• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Periodeisasi Sistem Pemilihan Kepala Daerah

3. Zaman Orde Reformasi

Undang - undang nomor 22 tahun 1999 memang disusun dalam tempo singkat dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas. Karena itu, tidaklah mengejutkan bila UU No. 22/1999 tidak sepenuhnya aspiratif sehingga menimbulkan banyak kritik dan tuntutan revisi.129 Praktik selama berlakunya UU. No. 22 tahun 1999 menunjukkan bahwa pilihan DPRD seringkali berseberangan dengan kehendak mayoritas rakyat di daerah. DPRD punya tafsir sendiri terhadap aspirasi masyarakat, bahkan penyelewengan pun tidak jarang terjadi, dan berbagai cara “terlarang” pun ditempuh (misalnya; pemalusan identitas calon, money politik, mark up suara dan seterusnya).

Penyimpangan yang harus digarisbawahi adalah maraknya dugaan kasus money politik dan intervensi pengurus partai baik di level local maupun pusat dalam pilkada seperti pada kasus Pilkada Gubernur Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Lampung, Kalimantan Timur, Bupati Painai di Papua dll130.

Persoalan lain yang sering muncul adalah ketegangan antara Kepala Daerah dengan DPRD setempat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sepanjang pemberlakuan UU. No 22 tahun 1999 cerita tentang penjatuhan (pemberhentian) Kepala Daerah oleh DPRD berkali-kali terjadi di berbagai tempat131. Dengan kondisi seperti itu, sistem pemerintahan daerah mirip dengan sistem pemerintahan parlementer karena setiap saat mendapat serangan dari DPRD sehingga eksekutif tidak memiliki kepastian masa jabatan.

b. Pilkada Menurut UU. Nomor 32 tahun 2004

129Ibid., hal 97 - 98.

130Tri Ratnawati dkk…Op. Cit. 2003. Hlm.; 79

131Ni’matul Huda, Otonomi Daerah.. Op. Cit. hlm. 205

Kekurangan dalam UU. Nomor 22 tahun 1999 telah disadari oleh para wakil rakyat yang duduk di MPR RI yang mengagendakan perubahan UUD NRI 1945.

Perubahan UUD NRI 1945 berimplikasi luas terhadap sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Salah satunya adalah terkait dengan ketentuan yang terkait dengan pemerintahan daerah. Amandemen kedua UUD NRI 1945 (tahun 2000) menghasilkan rumusan baru pasal-pasal yang mengatur pemerintahan di daerah, yakni pasal 18, pasal 18 A dan Pasal 18 B. Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis

Berdasarkan rumusan pasal ini dapat ditarik beberapa persoalan penting132; Pertama, UUD NRI 1945 tidak mengharuskan kepala daerah terpilih secara langsung dan calon kepala daerah tidak harus berasal dari partai politik atau gabungan partai politik. Kedua, frasa “dipilih secara demokratis” tidaklah dapat ditafsirkan bahwa rekruitmen pasangan calon menjadi kewenangan mutlak partai politik sebagai salah satu lembaga yang berfungsi melakukan rekruitmen politik dalam pengisian jabatan publik melalui mekanisme yang demokratis sebagaiman diatur dalam UU Partai Politik.

Ketiga, rumusan pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 yang merupakan hasil amandemen kedua (tahun 2000) dapat ditafsirkan sama dengan tata cara dan prosedural pemilu sebagaimana dinyatakan dalam beberapa pasal amandemen ketiga (tahun 2001).

Artinya Pemilukada langsung khususnya lembaga yang memiliki kewenangan melakukan rekruitmen calon kepala daerah adalah lembaga yang juga menjadi penanggungjawab pelaksanaan pemilu (Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta

132Suharizal, Pemilukada; Regulasi. Dinamika, dan Konsep Mendatang. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2006. hlm.

26

Pemilu Legislatif) yaitu KPUD. Keempat, Pasal 18 ayat (4) tersebut hanya mengharuskan yang dipilih secara demokratis adalah kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota). Dengan kata lain Wakil Kepala Daerah (Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil Walikota) tidak diharuskan dipilih satu paket dengan kepala daerah.

Untuk menggantikan undang-undang nomor 22 tahun 1999, ditetapkanlah undang - undang nomor 32 tahun 2004. Undang-undang ini mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung, hal ini dibuktikan dari 240 pasal yang ada, sebanyak 63 pasal berbicara tentang Pemilukada langsung. Tepatnya mulai pasal 56 hingga pasal 119, secara khusus berbicara tentang Pemilukada langsung. Landasan konstitusional pemilihan kepala daerah secara langsung sebagaimana yang tercantum dalam UU. 32 tahun 2004 bersumber dari perubahan kedua UUD NRI 1945 pasal 18 ayat (4) yang menyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.

Penggunaan kata dipilih secara demokratis tersebut bersifat luwes dan memiliki dua makna yaitu baik pemilihan langsung maupun tidak langsung melalui DPRD kedua-duanya demokratis. Untuk itu keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam proses menetapkan Kepala Daerah dipilih secara demokratis dapat digali secara mendalam melalui risalah siding Panitia Ad Hoc I badan pekerja MPR RI.

133 Kata “demokratis” kemudian oleh pembuat undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah diterjemahkan menjadi Pemilihan Langsung. Sehingga rakyat Indonesia sejak pemilu 2004 telah memilih langsung kepala eksekutif, dalam hal ini presiden/wakil Presiden serta Kepala daerah dan wakail kepala daerah.

