• Tidak ada hasil yang ditemukan

Larangan Pengasingan Tanah Menurut Hukum Agraria KolonialKolonial

OLEH ORANG ASING

3. Larangan Pengasingan Tanah Menurut Hukum Agraria KolonialKolonial

Hukum agraria kolonial mengenal politik hukum larangan pengasingan tanah yang termuat di dalam Vervreemdingsverbod (Stbl. 1875 No. 179), Pasal 12 Stbl. 1912 No. 422, serta Pasal 17 dan 18 Agrarisch Reglement Sumatra’s Westkust (Reglemen Agraria untuk Sumatra Barat).

a. Vervreemdingsverbod (Stbl. 1875 No. 179)

Peraturan tersebut memuat larangan pengasingan tanah hak milik (erfelijkindividueel gebruiksrecht) oleh bangsa Indonesia kepada bukan bangsa Indonesia.17 Hak milik yang dimaksudkan di sini adalah hak tanah adat atau hak-hak atas tanah menurut hukum adat, tidak termasuk hak atas tanah barat. Orang asing yang dimaksudkan di sini adalah orang yang bukan golongan rakyat Indonesia, bisa golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, serta golongan Timur Asing. Orang asing dilarang memperoleh tanah yang berstatus tanah hak-hak adat.

Tujuan diadakannya aturan larangan pengasingan tanah tanah seperti yang dimuat dalam Stbl. 1875 No.179 oleh pemerintah

17 Sudikno Mertokusumo, Perundang-undangan Agraria..., Op. Cit., hlm. 8. Sudikno menggunakan istilah “bangsa Indonesia”, sebenarnya tidak tepat, kemudian Sudargo Gautama menggunakan istilah “ orang golongan rakyat Indonesia”. Pada ketentuan Pasal 163 IS mengatur penduduk Indonesia sebagai kaula Belanda terdiri dari tiga golongan, yaitu golongan eropa dan yang dipersamakan, golongan Timur Asing, dan golongan orang Indonesia asli atau golongan bumiputra (indigenous people). Mestinya menggunakan istilah orang Indonesia asli atau bumiputra, ataupun orang golongan rakyat Indonesia. Lihat Gouwgioksiong, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Djakarta: PT Kinta, 1963, hlm. 55; Bagir Manan, Hukum Kewarganegaraan Indonesia dalam UU No. 12 Tahun 2006, Yogyakarta: FH UII Press, 2009, hlm. 16.

Belanda adalah: 1) untuk melindungi bangsa Indonesia yang kedudukan ekonominya lebih lemah dibandingkan dengan bukan Bangsa Indonesia. Untuk menghindarkan rakyat petani Indonesia pada umumnya jangan sampai menjadi mangsanya pengusaha-pengusaha bukan Bangsa Indonesia yang bermodal; 2) untuk kepentingan pemerintah Belanda sendiri, yaitu untuk mencegah hilangnya hasil kopi di daerah Pasuruhan.18

Sudikno Mertokusumo lebih lanjut menjelaskan, bahwa dahulu banyak pengusaha-pengusaha partikelir bangsa Eropa di Karesidenan Pasuruhan telah membeli hak-hak rakyat atas tanah belukar atau di bekas perkebunan-perkebunan kopi gubernemen, kemudian ditanami kopi. Pemerintah Belanda melihat tindakan-tindakan para pengusaha-pengusaha Eropa itu sebagai ancaman bahaya bagi tanaman kopi Gubernemen. Oleh karena itu, diadakanlah peraturan tentang larangan pengasingan tanah oleh penduduk Indonesia kepada bukan penduduk Indonesia. Pengasingan tanah yang dimaksudkan oleh Stbl. 1875 No. 179 itu ialah pelepasan atau pengoperan baik yang langsung maupun yang tidak langsung.

Pengasingan secara langsung, misalnya dengan jalan penjualan, penghibahan, pewarisan dengan jalan legaat (yaitu penunjukan sebidang tanah milik tertentu kepada seseorang) atau dengan surat wasiat (testament). Apabila terjadi penjualan tanah milik si Ali (penduduk Indonesia) kepada si Baba (penduduk Tionghoa - bukan penduduk Indonesia) itu merupakan perbuatan yang terlarang.

