• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV METODE PENELITIAN

VI ANALISIS SISTEM USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

6.1 Penggunaan Input 1 Benih

Benih yang digunakan petani di Desa Ponggang baik petani padi ramah lingkungan maupun padi konvensional pada umumnya menggunakan benih hasil panen sebelumnya (benih tradisional). Berdasarkan data yang diperoleh, petani padi ramah lingkungan yang menggunakan benih hasil pertanaman sebelumnya sebesar 62,42 persen, sisanya menggunakan benih berlabel (44,16 %). Jumlah petani padi konvensional yang menggunakan benih tradisional jauh lebih besar dari jumlah petani padi ramah lingkungan yaitu 94,73 persen, sisanya menggunakan benih berlabel (5,27 %). Hal ini menunjukkan bahwa keputusan petani padi ramah lingkungan dalam hal penggunaan benih sudah lebih rasional dengan melihat potensi produksi yang akan diperolehnya.

Berdasarkan data yang diperoleh, kebutuhan benih yang digunakan petani padi ramah lingkungan pada musim tanam periode Agustus-November 2007 (musim rendeng pertama) rata-rata sebesar 13,53 kg/ha. Jumlah tersebut melebihi jumlah benih yang dianjurkan yang berkisar 5-7 kg/ha. Faktor tingginya serangan

hama dan penyakit serta tanaman muda yang lebih rentan mati di lahan saat musim hujan membuat petani menggunakan benih dalam jumlah yang melebihi anjuran sebagai tindakan antisipasi. Namun jumlah tersebut masih dalam jumlah yang ditoleran (maksimal 15 kg/ha). Bila dibandingkan dengan penggunaan benih pada usahatani padi konvensional, jumlah tersebut jauh berbeda dimana petani padi konvensional rata-rata menggunakan benih sebesar 59,37 kg/ha dari jumlah yang dianjurkan pemerintah sebesar 25 kg/ha. Padi konvensional biasanya ditanam 3-5 bibit per umpun bahkan lebih dengan jarak tanam rapat (22x22 cm2 - 25x25 cm2). Selain itu, banyaknya gabah hampa saat proses seleksi benih mempengaruhi jumlah benih yang digunakan. Dengan demikian, usahatani padi ramah lingkungan metode SRI dapat menghemat penggunaan benih sebanyak 11,47 kg atau mengurangi biaya pembelian benih sebesar Rp 75.994,49/ha pada harga rata-rata Rp 6.625,50/kg. Sebaliknya, petani padi konvensional menggunakan benih yang melebihi anjuran pemerintah sehingga terjadi pemborosan biaya untuk pembelian benih Rp 97.068,76/ha (harga rata-rata benih tradisional Rp 2.823,84/kg).

Tabel 10 memperlihatkan bahwa varietas yang banyak digunakan oleh petani di Desa Ponggang pada umumnya menggunakan benih varietas Ciherang kemudian disusul varietas Bapuk. Varietas Ciherang sudah lama dikenal di masyarakat sehingga sulit dipisahkan dari usahatani padi. Sementara benih Varietas Bapuk merupakan benih lokal sejenis IR-64 yang telah lama digunakan petani di desa Ponggang. Namun, kualitas beras dari benih varietas Bapuk tidak lebih baik dari padi Ciherang, karena berasnya tidak pulen, sehingga gabah padi jenis Bapuk kurang diminati pedagang. Petani padi konvensional lebih banyak

menggunakan benih Bapuk (52,63 %) dan sebanyak 31,58 persen menggunakan benih Ciherang. Kondisi sebaliknya pada petani padi ramah lingkungan, sebanyak 47,37 persen petani menggunakan benih ciherang, kemudian benih bapuk (21,05 %). Penggunaan benih oleh petani padi ramah lingkungan lebih variatif seperti yang terlihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Varietas Benih yang digunakan Petani Responden di Desa Ponggang (perode tanam Agustus-November) Tahun 2007

