• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA 101 LAMPIRAN

1.1 Latar Belakang

Subsektor peternakan memegang peranan penting sebagai salah satu sumber pertumbuhan, khususnya bagi sektor pertanian dan umumnya perekonomian Indonesia. Subsektor peternakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan sektor pertanian, diutamakan untuk memenuhi pangan dan gizi melalui usaha pembinaan daerah-daerah produksi yang telah ada serta pembangunan daerah-daerah baru.

Salah satu daerah produksi pertanian pada umumnya dan peternakan pada khususnya yang cukup besar adalah di kawasan kabupaten Bandung karena lebih dari seperempat total penduduk yang telah memasuki usia kerja bekerja di sektor pertania. Hal ini ditunjukan pada Tabel 1 dimana 381.440 jiwa bekerja di sektor pertanian, jumlah ini merupakan jumlah terbesar kedua setelah sektor industri tetapi perbedaannya tidak terlalu signifikan.

Tabel 1. Penduduk Kabupaten Bandung yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha

No Lapangan Usaha Jumlah Persentase

1 Pertanian 381.373 26,02

2 Pertambangan dan penggalian 4.600 0,32

3 Industri 395.440 26,98

4 Listrik dan Air 3.913 0,27 5 Gas Konstruksi 89.604 6,11 6 Perdaganagan 278.621 19,01 7 Angkutan dan Komunikasi 133.974 9,14

8 Keuangan 15.590 1,06

9 Jasa 162.582 11,09

Total 1.465.670 100

Oleh karena itu Kabupaten Bandung merupakan salah satu sentra produksi pertanian yang ada di Indonesia. Produk-produk yang dihasilkan dari wilayah ini sudah dikenal oleh daerah-daerah lain di Indonesia karena produk-produk tersebut didistribusikan ke daerah lain untuk memenuhi kebutuhan daerah tersebut. Salah satu produk pertanian yang dihasilkan dari wilayah kabupaten Bandung adalah kelinci. Sentra peternakan kelinci terbesar di Kabupaten Bandung berada di wilayah Lembang dan Pangalengan. Daerah ini sangat cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan kelinci karena memiliki udara yang sejuk serta bersih dari polusi.

Peran pemerintah dalam sektor pertanian sangatlah penting karena sektor ini merupakan sektor yang sangat penting karena menyangkut kebutuhan paling mendasar bagi manusia. Kebijakan-kebijakan di sektor ini sangat mempengaruhi pekerja di sektor ini oleh karena itu kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah haruslah berpihak kepada stakeholder terkait.

Semakin bertambahnya jumlah penduduk, tingkat pendapatan serta meningkatnya kadar gizi masyarakat, maka akan menyebabkan permintaan akan produksi ternak semakin meningkat guna memenuhi kebutuhan protein hewani seperti yang ditunjukan pada Tabel 2 dimana konsumsi daging mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Tabel 2. Konsumsi Daging, Telur, dan Susu (kg/perkapita/tahun) No. Jenis Tahun Pertumbuhan

dari tahun 2005 s/d 2006 (%) 2003 2004 2005 2006 1. Daging 6,05 6,28 5,79 6,43 11,41 2. Telur 4,11 4,68 4,34 4,64 6,91 3. Susu 6,69 9,47 9,32 9,35 0,32 Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan DEPTAN, 2006

Konsumsi standar protein hewani yang ditetapkan oleh FAO untuk masyarakat Indonesia minimal sebesar 6 gr/kapita/hari atau setara dengan 2.19 kg/kapita/tahun Dari kebutuhan ini sebagian besar masyarakat Indonesia lebih memilih untuk mengkonsumsi daging ayam dan sapi karena daging – daging ini mudah didapatkan di pasar (Tabel.3).

Tabel 3. Konsumsi Daging menurut Jenis Daging (kg/kapita/tahun)

No. Komoditi Tahun

1996 1999 2002 2004 2005 1. Sapi dan kerbau 0,72 0,52 0,572 0,676 0,468 2. Ayam dan unggas 1,30 0,57 3,338 3,692 3,848 Sumber : BPS, 2006

Kenaikan konsumsi daging ini menyebabkan pemerintah harus mengimpor daging sapi dan daging hewani lainnya dengan jumlah yang cukup signifikan (Tabel.4) dari negara-negara tetangga karena produksi lokal tidak dapat memenuhi permintaan pasar di Indonesia sehingga hal ini akan mebuat anggaran belanja pemerintah membengkak dan dapat menyebabkan krisis pangan.

Tabel 4. Perkembangan Volume Impor Komoditas Peternakan Tahun 2002- 2006 (Ton)

No. Komoditas 2004 2005 2006 1. Daging Sapi 11.772,011 19.957,195 24.078,542 2. Daging Ayam 1.193,779 3.817,300 3.331,439 3. Daging Kambing 519,710 829,561 711,750 4. Daging unggas lain 2,347 0,577 52,635 Sumber : BPS diolah Pusdatin DEPTAN 2007

Ternak kelinci dapat dipilih sebagai alternatif untuk memenuhi permintaan yang meningkat tersebut, mengingat kelinci memiliki kelebihan dibandingkan ternak lain yang telah dikenal sebelumnya untuk memenuhi konsumsi daging perkapita Indonesia yang cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dari Tabel 3. Selain itu harga daging kelinci yang tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan daging

sapi, hal ini dapat dilihat bahwa harga daging sapi saat ini berada di kisaran Rp 55.000 (Kompas, Februari 2008) sedangkan harga daging kelinci berada pada kisaran Rp 60.000 (Asep’s Rabbit Project).