Pengasingan secara tidak langsung terjadi dengan jalan penyelundupan hukum. Penyelundupan hukum menggunakan

18 Sudikno Mertokusumo, Perundang-undangan Agraria…, Ibid, hlm. 8; Diberitahukan juga oleh van Vollenhoven, bahwa aturan larangan kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing dikeluarkan berhubung dengan adanya pembelian-pembelian tanah rakyat oleh orang-orang bukan Indonesia di Minahasa pada kira-kira tahun 1874 (Sudargo Gautama, Hukum Agraria..., Op. Cit., hlm. 53)

“kedok” atau “strooman”,. Cara pengasingan tanah ini sering disebut sistem strooman, atau sistem Ali Baba. Orang Indonesia berkedudukan sebagai kedok atau strooman. Contohnya seorang bukan orang Indonesia, yaitu orang Tionghoa membeli tanah dari orang Indonesia, tetapi jual-beli itu dilakukan atas nama isterinya (orang Indonesia) yang dikawininya (tidak resmi). Isterinya itu yang sesungguhnya hanya merupakan kedok, disuruhnya memberi kuasa sepenuhnva kepada orang Tionghoa untuk mengurus segala sesuatu mengenai tanah yang telah dibelinya itu, sehingga di dalam praktiknya yang berkuasa sepenuhnya ialah orang Tionghoa. Praktik demikian dalam kenyataannya orang Tionghoa itulah yang memiliki tanah tersebut, hanya resminya saja atau formalnya saja yang membeli isterinya yang tidak sah itu. Pengasingan tanah semacam ini terlarang juga.

Menurut Sudikno Mertikusumo terdapat empat cara peralihan tanah milik bangsa Indonesia kepada bukan bangsa Indonesia, yaitu perkawinan campuran, pewarisan abintestato, perubahan status, dan naturalisasi.19

1) Perkawinan campuran antara perempuan bangsa Indonesia dengan laki-laki bukan bangsa Indonesia, maka perempuan bangsa Indonesia itu mengikuti status suaminya di semua lapangan. Ia lalu berubah menjadi bukan bangsa Indonesia. Akibat perkawinan itu terjadilah percampuran harta, maka suaminya bukan bangsa Indonesia ikut pula memiliki tanah milik isterinya.

2) Pewarisan abintestato. Misalnya saja seorang anak yang tidak sah antara ibu bangsa Indonesia dan seorang laki-laki bangsa Eropa setelah diakui, maka anak itu mempunyai status bangsa

19 Sudikno Mertokusumo, Perundang-undangan Agraria..., Ibid., hlm. 9-10; lihat juga Sudargo Gautama, Hukum Agraria..., Op. Cit., hlm. 58-60.

Eropa dan dapat mewaris tanah dari ibunya bangsa Indonesia. 3) Perubahan status. Misalnya seorang bangsa Indonesia

memperoleh persamaan hak dengan orang-orang Eropa ( gelijk-stelling) maka tanah yang dimiliki oleh bangsa Indonesia itu tetap dimilikinya setelah perubahan status itu. Demikian pula kalau seorang bangsa Eropa telah “lebur” (oplossing, assimilatie) menjadi bangsa Indonesia, maka bangsa Eropa itu yang semula tidak boleh memperoleh tanah milik bangsa Indonesia, setelah peleburan ia dapat memperoleh tanah milik bangsa Indonesia.