Padi Ramah Lingkungan Padi Konvensional

No. Varietas Jumlah Responden

( %) Jumlah Responden (%) 1. Ciherang 47,37 31,58 2. IR 64 10,53 10,53 3. Bapuk 21,05 52,63 4. Bromo 5,26 - 5. Mekongga 10,53 - 6. Intani 5,26 - 7. Widasari - 5,26 * OP : Benih Open Pollinatian (persarian terbuka)

Informasi lain yang dapat diperoleh dari Tabel 10 yaitu hampir seluruhnya (99 %) benih yang digunakan merupakan benih non hibrida (persarian terbuka) baik yang diperoleh dari produsen benih (benih berlabel) maupun benih dari hasil tanaman sebelumnya (benih tradisional). Hanya satu persen petani yang menggunakan benih hibrida dengan merek dagang Intani. Benih hibrida sulit ditemukan di Desa Ponggang dan sekitarnya, sehingga tidak banyak petani yang menggunakannya. Selain itu, harganya relatif lebih mahal dari benih non hibrida. Harga benih non hibrida berlabel yang digunakan petani padi ramah lingkungan rata-rata Rp 6.625,50/kg dan benih tradisional Rp 2.823,84/kg, sementara benih hibrida varietas Intani Rp 40.000,00/kg. Benih padi hibrida memiliki

produktivitas yang lebih tinggi (mencapai 6-7 ton/ha) sementara benih non hibrida rata-rata memiliki produktivitas 4 ton/ha.

6.1.2 Pupuk

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, pupuk yang digunakan petani padi ramah lingkungan metode SRI seluruhnya telah menggunakan pupuk organik, sementara petani padi konvensional masih menggunakan pupuk anorganik (pupuk kimia) seperti urea, TSP dan KCl. Definisi pupuk organik dalam International Organization for Standardization (ISO) adalah bahan organik atau bahan karbon yang ditambahkan ke dalam tanah secara spesifik sebagai unsur hara yang mengandung nitrogen dari tumbuhan atau hewan (Sutanto (2006). Pada umumnya pupuk diberikan melalui serapan akar tanaman dengan cara disebar atau ditabur dan melalui daun dengan cara disemprot.

Petani padi ramah lingkungan memupuk tanamannya dengan pupuk kompos. Pupuk kompos dibuat dari berbagai campuran bahan organik seperti pupuk kandang (kotoran ayam, domba, sapi), sekam, sampah dapur, hijauan dan bahan lainnya yang berasal dari hasil limbah pengolahan produk ternak yang kemudian didekomposisikan. Bila ditambahkan campuran mikroorganisme dalam proses dekomposisi maka hasilnya disebut pupuk bokashi. Biasanya petani membuat sendiri pupuk kompos/bokashi dengan bahan-bahan yang tersedia disekitar pekarangan mereka.

Pupuk bokashi yang digunakan petani padi ramah lingkungan rata-rata sebesar 3.862,18 kg/ha dengan harga Rp 473,25/kg. Jumlah tersebut masih jauh dari jumlah yang dianjurkan yaitu sebesar 20 ton/ha. Hal ini dikarenakan petani masih memanfaatkan bahan-bahan organik yang tersedia di lingkungan mereka.

Sementara persaingan dalam penggunaan pupuk kandang diantara petani semakin meningkat, sehingga jumlah pupuk kandang yang digunakan untuk campuran bahan bokashi disesuaikan dengan ketersediaannya. Mengantisipasi ketersediaan pupuk kandang yang semakin berkurang, beberapa petani menambahkan hijauan dan bahan lainnya sebagai substitusi pupuk kandang. Biaya produksi untuk membuat kompos/bokasi bila dilakukan sendiri bervariasi sesuai dengan komposisi yang digunakan yaitu berkisar Rp 200,00-Rp 750,00 per kilogram.

