• Tidak ada hasil yang ditemukan

Larangan Penjualan Tanah Pada Masyarakat Jawa dan MaduraMadura

OLEH ORANG ASING

2. Larangan Penjualan Tanah Pada Masyarakat Jawa dan MaduraMadura

Menurut Hiroyoshi Kano politik hukum larangan pengasingan tanah sebelum berlakunya Agrarische Wet belum ditemukan aturan tertulisnya. Berdasarkan tulisan Rudolf Hermanses dalam bukunya yang berjudul “Pendaftaran Tanah di Indonesia”, yang juga telah diuraikan di atas bahwa pada tanggal 18 Agustus 1620 VOC mengeluarkan maklumat. Maklumat tersebut berisikan antara lain: setiap orang dilarang menjual, memindahkan, mengasingkan, atau membebankan dengan hak hipotek, rente atau gadai tanah, rumah, atau pohon-pohon, dan jika ada preferensi orang tidak dapat dikurangi

dalam haknya, tanpa pemberitahuan kepada Baljuw dan Scheepen.12 Adanya maklumat tersebut diyakini bahwa sebelum Agrarische Wet telah dikenal politik hukum larangan pengasingan tanah. Politik hukum larangan pengasingan tanah ini semata-mata untuk kepentingan VOC, terbatas pada warganya dan sifatnya masih lunak tidak mutlak melarang. Barangkali memang berbeda dengan yang dimaksudkan oleh Kano. Politik hukum larangan yang dimaksudkan oleh Kano adalah larangan pengasingan tanah oleh orang Indonesia kepada bukan Indonesia. Sementara yang diatur VOC adalah larangan pengasingan tanah oleh orang VOC kepada orang-orang bukan VOC, meskipun bukan larangan mutlak. Lebih lanjut menurut Hiroyoshi Kano kalaupun kemudian ada aturan larangan pengasingan tanah untuk melindungi rakyat pribumi, tidak dilaksanakan oleh pemerintah pusat dengan tujuan yang tertentu, tetapi hanya merupakan tindakan-tindakan ad hoc para petugas setempat yang mengurus hal-hal mendesak pada saat itu, misalnya dalam tahun-tahun semasa sistem tanam paksa (1830-1870).13

Larangan pengasingan tanah tidak hanya dikenal pada lingkungan tanah-tanah VOC, tetapi juga terhadap tanah-tanah rakyat Indonesia. Menurut penyelidikan Hiroyoshi Kano terhadap Eindresumé,14 di

12 Rudolf Hemanses..., Loc. Cit.

13 Hiroyoshi Kano, Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa Di Jawa Pada Abad XIX, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (ed.), Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Obor dan PT Gramedia, 1984, hlm. 67-69. (judul asli makalah Hiroyoshi Kano adalah Land Tenure System and The Desa Community in Nineteenth Century Java, IDE Paper No. 5, Institute of Developing Economics, Tokyo, Japan, 1977).

14 Eindresumévan het bij Gouvernements besluit dd. 10 Juli 1867 No. 2

bevolenonderzoek naar de rechten van den inlander op den grond op Java en Madoera, disusun oleh den chef der Afdeeling Statistiek Ter Algemeene Secretarie, Vor. 1 (Batavia; Ernst & Co., 1876), Vol. II (Batavia: Ernst & Co., 1880), Vol. III (Batavia: Landsdrukkerij, 1896). Laporan ini disingkat sebagai Eindresumé.

pulau Jawa dan Madura terutama wilayah di luar pemerintahan langsung Hindia Belanda ditemukan adanya larangan bagi warganya untuk menjual tanah sawah turun temurun kepada orang asing. Istilah Eindresumé untuk menyebut Eindresumévan het onderzoek naar de rechten van den inlander op den grond (ringkasan akhir penelitian tentang hak-hak atas tanah oleh penduduk pribumi).

Penelitian yang dilakukan ahli-ahli kolonial Belanda tahun 1868-1869, mencakup semua tanah yang ada di bawah pengawasan langsung pemerintah kolonial. Semua kabupaten di Jawa dan Madura, kecuali Batavia dan Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, menjadi bagian dari penelitian ini. Survey ini memilih dua desa di tiap kabupaten, sehingga jumlah keseluruhan desa yang disurvey 808 buah. Walaupun penelitian selesai tahun 1870, hasilnya belum segera tersusun. Semua laporan diterbitkan dalam tiga jilid pada tahun 1876, 1880, 1896 secara berturut-turut. Oleh karena itu hasil penelitian tersebut hanya mempunyai sedikit pengaruh terhadap kebijakan pertanahan, sebab pada tahun 1870 telah lahir Agrarische Wet.

Ringkasan akhir penelitian tentang hak-hak atas tanah oleh penduduk pribumi menyebutkan bahwa peraturan-peraturan komunal mengenai pemilikan tanah pertanian pada umumnya kaku sekali. Demikian pula mengenai pemindah-tanganan tanah. Bilamana tanah dimiliki secara komunal, maka pengendaliannya ketat sekali, dan penjualan secara bebas tidak dimungkinkan sama sekali. Pemindahtanganan tanah hanya dapat dipertimbang-kan bagi tanah pertanian “milik perorangan turun-temurun” (erfelijk individueel bezitter). Meskipun Eindresumé hanya sedikit membuat uraian terperinci mengenai kejadian-kejadian yang sebenarnya, namun dapat ditarik kesimpulan mengenai pemindahtanganan sawah “milik perorangan turun-temurun” (erfelijk individueel bezitter). Demikian, bahwa larangan pengasingan tanah telah dikenal terhadap tanah-tanah Indonesia.

