• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Penegakan Hukum Administrasi terhadap Penetapan Pasangan Calon dalam Pemilihan Kepala Daerah

2. Refungsionalisasi Lembaga Penegak Hukum Pemilukada

Dalam teori Lawrence Friedmen, penegak hukum merupakan bagian struktur yang penting dalam pembentukan sistem hukum. Penelitian ini memasukkan varibel penegak hukum sebagai salah unsur penting dalam proses penegakan hukum administrasi pada sengketa penetapan pasangan calon dalam pemilukada. Menurut Penulis, penegak hukum dalam proses ini adalah institusi yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum pemilukada. Berdasarkan UU. 32 tahun 2004 junto UU. 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya pelaksanaan pemilukada, maka elemen yang dikategorikan sebagai penegak hukum adalah KPU, Bawaslu/Pawaslu, Kepolisian, Kejaksaaan, Pengadilan dan Mahkamah Konstitusi.

Namun dalam penelitian ini karena tema utamanya adalah tentang penegakan hukum administrasi, maka pembahasan tentang penegakan hukum administrasi

pemilukada hanya terfokus pada penegak hukum yang terkait dengan terbitnya Surat Keputusan KPUD soal penetapan pasangan calon serta implikasinya. Dalam hal ini, maka penulis akan menganalisis posisi, tugas dan wewenang KPUD, Bawaslu/Panwaslu dan Pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara.

Adapun kepolisian dan kejaksaan serta Pengadilan Umum adalah penegak hukum yang terlibat dalam penanganan tindak pidana pemilu. Sedangkan Mahkamah Konstitusi sebagai penegak hukum dalam melindungi hak-hak konstitusional warga atau kandidat akibat penetapan hasil pemilukada oleh KPUD.

Refungsionalisasi secara etimologis bersumber dari kata fungsionalisasi.

Menurut kamus bahasa Indonesia, fungsionalisasi adalah hal menjadikan berfungsi;

pemfungsionalan167. Sehingga pencantuman kata Re yang berarti Kembali bermakna refungsionalisasi adalah upaya mengembalikan fungsi atau menjadikan berfungsi kembali. Dalam kajian refungsionalisasi lembaga penegak hukum Pemilukada, maka yang menjadi fokus kajian adalah upaya memfungsikan kembali atau memaksimalkan fungsi-fungsi penegakan hukum administrasi yang menjadi tanggung jawab penegak hukum dalam proses pemilihan umum kepala daerah.

a. Kewenangan eksekutorial terhadap laporan pelanggaran dan sengketa administrasi

KPUD dalam Pemilukada, selain sebagai penyelenggara perundang-undangan yang melaksanakan proses pemilu berdasarkan ketentuan perundang-undangan, maka KPUD juga berfungsi sebagai penegak hukum. Posisi KPUD sebagai penegak hukum dapat dilihat dalam pasal yang mengatur tentang pelanggaran administrasi

167http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php diakses pada tanggal 5 Juni 2013 pukul 15.33 WITA

yang dilakukan oleh peserta pemilukada maupun penyelenggara pemilukada lainnya di internal organisasi KPU. Dalam Pasal 9 ayat 3 huruf n dan huruf o junto Pasal 10 ayat 3 huruf l dan m Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu

Tugas dan wewenang KPU Provinsi dalam penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota meliputi:

Huruf n: “ menindaklanjuti dengan segera rekomendasi Bawaslu Provinsi atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran pemilihan”

Huruf o :” mengenakan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan sementara anggota KPU Kabupaten/Kota, sekretaris KPU Provinsi, dan pegawai sekretariat KPU Provinsi yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilihan berdasarkan rekomendasi Bawaslu Provinsi dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan; “

Ketentuan pada huruf n di atas menunjukkan apabila Panwaslu/Bawaslu telah menerima dan memeriksa sebuah dugaan pelanggaran administrasi, maka tahapan selanjutnya adalah merekomendasikan laporan dugaan pelanggaran tersebut kepada KPU untuk ditindaklanjuti dan diputus; apakah dinyatakan bersalah atau tidak. Adanya kewenangan dalam melaksanakan atau mengeksekusi sebuah laporan pelanggaran administrasi dalam pemilukada tersebut sehingga KPU diposisikan sebagai salah satu pilar penegak hukum dalam pemilukada.