Pemberian pupuk organik yang selalu dilakukan sejak pengembangan padi ramah lingkungan di Desa Ponggang pada awal tahun 2005 diduga telah merubah struktur fisik tanah yang lebih baik dan menambah kandungan hara. Menurut petani responden, manfaat pupuk organik (bokashi) sudah dirasakan terutama saat pengolahan tanah. Lahan yang diberikan pupuk kompos/bokashi lebih cepat dikerjakan karena tanah lebih gembur, sehingga pengolahan lebih mudah. Selain itu, tanaman terlihat lebih hijau dan segar dibandingkan tanaman padi yang diusahakan secara konvensional. Namun, dampak negatif dari penggunaan pupuk organik yaitu sering terjadi longsor pematang sawah serta bertambahnya aktivitas hewan sawah yang merusak pematang sawah, seperti belut.

Penggunaan pupuk kimia dalam usahatani padi konvensional biasanya menggunakan urea, TSP dan KCl. Dosis penggunaan yang dianjurkan untuk urea 200 kg/ha, sementara pupuk TSP dan KCl diberikan pada dosis yang sama yaitu 100 kg/ha. Berdasarkan data yang diperoleh, petani padi konvensional hanya menggunakan pupuk urea dan TSP, sementara pupuk KCl tidak digunakan karena sulit ditemukan di kioa-kios penjual saprotan. Sebagai penggantinya, petani menggunakan pupuk ponska (pupuk majemuk) untuk melengkapi pupuk urea dan

TSP. Jumlah petani yang menggunakan pupuk majemuk ponska hanya 26,32 persen dari total 19 responden karena harganya lebih mahal. Sisanya hanya menggunakan pupuk urea dan TSP untuk pupuk akar. Penggunaan pupuk pada usahatani padi konvensional disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Penggunaan Rata-Rata Pupuk Urea, TSP dan Ponska dalam Usahatani Padi Konvensional Periode Tanam Agustus-November Tahun 2007 (kg/ha)

Penggunaan pupuk anorganik oleh petani padi konvensional seperti pada Tabel 11 melebihi dosis yang dianjurkan. Bahkan kelebihan pupuk dari penggunaan pupuk urea sebesar 282,99 persen, kemudian disusul penggunaan pupuk TSP yang mencapai 103,34 persen. Hal tersebut menyebabkan tingginya biaya pengadaan pupuk anorganik dalam usahatani padi konvensional. Lebih lanjut biaya pengadaan pupuk merupakan biaya terbesar kedua (59,65 % dari biaya total) setelah biaya tenaga kerja. Jika melihat output yang dihasilkan, ternyata produksi GKP yang dihasilkan tidak lebih dari produktivitas padi kovensional pada umumnya yaitu 3,931.70 kg/ha. Dengan demikian petani perlu lebih bijak dalam menentukan jumlah penggunaan pupuk, khususnya pupuk urea.

Pupuk daun yang diberikan pada tanaman padi ramah lingkungan metode SRI menggunakan mikroorganisme lokal atau MOL dan beberapa pupuk daun pabrikan yang diklaim sebagai pupuk organik, seperti Bioscore dan Saputra nutrien. Pada umumnya MOL dibuat sendiri oleh petani karena menggunakan bahan-bahan organik yang mudah ditemukan di lingkungan. Berdasarkan data

Jenis pupuk Penggunaan Dosis yang dianjurkan Selisih

Urea 765,98 200,00 565,98

TSP 103,34 100,00 3,34

yang diperoleh, kebutuhan MOL yang digunakan petani pada musim tanam periode Agustus-November 2007 rata-rata sebesar 47,94 liter/ha. Penggunaan MOL tidak memiliki rekomendasi khusus, Semakin banyak digunakan maka akan semakin bagus bagi tanaman. Namun, takaran yang dianjurkan yaitu 50:50. artinya setengah bagian MOL dicampur dengan setengah bagian air.

