• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Landasan Hukum dan Teoritis Penegakan Hukum Administrasi

2. Landasan Teori

a. Teori Sistem Hukum

Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Selanjutnya, menurut Lawrence M Friedman sistem hukum mempunyai tiga unsur, yaitu (1) struktur, (2) subtansi, dan (3) budaya hukum70. Menurut Friedman struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Struktur hukum mengacu pada bentuk dan kedudukan pranata hukum yang terdapat dalam sistem hukum. Hubungan antar lembaga tinggi negara, contohnya, suatu penggambaran dari struktur hukum. Friedman merumuskan aspek struktur hukum sebagai berikut:

“The structure of legal system consists of elements of this kind: the number and size of courts; their yurisdiction (that is, what kind of cases they hear, and how

70Lawrence Friedman, “American Law”, (London: W.W. Norton & Company, 1984), hal. 6

and why), and modes of appeal from one court to another. Structure also means how the legislature is organized, how many members sit on the Federal Trade Commission, what a president can (legally) do or not do, what procedures the police departement follows, and so on.”71

Sementara substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup),dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang undang atau law books. Dalam pandangan Friedmen, Substansi hukum (legal substance) merupakan aturan-aturan dan norma-norma aktual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem72

Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.73

Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya (without legal culture, the legal system is inert, a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea).74. Singkatnya, bagi Friedmen, budaya hukum (legal culture) didefinisikan sebagai sejumlah gagasan, nilai, harapan dan sikap terhadap hukum dan institusi hukum yang sebagian bersifat publik atau beberapa bagian berada di wilayah

71Ibid

72Ibid

73Lawrence M, Friedman, 1977, Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc, hal. 6-7

74Lawrence, America…Op. Cit , hal. 7.

publik75. Selanjutnya menurut Friedmen, hukum harus dipelajari sebagai sebuah budaya bukan sebuah ‘koleksi doktrin, peraturan, istilah dan frase’76.

Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell, konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda77

b. Teori Penegakan Hukum dan Sanksi Hukum Administrasi

Menurut Mahfud MD, Secara teoretis, terdapat tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan78. Penegakan hukum,

75Lawrence Friedmen sebagaian dikutip Peter de Cruz dalam, Perbandingan Sistem Hukum; Common Law, Civil Law dan Socialist Law. Diterbitkan oleh Nusa Media. Jakarta. Hlm. 7

76Dikutip Peter de Cruz.. Ibid. hlm. 338

77Roger Cotterrell, 1984, The Sociology of Law An Introduction, London: Butterworths, hal. 25

78Mahfud MD, Bahan…Op. Cit. hlm. 2-3

sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto Rahardjo, merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.79. Keinginan – keinginan yang dimaksud dalam hal ini adalah keinginan atau politik hukum pembuat undangan sebagai perumus peraturan perundang-undangan.

Terkait dengan hal-hal yang mempengaruhi Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto, setidaknya ada 5 faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum . Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan.

Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan social di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.80

Berbeda dengan pandangan Satjipto Rahardjo yang membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum dengan melihat derajat kedekatannya pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo81membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan

undang-79Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, hal. 24

80Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta, hal. 15

81Satjipto Rahardjo,1983, Masalah Penegakan Hukum,Bandung: Sinar Baru, hal. 23,24.

undang cq. lembaga legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial

Kajian tentang penegakan hukum, khususnya penegakan hukum administrasi dalam sebuah kasus inconcreto belum banyak dilakukan oleh para peneliti di Indonesia. Termasuk halnya kajian tentang Penegakan Hukum Administrasi dalam sengketa Pemilukada. Penelitian yang pernah ada adalah Penegakan Hukum Pidana dalam Pemilukada Provinsi Jawa Timur oleh MURIDAH ISNAWATI yang ditulis dalam bentuk tesis di Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta Tahun 2011.