4) Naturalisasi (pewarga-negaraan). Bagi seorang golongan penduduk Indonesia yang memperoleh kewarganegaraan Belanda atau kewarganegaraan Eropa, maka tanah yang telah dimilikinya itu tetap menjadi miliknya setelah perubahan kewarganegaraan.

b. Pasal 12 Stbl. 1912 No. 422 tentang Peraturan Tanah Partikelir sebelah Barat Tjimanuk (Reglement Particulariere Landerijen Bewesten de Tjimanuk)

Selain ketentuan pengasingan tanah dalam Stbl. 1875 No. 179, ditemukan aturan yang sejalan dengan itu, yaitu Pasal 12 Stbl. 1912 No. 422 tentang Peraturan Tanah Partikelir sebelah Barat Tjimanuk. Pasal ini menentukan hak usaha di atas tanah-tanah partikelir. Hak usaha di sini tidak dapat dipunyai oleh orang-orang dari golongan Eropa, kecuali perolehannya karena pewarisan tanpa wasiat dan karena percampuran harta karena perkawinan. Perolehan hak yang demikianpun dalam waktu dua tahun sejak diperolehnya hak harus dialihkan kepada orang yang memenuhi syarat. Demikian juga bagi orang golongan rakyat Indonesia yang kehilangan statusnya (misalnya dipersamakan dengan golongan Eropa) harus melepaskan

hak usahanya dalam waktu dua tahun.20

Pasal 12 ayat (7) Stbl. 1912 No. 422 menentukan bahwa tiap pengasingan atau penghibahan oleh orang golongan rakyat Indonesia kepada orang bukan golongan rakyat Indonesia adalah batal demi hukum.21 Artinya ketentuan ini tegas melarang orang golongan rakyat Indonesia menjual ataupun mengalihkan tanah kepada orang bukan golongan rakyat Indonesia, kecuali tentunya kepada orang golongan rakyat Timur Asing, dengan ancaman batal demi hukum perbuatannya tersebut.

Tujuan pengaturan Pasal 12 Stbl. 1912 No. 422 tidak jelas, dalam literatur tidak diketemukan. Namun jika dilihat dari sejarah penggolongan penduduk Hindia Belanda menjadi tiga golongan, di sini ada unsur diskriminasi perlakuan terhadap masing-masing golongan rakyat. Kemudian yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah mengapa untuk golongan Timur Asing tidak dilarang menguasai hak usaha di atas tanah partikelir, sementara golongan orang Eropa tidak diperkenankan? Jawabannya, mungkin Pemerintah Belanda berpandangan bahwa orang Eropa sebagai bangsa superior tidak pantas sebagai subjek hak usaha di atas tanah partikelir. Mengingat orang-orang sebagai subjek hak usaha yang berada di dalam lingkungan tanah partikelir adalah bawahan atau budak bagi pemilik tanah partikelir. Orang golongan Eropa ataupun yang dipersamakan tidak mungkin menjadi budak.

c. Pasal 17 dan 18 Stbl. l9l5 No. 98, tentang Agrarisch Reglement Sumatra’s Westkust

Ketentuan Pasal l7 dan 18 Stbl. l9l5 No. 98 sama dengan ketentuan dalam Stbl. 1912 No. 422, Pasal 12 ayat 4 (sub 4), bahwa

20 Gouwgioksiong, Tafsiran...,Op. Cit., hlm. 55. Pasal 12 ayat( 4) Stbl. 1912 No. 422

kepada orang Eropa yang memperoleh tanah usaha karena warisan abinstestato, perkawinan campuran, atau kepada orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka yang kehilangan status mereka, harus mengalihkannya kepada orang-orang yang dapat memenuhi syarat-syarat dalam waktu dua tahun.

Terkait politik hukum larangan pengasingan tanah yang diciptakan Pemerintah Hindia Belanda, termasuk larangan penjualan tanah partikelir juga kontrak politik yang mengandung unsur larangan pengasingan tanah, dan pemberian tanah kepada pemodal asing untuk usaha pertanian dan perkebunan, baik oleh Gubernur Jenderal maupun raja/pemerintah swapraja, menyebabkan penduduk Indonesia tetap menjadi buruh/petani tidak bertanah.

Larangan pengasingan tanah seperti telah disinggung di atas, yang diatur dalam Stbl. 1875 No. l79 (vervreemdingsverbod), dengan beberapa pengecualian misalnya, jika tanah Indonesia beralih pada orang bukan Indonesia, karena: 1) percampuran budal (boedelmenging) berkenaan dengan perkawinan campuran; 2) pewarisan abintestato; 3) perubahan status, atau penundukan sukarela (Stbl. 1917 No. 12 Pasal l6). Perubahan status disebabkan misalnya karena: naturalisasi, gelijkstelling, perkawinan campuran (umpamanya perempuan Indonesia dengan lelaki bukan Indonesia), pengakuan (umpama, seorang anak Indonesia memperoleh status Eropah karena pengakuan), dan sebagainya.

