• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problematika Pengaturan Kepemilikan Hak Atas Tanah Bagi Orang Asing Bagi Orang Asing

Pemerintah dalam menjalankan ketentuan Pasal 42 dan 45, khususnya dalam menegakkan ketentuan Pasal 9, 21, 26 dan 27 UUPA,24 telah mengeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah (Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982).25 Instruksi ini dikeluarkan atas respon banyaknya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 9 dan 26 UUPA, yaitu praktik pemindahan tanah hak milik kepada orang asing dengan cara penyelundupan hukum.26 Selain itu, penyelundupan hukum terjadi melalui lembaga

24 Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah (PP No. 40 Tahun 1996); PP No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia (PP No. 41 Tahun 1996).

25 Dalam buku Maria SW. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Jakarta: Buku Kompas, 2009, hlm. 17; dan dalam buku Jeremias Lemek, Mencari Keadilan, Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Galangpress, 2007, hlm. 200, 205, 210-212 terdapat kekilafan penulisan nomor Instruksi Menteri Dalam Negeri, yaitu Nomor 23, yang benar Nomor 14.

26 Maria SW. Sumardjono, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, Jakarta: Buku Kompas, 2007, hlm. 14-15. Menurut Maria SW. Sumardjono terdapat enam cara penyelundupan hukum, yaitu melalui perjanjian pemilikan tanah dan surat kuasa, perjanjian opsi, perjanjian

perkawinan yang diatur dalam Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Persoalan harta kekayaan dalam perkawinan, baik harta bersama, harta bawaan maupun harta perolehan membuka peluang besar bagi orang asing untuk mendapatkan dan mempunyai tanah hak milik di Indonesia.27

Pada tataran praktik, Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 ternyata belum dapat mengarahkan orang asing memiliki HP atau HSB, dan mencegah kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing, karena kuasa mutlak yang dibuat notaris terkait akta perjanjian pengikatan jual beli atau yang kemudian lebih dikenal dengan istilah Perjanjian Pendahuluan Jual Beli (PPJB) tidak termasuk yang dilarang penggunaannya. Artinya telah terjadi kesenjangan antara ius constitutum28 dan ius constituendum29 tentang larangan kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing, karena dalam ius constitutum masih terbuka peluang terjadinya kepemilikan tanah hak milik

sewa-menyewa, kuasa menjual, hibah wasiat, dan surat pernyataan ahli waris. Menurut Anita D.A. Kolopaking penyelundupan hukum dilakukan dengan memakai nama pihak WNI melalui perkawinan yang biasanya melalui perkawinan sirih, menggunakan nama wanita WNI, yang diikat dengan perjanjian melalui Notaris antara WNA dengan pasangan wanita WNI dimana jika akan melakukan pelepasan hak kepemilikan HM atas tanah tersebut harus dilakukan dengan kedua pasangan sirih ini. Sehingga wanita WNI yang namanya sebagai pemegang hak atas tanah merasa terikat dengan perjanjian Trustee

yang menjadi dasar dibuatkan perjanjian nominee atas namanya dalam kepemilikan hak atas tanah tersebut, yang sebenarnya milik WNA dimaksud. Konsep ini biasanya dibuat oleh Notaris. Anita D.A. Kolopaking, Kepemilikan Tanah Hak Milik Oleh WNA dan Badan Hukum Dikaitkan Dengan Penggunaan Nominee Sebagai Bentuk Penyelundupan Hukum, Disertasi UNPAD Bandung, 2009. hlm. 15, 55. 27 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2010, hlm., 109-110.

28 adalah seluruh peraturan perundang-undangan termasuk peraturan kebijakan yang berlaku terkait dengan hak-hak penguasaan atas tanah di Indonesia pada saat ini.

29 adalah hukum yang akan diberlakukan, yang terjiwai oleh semangat larangan kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing.

oleh orang asing. Hal ini menyebabkan terjadi kesenjangan antara yang seharusnya (das Sollen) dengan kenyataan (das Sain). Secara ius constituendum seyogyanya orang asing tidak bisa mempunyai tanah hak milik, namun secara ius constitutum (berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang) masih memungkinkan orang asing melakukan kepemilikan tanah hak milik. Ius constituendum dalam hal ini adalah hukum yang dicita-citakan30 atau dalam tataran kaidah/norma hukum adalah aturan larangan kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing untuk melindungi hak-hak atas tanah WNI, sehingga tidak ada sejengkal tanah hak milik yang dipunyai orang asing.

