• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang

Dalam dokumen Dewinta Ayu Hapsari C0108025 (Halaman 21-36)

Kebudayaan merupakan akar setiap bangsa, termasuk bangsa Indonesia yang memiliki kebudayaan yang beragam. Hal ini dapat terlihat dari peninggalan-peninggalan yang merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Sebagai pewaris kebudayaan, kita wajib melestarikan kebudayaan agar tidak hilang begitu saja. Kebudayaan merupakan hal yang sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari. Peninggalan atau warisan budaya nenek moyang merupakan bentuk kebudayaan sebagai hasil sintesa dari pengalaman-pengalaman masa lalu yang terekam secara berkesinambungan dari kurun waktu yang cukup panjang.

Di antara warisan budaya tersebut adalah karya tulis yang tersimpan pada bahan yang lama seperti batu, logam, kulit binatang, kulit kayu dan kertas (Baried,dkk, 1994:1). Salah satu peninggalan tertulis yang kini kurang mendapatkan perhatian yaitu peninggalan yang berupa naskah. Naskah merupakan hasil tuangan ide, gagasan, sebuah saksi dari suatu dunia berbudaya dan suatu tradisi peradaban, serta mampu memberikan informasi yang luas dan mendalam tentang masyarakat pada zamannya (Baried,dkk, 1994: 1). Sebagai salah satu peninggalan tertulis naskah-naskah lama menyimpan berbagai informasi penting lebih banyak dari pada peninggalan sejarah yang lain dari masa lampau. Haryati Soebadio (1975: 1) menyatakan bahwa,”naskah-naskah lama merupakan dokumen

commit to user

bangsa yang menarik bagi peneliti kebudayaan lama, karena memiliki kelebihan yaitu dapat memberikan informasi yang lebih luas dibanding puing bangunan megah seperti candi, istana raja dan pemandian suci yang tidak dapat berbicara dengan sendirinya tetapi harus ditafsirkan”.

Banyak naskah kuno yang ditemukan namun yang tersimpan dan terawat intensitasnya berkurang, karena perawatan yang relatif susah dan bahan-bahan naskah yang memang tidak dapat bertahan lama sejalan dengan bertambahnya umur naskah. Banyak pula jumlah naskah yang hilang atau bahkan rusak, sehingga usaha penyelamatan naskah-naskah tersebut perlu dikembangkan. Kondisi tersebut merupakan alasan perlunya naskah-naskah lama segera mendapatkan penanganan untuk mencegah kepunahannya.

Naskah Jawa merupakan hasil dari sebuah karya sastra dan setiap karya sastra tersebut tidak terlepas dari latar belakang kebudayaannya. Sastra merupakan ciptaan manusia yang berbentuk bahasa baik lisan maupun tertulis yang menimbulkan nilai estetis. Bahasa dalam karya sastra juga bersifat konotatif artinya bahasa dalam karya sastra memiliki banyak tafsir, tidak banyak menerangkan dan menyatakan apa yang dikatakan tetapi juga tidak bermaksud mempengaruhi sifat pembaca, membujuk dan mengubah pendirian pembaca.

Bidang ilmu yang erat kaitannya dengan penanganan naskah adalah bidang filologi. Penelitian filologi sangat diperlukan sebagai upaya untuk mendapatkan naskah yang bersih dari kesalahan dan tersusun kembali seperti semula atau mendekati aslinya. Hal tersebut disebabkan karena sebelumnya naskah mengalami penyalinan untuk kesekian kalinya yang disesuaikan dengan

commit to user

kebudayaan sebagai akarnya. Dari kuantitas jumlah naskah yang besar, pada kenyataannya kurang diimbangi dengan usaha penelitian naskah untuk memberdayagunakan isi naskah yang terkandung di dalamnya.