Posisi KPUD yang bertugas untuk mengeksekusi laporan yang ditemukan oleh Panwaslu/Bawaslu dikritik oleh berbagai pihak yang menjadi responden penelitian ini.

Menurut Andi Maddusila168, dirinya sangat dirugikan dalam kasus Pilkada Gowa tahun 2010 karena pihak KPUD Gowa jelas-jelas mengabaikan rekomendasi Panwaslu

168 Yang diwawancara penulis pada tanggal 21 Maret 2013 di Makassar

Kabupaten Gowa yang sudah menyimpulkan bahwa ada dugaan pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh kandidat Ichsan Yasin Limpo. Namun sampai pada keluarnya SK KPUD tentang penetapan pasangan calon, KPUD tidak mengeluarkan sikap atau putusan terhadap laporan Panwaslu Gowa tersebut. Tanggapan Fatmawati Rachim169 terhadap kondisi tersebut mengkonfirmasi pernyataan Andi Maddusila.

Menurut Fatmawati ketika itu KPUD Gowa berusaha melokalisir persoalan dan tidak bersedia menerima Panwaslu Gowa untuk hearing dalam rangka menyelesaikan persoalan tersebut. Kenyataan yang sama disampaikan oleh M. Jufri, bahwa banyak pelanggaran yang terjadi dalam pemilihan DKI yang sudah diperiksa oleh Panwaslu DKI namun tidak direspon oleh KPUD DKI meskipun Panwaslu sudah menyampaikan rekomendasi agar laporan tersebut segera ditindaklanjuti.170

Dalam konteks refungsionalisasi maka kewenangan eksekusi terhadap laporan adanya pelanggaran administrasi dari Bawaslu/Panwaslu perlu diefektifkan dan difungsikan secara baik. Efektifitas dalam konteks ini adalah adanya kepastian hukum terhadap adanya dugaan pelanggaran administrasi yang dilaporkan oleh bakal calon pasangan kepada KPUD melalui Bawaslu/Panwaslu. Selama ini potensi sengketa penetapan pasangan calon sebenarnya sudah terdeteksi sejak awal proses pendaftaran dan verifikasi kelengkapan administrasi pasangan calon, baik dari pasangan perseorangan maupun pasangan partai politik. Dalam tahapan verifikasi pada umumnya terdapat pelanggaran administrasi yang ditemukan oleh Bawaslu atau

169 Anggota Panwaslu Kabupaten Gowa saat Pemilukada tahun 2010 yang saat penelitian ini dilakukan duduk sebagai anggota KPU kabupaten Gowa

170Sebagaimana wawancara penulis dengan Jufri, anggota Panwaslu DKI pada tanggal 9 Maret 2013 di Jakarta

Panwaslu seperti dugaan pemalsuan ijazah atau pemalsuan dokumen lainnya, dugaan dukungan ganda atau kekurangan administrasi lainnya.

Namun pada kenyataannya, meskipun Bawaslu atau Panwaslu sudah melaporkan dugaan pelanggaran dalam proses verifikasi tersebut, namun pada umumnya KPUD tidak menindaklanjuti atau tidak mengeksekusi dugaan laporan tersebut. Akibat KPUD mengabaikan atau tidak menggunakan kewenangan dalam menindaklanjuti laporan Bawaslu tersebut, pada akhirnya persoalan pelanggaran administrasi tersebut menjadi alasan dan fakta hukum dalam sengketa penetapan pasangan calon di Peratun.

