• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Pemidanaan Di Indonesia

Dalam dokumen i (Halaman 153-158)

BAB IV Penutup. Berisi kesimpulan dari pembahasan tentang rumusan masalah

C. Kebijakan Hukum Pidana Dan Pemidanaan

C.2. Sistem Pemidanaan Di Indonesia

Kata “Sistem” mempunyai 2 (dua) pengertian yang penting untuk dikenali, sekalipun dalam pembicaraan-pembicaraan keduanya sering dipakai secara tercampur begitu saja, yaitu: 121

1. Sistem adalah adalah sebagai jenis satuan, yang mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu di sini menunjuk kepada suatu struktur yang tersusun dari bagian-bagian;

2. Sistem adalah sebagai suatu rencana, metode,atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu;

Bertolak dari kedua pengertian sistem di atas, maka tidak mengherankan apabila “Sistem pidana dan pemidanaan” oleh Andi Hamzah didefinisikan sebagai susunan pidana dan cara pemidanaan. 122

Sistem hukum acara pidana dan hukum pidana yang berlaku di Indonesia mendapat pengaruh yang besar sekali dari sistem hukum negeri Belanda yang pada masa lalu berpedoman pada:123

120

Mompang L Panggabean, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, Jakarta UKI Pres, 2005, Hal 229

121 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Hal 48

122

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hal. 1

1. Jalur perundang-undangan yang selama tiga ratus tahun pernah menganut asas konkordansi.

2. Jalur ilmu pengetahuan hukum yang didasarkan pada ajaran-ajaran dan teori-teori yang dikembangkan di dunia Eropa Barat, pada khususnya Belanda dengan mengikuti pandangan hukum yang otonomi.

3. Praktek peradilan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan ilmu pengetahuan hukum tersebut di atas.

Kodifikasi hukum pidana Indonesia yang banyak mendapat pengaruh dari tiga jalur tersebut di atas dan dengan melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 yang bersumber kodifikasi dari negeri Belanda itu, dapatkah dikatakan sistem hukum pidana dalam KUHP yang dianut sampai saat sekarang ini dianggap sudah menjadi sistem hukum milik bangsa Indonesia, sehingga bangsa Indonesia sudah tidak perlu memperbarui dengan menyusun hukum pidana yang bersifat nasional.

Secara dogmatis yang bersifat tradisional dapat dikatakan bahwa dalam hukum pidana terdapat tiga pokok permasalahan yang harus diperhatikan yaitu perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang, dan ancaman pidananya.Suatu perbuatan yang dilarang merupakan perbuatan melawan hukum, terdapat dua ukuran yaitu sifat melawan hukum yang formal dan sifat

melawan hukum yang materiil yang merupakan bagian obyektif dari hukum pidana.124

Perbuatan dinyatakan melawan hukum yang formal apabila perbuatan tersebut sesuai atau mencocoki rumusan delik sebagaimana ditentukan di dalam undang-undang.Tetapi tidak semua perbuatan yang dilarang dan telah dilakukan oleh seseorang itu selalu diterapi hukum pidana yang menentukan larangan tersebut, sebab dalam keadaan-keadaan tertentu ada perbuatan tertentu yang dapat menghapus atau meniadakan larangan atau sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut seperti misalnya perbuatan-perbuatan sebagaimana diatur dalam pasal 48 dan 49 KUHP. Perbuatan bersifat melawan hukum yang materil apabila perbuatan melawan hukum di luar undang-undang atau melawan norma-norma yang hidup dalam masyarakat, sehingga merupakan perbuatan yang tercela.

Ancaman dan penerapan pidana merupakan sanksi hukum yang istimewa dibandingkan dengan lapangan hukum yang lain. Pidana adalah jenis sanksi hukum yang mengandung segi penderitaan atau nestapa dan dalam hal menjatuhkannya harus dipenuhi syarat sebagai bagian subyektif dalam hukum pidana. Ada tiga pengertian dasar dalam hukum pidana yaitu:125

a. Sifat melawan hukum atau unrecht b. Kesalahan atau schuld

124

Ibid, Hal. 28

c. Pidana atau strafe

Hukum pidana itu dipandang secara fungsional, dalam arti bagaimana mekanisme dan perwujudan hukum di dalam masyarakat, terlihat adanya tata hubungan tiga tahap bekerjanya hukum pidana tersebut, yaitu:

1. Tahap pengancaman pidana terhadap perbuatan yang dilarang oleh pembentuk undang-undang.

2. Tahap penjatuhan pidana kepada seseorang atau korporasi oleh hakim atas perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh orang atau korporasi tersebut 3. Tahap pelaksanaan pidana oleh aparat eksekusi pidana, misalnya lembaga

pemasyarakatan atas orang yang telah dijatuhi pidana tersebut.