Behrend (1990) menggolongkan naskah-naskah Jawa menjadi beberapa bagian untuk mempermudah dalam penelitian dan ditinjau dari segi isinya, yaitu : sejarah, agama Islam, silsilah, primbon dan pawukon, hukum dan peraturan, wayang, musik, bahasa sastra wayang, tari-tarian, sastra, piwulang dan suluk, adat istiadat, dan lain-lain. Dalam katalog lain pun naskah-naskah tersebut sudah diklasifikasikan, sehingga mempermudah peneliti untuk melakukan penelusuran ke tempat penyimpanan naskah. Berdasarkan klasifikasi dari Behrend (1990), peneliti tertarik untuk meneliti naskah jenis sastra berjudul Cariyos Anèh-Anèh.

Naskah Cariyos Anèh-Anèh ini berisi tentang cerita-cerita yang merupakan anecdotes dari Eropa, Timur Tengah dan Cina yang kemudian ditulis kembali dalam bahasa Jawa dengan bentuk prosa oleh C.F Winter. Namun juga ditemukan naskah lain dalam bentuk têmbang yang akhirnya dipilih sebagai objek penelitian ini. Dalam naskah yang berbentuk têmbang tersebut banyak ditemukan varian serta keunikan dan di setiap pupuhnya merupakan sebuah rangkaian cerita yang disertai rêrênggan atau wêdana yang melambangkan isi cerita tersebut, total seluruh cerita adalah 58 buah yang dituangkan dalam 62 pupuh. Maka dari itu amat disayangkan apabila naskah ini tidak diteliti secara filologis.

Inventarisasi naskah dilakukan dengan pembacaan beberapa katalog sebagai berikut:

commit to user

1. Deskriptive Catalogus of the Javanese manuscripts and Printed Book in the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta ( Girardet – Sutanto, 1983 ).

2. Javanese Language Manuscrips of Surakarta Central Java A

Pleriminary Descriptive Catalogus Level I and II ( Nancy K. Florida, 1996 )

3. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta (Behrend, 1990)

4. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3-B (Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1998)

5. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Lindsay, 1994 )

6. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 2 Keraton Yogyakarta 7. Katalog Lokal Perpustakaan Museum Radya Pustaka dan Perpustakaan

Reksa Pustaka Mangkunegaran, Surakarta.

Dari hasil inventarisasi yang dilakukan dari berbagai katalog, hanya ditemukan satu manuskrip yang berjudul Cariyos Anèh-Anèh yaitu naskah carik berbentuk têmbang tersimpan di Perpustakaan Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta dengan nomor MSB/L81 (Behrend 1990), kode koleksi perpustakaan SK 93, yang kemudian dijadikan data utama oleh penulis. Microfilm dari naskah tersebut tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan kode Rol.60 No.3 dan tersimpan di Laboratorium Filologi, Jurusan Sastra Daerah, Universitas Sebelas Maret dengan kode microfilm Pos.MSB-60 (Rec.0014).

commit to user

Judul naskah tidak tertulis pada sampul maupun pada halaman judul, judul naskah Cariyos Anèh-Anèh tersirat pada pupuh I (Dhandhanggula) pada 1 gatra ke 6.

Gb. 1 kolofon dalam naskah dan keterangan dalam kolofon (Pupuh I Dhandhanggula pada 1) yang menerangkan judul naskah, yaitu ‘... cariyos dêdongèngan, anèh-anèh....‟, (Cerita Dongeng, aneh-aneh) kemudian naskah tersebut lebih dikenal dengan judul Cariyos Anèh-Anèh.

Ditemukan pula buku cetak yang di tulis oleh C.F Winter dan diterbitkan di Betawi dalam bentuk prosa pada tahun 1864. Kedua buku cetak tersebut yaitu yang berjudul Cariyos Anèh-Anèh tersimpan di Perpustakaan Sasana Pustaka Kraton Kasunanan Surakarta dengan nomor katalog 17635/60ha dan yang berjudul Cariyos Anèh Tiga Bêlah di Perpustakaan Museum Radya Pustaka Surakarta dengan nomor katalog 38020/359 (Girardet: 1983). Dari kedua buku cetak tersebut yang keseluruhan ceritanya sama dengan versi têmbang adalah buku cetak yang tersimpan di Perpustakaan Sasana Pustaka yaitu yang berjudul

commit to user

Cariyos Anèh-Anèh, yang selanjutnya digunakan sebagai data pendukung dalam penulisan ini.

