• Tidak ada hasil yang ditemukan

OLEH ORANG ASING

B. Pengaturan Larangan Kepemilikan Tanah Hak Milik Oleh Orang AsingOleh Orang Asing

1. Pada Tahun 1960-1967

Aturan larangan pengasingan tanah Stbl. 1875 No. 179 telah dicabut dengan sendirinya oleh UUPA, karena ada dua alasan31: Pertama, adanya perlakuan yang berbeda antara sesama warga negara Hindia Belanda. Warga negara dibedakan menjadi tiga golongan penduduk, yaitu penduduk Indonesia, penduduk Eropa, dan penduduk Timur Asing. Pemikiran ini jelas bertolak belakang dengan semangat UUPA. UUPA tidak mengenal golongan penduduk. UUPA hanya mengenal warga negara dan bukan warga negara yang disebut orang asing. Tidak ada perbedaan perlakuan antarsesama warga negara, dari manapun asalnya. UUPA tidak membedakan warga negara asli dan warga negara tidak asli, tetapi membedakan antara masyarakat ekonomi kuat dan lemah. Pihak yang ekonomi kuat, bisa berasal dari warga negara asli, bisa juga warga negara tidak asli. Sudargo Gautama berpendapat bahwa ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA adalah pengganti aturan larangan pengasingan tanah Stbl. 1875. No 179. Pasal 26 ayat (2) UUPA mengatur, bahwa:

Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing ....adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara,... (cetak miring penulis).

Ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA dengan tegas menggunakan kriteria kewarganegaraan Indonesia, bukan lagi berpegang pada

31 Gouwgioksiong, Tafsiran..., Op. Cit., hlm. 8-9; Moh. Mahfud MD,

Politik Hukum..., Op. Cit., hlm. 180; lihat juga SF. Marbun & Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Liberty, 2009, hlm. 153.

golongan penduduk. Perlindungan terhadap pihak yang ekonomis lemah tidak lagi ditarik melalui garis perbedaan keturunan sesama warga negara. Jika disimak dari isi ayat tersebut, jelas bahwa yang dimaksudkan pihak yang kuat adalah orang asing, sehingga dijaga tanah-tanah hak milik tidak jatuh pada orang asing. Demikian aturan larangan pengasingan tanah Stbl. 1875 No. 179 tidak berlaku lagi.

Kedua, UUPA tidak mengenal perbedaan tanah-tanah Indonesia dan tanah-tanah Eropa, yang ada hanyalah tanah-tanah hak Indonesia yang didasarkan pada hukum tanah adat. Artinya dengan UUPA dihapuskanlah dualisme hukum (hukum adat dan hukum Eropa), yang berlaku atas tanah di Indonesia pada pokoknya adalah hukum adat tanah. Bagi tanah-tanah Eropa harus dikonversi menjadi salah satu hak-hak atas tanah adat bentuk baru yang diatur dalam UUPA. Aturan larangan pengasingan tanah Stbl. 1875 No. 179 yang berpangkal pada perbedaan tanah Indonesia dan tanah-tanah Eropa sudah tidak sesuai lagi dengan UUPA, karenanya Stbl. 1875 No. 179 tersebut tidak dapat diberlakukan lagi.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana peralihan hak atas tanah-tanah Eropa sebelum dilakukan konversi dapat dilaksanakan. Oleh pembentuk UUPA, dengan tidak belakunya lagi aturan larangan pengasingan tanah Stbl. 1875 No. 179, dan berlakunya aturan larangan pemindahan tanah hak milik kepada orang asing menurut Pasal 26 ayat (2) UUPA, terhadap peralihan tanah-tanah Eropa dikeluarkanlah Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan beberapa ketentuan UUPA, pada tanggal 10 Oktober 1960. Pasal 27 Peraturan Menteri Agraria tersebut mengatur hal pengawasan. Ditentukan, bahwa sebelum ada aturan penggantinya, maka berdasarkan ketentuan Pasal 58 UUPA, undang-undang yang mengatur soal izin Jaksa,32 kemudian izin

32 UUdrt No. 1 tahun 1952 jo. UU No. 24 Tahun 1954 bermaksud mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi kemungkinan jatuhnya tanah eropa (beserta rumah dan bangunan yang ada di atasnya) ke tangan orang dan

Menteri Agraria33 untuk peralihan hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum Eropa, berikut aturan pelaksanaannya masih tetap berlaku.