Seharusnya pengaturan hak atas tanah bagi orang asing dapat menjamin perlindungan hukum terhadap hak-hak atas tanah WNI dari eksploitasi asing, sehingga tidak ada orang asing yang bisa mempunyai tanah hak milik. Kesenjangan ini bisa terjadi karena selain adanya kelemahan dalam aturan lembaga kuasa mutlak, pemerintah banyak mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang justru tidak konsisten/tidak mendukung posisi Pasal 9 ayat (1), Pasal 21 ayat (1) dan (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA, sebagai politik hukum larangan kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing. Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan cenderung mendorong terjadinya kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing. Peraturan tersebut, misalnya perizinan pemindahan hak, kemudahan perolehan tanah, PPJB, perantaraan penggunaan tanah, harta benda dalam perkawinan, izin majelis kehormatan notaris, izin tempat tinggal bagi orang asing, dan bangun guna serah.

Selain munculnya peraturan perundang-undangan yang tidak konsisten seperti uraian di atas, pada sisi penegakan hukum ternyata putusannya tidak seperti yang diharapkan. Putusan pengadilan

tidak seperti yang diharapkan dalam menghadapi peristiwa konkret terindikasi adanya beberapa putusan yang belum sejalan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Putusan demikian, mungkin juga disebabkan belum diaturnya lembaga/ tatacara penertiban tanah demi tegaknya ketentuan Pasal 21 ayat (3), Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 27 huruf a angka 4 UUPA.

Peraturan perundang-undangan yang berpotensi memperlemah UUPA, putusan pengadilan tidak seperti yang diharapkan, dan belum diaturnya lembaga atau tatacara penertiban tanah yang terkena aturan Pasal 21 ayat (3), 26 ayat (2), dan Pasal 27 huruf a angka 4 UUPA pada tataran praktik berimplikasi sering terjadinya penyelundupan hukum larangan kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing. Contoh putusan pengadilan yang tidak sejalan dengan Pasal 26 ayat (2) UUPA adalah Putusan PN Denpasar No. 368/Pdt.G/2005/ PN.Dps., tanggal 21 Juni 2006 jo. No. 31/Pdt/2007/PT.Dps., tanggal 13 Juni 2007 jo. No.170 K/Pdt/ 2008, tanggal 10 September 2009 jo. No. 302 PK/Pdt/2011, tanggal 30 September 2011 perkara antara Michael Alfred Emil Staeck dan Kerstin Helena Staeck sebagai pengugat/ tergugat rekonvensi melawan Sitarasmi Margana sebagai tergugat/ penggugat rekonvensi).

Tentunya hal itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pelaksanaan Pasal 42 dan 45 UUPA serta penegakan asas nasionalitas dan kebangsaan supaya tanah hak milik tidak dipunyai orang asing, dan orang asing hanya mempunyai HP dan HSB, pemerintah seharusnya tidak sekedar mengeluarkan Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982, PP No. 40 Tahun 1996, dan PP No. 41 Tahun 1996. Pemerintah seharusnya mengeluar-kan juga ketentuan untuk menguatkan atau meniadakan lembaga hukum yang bertentangan dengan asas nasionalitas dan kebangsaan yang tercermin dalam politik hukum larangan kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing. Selain itu, penegak hukum juga harus berpegang teguh pada politik hukum

yang telah digariskan.

Penguasaan/kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing, bisa berdampak negatif baik bagi Bangsa dan Negara Indonesia, apalagi kalau penguasaannya itu belum ada batas-batasnya. Kondisi demikian dapat berakibat kedaulatan wilayah Negara Republik Indonesia berpotensi jatuh pada orang asing.

Praktik penguasaan tanah oleh orang asing tidak bisa dihindari, mengingat mobilitasnya dan yang masuk ke wilayah Indonesia terus meningkat di Era globalisasi dewasa ini. Seiring dengan perubahan politik pemerintahan pada Orde Baru, justru banyak tanah dikuasai oleh sekelompok pemodal asing.31 Berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah, seperti deregulasi Oktober 1993 yang menyederhanakan proses pemberian HGU dan HGB32 mendorong penguasaan tanah hak milik oleh orang asing. Pihak yang diuntungkan oleh regulasi pemerintah pada masa Orde Baru sampai tahun 2005 adalah perusahaan besar swasta dan pemerintah sendiri,33 yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.