Salah satu bagian dari sistem penegakan hukum adalah penerapan sanksi hukum. Sanksi Hukum pada dasarnya merupakan implementasi atau bagian dari pertanggungjawaban hukum. Seseorang yang bertanggungjawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatannya bertentangan/berlawanan hukum. Dalam hukum administrasi, penggunaan sanksi administrasi merupakan penerapan kewenangan pemerintahan, di mana kewenangan ini berasal dari aturan hukum tertulis dan tidak tertulis. Pada umumnya, memberikan kewenangan untuk menegakkan norma-norma itu melalui penerapan sanksi bagi mereka yang melanggar norma-norma Hukum Administrasi.82

Dalam konteks penegakan hukum publik, menurut J.B.J.M. ten Berge bahwa pihak pemerintah yang paling bertanggung jawab dalam proses penegakan hukum publik, ‘de overheid is primair verant woordelijk voor de handhaving van publiekrecht”.

J.B.J.M ten Berge menyebutkan dalam konteks penegakan hukum publik, beberapa

82Ridwan HR. Op. Cit. Hlm. 298

aspek yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan dalam rangka penegakan hukum, yaitu;

a. Een regel moet zo weining riumte laten voor interpretatiegeschilien;

b. Uitzonderingsbepaligen moeten tot een minimum worden beperkt;

c. Regels moeten zo veel mogelijk zijn gericht op zichtbare dan wel onjectief constateerbare feiten;

d. Regel moeten werkbaar zijn voor tot wie de regels zijn gericht en voor de personen die methandhaving zijn belast83.

Terjemahannya;

a. Suatu peraturan harus sedikit mungkin membiarkan ruang bagi perbedaan interpretasi

b. Ketentuan perkecualian harus dibatasi secara minimal c. Peraturan harus sebanyak mungkin diarahkan pada

kenyataan yang secara objektif dapat ditentukan

d. Peraturan harus dapat dilaksanakan oleh mereka yang terkena peraturan itu dan mereka yang dibebani dengan tugas penegakan hukum

Penegakan Hukum Administrasi Negara menurut P. Nicola dan kawan-kawan:

De Bestuursrechtelijke handhavings middelen omvatten (1) het toezich dat bestuursorganen kunnen uitoefenen op de naleving vande biji of krachtens de wet gestelde voorschriften en van de bij besluit individueel opgeledge verplichtingen, en (2) de toepassing van bestuursrechtelijk sanctie bevoegdheden84

83J.B.J.M. ten Berge, Beschermin Tegen Overheid, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1995, hlm. 94

84P. Nicolai dkk, Bestuursrecht . Amsterdam, 1994. hlm. 469

Terjemahannya: (sarana penegakan Hukum Administrasi Negara berisi; (1) pengawasan bahwa organ pemerintahan dapat melaksanakan ketaatan pada atau berdasarkan undang undang yang ditetapkan secara tertulis dan pengawasan terhadap keputusan yang meletakkan kewajiban kepada individu, dan (2), penerapan kewenangan sanksi pemerintahan.

Substansi dari Nicola ini mempertegas gagasan ten Berge sebagaimana dikutip Philipus. M. Hadjon,bahwa instrument penegakan Hukum Administrasi Negara meliputi pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan85. Menurut Philipus Hadjon, terdapat perbedaan antara sanksi Administrasi dengan Sanksi Pidana, yaitu dilihat dari tujuan pengenaan sanksi itu. Sanksi administrasi dutujukan kepada perbuatan pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana ditujukan kepada si pelanggar dengan memberikan hukuman berupa nestapa. Selain itu sanksi administrasi ditetapkan oleh pejabat tata usaha negara tanpa harus melalui prosedur pengadilan sedangkan sanksi pidana hanya dapat dijatuhkan oleh hakim pidana melalui proses peradilan86.

Perbedaan selanjutnya menurut Ridwan HR adalah sifat sanksi administrasi adalah reparatoir-comdemnatoir yaitu pemulihan kembali pada keadaan semula dan memberikan hukuman sedangkan sanksi pidana bersifat comdemnatoir. Menurut H.D.

van Wijk/Konijnenbelt, Sanksi dalam Hukum Administrasi adalah;

85Philipus M. Hadjon, 1996,Penegakan Hukum Administrasi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Tulisan dalam , Butir-butir Gagasan tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan yang Layak, B. Arief Sidarta, dkk (editors). Bandung; Citra Aditya Bakti,). Hlm. 337

86Philipis M. Hadjon dkk, Pengantar..Op. Cit. hlm.247

“De Publiekrechttelijke matchsmiddelen die de overhead kan aanwenden als reactive op niet-naleving van verplichtingen die voortvloein uit administratiefrechtelijke normen87

(artinya; yaitu alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma hukum administrasi).