Upaya mengefektifkan eksekusi adanya temuan laporan Bawaslu atau Panwaslu terhadap adanya pelanggaran administrasi bertujuan untuk meminimalisir potensi sengketa hukum yang berlanjut di Pengadilan serta memberikan kepastian dan keadilan hukum pemilu (electoral election) bagi para pihak yang merasa dirugikan akibat adanya pelanggaran administrasi. Oleh karena itu agar laporan terhadap adanya pelanggaran administrasi dapat ditangani dan diselesaikan secara cepat, maka sudah saatnya kewenangan penyelesaian dan tindaklanjut laporan pelanggaran administrasi tersebut ditangani dan dieksekusi langsung oleh Bawaslu atau Panwaslu.

KPUD tidak lagi memiliki kewenangan dalam menindaklanjuti dan atau memutus adanya laporan dari Bawaslu/Panwaslu. Dalam hal ini Bawaslu dan Panwaslu yang memiliki kewenangan dalam memutus dan menyelesaikan adanya laporan pelanggaran atau sengketa administrasi dalam pelaksanaan pemilukada dan keputusan Bawaslu terhadap proses penyelesaian sengketa dan atau pelanggaran administrasi pemilukada tersebut bersifat final. Pelanggaran administrasi yang menjadi

obyek kewenangan Bawaslu dalam hal ini setiap tindakan administrasi yang dilakukan oleh peserta pemilukada serta penyelenggara pemilukada yang menyimpang dari ketentuan penyelenggaraan pemilukada. Sedangkan Sengketa administrasi adalah sengketa yang terjadi antarpeserta Pemilukada dan sengketa Peserta Pemilukada dengan penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPUD dalam hal ini KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota

Namun menurut Penulis kewenangan Bawaslu dalam menerima dan menyelesaikan sengketa dan atau pelanggaran administrasi yang bersifat final harus dibatasi dalam hal-hal yang proses hukumnya masih dapat berlanjut di lembaga Peradilan Tata Usaha Negara. Keputusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa Pemilukada merupakan keputusan terakhir dan mengikat, kecuali keputusan terhadap sengketa Pemilukada yang berkaitan dengan Surat Keputusan KPUD yang terkait dengan Penetapan pasangan bakal calon menjadi calon pasangan resmi.

b. Bawaslu sebagai Lembaga Banding Administratif

Dalam Undang-Undang nomor 22 tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan UU. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, BAWASLU atau Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu/Panwaslu) adalah salah lembaga penyelenggara pemilu bersama dengan KPU. Secara normatif, fungsi dan wewenang panwaslu sudah diatur dalam UU nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan umum dan pemilihan Presiden, serta UU nomor 32 tahun 2004 (PP nomor 6 tahun 2005) yang mengatur soal Pilkada.

Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, eksistensi dan pengaturan Panwaslu dan BAWASLU telah mengalami berbagai dinamika dan perubahan. Jauh

sebelum berlakunya Undang-Undang nomor 22 tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan UU. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Pengaturan tentang Panwaslu mulai tercantum pada ketentuan yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah, khususnya sejak diatur mekanisme pemilihan langsung kepala daerah yakni dalam UU. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini, Pengawas Pemilu dikenal dengan istilah Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada DPRD (vide Pasal 42 ayat 1 huruf I jo Pasal 57 ayat 7).

Dalam Pasal 57 ayat 3 disebutkan bahwa panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Anggota panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah 5 (lima) orang untuk provinsi, 5 (lima) orang untuk kabupaten/kota dan 3 (tiga) orang untuk kecamatan.