Tampak pada Tabel 1, jumlah desa tempat terjadinya penjualan dan pembelian hanya setengahnya (tepatnya 48%) dari jumlah desa yang mempunyai sawah (yaitu 193 dari 401 desa). Sebanyak 120 (63%) dari desa-desa tersebut memperkenankan tanah dijual kepada orang di luar desanya. Desa-desa yang memperkenankan pengasingan tanah kepada orang luar desa, paling banyak desa-desa di Jawa Barat.

Lebih lanjut dikemukakan Hiroyoshi Kano, bahwa pada desa-desa yang memperkenankan terjadinya pembelian dan penjualan sawah, penjualan kepada orang-orang dari luar desa pada umumnya dilarang sesuai dengan “peraturan desa”. Pembatasan-pembatasan ini disebabkan oleh adanya dugaan bahwa orang luar tersebut tidak mampu melaksanakan sumbangan wajib kerja. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada tabel 1 bahwa di Jawa Tengah dan kemudian di Jawa Timur di mana penjualan kepada orang-orang dari “daerah” lain, kalaupun diperkenankan, hampir selamanya tunduk kepada persyaratan bahwa “pembeli harus pindah ke dalam desa dan/atau melaksanakan layanan kerja yang telah ditentukan sebelumnya”. Sebaliknya kecenderungan ini di Jawa Barat jauh lebih lemah (kecuali di Cirebon). Di Jawa Barat banyak desa memperkenankan penjualan sawah-sawah “milik perorangan turun-temurun” kepada orang-orang dari “daerah” lain.15

Tabel. 1

Penjualan dan Pembelian sawah-sawah “milik perorangan turun temurun” No. Karesidenan Jumlah desa yang diteliti Jumlah desa dengan sawah milik perorangan turun temurun Jumlah desa yang megizinkan penjualan sawah Jumlah desa yang mengizinkan penjualan kepada orang dari desa lain

N % N % N % 1 Banten 56 52 93 33 63 28 85 2 Krawang 10 9 90 8 89 8 100 3 Kab. Priangan 105 103 98 72 70 67 93 4 Cirebon 53 7 13 7 100 6 86 5 Tegal 32 16 50 6 38 - 0 6 Banyumas 40 12 30 3 25 - 0 7 Pekalongan 26 6 23,1 4 66 - 0 8 Bagelen 50 20 40 7 35 7 100 9 Semarang 50 4 8 2 50 - 0 10 Jepara 34 17 50 4 24 1 25 11 Rembang 54 42 77,8 16 38 - 0 12 Madiun 63 22 35 1 5 - 0 13 Kediri 59 - - - - - -14 Surabaya 56 17 30,4 6 35 2 33 15 Pasuruan 44 7 16 2 29 - 0 16 Probolinggo 26 23 88,5 4 17 1 25 17 Besuki 36 31 86 21 68 - 0 18 Banyuwangi 6 6 100 1 17 - 0 19 Madura 8 7 87,5 1 14 - 0 Total 808 401 49,6 193 48 120 63

Sumber: Hiroyoshi Kano, Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa Di Jawa Pada Abad XIX, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (ed.), Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Obor dan PT Gramedia, 1984, hlm. 43, 68.

Berdasarkan hasil penyelidikan Hiroyoshi Kano terhadap Eindresumé, dapat diketahui bahwa aturan larangan pengasingan tanah telah ada pada masyarakat Indonesia (utamanya masyarakat Jawa dan Madura), meskipun tidak semua daerah mengenalnya.

Tentu yang dimaksud larangan pengasingan tanah di sini bisa dikatakan pararel dengan larangan pengasingan tanah yang diatur VOC melalui maklumatnya tanggal 18 Agustus 1620. Jika VOC melarang orang-orangnya menjual tanah (tanah pekarangan/ kebun) pada orang lain meskipun tidak mutlak, maka masyarakat desa di Jawa dan Madura melarang orang-orangnya untuk menjual tanah sawahnya kepada orang luar desa. Pada tanah pekarangan tidak ada penjelasan dari Eindresumé. Mengingat tidak ada penjelasan, bisa dipersepsikan bahwa untuk tanah pekarangan rakyat Indonesia tidak ada larangan pengasingan tanah.

Berbeda dengan larangan pengasingan tanah, larangan penjualan tanah partikelir mencakup baik tanah pertanian maupun non-pertanian. Kemudian dengan lahirnya Grondvervreemdings-verbod (Stbl. 1875 No. 179), bahwa yang dilarang di jual pada orang asing sebatas tanah pertanian termasuk perkebunan, tidak untuk tanah perkotaan (pekarangan/pemukiman).16 Berdasarkan alasan historis, Grondvervreemdingsverbod diciptakan karena terjadinya pengasingan tanah bekas perkebunan kopi Gubernemen di Pasuruan dan tanah-tanah di Minahasa.

Jika diperhatikan uraian di atas, tampaklah bahwa desa-desa di Pulau Jawa yang berada di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda pada saat itu memiliki hak otonomi untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Desa-desa tersebut memiliki kedaulatan untuk mengatur boleh tidaknya warga desa memindah-tangankan tanah hak miliknya kepada orang di luar desa. Orang asing yang dimaksudkan di sini adalah orang-orang yang berasal dari luar desa.

Dasar filosofis pengaturan larangan pengasingan tanah oleh

desa adalah untuk kesejahteraan seluruh warga desa. Tujuan larangan pengasingan tanah ini pada umumnya untuk melindungi

kepentingan desa, dalam menjaga ketersediaan tenaga kerja yang diperlukan oleh pemerintah Hindia Belanda/penjajah.

3. Larangan Pengasingan Tanah Menurut Hukum Agraria