Menurut Sudargo Gautama ketentuan Pasal 27 PMA No. 2 Tahun 1960 bersifat sementara. Artinya keberlakuannya bersifat terbatas, yaitu hanya terhadap peralihan tanah-tanah yang masih tunduk pada hukum Eropa.34 Pada saatnya nanti setelah semua tanah Eropa telah dikonversi dan menjadi salah satu hak yang diatur dalam UUPA, maka tidak perlu lagi dilakukan pengawasan atas peralihan hak atas tanah. Ketentuan Pasal 27 itu diadakan karena masih adanya hak atas tanah yang tunduk pada hukum Eropa.

Menurut penulis bukan berarti pengawasan terhadap peralihan hak atas tanah kemudian ditiadakan, tetap harus diadakan. Mengingat dalam Pasal 26 ayat (1) UUPA diatur, bahwa jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pengawasan dilakukan dalam semangatnya melindungi golongan ekonomis lemah guna mewujudkan cita-cita keadilan sosial. Para petani mendapatkan cukup tanah pertanian (dengan luas maksimum-minimum), tanah pertanian dikerjakan sendiri oleh pemiliknya dan dengan jaminan bahwa tanahnya tidak akan mudah jatuh pada orang lain (lebih-lebih orang asing) sesuai dengan cita-cita landreform atau agrarian reform. Sebenarnya, menurut penulis yang diawasi tidak terbatas pada peralihan tanah-tanah pertanian, tetapi semua peralihan tanah-tanah hak milik supaya tidak jatuh pada orang asing, sesuai semangat Pasal 9, 21 dan 26 UUPA.

badan hukum asing, juga UU No. 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-tanah Perkebunan.

33 Berdasarkan UU No. 76 Tahun 1957, wewenang Menteri Kehakiman dialihkan pada Menteri Agraria.

Guna menegaskan dan mempertahankan ketentuan Pasal 26 UUPA, Pemerintah pada tahun 1961 mengeluarkan Peraturan Menteri Agraria No.14 Tahun 1961 tentang Permintaan dan Pemberian Izin Pemindahan Hak Atas Tanah (PMA 14/1961). Adalah suatu keharusan bagi semua peralihan hak atas tanah apapun untuk dimohonkan izin. Tidak ada celah yang dapat digunakan oleh siapapun untuk menerobos ketentuan izin pemindahan hak. Hal ini ditentukan dalam Pasal 5 ayat (3) jo. Pasal 7 PMA 14 Tahun 1961, dan ditegaskan dalam Keputusan Menteri Agraria No-Sk.3/Ka/1962 bahwa permohonan izin pemindah-an hak harus ditolak jika peralihan tersebut melanggar atau bertentangan dengan ketentuan UUPA (Pasal 26 ayat (2)), dan UU Landreform termasuk larangan pemilikan tanah secara absentee. Hal ini sangat berbeda dengan kebijakan pada masa Orde Baru hingga sekarang, yang sangat longgar mengatur izin pemindahan hak. Pada masa Orde Baru dapat dikatakan pemerintah telah melepaskan fungsi kontrolnya dalam hal pemindahan hak atas tanah. Pasal 26 ayat (1) UUPA tidak mendapat tempat yang seharusnya lagi dalam hukum pertanahan Indonesia. Padahal fungsi pengawasan oleh negara masih sangatlah penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Jangan sampai semuanya diserahkan pada mekanisme pasar.

Ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUPA telah diabaikan pemerintah, sehingga tidak mengherankan jika ada pendapat bahwa banyak praktik “pemilikan tanah hak milik oleh orang asing” yang seolah-olah dibiarkan begitu saja. Akibat lanjutan dari pengabaian Pasal 26 ayat (1) UUPA, maka otomatis Pasal 26 ayat (2) UUPA tidak berdaya menghadapi keinginan orang-orang asing menguasai dan “memiliki” tanah hak milik di Indonesia. Pasal 26 ayat (2) UUPA menjadi lumpuh. Jika demikian dapat dipastikan bahwa pihak yang ekonomis lemah dalam hal ini WNI akan menjadi korbannya. Mereka akan menjadi budak orang asing dinegerinya sendiri. Hak-hak atas

tanah WNI akan dijadikan objek eksploitasi oleh orang asing. Hal ini terbukti dengan diperbolehkannya serah pakai HGU dari pengusaha nasional kepada pengusaha asing.