Selanjutnya Pasal 66 ayat 4 UU. 32 tahun 2004 menyebutkan secara lengkap fungsi dan wewenang Panitia Pengawas Pemilihan yaitu:

(4) Panitia pengawas pemilihan mempunyai tugas dan wewenang:

a. mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;

b. menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;

c. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;

d. meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang; dan

e. mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawasan pada semua tingkatan

Ketentuan dalam Pasal 66 tersebut adalah acuan utama Panwaslu ketika melaksanakan fungsinya sebagai Penegak Hukum dalam proses pemilihan kepala

daerah. Dengan ketentuan tersebut di atas, fungsi dan kewenangan Panwaslu sesungguhnya penuh persoalan, baik dari segi eksistensinya maupun terkait dengan efektifitas fungsi dan kewenangannya. Keberadaan panwaslu dipersoalkan karena lembaga ini diragukan independensinya karena dibentuk dan bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sebagaimana diketahui bahwa DPRD adalah representasi partai politik yang pada faktanya adalah juga bagian dari peserta pemilukada. Dengan posisi bertugas mengawasi pihak yang bertarung sementara pihak tersebut merupakan lembaga yang memilihnya, maka Panwaslu mengalami persoalan netralitas dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Merepson kondisi inilah kemudian pada tahun 2007, ketentuan tentang penyelenggara pemilu termasuk pemilukada diatur secara terpisah dengan UU Pilkada. Maka DPR dan Pemerintah kemudian sepakat menyusun dan mengesahkan Undang-undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Pasca disahkannya Undang-undang nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, dimensi pengawasan pemilu mengalami perubahan. Setidaknya dalam konteks eksistensi, institusi pengawas pemilu mengalami peningkatan. Dalam UU nomor 12 tahun 2003 maupun UU 32 tahun 2004 (PP nomor 6 tahun 2005) memposisikan Panwaslu hanya sebatas instrumen yang bersifat ad hoc. Sedangkan dalam UU nomor 22 tahun 2007, selain istilah Panwaslu diganti menjadi Bawaslu maka institusi pengawas ini berstatus sebagai instrumen yang bersifat permanen. Selain itu proses pemilihan anggota Bawaslu atau Panwaslu tidak lagi melalui pemilihan di DPRD tapi hanya Bawaslu tingkat Pusat yang dipilih DPR yang kemudian Bawaslu Pusat yang

menyeleksi dan memilih Bawaslu Provinsi, Kabupaten dan seterusnya. Sehingga problem netralitas sudah bisa diminimalisir.

Lahirnya Undang-Undang nomor 22 tahun 2007 juga belum bisa memperkuat fungsi dan wewenang Bawaslu/Panwaslu. Bahkan pasca pengesahan UU nomor 22 tahun 2007 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 belum mengubah secara paradigmatik persoalan akuntabilitas dan efektifitas pengawasan dan penyelesaian sengketa pemilukada. Salah satu persoalan Bawaslu atau Panwaslu yang tidak berubah meskipun telah terjadi perubahan undang-undang adalah terletak pada ketidakmampuan menindaklanjuti pelanggaran yang dilaporkan masyarakat.

Terlihat bahwa panwaslu tidak memiliki daya eksekusi yang kuat dalam menangani laporan pelanggaran. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor.

Pertama, panwaslu masih tersandera pada posisi pemihakan untuk salah satu pasangan calon/partai politik. Kedua, panwaslu selalu berdalih bahwa salah satu tugasnya adalah;” meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang; klausul ini sering sekali dijadikan dalih ketika panwaslu dihadapkan pada pelanggaran pilkada/pemilu. Ketiga, kurangnya koordinasi dengan instansi yang terkait dalam penyelesaian pelanggaran. Bagi panwaslu, urusan mereka sudah selesai ketika laporan pelanggaran sudah mereka serahkan kepada kepolisian atau KPUD. Lemahnya daya eksekusi langsung oleh Bawaslu juga terlihat pada UU 22 tahun 2007 yang mengatur tentang tugas dan wewenang Bawaslu.

Dijelaskan pada Pasal 73 huruf b, c dan d;

b. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu; c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU untuk ditindaklanjuti; d. meneruskan

temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang;.

