• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV METODE PENELITIAN

5.4 Budidaya Padi Ramah Lingkungan Metode SR

5.4.1 Pengolahan Tanah

5.4.2.2 Perlakuan benih sebelum sebar

Benih merupakan faktor produksi yang sangat menentukan dalam kegiatan usahatani selain faktor-faktor produksi lainnya. Benih yang baik akan menghasilkan pertumbuhan tanaman yang optimal dilahan. Beberapa kegiatan yang dilakukan petani di Desa Ponggang dalam mempersiapkan benih untuk sebar yaitu proses seleksi dan perendaman benih. Perlakuan benih untuk padi ramah lingkungan metode SRI sedikit berbeda dengan perlakuan benih padi konvensional. Terdapat perlakuan tambahan bagi benih padi ramah lingkungan metode SRI dalam proses seleksi benih dimana benih diseleksi dengan perlakuan

air garam (Lampiran 2). Namun untuk proses selanjutnya benih mendapat perlakuan yang sama (perendaman benih).

Perendaman benih dilakukan untuk merangsang perkecambahan, sehingga diperoleh benih yang siap disebar dan tumbuh secara optimal di lahan persemaian. Kegiatan ini berlaku bagi benih padi ramah lingkungan metode SRI maupun padi konvensional, namun benih padi ramah lingkungan sebelumnya telah diseleksi dengan larutan garam sebelum direndam. Benih dimasukan kedalam karung, kemudian direndam selama 24 jam. Setelah perendaman, benih dicuci sambil dipisahkan antara benih yang bernas dengan benih hampa dan kotoran lainnya. Setelah itu, benih kembali didiamkan selama 12 jam sebelum tanam.

5.4.3 Penanaman (Tandur)

Bibit siap ditanam ketika mencapai umur yang optimal untuk dipindah ke lahan. Hal ini terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, terutama perkembangan anakan setelah ditanam. Selain itu, faktor yang berpengaruh dalam menentukan umur bibit yaitu musim tanam. Penentuan umur bibit untuk padi ramah lingkungan SRI lebih didasarkan pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman di lahan. Bibit umur muda akan menghasilkan anakan yang banyak karena masih dalam masa pertumbuhan generatif yang tinggi. Petani padi ramah lingkungan menggunakan bibit yang relatif masih muda (7-14 hari). Bibit pada umur ini sudah memiliki dua helai daun atau lebih dengan tinggi + 10-15 cm. Sehingga bibit perlu diperlakukan secara hati-hati terutama pada bagian akar agar tidak rusak saat dicabut dari persemaian.

Tanaman padi konvensional menggunakan bibit yang telah berumur 20-28 hari setelah disemai. Petani padi konvensional di Desa Ponggang menggunakan

bibit umur 20-23 hari setelah semai untuk penanaman musim kemarau. Sementara penanaman untuk musim hujan menggunakan bibit yang berumur 26-28 hari setelah disemai. Umur bibit yang digunakan untuk penanaman musim hujan (paceklik) relatif lebih tua dibandingkan musim tanam kemarau (musim Ketiga). Alasannya adalah tingkat serangan penyakit dan hama pada musim paceklik lebih tinggi, sehingga membutuhkan bibit tua karena relatif lebih tahan terhadap serangan penyakit. Musim tanam paceklik dimulai pada bulan Desember hingga Maret dan dilanjutkan pada Agustus sampai November. Sementara musim tanam ketiga dimulai pada bulan April hingga Juli.

Sebelum bibit ditanam, lahan dibuat pola jarak tanam dengan menggunakan alat caplakan. Menaplak lahan dilakukan dua kali dengan arah berlawanan (vertikal-horisontal) sehingga terbentuk pola tanam dengan jarak tanam yang telah ditentukan pada caplakan. Usahatani padi ramah lingkungan SRI menggunakan jarak tanam lebar yaitu 25 x 25 cm2 sampai 30 x 30 cm2. Jarak tanam tersebut relatif lebih luas dibandingkan jarak tanam padi konvensional (22x22 cm2 sampai 25x25 cm2). Asumsinya adalah, jarak tanam luas akan memberikan banyak ruang bagi tanaman untuk memperoleh oksigen dan unsur hara, sehingga tanaman akan tumbuh optimal dengan jumlah anakan maksimal. Jumlah anakan untuk padi ramah lingkungan SRI minimal 45 anakan, bahkan ada yang mencapai 120 tunas/anakan.

Cara penanaman padi ramah lingkungan metode SRI sedikit berbeda dari penanaman padi konvensional pada umumnya. Bibit ditanam satu bibit per umpun (tanam tunggal) atau maksimal dua bibit per umpun dengan kedalaman yang dianjurkan sekitar 1-1.5 cm. Batang dan akar bibit ditanam membentuk huruf L.

Sementara bibit padi konvensional biasanya ditanam minimal 4 bibit per umpun dan ujung akar tanaman biasanya masih berada dipermukaan tanah.

5.4.4 Penyiangan

Penyiangan dilakukan untuk membersihkan atau mengurangi tanaman selain tanaman pokok (padi) atau tanaman gulma. Kegiatan penyiangan dilakukan untuk mengurangi populasi gulma yang dapat menjadi pesaing dalam penyerapan hara, selain itu mencegah serangan hama terutama tikus. Gulma dicabut secara manual dengan tangan (ngarambet) terutama disekitar rumpun padi, kemudian dibenamkan ke lumpur atau dibuang ke pematang sawah.