Pasal 10 ayat (1) UUPA dengan tegas mengatur bahwa, setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan. Upaya menegakkan aturan ini pemerintah mengeluarkan PMPA No. 11 Tahun 1962 tentang Ketentuan-ketentuan dan Syarat-syarat dalam Pemberian Hak Guna Usaha Kepada Pengusaha-Pengusaha Swasta Nasional pada tanggal 1 September 1962. Pasal 5 ayat (2) ketentuan ini melarang perjanjian perantaraan pengusahaan tanah seperti yang dilakukan dengan persewaan atau serah-pakai tanah. Apabila tindakan perantaraan itu terjadi melalui bentuk perjanjian apapun, maka konsekuensinya perjanjian tersebut batal demi hukum karena tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian yaitu kausa yang halal. 2. Pada Tahun 1967 – Hingga Sekarang

Ketentuan PMPA No. 11 Tahun 1962 yang melarang perjanjian perantaraan pengusahaan tanah seperti yang dilakukan dengan persewaan atau serah-pakai tanah, berbeda dengan masa Orde Baru-hingga sekarang. Pada masa Orde Baru perjanjian serah pakai justru menjadi model pemanfaatan tanah HGU oleh orang asing. Pada masa itu dikeluarkanlah Keppres No. 23 Tahun 1980 tentang Pemanfaatan Tanah Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan untuk Usaha Patungan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing, yang telah diganti dengan Keppres No. 34 Tahun 1992. Keppres ini sebagai tindak lanjut dari PP No.17 Tahun 1992 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing, yang membuka kemungkinan terjadinya penanaman modal asing secara penuh atau 100% di samping tetap adanya usaha patungan. Pemerintah mulai memberi kesempatan bagi badan hukum

bermodal asing mempunyai HGU atau HGB baik langsung atas nama badan hukum Indonesia bermodal asing tersebut maupun atas nama usaha patungannya.

Pada era ini suasana kapitalisme lebih kuat mencengkeram sehingga berpengaruh pada kebijakan negara soal agraria. Menurut pandangan Noer Fauzi politik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang kapitalistik dijalankan Orde Baru secara sentralistik, otoritarian dan sektoral sepanjang 32 tahun. Kondisi ini tidak memberi ruang yang leluasa bagi program agraria yang berpihak pada rakyat. Justru sebaliknya ekspansi kapitalisme perkebunan semakin kuat dan banyak menyerobot tanah rakyat sehingga memicu

maraknya konflik agraria.

Politik agaria berubah total pada masa Orde Baru, dengan menggantikan paradigma pemerataan dengan paradigma pertumbuhan. Artinya pada masa Orde Lama pembangunan keagrarian dititikberatkan pada pemerataan akses tanah kepada rakyat Indonesia, sementara pada Orde Baru menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi tanpa diikuti dengan pemerataan akses tanah. Program landreform yang dicanangkan Presiden Soekarno pada tahun 1961, mengalami kegagalan selain disebabkan oleh perubahan politik pada tahun 1965, juga disebabkan oleh penekanan pada redistribusi dan distribusi tanah, tanpa diikuti dengan sungguh-sungguh akses reform. Artinya panca program agrarian reform Indonesia35 yang telah ditetapkan UUPA, khususnya pada

35 Terbentuknya UUPA merupakan program revolusi di bidang agraria atau disebut agrarian reform Indonesia. Untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, Pemerintah

melaksanakan agrarian reform Indonesia yang mencakup lima

program (Panca Program), yaitu: 1) pembaharuan hukum agraria, 2) penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah, 3) mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur, 4) perombakan pemilikan dan penguasaan tanah, serta hubungan hukum, dan 5) perencanaan persediaan, peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaannya

perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan, tidak imbang dalam pelaksanaan dan hanya dititikberatkan pada pemberian tanah kepada petani-petani penggarap (petani tanpa punya tanah), tanpa kebijakan ikutan pendukung yang lain.