Pasal ini menujukkan bahwa Bawaslu sesungguhnya sekedar mengumpulkan laporan pelanggaran yang terjadi pada semua tahapan pemilu. Berikut tabel yang menunjukkan perbedaan Posisi Panwaslu dan Bawaslu periode Pilkada 2005 sampai dengan sekarang atau sebelum dan sesudah disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 jo. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu

Pilkada Posisi Organisasi Fungsi

Pilkada 2005-2007

Lembaga pengawas pemilu adalah bagian dari penyelenggara pemilu dengan ketentuan;

1. Panwas Pilkada Provinsi dibentuk dan bertanggung jawab kepada DPRD Provinsi;

2.Panwas Pilkada Kabupaten/Kota dibentuk dan bertanggung jawab kepada DPRD

Kabupaten/Kota;seterusny a masing-masing

membentuk panwas dibawahannya

Panwas Pilkada dipimpin oleh seorang ketua yang dipilih oleh anggota; sedang anggota panwas pilkada terdiri dari unsur tokoh masyarakat, perguruan tinggi, pers, kepolisian dan kejaksanaan

1.Hubungan Panwas Pilkada Provinsi atau Panwas Pilkada

Kabupaten/Kota dengan panwas pilkada di

bawahnya bersifat hierarkis;

2.Sekretariat Panwas Pilkada mencantol pada kantor pemerintah daerah

Tugas dan wewenang Panwas pilkada ialah

1. Mengawasi semua tahapan

penyelenggaraan pemilu 2. Menerima laporan

pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilu

3. Menyelesaiakn sengketa dalam penyelenggaraan pemilu

4. Meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi berwenang

Tabel 2. Posisi Panwaslu/Bawaslu periode 2005-sekarang

Sumber: diolah dari UU.No 32 tahun 2005, UU.No.22 tahun 2007 dan UU.No.15 tahun 2011

Dalam catatan Perludem, materi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang perluasan kewenangan yang dimiliki oleh Bawaslu hanya menyangkut pada tiga hal (1) mengawasi pelaksanaan rekomendasi pengenaan sanksi buat anggota KPU/KPUD dan petugas pemilu, (2) mengawasi pelaksanaan sosialisasi dan (3) melaksanakan tugas lain yang diperintahkan undang-undang171.

Namun dalam catatan Penulis, di luar konteks pelaksanaan pemilukada, Bawaslu pada perkembangannya memiliki kewenangan dalam menangani dan menyelesaikan sengketa pemilihan umum (Pemilu). Dalam Undang-Undang Nomor 8

171 Didik Supriyanto dkk, Penguatan Bawaslu;optimalisasi posisi, organisasi dan fungsi dalam Pemilu 2014.

Perludem. Jakarta. 2012. Hlm. 28 Pilkada

2007-sekarang

Lembaga Pengawas pemilu adalah bagian penyelenggara pemilu dan bersifat mandiri dengan ketentuan:

 Panwas/Bawaslu Pilkada provisi dibentuk dan bertanggung jawab kepada Bawaslu

 Panwas Pilkada Kabupaten/Kota dibentuk dan bertanggungjwab kepada Bawaslu

 Panwas/Bawalu Pilkada dipimpin oleh seorang ketua yang dipilih oleh anggota; sedangkan anggota panwas terdiri dari unsur-unsur non partisan yang memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang pengawasan pemilu

 Hubungan

Panwas/bawaslu pilkada provinsi atau Panwas Pilkada kabupaten/Kota dengan panwas di

bawahnya bersifat hirarkis

Tugas dan wewenang Panwas pilkada ialah

5.Mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilu 6. Menerima laporan

pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilu

7. Menyelesaikan sengketa dalam penyelenggaraan pemilu

Meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi berwenang

tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam UU. No.

8 tahun 2012 ini terjadi penambahan wewenang Bawaslu untuk menyelesaikan sengketa pemilu. Sengketa yang diselesaikannya bukan Tsekedar sengketa antarpeserta pemilu sebagaimana terjadi pada pemilu sebelumnya, tetapi juga sengketa antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu. UU. No 8 tahun 2012 juga memperjelas pengertian , ruang lingkup dan proses penyelesaian sengketa.