Penyemprotan MOL yan dianjurkan dalam satu musim tanam dilakukan sebanyak tujuh kali. Bila handsprayer yang digunakan memiliki kapasitas 17 liter, maka diperoleh jumlah penggunaan MOL yang dianjurkan sebanyak 59,50 liter/ha. Dengan demikian, jumlah rata-rata MOL yang digunakan petani (47,94 liter/ha) sudah mendekati jumlah yang dianjurkan. Selain menggunakan MOL, petani menggunakan pupuk daun bermerek (pabrikan), namun jumlahnya sangat kecil yaitu hanya 1,58 persen dari total penggunaan pupuk daun. Penggunaan pupuk daun dalam usahatani padi ramah lingkungan disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Penggunaan Pupuk Daun pada Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI Periode Tanam Agustus-November 2007 (ml/ha)

Jenis Jumlah Persentase (%)

MOL 47.936,84 98,42

Saputra Nutrien 226,97 0,47

Bioscore 544,74 1,12

Pupuk daun yang digunakan petani padi konvensional seluruhnya merupakan pupuk pabrikan yang lebih variatif. Jenis pupuk terdiri dari pupuk cair dan padat (tepung), namun aplikasinya sama yaitu dengan cara disemprot menggunakan handsprayer. Pupuk daun merek Bioscore masih mendominasi penggunaan pupuk daun jenis formula cair yaitu sebesar 42,86 persen kemudian disusul merek Top Jumbo sebesar 14,29 persen. Pupuk daun cair merek Bioscore

merupakan pupuk daun pabrikan yang digunakan baik oleh petani padi konvensional maupun petani padi ramah lingkungan. Hal ini disebabkan karena harganya yang relatif lebih murah diantara pupuk daun pabrikan yang ada. Bioscore dijual dengan harga eceran Rp 10.000,00/liter. Pupuk daun jenis formula padat (serbuk/bubuk) terdiri dari beberapa merek yaitu Gandasil D, Plant Catalis dan Kapu. Diantara merek tersebut, pupuk daun Plant Catalis merupakan pupuk daun jenis formula serbuk yang banyak digunakan yaitu sebesar 85,11 persen. Beberapa merek pupuk daun yang digunakan oleh petani padi konvensional pada Tabel 13.

Tabel 13 Merek dagang dan Jenis Pupuk Daun pada Usahatani Padi Konvensional Musim Tanam (MT) Periode Agustus-November 2007 (Hektar)

No Jenis Satuan Penggunaan Persentase (%)

Cair 1. Bioscore ml 375,79 42,86 2. Top Jumbo ml 125,26 14,29 3. Superpit ml 187,89 21,43 4. Trobos ml 125,26 14,29 5. Citonik ml 62,63 7,14 Bubuk 6. Gandasil D gr 25,05 4,26 7. Plant Catalis gr 501,05 85,11 8. Kapu gr 62,63 10,64 6.1.3 Pestisida

Petani padi konvensional seluruhnya menggunakan pestisida kimia dalam mengendalikan hama dan penyakit dan sebagian kecil digunakan oleh beberapa petani padi ramah lingkungan. Pengendalian hama dan penyakit pada usahatani padi ramah lingkungan dilakukan dengan pengendalian fisik dan penyemprotan. Penyemprotan hama dilakukan dengan menggunakan pestisida nabati yang biasanya dibuat sendiri seperti pada Lampiran 4. Seringkali petani melakukan

tindakan pengendalian bersamaan saat penyemprotan MOL dilakukan (pupuk daun) karena dalam komposisi MOL terkadang dicampurkan bahan-bahan organik seperti gadung, daun nimba dan lain-lain yang dapat mengendalikan hama. Namun, berdasarkan data yang diperoleh, beberapa petani menggunakan pestisida kimia meskipun dalam jumlah yang kecil yaitu sebesar 0,49 persen dari total penggunaan pestisida nabati. Hal ini dilakukan petani karena tingkat serangan hama dan penyakit pada musim tanam rendeng (musim hujan) lebih tinggi dibanding musim kemarau, dan dirasakan penggunaan pestisida nabati tidak mampu secara efektif mengendalikan hama. pengendalian lainnya yaitu dengan mengumpulkan langsung hama yang terdapat pada tanaman (pengendalian fisik).