Berdasarkan definisi ini, setidaknya ada empat unsur sanksi dalam Hukum Administrasi, yaitu alat kekuasaan (machtmiddelen), bersifat hukum publik (publiekrechtelijke), digunakan oleh pemerintah (overheid), sebagai reaksi atas ketidakpatuhan (reactive op niet-naleving). Jenis-jenis sanksi yang umumnya dikenal dalam hukum administrasi antara lain88:

a. Bestuursdwang (paksaan pemerintah). Bestuursdwang dapat diuraikan sebagai tindakan-tindakanyang nyata (feitelijke handeling) dari penguasa guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaedah hukum administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan undang-undang. Penerapan sanksi ini jelas harus atas peraturan perundang-undangan yang tegas;

b. Penarikan kembali keputusan atau ketetapan yang menguntungkan (izin, pembayaran, subsidi). Penarikan kembali suatu keputusan atau ketetapan yang menguntungkan tidak terlalu perlu pada suatu peraturan perundang-undangan. Hal itu tidak termasuk apabila

87H.D. van Wijk/Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht. Vuga, s’Gravenhage, 1995. hlm . 327

88Ridwan HR. Op. Cit hlm. 301

keputusan atau ketetapan tersebut berlaku untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifatnya “dapat di akhiri” atau ditarik kembali (izin, subsidi berskala). Tanpa suatu dasar hukum yang tegas untuk itu penarikan kembali tidak dapat diadakan secara berlaku surut.

Karena bertentangan dengan azas hukum, tapi kebanyakan undang-undang modern, kewenangan penarikan kembali sebagai sanksi diatur dengan tegas.

c. Penggenaan denda administratif. Penggenaan sanksi administratif, terutama terkenal di dalam hukum pajak yang menyerupai penggunaan suatu sanksi pidana (juga harus atas landasan peraturan perundang-undangan yang berlaku)

d. Penggenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom). Pengenaan uang paksa merupakan alternatif untuk tindakan nyata, yang berarti sebagai sanksi ‘subsidiare’ dan dianggap sebagai sanksi reparatoir.

Dalam konteks penegakan hukum administrasi konstruksi teori penegakan sanksi hukum administrasi dapat digunakan terhadap Penetapan Pasangan calon Kepala daerah oleh KPUD, khususnya apabila terdapat penyimpangan dan kesalahan dalam proses penetapan tersebut dan sudah diajukan keberatan oleh pemohon (masyarakat) namun tetap dilanjutkan proses pencalonan tersebut, .

c. Teori Sanksi Regresif

J.B.J.M. ten Berge menyebutkan bahwa sanksi merupakan inti dari kelancaran atau penegakan Hukum Administrasi Negara89. Sanksi akan menjamin penegakan Hukum Administrasi karena sanksi salah satu intsrumen untuk memaksakan tingkah laku para warga negara pada umumnya dan khususnya instansi pemerintah. Oleh sebab itulah sanksi sering merupakan bagian yang melekat pada nama hukum tertentu. J.J.Oosternbrink sebagaimana dikutip Ridwan HR mendefinisikan Sanksi Administrasi adalah

“ Administratief sancties zijn dus sancties, die voortspruiten iut de relatie overheid-onderdaan en die zonder tussenkomst van derden en met name zonder rechterlijke machtiging rechtstreeks door de administratie zelf kunnen worden opgelegd”

(sanksi administrasi adalah sanksi yang muncul dari hubungan atara pemerintah dan warga negara dan yang dilaksanakan tanpa perantaram pihak ketiga, yaitu tanpa perantara kekuasaan peradilan, tetapi dapat secara langsung dilaksanakan oleh sendiri)90.

Selanjutnya J.J. Oosternbrink menambahkan bahwa jenis sanksi administrasi dapat juga dibebankan oleh hakim administrasi,

“ Niet alleen sanctie, die door het bestuur zelf worden toegepast, gehanteerd, maar eveneens sancties, die bijvoorbeeld door aministratieve rechters of administratieve beroepsinstanties worden opgelegd “

( tidak hanya sanksi yang diterapkan oleh pemerintah sendiri, tetapi juga sanksi yang dibebankan oleh hakim administrasi atau instansi banding administrasi)91.