Selain itu, larangan pengasingan tanah juga diatur dalam peraturan-peraturan (untuk beberapa hal sudah disinggung di atas) berikut, yaitu:

1) Stbl. 1872 No. 117, Pasal 19: Agrarisch-eigendom tidak dapat diasingkan kepada orang-orang bukan Indonesia terkecuali dengan penetapan daripada (Hoofd Gewestelijk Bestuur). 2) Stbl. 1906 No. 83, tanggal 1 Maret 1906 tentang Peraturan Desa

(Inlandsche Gementee Ordonnantie).22Tanah milik rakyat tidak dimungkinkan dioper kepada orang asing, kecuali mendapat izin dari dewan perwakilan rakyat kabupaten.23

3) Stbl. 1906 No. 431, Pasal 2: larangan mengasingkan tanah-tanah di Lombok oleh orang-orang Indonesia kepada orang-orang bukan Indonesia, oleh orang-orang Islam kepada orang-orang beragama Hindu, oleh orang Hindu kepada orang-orang Islam. 4) Stbl. 1912 No. 442, Pasal 12 ayat (4): Reglemen Tanah-tanah

Partikelir Sebelah Barat Sungai Cimanuk, mengatur bahwa kepada orang Eropa yang memperoleh tanah usaha karena warisan abinstestato, perkawinan campuran, atau kepada orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka yang kehilangan status mereka, harus mengalihkannya kepada orang-orang yang dapat memenuhi syarat-syarat, dalam waktu 2 tahun. Ketentuan ini menjadi cikal bakal rumusan Pasal 21 ayat (3) UUPA.

5) Stbl. 1912 No. 442, Pasal 12 ayat (7): bahwa tiap-tiap pembebanan, pengasingan, dan penghibahan hak usaha oleh orang Indonesia kepada orang bukan Indonesia (Eropa dan yang dipersamakan dengan orang Indonesia, yaitu Timur Asing) batal demi hukum.24 Ketentuan ini menjadi cikal bakal rumusan Pasal 26 ayat (2) UUPA.

6) Stbl. l9l5 No. 98, tentang Agrarisch Reglement Sumatra’s Westkust. Ketentuan Pasal l7-18-nya sesuai dengan ketentuan dalam Stbl. 1912 No. 422, Pasal 12 ayat 4 (sub 4): bahwa

22 Sudikno Mertokusumo, Perundang-undangan Agraria..., Op. Cit., hlm. 12; Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria..., Op. Cit., hlm. 89.

23 Pasal 10 jo. 11 Inlandsche Gementee Ordonnantie (Mochammad Tauchid,

Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, Yogyakarta: STPN Press, 2009, hlm. 460.)

kepada orang Eropa yang memperoleh tanah usaha karena warisan abinstestato, perkawinan campuran, atau kepada orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka yang kehilangan status mereka, harus mengalihkannya kepada orang-orang yang dapat memenuhi syarat-syarat dalam waktu dua tahun. Ketentuan ini menjadi cikal bakal rumusan Pasal 21 ayat (3) UUPA.

7) Stbl. 1913 No. 702 tentang landerijenbezitsrecht (yaitu suatu hak istimewa yang diberikan khusus kepada orang-orang Timur Asing mirip kepada erfpachtsrecht menurut B.W., tetapi yang hanya terdapat di atas bekas tanah-tanah partikelir yang telah dibeli kembali oleh pemerintah). Pasal 3 ayat (3) menentukan, bahwa landerijenbezitrecht tidak boleh dimiliki oleh “orang-orang Eropa”. Selanjutnya terdapat ketentuan yang sesuai dengan Pasal 12 ayat (4) sub 4 Stbl. 1912 No. 422, bahwa orang-orang Eropa yang memperolehnya karena warisan abintestato, perkawinan campuran, atau orang Timur Asing yang mempunyai landerijenbezitsrecht dan kemudian memperoleh status Eropa (misalnya karena gelijkstelling/ persamaan), diberikan tempo dua tahun untuk melepaskan hak tersebut atau meminta titel barat atas tanah bersangkutan. Ketentuan ini menjadi cikal bakal rumusan Pasal 21 ayat (3) UUPA.

