• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA 115 LAMPIRAN

1.1 Latar Belakang

Swasembada beras tahun 1984 merupakan keberhasilan Indonesia dalam mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Swasembada beras mampu merubah posisi Indonesia dari negara pengimpor menjadi negara pengekspor beras (Krisnamurthi, 2001). Tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi yang menyebabkan tingginya tingkat inflasi. Kenaikan harga secara umum berdampak pada kenaikan harga input usahatani padi, seingga petani tidak mampu membeli pupuk dan pestisida dalam jumlah yang cukup untuk usahataninya sehingga berdampak pada penurunan produksi beras nasional. Gema keberhasilan swasembada beras tidak dirasakan lagi hingga saat ini, bahkan pemerintah harus mengimpor beras untuk mencukupi kebutuhan konsumsi penduduk.

Sementara itu laju pertumbuhan penduduk terus meningkat yang tentunya diikuti pula oleh peningkatan konsumsi pangan penduduk. Tahun 2001 tingkat konsumsi penduduk Indonesia sebesar 27.427.000 ton beras dengan jumlah penduduk sebesar 209.372.000 jiwa.1 Saat ini penduduk Indonesia sebesar 210 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,6 persen membutuhkan sekitar 54 juta ton GKG pertahun atau setara dengan 35 juta ton beras dengan laju kebutuhan 2-3 persen pertahun. Keadaan di lapang menunjukkan produktivitas padi rata-rata 4,7 ton/ha. Sementara dari luasan lahan yang ada sekitar 11 juta ha, produktivitas padi rata-rata harus mencapai diatas 4,9 ton/ha agar ketahanan pangan tercapai.2

1

http://www.euromonitor.com.2007/20/07. 2

Melihat kondisi demikian, pemerintah melakukan percepatan peningkatan produksi dengan menetapkan sasaran peningkatan produksi beras nasional dua juta ton tahun 2007. Salah satu usaha yang ditempuh pemerintah yaitu melalui pengembangan padi hibrida varietas unggul. Potensi genetik varietas unggul padi hibrida tersebut dapat diaktualisasikan dengan dukungan input produksi yang relatif tinggi seperti penggunaan pupuk anorganik dan racun pestisida. Sementara di sisi lain, kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari penggunaan bahan-bahan kimia terutama yang bersumber dari residu kimia pertanian telah banyak dirasakan dampak negatifnya.

Residu bahan kimia tidak hanya mencemari lingkungan seperti air dan tanah, tetapi juga banyak residu pestisida yang tertinggal pada produk tanaman pangan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan bila mengkonsumsi bahan pangan tersebut. Penelitian Maastricht Ageing Belanda menyimpulkan bahwa unsur kimia dan pestisida yang terkandung dalam makanan konsumsi sehari-hari dapat menyebabkan gangguan kesadaran (cognitive dysfunction) seperti sulit mengeja, membaca, menulis, membedakan warna, termasuk berbicara (830 responden, 629 orang terpapar pestisida). Lebih berbahaya lagi, resiko terhadap gangguan fisik otak akan semakin besar. Bagi wanita, pestisida menjadi salah satu penyebab kanker payudara (sangat rawan).3

Pertanian alternatif banyak berkembang saat ini sebagai dalam usaha mengalihkan konsekuensi-konsekuensi negatif pertanian konvensional, beberapa format sistem pertanian berkelanjutan telah direkomendasikan sebagai pertanian

3

alternatif untuk mencapai tujuan sistem produksi pertanian yang dapat menguntungkan secara ekonomi dan aman secara lingkungan. Selain itu, berkembangnya slogan Back to Nature di berbagai negara dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya hidup sehat, merubah gaya hidup sebagian masyarakat modern termasuk pola konsumsi yang mensyaratkan pangan aman dikonsumsi dan bergizi tinggi. Akibatnya permintaan produk-produk pangan yang bebas penggunaan bahan kimia dalam produksinya atau dikenal sebagai produk organik meningkat termasuk komoditi beras. Situasi pasar dunia produk organik di negara-negara Eropa cenderung terus meningkat setiap tahunnya. Tahun 1997 meningkat kurang lebih 1.5 persen, dan kenaikan pangsa pasar produk organik 3 persen sampai 10 persen cukup realistik (Thimm, 1991 dalam Sutanto 2006). Sementara perdagangan produk organik di Amerika Serikat meningkat lebih dari 20 persen dengan potensi segmen konsumen baru sebesar 25 sampai 35 persen dan pangsa pasar mencapai dua persen (Sutanto, 2006). Pertumbuhan pasar beras organik Indonesia sendiri sekitar 22 persen per tahun dan pada tahun 2005 pasar beras organik mencapai Rp 28 milyar.

Melihat potensi yang besar dari pasar beras organik, pemerintah bertekad untuk menjadi produsen terbesar dunia produk pertanian organik melalui program “Go Organic 2010”. Untuk melaksanakan program tersebut, Subdit Pengelolaan Lingkungan, Direktorat Pengambangan Usaha, Departemen Pertanian melakukan kegiatan sebagai berikut:

1. Memasyarakatkan pertanian organik kepada konsumen, petani pelaku pasar, serta masyarakat luas.

2. Memfasilitasi percepatan penguasaan, penerapan, pengembangan dan penyebarluasan teknologi pertanian.

3. Memberdayakan potensi dan kekuatan masyarakat untuk mengembangkan infrastruktur pendukung pertanian organik.

4. Merumuskan kebijakan, norma, standar teknis, sistem dan prosedur yang kondusif untuk pengembangan pertanian organik.

Berkembangnya pertanian yang berbasis pada bahan-bahan organik dalam penggunaan input produksi menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Pihak yang mendukung pengembangan pertanian organik bertolak pada keperihatinannya terhadap keamanan pangan, kondisi lingkungan pertanian, dan kesejahteraan petani secara mikro. Sementara kelompok yang kontra diwakili para peneliti padi di berbagai negara bertitik tolak dari kekhawatirannya terhadap keberlanjutan ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani sacara menyeluruh. Pandangan dari golongan kontra menyatakan bahwa secara teknis sistem organik tidak mampu mendorong produktivitas dan bahkan cenderung menurun. Hal ini tidak relevan dengan keberlanjutan ketahanan pangan. Sistem pertanian organik akan lebih menguntungkan bila diterapkan pada komoditas bernilai ekonomi tinggi.4

Konsep padi organik sebenarnya sudah sejak lama dikenal oleh petani sebagai sistem pertanian tradisional, hingga pemerintah mengenalkan paket teknologi pertanian yang mengutamakan penggunaan input produksi anorganik sebagai upaya peningkatan produktivitas pangan nasional. Penerapan pertanian organik mengacu pada standar organik yang berlaku seperti standar pangan

4

organik SNI 01-6729-2002, sementara ditingkat internasional standar yang digunakan yaitu IFOAM Basic Standard (IBS) atau Codex Alimentarius Commission (CAC) (CAC/GL-32-1999). Proses produksi pertanian organik mengacu pada dua standar tersebut agar produk yang dihasilkan dapat diklaim sebagai produk organik. Sistem pertanian organik murni sulit diupayakan dalam budidaya tanaman padi karena pada umumnya ditanam pada hamparan lahan yang luas dengan sumber irigasi yang sama. Mengacu pada istilah yang digunakan dalam standar nasional SNI tentang pangan organik, sistem pertanian yang belum sepenuhnya menghilangkan residu kimia dalam proses produksinya lebih tepat menggunakan istilah pertanian ramah lingkungan.

Dokumen terkait