Pasal 257 mengatur: Sengketa Pemilu adalah sengketa yang terjadi antarpeserta Pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.

Pasal 258 mengatur: (1) Bawaslu berwenang menyelesaikan sengketa Pemilu. (2) Bawaslu dalam melaksanakan kewenangannya dapat mendelegasikan kepada Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri

Pasal 268 (1) mengatur: Sengketa tata usaha negara Pemilu adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik calon Peserta Pemilu dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.

(2) Sengketa tata usaha negara Pemilu merupakan sengketa yang timbul antara:

a. KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; dan

Pasal 269 mengatur: (1) Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 ke pengadilan tinggi tata usaha negara dilakukan setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (2) telah digunakan.

(2) Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah dikeluarkannya Keputusan Bawaslu.

Pasal 258 ayat 4 : (4) Bawaslu melakukan penyelesaian sengketa Pemilu melalui tahapan:

a. menerima dan mengkaji laporan atau temuan; dan

b. mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat

Ketentuan undang-undang tersebut memberikan semangat revitalisasi pada lembaga Bawaslu sebagai lembaga Pengawas Pemilu. Revitalisasi peran itu dapat dilihat dari adanya kewenangan Bawaslu untuk menyelesaikan sengketa administrasi baik sengketa antara para peserta pemilu maupun sengketa antara peserta pemilu dan penyelenggara pemilu. Selain itu untuk meningkatkan kewibawaan Bawaslu, maka UU.8 tahun 2012 mengatur bahwa keputusan Bawaslu dalam menyelesaikan sengketa pemilu bersifat final dan mengikat kecuali dalam 2 sengketa, yakni sengketa ynag muncul dalam proses verifisikasi partai politik menjadi peserta pemilu akibat dikeluarkannya SK KPU tentang penetapan peserta partai politik dan verifikasi calon legislatif oleh KPU.

Undang-Undang ini menjelaskan bahwa dalam dua perkara tersebut, keputusan Bawaslu tidak final dan mengikat sehingga bagi para pihak yang tidak puas dengan keputusan Bawaslu atau tetap masih dirugikan dengan keputusan KPU, maka diberi hak untuk mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Dalam kajian hukum administrasi, posisi Bawaslu dalam perkara verifikasi parpol dan verifikasi calon legislative adalah sebagai Banding Administrasi (Administratif Beroef).

Artinya apabila partai politik tertentu atau calon legislative tertentu yang merasa

dirugikan dengan terbitnya SK KPU tentang dua verifikasi tersebut, maka terlebih dahulu mengajukan penyeleseian sengketa di Bawaslu. Apabila keputusan Bawaslu tersebut tidak diterima, maka para pihak tersebut dapat mengajukan Banding ke PT TUN.

Konstruksi posisi, tugas dan wewenang Bawaslu seperti dalam Undang-Undang Pemilu tersebut di atas belum diatur dalam ketentuan yang mengatur tentang Pemilukada. Posisi Bawaslu dalam pemilukada belum memiliki fungsi yang jelas dan sistematis dalam menyelesaikan sengketa pemilukada, termasuk juga posisi dan tugas Bawaslu yang tidak tegas dan kuat dalam penyeleseian sengketa penetapan pasangan calon antara pasangan kandidat dan KPU selaku pihak yang menerbitkan Surat Keputusan. Selama ini Bawaslu atau Panwaslu hanya menyatakan sikap menerima atau tidak menerima Keputusan KPU tentang penetapan pasangan calon, namun tanpa didahului oleh tindakan atau proses pengawasan terhadap proses keluarnya SK tersebut.

Ketiadaan konsepsi posisi dan kewenangan Bawaslu dalam pemilukada tersebut menjadi kajian dalam penelitian ini. Beberapa responden dalam penelitian ini merasa dirugikan dengan posisi Bawaslu atau Panwaslu di daerah yang tidak berperan secara aktif dan maksimal dalam penyelesaian sengketa dalam pemilukada terutama dalam sengketa penetapan pasangan calon. Andi Maddusila misalnya, mantan kandidat Bupati Gowa yang maju pada pemilukada tahun 2010 menyatakan kekecewaannya karena pengaduan atau laporannya dalam sengketa penetapan pasangan calon ketika itu tidak mampu diselesaikan secara maksimal oleh Panwaslu kabupaten Gowa.