Sebelum kegiatan ngarambet dilakukan, biasanya petani mengurangi gulma dengan kegiatan ngagarok. Kegiatan ini dilakukan dengan bantuan alat yang pada umumnya dibuat sendiri oleh petani. Beberapa petani padi ramah lingkungan metode SRI tidak melakukan kegiatan ini karena dapat merusak perakaran tanaman padi. Kegiatan. Penyiangan pada umumnya dilakukan dua kali yaitu ketika tanaman padi berumur 15 HST dan umur tanaman 30 HST. Namun kegiatan ini dapat disesuaikan dengan pertumbuhan gulma di lahan. Pada penyiangan kedua, kegiatan ngagarok tidak dilakukan karena pertumbuhan gulma sudah berkurang.

5.4.5 Pemupukan

Kandungan unsur hara yang terdapat dalam tanah tidak cukup untuk kebutuhan tanaman, karena ketersediaannya terbatas. Sehingga kebutuhan hara tanah perlu ditambah dari luar dengan pupuk organik maupun pupuk anorganik (kimia). Kegiatan pemupukan yang dilakukan petani padi ramah lingkungan dan

petani pemupukan padi konvensional dalam satu musim tanam pada umumnya sama, yaitu 2-3 kali pemupukan. Sementara pemupukan berdasarkan rekomendasi pemerintah untuk padi konvensional dilakukan tiga kali untuk pupuk urea, sementara TSP dan KCl diberikan sekaligus saat pemupukan pertama. Dosis yang diberikan per hektar sebagai berikut 200-300 kg urea, 100 kg TSP dan 50 kg KCl. Perbedaannya hanya terletak pada jenis pupuk yang digunakan.

Pupuk yang digunakan dalam usahatani padi ramah lingkungan metode SRI menggunakan pupuk bokashi, Sementara petani padi konvensional masih tetap menggunakan pupuk buatan pabrik (urea, TSP, KCl). Pupuk bokashi terdiri dari bahan-bahan organik yang sebagian besar terdiri dari kotoran hewan atau pupuk kandang, sisanya adalah sekam, hijauan dan bahan-bahan lainnya yang telah dikompos dengan bantuan mikroorganisme. Kotoran hewan banyak mengandung unsur hara seperti yang terdapat dalam pupuk kimia konvensional. Kandungan unsur hara beberapa kotoran hewan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kandungan Unsur Hara Pada Beberapa Kotoran Hewan Unsur hara (%)

Jenis kotoran hewan

Nitrogen Fosfor Kalium

Ayam 1,0-2,1 8,9-10,0 0,4

Sapi 0,5-1,6 2,4-2,9 0,5

Kerbau 0,6-0,7 2,0-2,5 0,4

Kuda 1,5-1,7 3,6-3,9 4,0

Sumber : laboratorium ilmu tanah, Fak. Pertanian UGM dalam Sutanto, 2006.

Pupuk bokashi pada umumnya dibuat sendiri oleh petani dengan menggunakan bahan-bahan yang tersedia di lingkungan masing-masing, sehingga secara aktual petani tidak mempunyai pedoman khusus dalam komposisi bahan- bahan organik yang digunakan. Biasanya sebagian besar komposisi bokashi terdiri

dari kotoran hewan (60-70 %), sisanya adalah hijauan, jerami, sekam. Secara umum pembuatan bokashi dapat dilihat pada Lampiran 3.

Pupuk bokashi diaplikasikan dengan dua cara, yaitu disebar langsung sepanjang alur antara rumpun padi dan cara kedua yaitu dengan menempatkan bokashi pada tiap rumpun padi. Awal pengembangan padi SRI, pupuk bokashi diberikan saat pengolahan tanah. Hal ini dikarenakan sebelumnya tanah belum menerima pupuk organik (non kimia). Pemberian pupuk bokashi dilakukan saat umur tanaman 15 HST atau setelah ngarambet pertama. Kebutuhan pupuk bokashi yang digunakan oleh petani ramah lingkungan di Desa Ponggang rata-rata 3,862.18/ha. Pemberian pupuk bokashi dapat dilakukan kembali bila perkembangan tanaman dirasakan belum optimal. Pemupukan kedua ini dapat dilakukan setelah tanaman berumur 30 HST.

Pupuk daun atau pupuk pelengkap cair (PPC) yang digunakan petani biasanya menggunakan pupuk buatan pabrik. Sementara, petani padi ramah lingkungan pada umumnya memperoleh pupuk daun dengan cara membuat sendiri dari bahan hijuan dan bahan-bahan lainnya. Pupuk daun yang digunakan petani padi ramah lingkungan tersebut dikenal sebagai Mikro Organisme Lokal (MOL).

MOL merupakan larutan dari berbagai bahan organik yang telah difermentasi. Bahan organik yang digunakan dalam pembuatan MOL disesuaikan dengan bahan-bahan organik yang tersedia. MOL terbuat dari berbagai bahan organik yang biasanya dinamakan sesuai dengan bahan dasar pembuatan MOL seperti MOL rebung, MOL Bonggol pisang, MOL ikan asin dan lain-lain. Cara pembuatan MOL dapat dilihat pada Lampiran 4. MOL tidak memiliki efek

samping yang menyebabkan overdosis pada tanaman padi, sehingga penyemprotan bisa dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman padi dan kemampuan petani. Namun, pada beberapa tanaman hortikultura dapat menyebabkan kematian tanaman bila diberikan dosis berlebihan. Dosis yang dianjurkan untuk penggunaan MOL pertengki sprayer yaitu 50:50. Namun petani di Desa Ponggang biasanya menggunakan dosis + 250 ml (seukuran gelas air minum mineral). Rata-rata kebutuhan MOL yang digunakan petani sebanyak 47.94 liter/ha. Kegiatan penyemprotan pupuk daun biasanya dilakukan pada umur tanaman padi sebagai berikut : 15 HST, 25 HST, 35 HST, 45 HST dan 60 HST.

Dokumen terkait