• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wahyuni Enda 2007 Analisis Kelayakan Pengusahaan Terong Belanda (Kasus di Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara) Skripsi Program Stud

Nandana Duta Widagdho. Analisis Kelayakan Usaha Peternakan kelinci Asep’s Rabbit Project, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Di bimbing oleh Ratna Winandi.

Subsektor peternakan memegang peranan penting sebagai salah satu sumber pertumbuhan, khususnya bagi sektor pertanian dan umumnya perekonomian Indonesia. Subsektor peternakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan sektor pertanian, diutamakan untuk memenuhi pangan dan gizi melalui usaha pembinaan daerah-daerah produksi yang telah ada serta pembangunan daerah-daerah baru. Semakin bertambahnya jumlah penduduk, tingkat pendapatan serta meningkatnya kadar gizi masyarakat, maka akan menyebabkan permintaan akan produksi ternak semakin meningkat guna memenuhi kebutuhan protein hewani. Oleh karena itu, dalam rangka pengadaan produk peternakan bagi kebutuhan penduduk yang berkembang pesat, maka diperlukan pembangunan di bidang peternakan yang lebih cepat menghasilkan produk. Salah satu ternak alternatif yang cukup potensial untuk mencapai tujuan tersebut adalah kelinci.

Tujan Penelitian ini adalah Menganalisis aspek-aspek dalam kelayakan usaha secara deskriptif yang meilputi aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek hukum, dan aspek social, menganalisis tingkat kelayakan finansial peternakan kelinci Asep’s Rabbit Project, melakukan analisis switching value untuk melihat tingkat kepekaan kelayakan usaha peternakan kelinci Asep’sRabbit Project bila terjadi perubahan - perubahan dalam faktor produksi.

Penelitian ini dilaksanakan pada peternakan kelinci Asep’s Rabbit Project di Lembang Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada bulan Maret sampai dengan April 2008. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Metode pengolahan digunakan dalam menganalisis kuantitatif adalah analisis kelayakan finansial dan analisis switching value. Untuk menguji kelayakan usaha ternak kelinci secara finansial digunakan alat ukur sebagai berikut : Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Internal Rate of Return (IRR) dan Payback periode.

Umur proyek yang digunakan dalam analisis ini adalah selama 5 tahun. Hal tersebut berdasarkan umur produktif indukan kelinci betina yang merukan faktor paling penting dalam peternakan kelinci serta memiliki nilai investasi terbesar. Pola usaha yang terdapat dalam penelitian ini dibuat berdasarkan data-data yang terdapat di lapangan. Pola usaha I, II dan III merupakan pola usaha yang akan dipilih oleh Asep’s Rabbit Project sebagai pengambangan peternakan kelinci.

Hasil analisis kualitatif dari apek pasar, aspek manajemen, dan aspek teknis menunjukan bahwa usaha peternakan kelinci Asep’s Rabbit Project layak untuk dilaksanakan. Hal tersebut ditunjukan oleh produk yang dihasilkan pada usaha budidaya anakan kelinci dan budidaya kelinci pedaging merupakan produk yang sesuai dengan permintaan pasar dan harga yang ditawarkan pun merupakan harga yang terjangkau oleh konsumen, adanya struktur organisasi dan pembagian pekerjaan yang jelas, dan juga telah memenuhi syarat teknis tersebut seperti,

pada ketiga pola usaha layak untuk dilaksanakan. Hal tersebut dapat dilahat dari hasil perhitungan pada pola usaha I didapat nilai NPV sebesar 363,12 juta, Net B/C sebesar 1,88, IRR sebesar 31 persen dan payback periode selama 3,17. Nilai ini menunjukan bahwa keuntungan yang diperoleh pada kegiatan usaha pembenihan kelinci dan kelinci pedaging adalah sebesar Rp 363.123.588 selama 5 tahun menurut nilai sekarang. Nilai Net B/C yang diperoleh adalah 1,88 yang berarti untuk setiap satu rupiah yang diinvestasikan atau dikeluarkan memberikan manfaat sebesar 1,88. Internal Rate of Return yang diperoleh yaitu 31 persen menunjukan bahwa tingkat suku bunga atau tingkat diskonto 31 persen merupakan tingkat diskonto yang menghasilkan nilai NPV sebesar nol. Serta payback periode dapat diketahui bahwa masa yang dibutuhkan untuk mengembalikan nilai investasi adalah selama 3,17 atau selama 3 tahun 2 bulan dan 12 hari.

Pola usaha II didapat nilai NPV sebesar 238,83 juta, Net B/C sebesar 1,56, IRR sebesar 20 persen dan payback periode selama 2,47. Nilai ini menunjukan bahwa keuntungan yang diperoleh pada kegiatan usaha budidaya anakan kelinci adalah sebesar Rp 238.830.471 selama 5 tahun menurut nilai sekarang. Nilai Net B/C yang diperoleh adalah 1,56 yang berarti untuk setiap satu rupiah yang diinvestasikan atau dikeluarkan memberikan manfaat sebesar 1,56. Internal Rate of Return yang diperoleh yaitu 20 persen menunjukan bahwa tingkat suku bunga atau tingkat diskonto 20 persen merupakan tingkat diskonto yang menghasilkan nilai NPV sebesar nol. Serta payback periode dapat diketahui bahwa masa yang dibutuhkan untuk mengembalikan nilai investasi adalah selama 2 tahun 5 bulan dan 20 hari.