89J.B.J.M. ten Berge, Op. Cit. Hlm. 390

90Ridwan HR . Op. Cit .hlm. 289

91Ibid. hlm 299

Ten Berge kemudian mengenalkan teori Sanksi Regresif (regressieve sancties) yaitu sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat pada keputusan yang diterbitkan. Sanksi ini ditujukan pada keadaan hukum semula, sebelum diterbitkannya keputusan. Beberapa contoh dari sanksi regresif ini adalah penarikan, perubahan dan penundaan suatu keputusan (de intrekking, de wijziging, of de schorsing van een beschikking)92. Sanksi Regresif ini hanya dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam keputusan.

d. Teori Sanksi Reparatoir (P. Nicolai) Sanksi Reparatoir menurut P. Nicolai:

“Onder reparatoire sanctie worden dan verstaan de reacties op normovertreding, die strekken to the (zo goed mogelijk) herstellen of bewerkstellingen van de legale situatie, dat wil zeggen van de toestand die zou zijn ontstaan of was blijven bestaaan, wanner de overtrading niet was gepleegd;93

Sanksi Reparatoir diartikan sebagai reaksi atas pelanggaran norma, yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula atau menempatkan pada situasi yang sesuai dengan hukum (legale situatie), dengan kata lain, mengembalikan pada keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran. Contoh sanksi Reparatoir adalah paksaan pemerintahan (bestuursdwang) dan pengenaan uang paksa (dwangsom).

Sanksi Reparatoir pada umumnya dikenakan pada pelanggaran norma hukum administrasi negara secara umum. Sanksi Reparatoir ini yang sering membedakan karakter sanksi hukum administrasi dengan sanksi pidana.

92J.B.J.M. ten Berge. Hlm. 391

93P. Nicolai dalam Ridwan HR. Ibid. 301

e. Teori Eksekusi

Secara etimologis, eksekusi berasal dari bahasa Belanda, executie, yang berarti pelaksanaan putusan pengadilan94. Eksekusi atau pelaksanaan putusan ialah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara95. Eksekusi padaha hakikatnya tidak lain adalah realisasi dari pada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut.96 Putusan yang dapat dieksekusi pada dasarnya hanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap karena dalam putusan tersebut telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap (res judicata) dan pasti antara pihak yang berperkara97. Akibat wujud hubungan hukum tersebut sudah tetap dan pasti sehingga hubungan hukum tersebut harus ditaati dan mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum98. Dengan demikian salah satu konstruksi teori Eksekusi berawal dari tahapan pelaksanaan putusan yang sudah diputus oleh Pengadilan dan sudah berkekuatan hukum tetap.

Menurut Yahya Harahap, Asas-asas eksekusi terdiri atas :99

1. Putusan yang dapat dijalankan adalah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam hal ini, Pada prinsipnya, hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) yang dapat

94Retno Wulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik Bandung, 1997, hlm. 111.

95M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata., Jakarta. Sinar Grafika. 2007. hal. 6 – 28.

96Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1998, hlm. 209

97M. Yahya. Op. Cit. hlm. 8

98R. Subekti, Hukum Acara Perdata,cet.3, Bandung: Bina Cipta, 1989, hal. 8.

99Yahya Harahap. Op. Cit. Hlm 6-28

dijalankan100. Adapun keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut dapat berupa :101

a. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak dimintakan pemeriksaan ulang (banding) atau kasasi102karena telah diterima oleh kedua belah pihak

b. Putusan pengadilan tingkat banding yang telah tidak dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung

c. Putusan pengadilan tingkat kasasi dari Mahkamah Agung atau putusan peninjauan kembali dari Mahkamah Agung

d. Putusan verstekdari pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan upaya hukumnya

e. Putusan hasil perdamaian dari dua pihak yang berperkara

2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela

Ada 2 cara menjalankan isi putusan :103 a. Dengan jalan sukarela

b. Dengan jalan eksekusi

Pada prinsipnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan

100Ibid. Hlm. 7

101Wildan Suyuthi, op. cit., hal. 61.