8) Stbl. 1923 No. 475, Pasal 2 ayat (1) dan (2) mengatur bahwa penyerahan tanah-tanah untuk tanaman keras (over jarige beplantingen) di daerah Swapraja luar Jawa dan Madura oleh orang-orang Indonesia kepada orang bukan Indonesia hanya diperbolehkan dengan persetujuan Kepala Pemerintah Daerah (Hoofd Gewestelijk Bestuur).

Tampak dari beberapa peraturan tersebut di atas, bahwa pemerintah Hindia Belanda dengan teguh berpegang pada prinsip politik hukum larangan pengasingan tanah. Semua ketentuan

larangan pengasingan tanah tersebut di atas diciptakan karena pemerintah ingin mengontrol supaya tanah tidak jatuh pada pemodal yang tidak diinginkannya, dan bukan untuk melindungi kepentingan penduduk Indonesia. Hal ini sejalan dengan politik agraria kolonial yang bercirikan dominasi. Pemerintah Hindia Belanda mendominasi penggunaan dan pemanfaatan tanah di Hindia Belanda untuk kepentingannya, yang didukung oleh kekuatan militer.

Selain dominasi penggunaan dan pemanfaatan tanah, politik agraria kolonial menonjolkan unsur diskriminasi yang dapat disimak dari aturan larangan pengasingan tanah yang termuat dalam Pasal 2 Stbl. 1906 No. 431, Pasal 12 ayat (4) & (7) Stbl. 1912 No. 442, Pasal 17 & 18 Stbl. l9l5 No. 98, dan Stbl. 1913 No. 702 tersebut di atas. Aturan-aturan tersebut melarang penduduk golongan Eropa menjadi pemegang hak usaha (hak atas tanah di atas tanah partikelir), baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pemerintah Hindia Belanda memandang bahwa penduduk golongan Eropa sebagai golongan etnis superior tidak mungkin menjadi pekerja/buruh dengan status pemegang hak usaha.

Aturan larangan pengasingan tanah, menyebabkan orang Indonesia hanya bisa menjual tanahnya kepada bangsanya sendiri dengan harga tanah murah. Kalaupun bisa menjual kepada orang asing, dengan sistem kedok, atau penyerahan hak kepada pemerintah dengan menerima ganti rugi, itupun harganya murah. Penjualan tanah kepada golongan bangsanya dengan harga murah, karena pada umumnya ia tidak mempunyai kemampuan secara ekonomi. Hal demikian, konsekuensi dari politik agraria kolonial yang bercirikan eksploitasi atau pemerasan sumber kekayaan tanah jajahan untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Penduduk bumi putra diperas tenaga dan hasil produksinya, termasuk nilai ekonomis dari tanah.

Mengingat juga, eratnya hubungan para petani dengan tanahnya, yang merupakan hubungan batin (magischreligieus verband),

maka sekalipun tanahnya sudah sangat sempit dan tidak lagi dapat memberi hidup padanya, mereka tetap tidak rela melepaskannya. Kepemilikan tanah yang sempit membuat para petani tidak dapat lagi “hidup” dari hasil tanahnya. Mereka terpaksa menjual tenaganya menjadi buruh pertanian/perkebunan untuk mencari upah sekedar menyambung penghidupannya. Hal demikian terjadi, akibat dari politik agraria kolonial yang bercirikan dependensi/ ketergantungan masyarakat jajahan terhadap penjajah. Penduduk bumi putra dibuat hidup miskin (baik dari sisi pengetahuan, modal, maupun teknologi), sehingga sangat tergantung sama penjajah.