Gb. 2 & 3 sampul depan buku cetak berjudul Cariyos Anèh-Anèh (17635/60ha) dan halaman judul buku tersebut yang terdapat keterangan nama pengarang, tempat terbit dan tahun terbit, yaitu

tertulis „Cariyos Anèh-Anèh tinêdhak saking têmbung Walandi utawi saking têmbung Inggris, dening tuwan Karèl Frèdêrik Wintêr, juru basa ing nagari Surakarta. Kaêcap ing gêdhong pangêcapane Kanjêng Guvrêmèn ing Bêtawi, ing taun 1864.‟

Terjemahan: Cariyos Anèh-Anèh ditulis kembali dari Bahasa Belanda atau dari Bahasa Inggris, oleh tuan Carèl Frèdêrik Wintêr, ahli bahasa (transliteur) dari Surakarta. Dicetak di gedung percetakannya Kanjêng Guvrêmèn di Betawi, pada tahun 1864.

Cariyos Anèh-Anèh (selanjutnya disingkat CAA) yang tersimpan di Perpustakaan Negeri Sonobudoyo disajikan dalam bentuk puisi atau têmbang. Ukuran sampul naskah 20,5 cm X 33 cm, sedangkan ukuran teks 13,5 cm X 20 cm. Naskah ini terdiri dari 232 halaman. Cariyos Anèh-Anèh merupakan naskah tulisan tangan (manuscript) dengan huruf Jawa berbahasa Jawa Baru ragam krama serta banyak disisipi kata-kata dari bahasa Indonesia, bahasa Belanda dan bahasa Arab. Naskah ini disalin pada hari Sabtu tanggal 8 Jumadilakir, tahun Ehe 1780 sesuai dengan sengkalan „muluk bujangga wiku wong‟. Disebutkan naskah ditulis pada hari Sabtu tanggal 8, tetapi setelah dilakukan penelusuran tanggal 8

commit to user

Jumadilakir jatuh pada hari Selasa Wage, 30 Maret 1852, sehingga belum diketahui secara pasti kebenarannya. Informasi ini tercantum pada awal penulisan naskah. Berikut kutipannya :

Gb. 4 keterangan kolofon pada naskah CAA yang berbunyi ” Ari sêptu ping astha ilallin, ing Jumadilakir Ehe warsa, muluk bujangga wiku wong,” (Pupuh I Dhandhanggula, pada 1). Terjemahan: Hari Sabtu terhitung tanggal delapan, pada bulan Jumadilakir tahun Ehe, muluk bujangga wiku wong (merupakan sêngkalan yang menunjukkan angka tahun Jawa 1780).

Dalam kolofon yaitu pupuh I pada satu gatra delapan tertulis „tuwan

Winter juru basa, Surakarta....‟, yang mengindikasikan bahwa naskah tersebut kemungkinan besar ditulis oleh seseorang bernama Winter.

Gb. 5 keterangan tentang nama penulis ,‟Tuwan Winter juru basa, Surakarta..‟(Pupuh I Dhandanggula, bait 1, gatra 8) Terjemahan: Tuan Winter transliteur (ahli bahasa dan penerjemah resmi) dari Surakarta.