133Buku kedua jilid II C. Risalah Sidang PAH I. Sekjen MPR RI Jakarta. 2000. Hlm. 248-249.

Dengan demikian, pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung dimana calon kontestannya adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 15 persen kursi DPRD atau dari akumulasi perolehan suara sah pada pemilihan legislatif sebelumnya. Pemilu kepada daerah langsung sesuai dengan Undang - undang ini terlaksana pertama kali pada tanggal 1 Juni 2005. Pemilihan kepala daerah langsung yang termaktub dalam undang - undang nomor 32 tahun 2004 adalah sebuah proses demokratisasi di Indonesia.

Perjalanan pembelajaran demokrasi di Indonesia sebelum masa kemerdekaan sampai dengan saat ini. Perjalanan demokrasi selanjutnya melahirkan sistem yang baru, ketidakpuasan (kekurangan) undang - undang nomor 32 tahun 2004 mengenai otonomi daerah ini melahirkan sebuah konsepsi undang - undang yang baru demi menciptakan sebuah tatanan yang lebih demokratis lagi. Salah seorang Anggota DPRD kabupaten lombok yang bernama Lalu Ranggawale mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji materil pada UU No.32 tahun 2004. akhirnya keluarlah Keputusan MK No 5/PUU-V/2007 yang menganulir UU 32/2004 pasal 56, 59 dan 60 tentang persyaratan pencalonan kepala daerah memberikan peluang kepada calon independen untuk maju dalam Pemilukada.

Sejak UU. Nomor 32 tahun 2004 ditetapkan dan diberlakukan pada saat pemerintahan Megawati yakni pada bulan Oktober 2004, perdebatan terhadap isi undang-undang ini khususnya yang terkait dengan Pemilukada senantiasa muncul dan selalu melahirkan polemik publik. Beberapa topik perdebatan adalah pasal-pasal yang

mengatur tentang peran KPU dan KPUD serta peranan partai-partai politik sebagai lembaga yang memiliki hak untuk mencalonkan kandidat kepala daerah ke KPUD.

Dalam Undang-Undang pemilu, baik pemilu legislative maupun pemilihan presiden, posisi KPU Pusat selaku pelaku sentral dalam penyelenggara pemilu sementara KPUD merupakan lembaga pelaksana pemilu di masing-masing wilayahnya. Sementara dalam UU. 32 tahun 2004, KPUD ditempatkan sebagai penyelenggara Pemilukada. Sehingga posisi KPU dan KPUD memiliki kewenangan terpisah dan kondisi ini juga sekaligus menghadikan kewenangan otonom kepada masing-masing KPUD di berbagai daerah sehingga berpotensi melahirkan ketidakkonsistenan kebijakan penyelenggaraan Pemilukada.

Pada perkembangannya, UU no. 32 tahun 2004 beberapa pasalnya diubah dengan Perpu nomor 3 tahun 2005 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian ditetaapkan menjadi UU nomor 8 tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomro 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang. Dalam konsideran Perpu Nomor 3 tahun 2005 dijelaskan 3 alasan penerbitan Perpu. Yakni (a), bahwa untuk mengantisipasi keadaan genting yang disebabkan oleh bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan dan/atau gangguan lainnya di seluruh atau sebagian wilayah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakibat pemilihan tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal, perlu dilakukan pengaturan tentang penundaan penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

(b), bahwa pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a belum diatur dalam

UU. Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. (c), bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah perlu menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas berkaitan dengan pemanfaatan dana, perlengakapan, personel, dan keadaan wilayah pemilihan.

UU. nomor 8 tahun 2005 mengatur tentang beberapa perubahan yang terdapat dalam ketentuan UU. 32 tahun 2004 antara lain, perubahan pada pasal 90 ayat (1) yang berbunyi ; jumlah pemilih di setiap TPS sebanyak-banyaknya 300 orang diubah menjadi paling banyak 600 orang. Kemudian ada penyisipan pasal baru yaitu pasal 236A dan pasal 236B. Pasal 236A menyebutkan bahwa dalam hal suatu daerah pemilihan terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan atau gangguan lainnya di seluruh atau sebagain wilayah pemilihan kepala daerah wakil kepala daerah yang berakibat pemilihan tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal, pemilihan ditunda yang ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Revisi undang - undang nomor 32 tahun 2004 melahirkan undang - undang nomor 12 tahun 2008. Undang-undang nomor 12 tahun 2008 ini tentang perubahan terhadap undang - undang nomor 32 tahun 2004 mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Hal yang paling berbeda dari Undang-undang ini mengenai pemilihan kepala daerah. dimana di dalam undang undang sebelumnya, kepala daerah dipilih langsung dari usulan partai politik atau gabungan partai politik, sedangkan dalam Undang-undang ini, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat mencalonkan pasangan calon tanpa didukung oleh partai politik, melainkan calon perseorangan yang dicalonkan melalui dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan dukungan tertulis dan fotokopi KTP. Pada tanggal 19 April 2007 terbitlah Undang - undang No.

22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilihan umum. Di Undang-undang ini Pemilihan kepala daerah dimasukkan pada rezim pemilu. maka kemudian masyarakat mulai mengenal pemilihan kepala daerah dengan sebutan Pemilukada.