Seharusnya pemberian tanah kepada petani harus diikuti dengan kebijakan ikutan lainnya, seperti kebijakan pembukaan tanah-tanah pertanian baru, usaha-usaha mempertinggi produktivitas, kebijakan harga-harga hasil pertanian yang menguntungkan petani, penyediaan kredit ringan, kebijakan harga saprodi yang murah, bimbingan dan pelatihan-pelatihan kepada petani, dan usaha pemasaran produk-produk pertanian, tanpa itu semua mustahil landreform dapat berhasil dengan baik.

Sebenarnya pada masa Orde Baru-hingga sekarang, program landreform juga masih ada.36 Hanya saja pelaksanaan-nya jauh lebih bergaung/hebat untuk menyediakan tanah bagi perusahaan-perushaan besar dari pada untuk rakyat petani. Ibaratnya program landreform untuk rakyat petani dilaksanakan menggunakan moda transportasi becak, sementara program yang disediakan untuk kepentingan perusahaan-perusahaan besar, baik di bidang perkebunan, pertanian, industri, maupun pengelolaan hutan menggunakan moda transportasi pesawat terbang.

Konteks yang demikian, jelas dari daya angkut dan kecepatannya tentu perusahaan yang diuntungkan, dibandingkan dengan rakyat petani/penggarap. Petani penggarap hingga saat ini tetap belum

secara terencana sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya. Lihat lebih lanjut Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah..., Op. Cit., hlm. 3.

36 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah..., Ibid., hlm. 398-410.

bisa mendapatkan tanah pertaniannya. Tidak hanya itu, yang lebih memprihatinkan lagi adalah semakin banyak petani yang kehilangan tanah pertaniannya karena terpaksa harus melepaskannya demi pembangunan. Artinya jumlah rumah tangga petani semakin berkurang.

Hal ini dapat diperhatikan dari hasil sensus pertanian (SP) tahun 2013, bahwa dari tahun-ketahun jumlah rumah tangga petani berkurang rata-rata 1,75% tiap tahunnya. Pada tahun 2003 rumah tangga petani berjumlah 31.170.100 menjadi 26.126.200 pada tahun 2013, sehingga selama 10 tahun terakhir jumlah rumah tangga petani berkurang 4.043.900.37 Pada sisi yang lain perusahaan pertanian berbadan hukum jumlahnya meningkat, jika pada tahun 2003 berjumlah 4.011 menjadi 5.486 pada tahun 2013.

Jumlah petani gurem (petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha per keluarga) meningkat. Jika pada 1993 secara nasional jumlah petani gurem 10,9 juta keluarga, pada SP 2003, angka itu naik menjadi 13,7 juta keluarga, bertambah 3.8 juta keluarga dalam 10 tahun. Di Pulau Jawa, dari setiap empat petani, tiga adalah petani gurem.38 Selain itu Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa, luas lahan pertanian padi di Indonesia pada 2010 tinggal 12,870 juta ha, menyusut 0,1% dari tahun sebelumnya 12,883 juta ha. Secara keseluruhan luas lahan pertanian, termasuk non-padi, pada 2010 diperkirakan 19,814 juta ha, menyusut 13% dibanding tahun 2009 yang mencapai 19,853 juta ha. Kondisi ini yang terus memperparah kehidupan petani.

Regulasi terkait dengan politik hukum larangan kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing tidak mendapat perhatian.

37 BPS, Laporan Bulanan, Data Sosial Ekonomi, edisi ke-40 September 2013, hlm. 101-102.

38 http://hargajateng.org/sensus-pertanian-2013.html, diakses 27 Juli 2013 jam 22.00

Pada masa Orde Baru-hingga sekarang tampaknya aturan larangan tersebut terabaikan dan dikesampingkan dengan alasan pembangunan ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan. Banyak regulasi bidang pertanahan yang sebenarnya bertentangan dengan semangat politik hukum larangan kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing, dilahirkan untuk melayani kepentingan pengusaha-pengusaha asing menanamkan modalnya di Indonesia. Meskipun masa pasca-reformasi pembangunan ekonomi mencoba menyeimbangkan antara pertumbuhan dan pemerataan atau growth with equity (pertumbuhan disertai pemerataan). Salah satu wujud pembangunan dengan pemerataan, adalah terkait akses tanah oleh rakyat.39

39 Pidato Presiden pada tanggal 31 Januari 2007, mengusung Tema “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, dalam rangka reforma agraria tahun 2007.

INKONSISTENSI ANTARA