Pola usaha III didapat nilai NPV sebesar 115.97 juta, Net B/C sebesar 2,33, IRR sebesar 43 persen dan payback periode selama 4,66. Nilai ini menunjukan bahwa keuntungan yang diperoleh pada kegiatan usaha budidaya kelinci pedaging adalah sebesar Rp 115.979.976 selama 5 tahun menurut nilai sekarang. Nilai Net B/C yang diperoleh adalah 2,33 yang berarti untuk setiap satu rupiah yang diinvestasikan atau dikeluarkan memberikan manfaat sebesar 2,33. Internal Rate of Return yang diperoleh yaitu 43 persen menunjukan bahwa tingkat suku bunga atau tingkat diskonto 43 persen merupakan tingkat diskonto yang menghasilkan nilai NPV sebesar nol. Serta payback periode dapat diketahui bahwa masa yang dibutuhkan untuk mengembalikan nilai investasi adalah selama 4 tahun 7 bulan dan 28 hari.

Hasil analisis switching value menunjukan bahwa peternakan kelinci pada ketiga pola usaha peka terhadap penurunan harga output dan penurunan produksi. Ketiga pola usaha ini kurang peka terhadap peningkatan harga indukan dan harga pakan. Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan analisis switching value pola usaha I didapat nilai switching value terhadap penurunan harga output dan penurunan produksi sebesar 33,56 persen, angka tersebut mengandung arti bahwa penurunan produksi yang masih ditoleransi oleh kelayakan usaha adalah lebih kecil dari 33,56 persen atau produksi lebih besar dari 2325 ekor pada tahun pertama dan lebih besar dari 3986 ekor pada tahun berikutnya serta penurunan harga output di bawah Rp 33.220, peningkatan harga indukan sebesar 181,88

output dan penurunan produksi sebesar 22,08 persen Hal ini mengandung arti bahwa penurunan harga output yang masih ditoleransi oleh kelayakan usaha adalah lebih kecil dari 22,08 persen atau dengan kata lain usaha masih layak dijalankan apabila harga anakan kelinci lebih tinggi dari Rp 38.960 dan apabila produksi anakan kelinci lebih tinggi dari 2727 ekor pada tahun pertama dan 4675 pada tahun berikutnya, peningkatan harga indukan sebesar 153,85 persen atau harga indukan yang menyebabkan usaha ini tidak layak adalah lebih besar sama dengan Rp 3.077.000 per ekor, dan peningkatan harga pakan sebesar 228,60 persen, artinya usaha peternakan ini masih layak dijalankan apabila harga pakan lebih kecil dari Rp 10.241 per kilogram.

Pada pola usaha III didapat nilai switching value terhadap penurunan harga output dan penurunan produksi sebesar 15,56 persen, ini mengandung arti bahwa penurunan harga output yang masih ditoleransi oleh kelayakan usaha adalah lebih kecil dari 15,56 persen atau dengan kata lain usaha masih layak dijalankan apabila harga kelinci pedaging lebih tinggi dari 15,199 per kg hidup dan apabila produksi anakan kelinci lebih tinggi dari 2111 ekor pada tahun pertama dan 5066 pada tahun berikutnya, peningkatan harga indukan sebesar 192.33 persen Ini berarti kenaikan harga indukan yang masih dapat ditoleransi usaha adalah sebesar 192.33 persen atau kenaikan harga indukan di bawah Rp 637,005 per ekor, dan peningkatan harga pakan sebesar 127,53 persen Hal ini berarti kenaikan harga pakan yang masih ditoleransi usaha lebih kecil dari 127.53 persen atau harga pakan berada di bawah Rp 3163 per kg.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah : Pertama berdasarkan analisis kelayakan yang meliputi aspek pasar, aspek manajemen, dan aspek teknis maka pengusahaan peternakan kelinci pada perencanaan proyek ketiga pola usaha layak untuk dilaksanakan. Kedua berdasarkan analisis kelayakan finansial pada pengusahaan peternakan kelinci pada ketiga pola usaha layak untuk dilaksanakan. Namun usaha yang paling menguntungkan untuk dilaksanakan sebagai pengembangan usaha Asep’s Rabbit Project yaitu usaha pola usaha I dengan biaya yang dikeluarkan relatif lebih tinggi. Ketiga berdasarkan analisis switching value, penurunan harga output dan penurunan produksi merupakan faktor yang sensitif terhadap perubahan. Peningkatan pada harga indukan dan harga pakan tidak sensitif terhadap perubahan. Hal tersebut dikarenakan biaya pada pengadaan indukan jauh lebih kecil daripada penerimaan yang didapatkan dari pengusahaan peternakan kelinci, walaupun persentase biaya pengeluaran pakan terhadap tolal biaya operasional cukup tinggi.

Saran yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah : Pertama Asep’s Rabbit Project sebaiknya memilih pola usaha I yaitu budidaya anakan kelinci dan penjualan kelinci pedaging sebagai pengembangan usaha peternakan kelinci karena memiliki nilai proyek dan tingkat pengembalian terbesar. Selain itu pola usaha III juga dapat dipilih sebagai pengembanagan Asep’s Rabbit Project karena memiliki struktur biaya terkecil dan tingkat pengembalian yang cukup menjanjikan. Kedua Dari analisis switching value, perubahan output sangat mempengaruhi kelayakan produksi, salah satunya dapat disebabkan oleh penyakit yang menyerang kelinci. Oleh karena itu peternak diharapkan menjaga kebersihan

agar peternakan kelinci dapat berkembang dan menjadi satu alternatif bahan pangan sumber protein.