Pada saat itu, ada kekhawatiran dari pihak pemerintah kolonial apabila penduduk Indonesia diperkenankan menjual tanahnya kepada orang asing, maka tanahnya akan habis. Sebenarnya bukan itu kekhawatirannya, kalau para petani tersebut kehabisan tanahnya, maka dikhawatirkan akan muncul satu “barisan buruh” yang membahayakan bagi keberlangsungan hidup perusahaan dan membahayakan juga bagi kedudukan pemerintah kolonial.

Pemerintah kolonial tetap menghendaki adanya tenaga penggarap yang murah, tetapi jiwanya tetap “borjuis kecil” dengan jiwa feodal yang masih kuat berakar. Mereka sangat terikat dengan tanahnya yang dicintai meskipun tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup. “Proses proletarisering” di Indonesia inilah yang perlu dipertahankan untuk keselamatan kaum pemodal dan pemerintah Kolonial. Sistem ini menyebabkan banyak petani di Indonesia yang statusnya setengah buruh dan setengah tani. Cara demikian ini, diharapkan para petani tersebut tidak akan dapat memperjuangkan nasibnya sebagai buruh dan juga tidak dapat lagi mendapatkan hasil dari tanahnya, sebab keduanya tetap dalam kontrol pemerintah kolonial.

Atas dasar kondisi bahwa banyak penduduk Indonesia yang menjadi setengah buruh dan setengah tani serta adanya desakan dari berbagai pihak, maka pada tahun 1930 dibentuklah sebuah komisi.

Komisi tersebut diberi nama Komisi Spit, yang bertugas mempelajari kemungkinan peninjauan politik yang lama, berhubung dengan kemungkinan golongan orang asing (terutama Belanda Indo) diberikan hak tanah dan dapat membeli tanah dari orang Indonesia. Komisi ini memberikan pendapatnya bahwa politik yang lama (Grondvervreemdingsverbod) itu harus dipertahankan. Alasannya, untuk melindungi rakyat Indonesia sebagai golongan yang lemah ekonominya. Sebenarnya alasan proletarisering di atas itulah yang menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda harus terus “membela” hak rakyat Indonesia.

Menurut Sudargo Gautama Grondvervreemdingsverbod sebenarnya bertentangan dengan asas-asas hukum tanah antar golongan.25 Hukum tanah antar golongan dikenal asas vrij grondenverkeer (lalu lintas tanah bebas), dan tanah memiliki status tersendiri.26 Artinya tanah dapat dimiliki oleh orang dari golongan manapun, dan hukum tanahnya tidak berubah mengikuti pemegang haknya. Praktiknya, Pemerintah Hindia Belanda bertindak semaunya, untuk orang Eropa diperbolehkan memiliki tanah-tanah Indonesia yang kemudian didaftarkan sebagai tanah-tanah Eropa,

25 Sudargo Gautama, Hukum Agraria...,Op. Cit., hlm. 20.

26 Tanah mempunyai statuut tersendiri merupakan asas yang terkenal dalam inter-gentiele grondenregel (hukum tanah antar golongan). Asas

ini pada pokoknya menentukan, bahwa statuut atas tanah terlepas sama sekali (onafhankelijk) dari hukum orang yang memegangnya. Hukum atas tanah tetap tidak berubah, bilamana tanah tersebut dipegang oleh orang yang tunduk pada hukum yang lain. Dapat dikatakan bahwa tanah ini mempunyai suatu statuut tersendiri. Pernah dikatakan pula, bahwa tanah ini seolah-olah mempunyai suatu “landaard” atau golongan rakyat tersendiri. Demikian, dikenal tiga macam tanah: 1) tanah-tanah Eropah (yaitu yang terdaftar menurut

overschrijvingsordonnantie); 2) tanah-tanah Indonesia (yaitu yang di bawah hukum-adat); dan 3) tanah-tanah Tionghoa misalnya

landerijenbezitsrecht. Atas tanah-tanah eropah hanya dapat diletakkan hak-hak Eropah, atas tanah-tanah Indonesia hanya hak-hak Indonesia. (Sudargo Gautama, Hukum Agraria..., Ibid., hlm.17.)