commit to user

Winter atau Carel Frederik Winter merupakan seorang keturunan Belanda yang bekerja sebagai transliteur (penerjemah resmi) di Surakarta sejak tahun 1818 sampai akhir hayatnya yaitu tahun 1859. Prof. T. Roorda seorang dosen di Akademi Delf, Belanda bekerja sama dengan C.F Winter, menulis karya sastra Belanda ke dalam bahasa Jawa yang kemudian tulisan-tulisan tersebut dimuat di majalah-majalah mingguan di Belanda serta diterbitkan dalam bentuk buku di Indonesia (dalam artikel mingguan Djoko Lodang No.822, 1988). Salah satu karyanya ialah buku yang berjudul Cariyos Anèh-Anèh yang diterbitkan di Batavia pada tahun 1864. Berikut adalah beberapa alasan mengapa Cariyos Anèh-Anèh ini dijadikan objek kajian dalam penelitian ini :

Pertama, dalam pandangan filologis di dalam Cariyos Anèh-Anèh ini terdapat banyak variant. Oleh karena itu perlu adanya kajian filologis guna mendapatkan suntingan teks yang bersih dari kesalahan. Di dalam teks Cariyos Anèh-Anèh ini ditemui banyak sekali permasalahan-permasalahan filologis, mulai dari ejaannya, gaya menulis pengarang, hal-hal baru yang diadopsi, dll. Berikut beberapa permasalahan-permasalahan filologis tersebut :

a. Kesalahan pemenuhan metrum (guru wilangan dan guru lagu) dalam têmbang.

Lakuna

Gb. 6 kekurangan suku kata dalam têmbang Kinanthi (Pupuh XI, pada 8, gatra 4) yang

tertulis 7i seharusnya 8i, “...kang tinya amangsuli, thole sira ing....”, mengalami pembetulan berdasarkan pertimbangan konvensi têmbang menjadi “kang tinanya amangsuli”.

commit to user Adisi

Gb. 7 kelebihan kata dalam têmbang Mêgatruh (Pupuh XV, pada 11, gatra 5) yang tertulis 9o seharusnya 8o, “...prapti, wus sun pêsthi mulya mêngkono.”, mengalami pembetulan berdasarkan konvensi têmbang menjadi “wus pêsthi mulya mêngkono”.

Terjemahan: „.... datang, sudah pasti saya memperoleh kemuliyaan‟.

Kesalahan pemenuhan guru lagu

Gb. 8 kesalahan pemenuhan guru lagu dalam têmbang Kinanthi (Pupuh XLV, pada 27, gatra

4), “ amanggih sakêthi angsan,” yang tertulis 8a seharusnya 8i. Terjemahan: „ menemukan seratus ribu (uang emas) dalam laci lemari‟.

b. Kesalahan dalam penulisan kata, yaitu: Lacuna

Gb. 9 kelebihan suku kata pada pupuh XXV Dhandhanggula, pada 7, gatra 1, “rumangsuking susum bayu”, mengalami pembetulan berdasarkan pertimbangan linguistik menjadi

sungsum”.

Terjemahan: „merasuk ke dalam sungsum badan...„

Adisi

Gb. 10 kelebihan suku kata pada pupuh VIII Pocung, pada 5, gatra 5, “mumpung dungrung lah dèn age...”, mengalami pembetulan berdasarkan pertimbangan linguistik menjadi

commit to user Hipercorrect

Gb. 11 pada Pupuh III Gambuh, pada 2, baris 4,” nalendra dyah”, mengalami pembetulan

berdasarkan pertimbangan linguistik menjadi “narendra”.

c. Corupt adalah bagian naskah yang rusak atau berubah sehingga sulit terbaca.

Gb. 12 pada Pupuh XXVII Pocung, pada 3, gatra 3 „saèstu ju....‟ pada kata tersebut salah satu hurufnya mengalami corrupt disebabkan naskah asli yang berlubang, sehingga mengakibatkan kata tersebut tidak terbaca.

d. Ketidakkonsistenan menggunakan aksara dalam menulis sebuah kata. Misalnya saja ketidakkonsistenan menggunakan aksara rekan dalam menulis kata „khakim‟, kata „kakim‟ dan kata „khakhim‟, yaitu:

Gb. 13 penulisan kata „khakim , “...ulun matur panduka khakim,..” (Pupuh I Dhandhanggula, pada 4, gatra 9)

Terjemahan: „Saya berkata pada paduka hakim‟.

