga kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang hukum pidana formil, dan di bidang hukum pelaksanaan pidana. Dengan demikian, usaha penanggulangan kejahatan melalui pembinaan, pembaharuan, dan pemantapan hukum acara pidana sama pentingnya dengan pembinaan dan pembaharuan hukum pidana materiil.

Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana pada pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melaksanakan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan social, kebijakan criminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Dengan demikian dalam pembaharuan hukum pidana (termasukhukum pidana formil), harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (“policy-oriented approach”), karena memang pada hakekatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau “policy” (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial), dan sekaligus pendekatan yang

berorientasi pada nilai (“value-oriented approach”), karena dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. 165

Dalam dokumen i (Halaman 186-193)