Pestisida yang digunakan oleh petani padi konvensional terdiri dari dua jenis (berdasarkan cara apliaksinya) yaitu pestisida semprot dan pestisida tabur. Pestisida semprot yang digunakan petani padi konvensional seluruhnya dalam bentuk formula cair dengan beragam merek dagang seperti Cypermax, Meiothrin, Fastac dan lain-lain. Sementara untuk pestisida tabur, petani hanya menggunakan satu merek dagang yaitu Furadan. Petani biasanya melakukan penyemprotan pestisida bila terdapat serangan hama atau penyakit pada tanaman, namun beberapa petani tetap melakukan penyemprotan meskipun tidak terdapat serangan hama sebagai tindakan pencegahan. Hal serupa juga dilakukan dengan cara menaburkan furadan. Rata-rata penggunaan furadan yang dilakukan petani sebesar 4,76 kg/ha.

Berdasarkan data yang diperoleh, pestisida yang banyak digunakan petani yaitu Fastac sebesar 41,55 persen kemudian disusul pestisida merek Chix sebesar 20,35 persen. Jenis obat-obatan lain yang digunakan dalam usahatani padi

konvensional yaitu herbisida. Petani menggunakan herbisida untuk mengurangi pertumbuhan gulma disekitar tanaman, biasanya petani menggunakan merek dagang Indamin. Jumlah petani yang menggunakan herbisida hanya satu persen dari total jumlah responden (19 petani). Beberapa jenis obat-obatan yang digunakan petani padi konvensional dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Jenis Obat-Obatan Pada Usahatani Padi Konvensional Musim Tanam (MT) Periode Agustus-November 2007 (Hektar)

No Jenis obat-obatan Satuan Penggunaan Persentase (%)

Pestisida semprot 1. Cypermax ml 137,79 10,27 2. Meiothrin ml 187,89 14,01 3. Fastac ml 557,42 41,55 4. Chix ml 273,07 20,35 5. Decis ml 185,39 13,82 Pestisida Tabur 6. Furadan kg 4,76 100 7. Herbisida (indamin) ml 187,89 100 6.1.4 Tenaga Kerja

Kebutuhan tenaga kerja yang digunakan petani berasal dari tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Kebutuhan tenaga kerja dalam satu musim tanam yang digunakan petani baik usahatani padi ramah lingkungan maupun padi konvensional di Desa Ponggang pada umumnya relatif sama. Hal ini dikarenakan pada beberapa kegiatan usahatani Namun, kebutuhan tenaga kerja pada beberapa kegiatan dalam usahatani padi ramah lingkungan dengan padi konvensional berbeda. Penggunaan tenaga kerja pada dua jenis usahatani di Desa Ponggang dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Perbandingan Kebutuhan Tenaga Kerja pada Usahatani Padi Ramah Lingkungan Metode SRI dan Usahatani Padi Konvensional Musim Tanam (MT) Periode Agustus-November 2007 (HOK/Ha)

Metode Sri Konvensional

No Kegiatan Kebutuhan (%) Kebutuhan (%) 1 Pengolahan Tanah 54,64 25,29 79,12 37,43 2 Pembibitan 3,63 1,68 2,38 1,13 3 Menaplak 4,81 2,23 3,63 1,72 4 Menanam 25,78 11,93 27,18 12,86 5 Ngagarok 2,45 1,13 7,64 3,61 6 Ngarambet 42,85 19,83 34,32 16,24 7 Pemupukan 17,98 8,32 4,38 2,07 8 Penyemprotan 19,07 8,83 12,28 5,81 9 Nyopak 5,63 2,61 5,01 2,37 10 Ngabutik 8,17 3,78 8,14 3,85 11 Panen 31,05 14,37 27,31 12,92 Total 216,06 100,00 211,39 100,00