misalnya tanah agrarisch eigendom yang jatuh pada orang Eropa akan diubah menjadi eigendom, tanah “grant” yang jatuh pada orang Eropa dikonversi menjadi hak erfpacht.27

Politik hukum aturan larangan pengasingan tanah tersebut di atas menurut Mochammad Tauchid lebih disempurnakan lagi dengan tidak didirikannya perindustrian yang besar-besar di Hindia Belanda.28 Lebih lanjut dikatakan perindustrian yang besar-besar dikhawatirkan dapat melahirkan kelas buruh yang sadar dan konsekuen dalam perjuangannya, sehingga akan membahayakan kedudukan kaum pemodal di Hindia Belanda. Hindia Belanda harus tetap dipertahankan seperti apa adanya supaya terus menjadi sumber bahan-bahan mentah yang berharga di dunia dengan persediaan tenaga yang cukup besar dan murah.

Uraian di atas kiranya dapat menjelaskan politik agraria Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia. Sebuah politik yang menjamin berkembangnya modal pertikelir asing sebagai modal raksasa dengan mengorbankan rakyat. Semua peraturan perundang-undangan pertanahan ditujukan untuk politik itu, yaitu memberi keuntungan sebesar-besarnya kepada pemodal raksasa, tidak terkecuali aturan-aturan larangan pengasingan tanah dari penduduk Indonesia kepada orang asing, dengan mengorbankan kepentingan rakyat Indonesia. Untuk melancarkan politik agrarianya itu disediakanlah peraturan perundang-undangan selengkap-lengkapnya yang sesuai dengan keadaan dan objeknya masing-masing bagi kepentingan pemodal asing.

Mengutip pendapatnya Mochammad Tauchid29 selalu ada jalan bagi pelanggaran undang-undang untuk mensyahkan tindakan yang

27 Sudargo Gautama, Hukum Agraria..., Ibid., hlm. 26,28 28 Mochammad Tauchid, Masalah Agraria..., Op. Cit., hlm. 29. 29 Mochammad Tauchid, Masalah Agraria..., Ibid., hlm. 50.

melanggar hukum, yang onwettig menjadi wettig, yang tidak legal menjadi legal. Mengutip istilah yang sering digunakan oleh Joyo Winoto yaitu kecurangan yang diperbolehkan (innocenst fraud),30 demi memenuhi kepentingan pemodal asing.

Kondisi di atas jika dikaji dari teori kedaulatan sudah sewajarnya jika pemerintah Kolonial Belanda berlaku dan bertindak demikian, yaitu memberikan hak atas tanah kepada orang asing baik di Jawa-Madura maupun di Luar Jawa-Jawa-Madura demi kepentingan pemerintah Kolonial Belanda beserta kaum pemodalnya. Pemerintah Kolonial Belanda memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dan menentukan penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria yang ada dalam kekuasaannya.

Pemberian hak atas tanah kepada orang asing baik di Jawa-Madura maupun di Luar Jawa-Madura oleh Pemerintah Kolonial Belanda dalam hal ini oleh Gubernur Jenderal, jika dikaji dari teori hak milik telah sejalan. Mengingat adanya asas domein negara atas tanah, yaitu tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan oleh penduduk Indonesia sebagai miliknya adalah tanah milik kolonial Belanda. Berdasarkan domein negara itulah, Gubernur Jenderal Kolonial Belanda dapat memberikan hak-hak atas tanah kepada orang asing (rakyat golongan Eropa) baik kepada orang perorang maupun badan hukum.

Kewenangan Pemerintah Kolonial Belanda untuk mengatur dan menentukan penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria yang ada dalam kekuasaannya, termasuk kewenangan pemberian hak atas tanah kepada orang-orang golongan Eropa, khususnya Belanda tentu dapat dibenarkan juga dari sisi teori negara hukum kesejahteran. Meskipun kesejahteraan itu titik beratnya hanya ditujukan kepada penduduk Hindia Belanda golongan Eropa dan Timur Asing, sementara golongan Bumiputra diabaikan.

B. Pengaturan Larangan Kepemilikan Tanah Hak Milik