102R. Subekti, Op. Cit hal. 161

103M. Yahya Harahap, op.cit., hal. 11.

apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela.104

3. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat condemnatoir

Hanya putusan yang bersifat condemnatoir saja yang bisa dijalankan eksekusi yaitu putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur

“penghukuman”. Putusan yang bersifat constitutif dan declaratoir tidak memerlukan pelaksanaan/tidak memerlukan perbuatan dari salah satu pihak dan upaya paksa, karena sudah mempunyai akibat hukum tanpa bantuan pihak yang kalah untuk melaksanakannya105

4. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri Asas ini diatur dalam Pasal 195 ayat (1) HIR yang berbunyi:

“Hal menjalankan keputusan pengadilan negeri, dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri, adalah atas perintah dan dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam Pasal-Pasal berikut ini”

Jika ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh satu Pengadilan Negeri dan sudah berkekuatan hukum tetap, maka eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

Asas-asas tersebut pada umumnya berlaku dalam praktek di hukum acara Perdata yang dalam beberapa hal berbeda dengan eksekusi dalam hukum acara di

104Ibid

105Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, cet.1, (Jakarta: PT Rineka Raya, 2004), hal. 130.

Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut Lintong Siahaan106 Eksekusi putusan Peratun berbeda dengan eksekusi putusan perdata, karena Peratun adalah pengadilan yang mengadili sengketa-sengketa administrasi, jadi tidak mempunyai wewenang dalam bidang fisik (factual). Eksekusi Peratun hanya dilaksanakan secara administratif (abstrak) tidak secara fisik seperti dalam perkara perdata. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah bunyi dari pasal 115 UU. No. 5 tahun 1986 yang mengatakan bahwa: “ Hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan”.

Putusan Peratun yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pada dasarnya merupakan keputusan hukum yang bersifat hukum publik dan karena itu berlaku juga pihak-pihak di luar yang bersengketa (erga omnes). Berbeda dengan putusan hukum perdata, yang pada umumnya hanya berlaku pada pihak-pihak yang bersengketa saja, meskipun ada juga putusan perdata yang bersifat hukum publik.107 Dengan demikian menurut Lintong, kekuatan eksekutorial dari putusan Peratun adalah juga berbeda dengan kekuatan eksekutorial dari putusan perdata.108. Salah satu perbedaan model eksekusi putusan perdata dan Peratun adalah soal adanya bantuan pihak dari para pihak dalam pelaksanaan putusan Peratun itu. Menurut Indroharto, bantuan pihak luar dalam pelaksanaan putusan yang dalam hukum perdata lebih dikenal dengan istilah

106Lintong Siahaan, Teori Hukum dan Wajah PTUN setelah Amandemen UU. No. 5 tahun 1986.jo. UU. No.9 tahun 2004. Jakarta. Perum percetakanNegara RI. Hlm. 123

107Indroharto, Upaya Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Cet.1.Pustaka Sinar Harapan, 1991. Hlm. 368

108Lintong. Op. Cit. hlm. 123

eksekusi riel109, yang mana dalam hukum acara di PTUN tidak dikenal karena hanya sekedar pengadilan administrasi yang tidak memliki kewenangan dalam arti fisik, melainkan hanya kewenangan yang abstrak dalam bidang administrasi110

Bunyi pasal 97 ayat (7) UU. No. 5 tahun 1986 menyebutkan bahwa, putusan pengadilan dapat berupa: a. gugatan ditolak, b. gugatan dikabulkan;c.Gugatan tidak dapat diterima;gugatan gugur. Menurut Lintong, dari keempat butir jenis putusan di atas, hanya satu butir yang memerlukan tindak lanjut (follow up) berupa eksekusi, yaitu butir (2) “Gugatan dikabulkan”, sedangkan butir-butir : (1) gugatan ditolak; (3);

Gugatan tidak dapat diterima; dan (4) Gugatan gugur tidak memerlukan tindak lanjut (Follow Up)111

f. Teori Wewenang

Dalam kajian hukum administrasi, dikenal jenis kewenangan yang bersifat Atribusi, Delegasi dan Mandat. H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt sebagaimana dikutip oleh Ridwan HR112 mendefinisikan sebagai berikut: a. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh Pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan. B, delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. C, Mandat terjadi ketika

109Indroharto Op. Cit. Hlm. 369

110Lintong Op. Cit. hlm. 124

111Lintong Ibid. Hlm. 126

112Ridwan HR. Op. Cit. Hlm. 102

organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.