Kelinci juga menguntungkan untuk diternak secara intensif berpola komersial karena daya reproduksinya cepat, dalam jangka waktu satu tahun, seekor kelinci dapat beranak 4 – 5 kali, dengan jumlah anak per kelahiran 5 – 6 ekor dan masa bunting relatif singkat (Sarwono 2001).

Daging kelinci memiliki kelebihan dibandingkan dengan daging ternak lainnya, diantaranya memiliki kadar lemak jenuh yang rendah dibandingkan ternak lain seperti sapi, domba, dan kambing serta kandungan proteinnya yang tinggi membuat daging kelinci baik untuk menjaga jaringan tubuh, membentuk sel-sel, dan meningkatkan kecerdasan otak (Pujoharjo 2001). Komposisi kimia dari beberapa macam daging ternak dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 5. Komposisi Kimia Berbagai Macam Daging Jenis Daging Energi (Kkal/kg) Sodium (mg/g) Lemak Jenuh (mg/g) Kadar Air (%) Protein (%) Lemak (%) Sapi 380 65 41,3 49 15,5 35 Domba 345 75 55,4 53 15 31 Ayam 200 70 - 67 19,5 12 Kelinci 160 40 37 70 21 8 Sumber : Lebas et al. dalam Pujoharjo (2001)

Tingkat konsumsi daging kelinci dibandingkan daging lain lebih sedikit, hal ini disebabkan oleh pola konsumsi masyarakat yang belum terbiasa dan persepsi yang timbul mengenai ternak tersebut. Persepsi yang ada sekarang lebih memandang kelinci sebagai hewan peliharaan atau hewan hias.

Kelinci yang diternakan kelangsungan hidupnya ditentukan oleh perhatian dan perawatan peternaknya. Jenis, jumlah, dan mutu pakan yang diberikan

menentukan pertumbuhan, kesehatan dan perkembangbiakannya. Jenis pakan yang dipakai tidak bersaing dengan kepentingan manusia maupun ternak industri intensif seperti ayam.

Dalam peternakan kelinci intensif, pakan yang diberikan tak hanya berupa hijauan sebagai pakan pokok. Selain hijauan, pakan kering seperti konsentrat, hay (rumput kering), biji-bijian dapat diberikan sebagai pakan tambahan. Seperti halnya ternak ruminansia, kelinci membutuhkan karbohidrat, lemak, protein, mineral, vitamin, dan air. Jumlah kebutuhannya tergantung pada umur, tujuan produksi, serta laju kecepatan pertumbuhan.

Pada tahun 1982, pemerintah pernah menganjurkan agar kelinci dikembangkan sebagai ternak sumber daging untuk meningkatkan mutu gizi masyarakat. Namun, usaha tersebut gagal karena kelinci berkembang menjadi komoditas yang mahal, terutama harga bibitnya. Beberapa ras kelinci yang banyak dikembangkan secara komersial di Negara-negara Eropa, Amerika, dan juga Indonesia yaitu Anggora, Champagne d’Argent, Carolina, Checkered giant, Dutch, English Spot, dan Himalayan. Harga dari beberpa ras kelinci tersebut dapat dihargai mencapai jutaan rupiah oleh para hobbyist.

Selama ini peternakan kelinci di Indonesia masih diusahakan sebagai peternakan keluarga dengan skala usaha yang relatif kecil. Kegiatan budidaya dan manajemennya masih sederhana. Sebagai alternatif, usaha peternakan kelinci sebenarnya dapat dikembangkan dalam bentuk perusahaan peternakan baik kelinci hias maupun kelinci potong. Sasaran produksi kelinci dapat ditingkatkan sesuai target, mutu dan permintaan pasar untuk menjadi konsumsi protein hewani alternatif.

Peluang pasar luar negeri untuk ternak kelinci maupun hasil olahannya cukup besar, kelinci dapat diperdagangkan langsung sebagai hewan peliharaan atau hewan hias sedangkan daging kelinci dapat dikonsumsi atau diolah terlebih dahulu sebagai abon, sosis, bakso, dan dendeng. Kulit dan bulu dapat dijadikan bahan pakaian atau kerajinan lain seperti topi, dompet dan sebagainya, hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Volume Ekspor Komoditas Peternakan (Ton)

No. Komoditas 2002 2003 2004 2005 1. Sapi 77.677 111.432 19.164 87.546 2. Kelinci 570 16.793 18.385 60.000 4. Kambing 39.074 1.708 387 1.228 5. Ayam 2.346.322 2.760.691 100.867 316 Sumber : BPS diolah Pusdatin DEPTAN 2007

Pada Tabel 5 terlihat bahwa ekspor kelinci Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dan pada tahun 2005 menduduki posisi di bawah sapi dilihat dari volume ekspornya. Peningkatan ekspor dari tahun 2002 ke 2003 sebesar 29 persen, tahun 2003 ke 2004 sebesar 10 persen, dan peningkatan yang paling signifikan yaitu sebesar 69 persen pada tahun 2004 ke 2005. Hal ini berarti bahwa adanya peluang pasar yang sangat besar di luar negeri sehingga para peternak kelinci kita harus bisa menangkap peluang ini dengan menghasilkan kelinci-kelinci berkualitas dan berdaya saing tinggi.