Orang asing yang masuk ke Indonesia itu, selain mempunyai tujuan wisata, juga berupaya menanamkan modal untuk usaha (berinvestasi) dengan menguasai tanah. Orang asing yang dimaksudkan dalam buku ini adalah orang dalam pengertian natural person/natuurlijke persoon dan bukan badan hukum (legal person/rechtspersoon), meskipun dalam pembahasan di sana-sini

31 Gunawan Wiradi, Prinsip-Prinsip Reforma Agraria Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001, hlm. 163.

32 Maria SW. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif..., Op. Cit., hlm. 23; Endang Suhendar & Ifdhal Kasim, Tanah sebagai komoditas, kajian kritis atas kebijakan pertanahan Orde Baru, Jakarta: Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM), 1996, hlm. 4.

33 Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan, Pendekatan

Ekonomi Politik, Yogyakarta: Kerjasama HuMa dan Magister Hukum UGM, 2007, hlm. 247-305.

tidak lepas darinya. Pengertian orang asing tidak selalu orang bukan warga negara Indonesia, bisa juga orang pribumi/ bukan orang VOC atau orang bukan bumiputra tergantung rezim hukum agraria yang mengaturnya.

Kondisi tersebut di atas membutuhkan adanya perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin kepastian hukum bagi WNI maupun orang asing untuk dapat memiliki tanah di Indonesia. Bagi WNI diberikan kesempatan untuk dapat menjadi subjek hak atas tanah seperti yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA. Sementara bagi orang asing yang berkedudukan di Indonesia diberikan kesempatan untuk dapat menjadi subjek HP dan HSB, yang diatur pada Pasal 42 dan Pasal 45 UUPA. Siapa yang dimaksud dengan orang asing yang berkedudukan di Indonesia, UUPA tidak memberikan penjelasan. Untuk itu harus diketemukan jawabnnya dalam struktur hukum di Indonesia.

Menurut Yusriyadi bahwa struktur hukum di Indonesia ibarat sarang laba-laba. Keteraturan dapat diciptakan dengan banyak peraturan perundang-undangan.34 Antara peraturan satu dengan peraturan yang lainnya saling terkait dan membentuk sebuah sistem hukum seperti sarang laba-laba. Setiap sistem hukum akan menghadapi persoalan kontradiksi, kekosongan hukum dan norma kabur. Peraturan hukum yang saling bertentangan (kontradiksi) perlu upaya konsistensi (sinkronisasi dan harmonisasi), kekosongan hukum perlu pembentukan, dan norma kabur perlu adanya penemuan/interpretasi hukum.

Selain persoalan kontradiksi dan kekaburan/ketidakjelasan aturan hukum, terdapat peraturan yang harus ditindaklanjuti dengan

34 Whitehead, menggunakan istilah “hukum sebagai jejaring”, yang dimaknai proses yang bersifat holistik yang terdiri dari satuan-satuan aktual, lihat H.R Otje Salman S dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Bandung: PT Refika Aditama,

peraturan yang lain, namun belum terwujud, misalnya Pasal 26 ayat (1) UUPA yang harusnya dilaksanakan dengan peraturan pemerintah hingga saat ini belum ada aturan pelaksanaannya.35 Termasuk ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA diperlukan peraturan lebih lanjut mengenai lembaga yang bertanggung-jawab jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dan tata cara pengawasan, penertiban serta pemberdayaannya terhadap tanah yang jatuh pada negara.

Berdasarkan uraian di atas bahwa pengaturan hak atas tanah bagi orang asing dan larangan kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing sewajarnya dilakukan kajian dari sisi politik hukumnya agar tujuan hukum untuk memberikan perlindungan guna mencapai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dapat terwujud. Untuk itu, buku ini akan mengkaji hak atas tanah bagi orang asing suatu tinjauan politik hukum, yang mencakup: 1) larangan pengasingan tanah, dan larangan kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing, 2) inkonsistensi antara aturan pelaksanaan UUPA dan peraturan lainnya dengan aturan larangan kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing, yang terdiri dari: izin pemindahan hak; kuasa mutlak; perolehan hak atas tanah; PPJB; bangun guna serah; perantaraan penguasaan tanah; harta benda dalam perkawinan; izin tinggal tetap bagi orang asing; dan izin majelis kehormatan notaris, 3) putusan pengadilan dan larangan pemindahan hak milik atas tanah kepada orang asing, 4) lembaga pertanahan dan larangan pemindahan hak milik atas tanah kepada orang asing, 5) kepemilikan hak atas tanah oleh orang asing di Kabupaten Pesisir Barat, dan 6) konsep pengaturan hak atas tanah bagi orang asing.

35 Ayat (1) Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut hukum adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.