Tabel 15 memperlihatkan bahwa kebutuhan total tenaga kerja pada kedua jenis usahatani relatif sama, hanya saja metode SRI lebih banyak yaitu sebesar lima orang. Proporsi kebutuhan tenaga kerja untuk kedua jenis usahatani paling besar dialokasikan pada kegiatan pengolahan tanah, ngarambet dan panen. Pada usahatani padi ramah lingkungan, sebanyak 25,29 persen tenaga kerja dicurahkan untuk melakukan kegiatan pengolahan tanah, kemudian diikuti kegiatan penyiangan dan kegiatan panen yang masing-masing sebesar 20,97 persen dan 14.37 persen. Persentase kebutuhan tenaga kerja yang dicurahkan dalam usahatani padi konvensional relatif sama meskipun dalam pengolahan tanah lebih besar yaitu 37,43 persen.

Perbedaan besar terlihat dalam jumlah penggunaan tenaga kerja dimasing- masing usahatani terlihat pada kegiatan pengolahan tanah, pemupukan dan ngarambet. Tabel 15 memperlihatkan sebanyak 79 HOK dibutuhkan dalam pengolahan tanah padi konvensional, sementara padi ramah lingkungan membutuhkan kurang lebih 55 HOK. Perbedaan dalam penggunaan tenaga kerja

pada kegiatan pengolahan tanah tersebut sekitar 24 HOK atau sekitar 168 jam kerja (7 jam kerja/hari). Hal ini terjadi karena pengolahan tanah sawah yang diusahakan secara ramah lingkungan memiliki struktur tanah yang lebih gembur sehingga lebih cepat diselesaikan dibandingkan pengolahan tanah sawah padi konvensional. Kebutuhan tenaga kerja pada dua kegiatan lainnya yaitu pemupukan dan ngarambet lebih banyak digunakan pada usahatani padi ramah lingkungan. Kedua kegiatan tersebut memerlukan tambahan tenaga kerja lebih banyak karena menggunakan pupuk organik dalam jumlah lebih besar dibanding pupuk anorganik serta pertumbuhan gulma yang lebih banyak. Pemupukan padi ramah lingkungan memerlukan 14 HOK lebih banyak dibanding pemupukan pada padi konvensional, sementara kegiatan nagarambet memerlukan tambahan sekitar 9 HOK.

Upah yang diterima buruh tani pada umumnya sama di Desa Ponggang, baik pada usahatani padi ramah lingkungan maupun padi konvensional. Kisaran upah yang berlaku sebesar Rp 20.000,00 - Rp 25.000,00 untuk hari kerja pria dan Rp 10.000,00 - Rp 15.000,00 untuk hari kerja wanita. Sementara kegiatan yang menggunakan hewan pada kegiatan pengolahan tanah disetarakan dengan 1,6 HKP atau sebesar Rp 40.000,00/HOK dan bagi yang menggunakan mesin traktor setara dengan 4,8 HKP atau sebesar Rp 120.000,00/HOK.

Berdasarkan data di lapang, rata-rata upah dalam usahatani padi ramah lingkungan yang diterima buruh tani pria sebesar Rp 24.281,13/HOK dan upah yang diterima buruh tani perempuan sebesar Rp 15.269,72/HOK. Besaran upah untuk buruh tani pria masih dikisaran pembayaran yang berlaku, sementara upah untuk buruh tani wanita melebihi kisaran yang ada. Hal ini bisa terjadi karena bagi

hasil panen yang diperoleh buruh tani dihitung sebagai upah penyiangan dan panen. Sementara upah yang diterima oleh buruh tani pada usahatani padi konvensional rata-rata yang diterima buruh tani pria sebesar Rp 23.576,85/HOK dan upah yang diterima buruh tani perempuan sebesar Rp 15.429,99/HOK.

Dokumen terkait