Oleh karena itu diperlukan perbaikan Undang-Undang Pemilukada yang mengatur secara jelas posisi dan wewenang Bawaslu dalam proses penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon dalam pemilukada. Jufri, anggota Bawaslu DKI dan Daniel Zuchron anggota Bawaslu Pusat172 mengatakan bahwa sudah saatnya Bawaslu daerah memiliki peran dan tugas yang sama dengan Bawaslu Pusat dalam penanganan sengketa pemilukada. Menurut Jufri, terlebih lagi saat ini secara organisasi, Bawaslu tingkat provinsi tidak bersifat ad hoc, namun sudah dipermanenkan selama lima tahun sehingga masih cukup waktu dan keberlanjutan dan penanganan sengketa pemilukada. Dalam konteks sengketa penetapan pasangan calon dalam pemilukada, maka posisi Bawaslu adalah menyelesaikan sengketa administrasi yang muncul akibat keluarnya SK Penetapan Pasangan calon oleh KPUD yang mengakibatkan kerugian bagi pasangan calon yang tidak diloloskan. Dalam menangani sengketa tersebut, Bawaslu berwenang untuk a. menerima dan mengkaji laporan atau temuan; dan b. mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat.

Memfungsikan Bawaslu dalam penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon adalah ketika Bawaslu terlebih dahulu menangani keberatan atau laporan pasangan calon yang dirugikan atas terbitnya SK Penetapan oleh KPUD. Apabila pasangan yang mengajukan sengketa ke Bawaslu tersebut tidak puas dengan proses pemeriksaan dan keputusan Bawaslu, maka pasangan tersebut dapat mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Skema penyelesaian sengketa

172Wawancara dengan Daniel Zuchron pada tanggal 8 Maret 2013 di kantor Bawaslu Pusat, Jakarta

penetapan pasangan calon ini menempatkan Bawaslu sebagai Banding Administratif (Administratif Beroef).

Untuk menjaga prinsip penyelesaian sengketa secara efisien dan efektif, maka maka keputusan terhadap proses Banding Administratif sengketa penetapan pasangan calon harus diterbitkan Bawaslu paling lambat selama 7 hari sejak masuknya laporan ke Bawaslu. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dengan Keputusan Bawaslu tersebut, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. PT TUN menyelesaikan sengketa penetapan pasangan calon pemilukada tersebut paling lambat 21 hari. Apabila sengketa penetapan pasangan calon pemilukada tersebut adalah sengketa pemilukada Kabupaten Kota, maka putusan PT TUN bersifat final dan mengikat atau tidak bisa diajukan kasasi lagi.

Sementara apabila sengketa penetapan pasangan calon tersebut adalah sengketa pemilukada di tingkat provinsi, maka putusan PT TUN dapat diajukan upaya hukum kasasi dan Mahkamah Agung harus menyelesaikan dan memutus sengketa penetapan pasangan calon pilkada tersebut paling lambat 30 hari terhitung sejak perkara tersebut didaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung.

Menurut Penulis penempatan Bawaslu sebagai salah satu institusi penting dalam proses penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon dilatarbelakangi oleh beberapa pemikiran. Pertama, sudah saatnya Bawaslu diperkuat fungsinya dalam kapasitasnya sebagai salah satu penyelenggara pemilu, selain KPUD.

Refungsionalisasi Bawaslu penting untuk menghapus kesan masyarakat selama ini bahwa Bawaslu dan Panwaslu hanya merupakan lembaga “cap stempel” yang adanya sama dengan tidak adanya. Dengan menempatkan Bawaslu sebagai Banding