Dalam pandangan yang hampir sama, Indroharto menyebut bahwa Untuk kepentingan pengurusan negara dan masyarakat, kepada pemerintah diberi kekuasaan oleh negara melalui undang-undang dasar dan undang-undang, yang dikenal dengan “atribusi” (attributie)113. Untuk badan pemerintahan pada tingkat yang lebih rendah kekuasaan dapat diperoleh dengan “delegasi” (delegatie), yaitu penyerahan wewenang pemerintah kepada badan lain114. Selain itu, wewenang diperoleh juga dengan cara “mandat” (mandaat), yaitu badan pemerintahan mengizinkan wewenang yang ada pada mereka untuk digunakan oleh badan lain atas namanya115. Sementara Menurut Philipus M. Hadjon mendefinisikan perbedaan Mandat dan Delegasi dalam hal tanggung jawab dan tanggung gugat; dalam hal ini dalam wewenang yang bersifat Mandat, maka tanggung jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi Mandat sedangkan wewenang yang bersifat delegasi tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada delegataris.

113Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, 1991., hlm. 64.

114Ibid.

115Idem., hlm. 65.

Berbeda dengan Van Wijk, F.A.M Stroink dan J.G Steenbeek116 menyebutkan bahwa hanya ada 2 cara organ pemerintahan memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Mengenai atribusi dan delegasi, disebutkan bahwa bij attributie gaat he tom het toekennen van een nieuwe bevogheid; bij delegatie gaat he tom het overdragen van een reeds bestaande bevogheid (door het organ dat die bevogheid geattributie heft gekregen, aan een ander organ; aan delegatie gat dus altijd logischewijs vooraf).

Terjemahannya: Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain; jadi delegasi secara logis selalui didahului oleh atribusi. Kewenangan KPUD dalam menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara dapat diteropong dan dianalisis melalui ketiga konstruksi kewenangan tersebut.

g. Teori Donald Black

Donald Black dalam bukunya The Behavioral of Law mengemukan teori bahwa ada beberapa faktor yang memengaruhi perilaku hukum. Seseorang, organisasi atau institusi dalam melakukan tindakan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni.

Stratifikasi, Morfologi, Kultur, Organisasi, dan Pengendalian Sosial. Black menyebut bahwa faktor pertama yang memengaruhi perilaku hukum, termasuk ketaatan hukum

116 Mustafa Lutfi, Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia; Gagasan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi. UII Press. Yogyakarta. 2010. Hlm. 92

adalah stratifikasi, khususnya dalam hal hubungan vertikal, aspek ekonomi dan kehidupan sosial (social life) “distribution of material conditions of existence” 117.

Kedua, Morfologi. Menurut Black, Morphology explains the use of law in terms of one’s social relation, or distance, to others. This is the horizontal facet of social life, the “interaction, intimacy, and integration” people have in relation to one another118. Faktor ketiga adalah kultur, di sini kultur didefinisikan atau diistilahkan sebagai keyakinan masyarakat, tradisi dan persepsi atas moralitas. Dalam bahasa Black, ,

“culture is the symbolic aspect of social life that includes expressions of what is true, good, and beautiful”119. Faktor keempat adalah organisasi. Ilustrasi Black tentang organisasi dalam konteks ini adalah “the corporate aspect of social life, the capacity for collective action”120. Dalam hal ini termasuk organisasi adalah adanya dua orang atau lebih yang berkumpul untuk membentuk sebuah kelompok, bisa dalam bentuk genk, keluarga, perusahaan atau partai politik.

Menurut Black, people engaged in organizations are more likely to rely on the power of the law. level of organization may include the presence and number of administrative officers and centralization of decision making, but also the quantity of collective action itself by an individual. Faktor kelima menurut Black adalah Pengendalian sosial (social control). Variable akhir yang menjadi mempengaruhi seseorang dalam melakukan tindakan hukum adalah aspek normatif dari keberagaman dalam setting sosial . Seperti yang dikatakan Black bahwa , law serves

117Donald Black, 1976, The Behavior Of Law,. the University of Michigan.hlm.11

118Ibid, Hlm. 37

119Ibid. Hlm. 76

120Ibid. Hlm. 85