Dalam fase atau tahap pertama ini hukum pidana wujudnya masih abstrak, karena sanksi pidana itu masih berupa ancaman, berupa ketentuan peraturan hukum yang hanya menyebutkan sanksi minimun dan sanksi maksimum pidana saja, keberadaannya itu masih tergantung di awang-awang dalam arti belum mempunyai batas yang konkrit, belum dapat diperkirakan dan belum terwujud sama sekali.

Dalam fase kedua ini bekerjanya hukum pidana dalam masyarakat sudah mulai dapat dibayangkan dapat dikira-kirakan dan sudah lebih konkrit. Misalnya terhadap seseorang (A) melanggar larangan dijatuhkan pidana penjara selama dua tahun delapan bulan, maka si A ini sudah dapat membayangkan kebebasannya terikat dan menghitung jangka waktu terhadap pidana yang dijatuhkan tadi.

Dalam fase ketiga ini bekerjanya hukum pidana sudah betul-betul dapat dilihat dan dirasakan oleh orang yang dikenai pidana tersebut. Terhadap orang yang dikenai pidana penjara akan nyata-nyata merasakan pelaksanaan pidananya mendekan di dalam lembaga pemasyarakatan yang berarti telah kehilangan kemerdekaannya untuk bepergian ke mana saja yang diinginkan, atau dalam hal pidana mati akan benar-benar kelihatan sekali apabila karena pelaksanaan pemidanaannya yang telah dijatuhkan tadi nyawa terpidana menjadi hilang, atau dalam hal pidana denda akan benar-benar nampak apabila karena pelaksanaan pidana tersebut harta kekayaan terpidana akan benar-benar berkurang.Sehingga disini bekerjanya hukum pidana benar-benar dapat dirasakan nyata.126

Tujuan dari kebijakan menetapkan suatu sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik kriminal dalam arti keseluruhannya yaitu “Perlindungan Masyarakat untuk mencapai Kesejahteraan”. Sebagai salah satu dari bagian mata rantai perencanaan penanggulangan kejahatan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat itu, maka tahap perencanaan yang matang mengenai kebijakan-kebijakan tindakan apa yang harus diambil dalam pemidanaan apabila terjadi suatu pelanggaran hukum. Dengan perkataan lain, tahap ini harus merupakan tahap perencanaan strategis di bidang pemidanaan yang diharapkan dapat memberi arah pada tahap-tahap berikutnya yaitu tahap-tahap penerapan pidana dan tahap-tahap pelaksanaan pidana.127

126

Ibid, Hal. 30

Masalah penetapan jenis dan jumlah pidana untuk suatu tindak pidana tertentu, tidak termasuk kebijakan yang harus ditetapkan pada tahap “Penetapan Pidana” oleh pembuat undang-undang tetapi lebih tepat termasuk dalam tahap kebijakan “Pemberian pidana” oleh Hakim. Hal ini berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

a. Dalam konsepsi kebijakan rasional seperti telah diuraikan sebelumnya, penetapan pidana harus berorientasikan tujuan pidana. Orientasi pada tujuan pidana berarti diorientasikan pada “orang” (pembuat) dengan latar belakang filsafat pembinaan, jadi tidak berorientasi pada perbuatan.

b. Dengan berorientasi pada latar belakang filsafat pembinaan tersebut, maka terhadap orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu tidak dapat ditentukan terlebih dahulu jenis maupun jumlah pidananya oleh pembuat undang-undang. Yang lebih mengetahui jenis pidana apa dan berapa jumlah pidana sepatutnya dikenakan kepada si pelanggar adalah hakim.

c. Dengan penetapan pidana secara abstrak untuk tindak pidana tertentu akan sangat membatasi kebebasan hakim, yang justru menurut aliran modern kepada hakim harus lebih diberi kebebasan atau kelonggaran untuk memetapkan jenis maupun ukuran berat ringannya pidana.

d. Penetapan pidana secara abstrak dan pasti lebih dahulu oleh pembuat undang-undang untuk suatu tindak pidana tertentu, dapat mengganggu atau menghambat penanggulangan perkembangan kriminalitas appabila dalam perkembangannta ternyata pidana yang telah ditetapkan itu sebenarnya sudah tidak cocok atau tidak tepat untuk tindak pidana yang bersangkutan.

Dalam dokumen i (Halaman 153-158)