• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara

Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan rakyat (orang perorang/badan hukum perdata). Konflik disini adalah sengketa tata usaha negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Di dalam UU No.

51 tahun 2009 tentang Perubahan kedua UU. No. 5 tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat 10 berbunyi:

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Berdasarkan konsepsi itu dapat ditemukan bahwa sumber awal dari adanya sengketa di Pengadilan tata Usaha Negara adalah adanya Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara. Tanpa adanya Surat Keputusan, mustahil ada sengketa Tata usaha negara. Menurut Philipus M. Hadjon dasar lahrnya sebuah sengketa tata usaha negara adalah adanya Keputusan Tata Usaha Negara138, sebagai konsekuensi logis dari sengketa tata usaha negara adalah keputusan atau ketetapan (beschikking).

Secara teoritis, realisasi Perbuatan Tata Usaha Negara (perbuatan administrasi negara) dapat digolongkan dalam tiga hal, yaitu : mengeluarkan keputusan (beschikking), mengeluarkan peraturan (regeling) dan melakukan perbuatan materiil (materiele daad). Adanya suatu sengketa dalam bidang administrasi negara (secara umum) tentu saja akan muncul akibat dari pelaksanaan tugas dan kewenangan Pejabat Administrasi Negara (Pejabat TUN) yang terdiri dari tiga hal di atas. Artinya tanpa adanya perbuatan administrasi (termasuk didalamnya tindakan pasif), tentu saja tidak akan mungkin terjadi sengketa administrasi.

138Philipus M. Hadjon, Peradilan Tata Usaha Negara Tantangan Awal di Awal Penerapan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986, Yuridika, majalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.No.2-3 Tahun VI Maret –Juni 1991 Surabaya. 1991. Hlm. 114

Berdasarkan rumusan pasal 1 ayat 10 tersebut di atas, terdapat unsur-unsur sengketa tata Usaha Negara, meliputi;

a. Subyek yang bersengketa, yaitu orang atau badan hukum perdata di satu pihak dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di pihak lain dan

b. Objek sengketa, yaitu keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara139

2. Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara a. Pengertian Keputusan

Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) pertama kali diperkenlkan oleh seorang sarjana Jerman, Otto Meyer, dengan istilah verwaltungsakt140. Di Indonesia, istilah keputusan tata usaha negara disebut Beschikking. Istilah Beschikking oleh pada ahli hukum diartikan dengan Keputusan dan Ketetapan. Menurut ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang-Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat 9 menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata

139M. Nasir, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Djambatan, Jakarta. 2003. Hlm. 27

140Ridwan HR. Op. Cit. Hlm. 139

b. Unsur-unsur Keputusan

Unsur-unsur keputusan dalam hal ini adalah unsur atau kriteria keputusan yang dapat diugat di Pengadilan tata usaha negara . KTUN yang dapat digugat di Peratun harus memenuhi syarat syarat :

a). Bersifat tertulis, tertulis disini bukanlah dalam arti bentuk formalnya, melainkan cukup tertulis asal saja jelas Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan, jelas isinya dan jelas ditujukan untuk siapa. Syarat tertulis ini masih dikecualikan adanya KTUN fiktif negative (berisi penolakan) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Peratun. Syarat tertulis juga tidak mengharuskan bahwa suatu KTUN harus berbentuk baku, suatu memo juga dapat dikategorikan KTUN jika memo tersebut memenuhi tiga unsure, yaitu:1. memo tersebut jelas ditujukan untuk siapa, 2. isinya jelas memuat tindakan hukum TUN yang memiliki akibat hukum, dan 3.

jelas siapa badan/pejabat TUN yang membuatnya;

b). Bersifat konkrit, artinya KTUN. Artinya keputusan tersebut merupakan norma hukum yang mengkonkritkan norma hukum abstrak, yaitu norma hukum dalam peraturan perundangundangan, misalnya Keputusan tentang Pemberhentian PNS karena melanggar Peraturan Disiplin PNS;

c). Bersifat individual, artinya tertentu dan tidak ditujukan untuk umum, berapapun jumlahnya, keputusan TUN harus membuat batasan, ditujukan untuk siapa atau apa saja. Jika KTUN tersebut

merupakan KTUN perorangan, maka harus jelas siapa orang yang dituju atau dikenakan keputusan. Begitu juga, jika KTUN tersebut adalah KTUN kebendaan, maka harusjelas apakah itu dan sampai dimanakah batas-batasnya;

d). Bersifat final, artinya sudah definitif karenanya dapat menimbulkan akibat hukum atau tidak membutuhkan persetujuan instansi atasan Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN.

3. Upaya Administratif di Peradilan Tata Usaha Negara

Rochmat Soemitro membagi peradilan administrasi menjadi 2, yakni mencakup (1) peradilan administrasi murni atau peradilan administrasi dalam arti sempit dan (2) peradilan administrasi tidak murni. 141 Sjachran Basah sependapat dengan pendapat Rochmat Soemitro dengan istilah yang berbeda. Sjachran Basah menyebut peradilan administrasi dalam arti luas pada dasarnya mencakup dua golongan, yaitu (1) peradilan administrasi murni yang sesungguhnya, atau peradilan administrasi dalam arti sempit dan (2) peradilan administrasi yang tidak sesungguhnya, atau peradilan administrasi semu.”142.

Terkait kedua jenis peradilan administrasi tersebut, Ada perbedaan penting yang dapat memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang peradilan administrasi, yaitu ciri-ciri yang melekat pada kedua macam peradilan administrasi, yaitu “peradilan administrasi murni” dan “peradilan administrasi semu”. Hal ini pertama dikemukakan

141Rochmat Soemitro, Peradilan Administrasi ...Op.Cit., hlm. 49.

142Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur…Op.Cit., hlm. 37.

Rochmat Soemitro143 yang kemudian dilengkapi oleh Sjachran Basah sebagai berikut : Ciri-ciri peradilan administrasi murni adalah : (1) yang memutus adalah hakim; (2) penelitian terbatas pada "rechtsmatigheid" keputusan administrasi; (3) hanya dapat meniadakan keputusan administrasi, atau bila perlu memberikan hukuman berupa uang (ganti rugi) tetapi tidak membuat putusan lain yang menggantikan keputusan administrasi yang pertama; (4) terikat pada mempertimbangkan fakta-fakta dan keadaan pada saat diambilnya keputusan administrasi dan atas itu dipertimbangkan

“rechtsmatigheid” nya ; (5) badan yang memutus itu tidak tergantung, atau bebas dari pengaruh badan-badan lain apapun juga.

Sedangkan menurut Irfan Fachrudin, Ciri-ciri peradilan administrasi “semu”

adalah (1) yang memutus perkara biasanya instansi yang hierarkis lebih tinggi (dalam satu jenjang secara vertikal) atau lain dari pada yang memberikan putusan pertama;

(2) meneliti ”doelmatigheid” dan “rechtsmatigheid” dari keputusan administrasi; (3) dapat mengganti, mengubah atau meniadakan keputusan administrasi yang pertama;

(4) dapat memperhatikan perubahan-perubahan keadaan sejak saat diambilnya keputusan, bahkan juga dapat memperhatikan perubahan yang terjadi dalam prosedur berjalan ; (5) badan yang memutus dapat di bawah pengaruh badan lain, walaupun merupakan badan di luar hierarkhi144

Penggunaan istilah “peradilan administrasi tidak murni” oleh Rochmat Soemitro;

istilah “peradilan administrasi yang tidak sesungguhnya” dan “peradilan administrasi semu” dari Sjachran Basah relevan dengan sebutan dengan “upaya administratif”,

143Ibid., hlm.64.

144Irfan Fachrudin. Op. Cit. hlm. 169

yang menurut Pasal 48 Undang-Undang Peradilan Administrasi No 5 tahun 1986, meliputi “banding administratif ” dan “keberatan”. Penjelasan Pasal 48 Undang-Undang Peradilan Administrasi Negara menjelaskan : “upaya administratif” adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap keputusan tata usaha negara.

Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri atas dua bentuk : Pertama; “banding administratif”, dalam hal penyelesaian sengketa dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan. Kedua; “keberatan”, dalam hal penyelesaian sengketa tata usaha negara dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat administrasi yang mengeluarkan keputusan itu.

4. Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan

Tenggang waktu mengajukan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 55 UU. Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor : 9 Tahun 2004 dan terakhir telah diubah dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor : 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi: Gugatan dapat diajukan hanya dalam Tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

Eksistensi tenggang waktu dalam sebuah gugatan termasuk dalam gugatan di Peratun menjadi penting untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap proses beracara. Tenggang waktu lazim juga disebut bezwaartermijin atau klaagtermijin. Ini

merupakan batas waktu yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk memperjuangkan hanya dengan cara mengajukan gugatan melalui peradilan tata usaha negara145. Dibanding dengan proses beracara di peradilan perdata, ketentuan tenggang waktu dalam hukum acara Peratun termasuk singkat, yakni 90 hari. Sementara ketentuan dalam pasal 835, 1963 dan 1967 KUH Perdata, tenggang waktu menurut ketentuan tersebut adalah selama 30 tahun. Dalam hukum adat lewat waktu untuk hak milik atas tanah bahkan tidak dikenal, sebagaimana putusan Mahkamah Agung No. 916 K/Sip/1973 tanggal 19 Desember 1973146.

Dalam rangka mengantisipasi masuknya pihak ke II (Intervensi) dalam gugatan Peratun, maka tenggang waktu bagi pihak ke II tersebut dianggap mulai mengetahui obyek Keputusan sejak keputusan tersebut diumumkan. Namun selama ini tidak semua pihak dapat mengetahui pengumuman dari pemerintah, maka Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No. 2 tahun 1991 untuk mengatur soal tenggang waktu. Inti dari sema no 2 tahun 1991 tersebut adalah bahwa pihak ketiga yang tidak dituju secara langsung terhadap terbitnya sebuah Keputusan Tata usaha Negara (KTUN), penghitungan 90 hari untuk menggugat adalah sejak bersangkutan mengetahui KTUN tersebut dan merasa kepentingannya dirugikan atas KTUN tersebut.

145Marbun, Upaya…Op. cit. Hlm. 189

146Ibid. hlm 171

I. Kerangka Pikir

PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA PENETAPAN PASANGAN

CALON KEPALA DAERAH

PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI PENETAPAN PASANGAN CALON

KEPALA DAERAH

 Sinkronisasi Hukum Acara PTUN dengan UU Pemilukada

 Refungsionalisasi Lembaga Penegak Hukum Pemilukada

 Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

EFEKTIFITAS PELAKSANAAN PUTUSAN PTUN DALAM SENGKETA PENETAPAN PASANGAN CALON KEPALA DAERAH

 Kewenangan

Eksekutorial PTUN

 Sistem Pengawasan dan Sanksi

 Budaya Hukum Pejabat TUN

TERWUJUDNYA OPTIMALISASI PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI MELALUI MEKANISME DI PENGADILAN PERADILAN

TATA USAHA NEGARA

BAB III

METODE PENELITIAN