Gb. 14 penulisan kata „kakim‟ , “... kakimlon pasrangkara,...” (Pupuh I Dhandhanggula, pada 5, gatra 10)

Terjemahan: „Hakim kemudian berkata pelan‟.

Gb. 15 penulisan kata „khakhim‟ , “.. kya khakhim inggih kawula,...” (Pupuh XLV Kinanthi, pada 12, gatra 5)

commit to user

e. Transposisi adalah yaitu pertukaran letak suku kata, kata, maupun kelompok kata.

Gb. 16 pertukaran letak sandhangan pada Pupuh LIII Asmaradana, pada 13, gatra 1, „sahega mangkat nak mami‟, mengalami pembetulan pada kata „sahega‟ menjadi „saha ge‟ menurut konteks kalimat. Terjemahan: „ Segeralah berangkat anakku‟.

f. Kekeliruan dalam penggunaan huruf „dha‟ dan „da‟.

Gb. 17 kesalahan dalam penggunaan huruf „da‟ dan „dha‟ pada Pupuh I Dhandhanggula, pada 5, gatra 7,” jara kuncak dhadung”, kata „dadung‟ seharusnya ditulis „dhadhung‟. Pembetulan berdasarkan pertimbangan linguistik.

g. Penulisan aksara „nya‟ (v) dengan menggunakan varian aksara ja cêrêk.

Gb. 18 Ja cêrêk dibaca nya, “...ingkang nyêpêng sarogira,....” (Pupuh XI Kinanthi, pada 4)

Terjrmahan: „.. yang memegang kuncinya.‟

h. Terdapat kata-kata serapan dari Bahasa Indonesia, Bahasa Arab dan Bahasa Belanda.

Gb. 19 contoh kata serapan dari Bahasa Indonesia pada pupuh XXII Mijil, pada 1, gatra 6,” idhup’.

commit to user

Gb. 20 & 21 contoh kata-kata serapan dari Bahasa Arab pada pupuh III Gambuh, pada 9, gatra 5,” wakhyu kubradan pada pupuh XIV Sinom, pada 7, gatra 9, “ pratingkah batos lun walahualam

Gb. 22 contoh kata serapan dari Bahasa Belanda pada pupuh I Dhandhanggula, pada 4, gatra 2 dan pada pupuh XXXV Pangkur, pada 1, gatra 6,” landrat’.

i. Terdapat nama-nama asing misalnya nama orang, nama tempat atau negara, antara lain Siwitsêr, Frakik, Prêsman, Lodhuwik, Iskandar, Gramon.

Gb. 23 & 24 nama tempat atau negara pada pupuh XIII Pocung, pada 1, gatra 4,” nêgari Frakrikdan pada pupuh XI Kinanthi, pada 1, gatra 3, “ ing Siwitsêrnê...”.

Gb. 25 & 26 nama-nama orang asing pada pupuh XIII Pocung, pada 1, gatra 2,” Prabu Lodhuwik” dan pada pupuh XIV Kinanthi, pada 1, gatra 9, “ Iskandar”.

Oleh karena banyaknya varian yang dipaparkan di atas, naskah Cariyos Anèh-Anèh perlu dikaji secara filologis.

Kedua, dari segi isi naskah Cariyos Anèh-Anèh sangat menarik untuk diungkapkan sisi moralitasnya. Moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca (Kenny 1966 dalam Burhan, 1995: 322). Pesan moral biasanya bersifat universal dan dapat diterapkan dalam berbagai segi atau aspek kehidupan baik diri sendiri, lingkungan keluarga, masyarakat luas serta dalam sebuah negara.

commit to user

Naskah Cariyos Anèh-Anèh terdiri dari 58 dongeng pendek yang ber-genre anekdot ini sangatlah kompleks. Ke-58 cerita ini dituangkan dalam 62 pupuh, yaitu masing-masing cerita terdiri dari satu atau dua pupuh. Di dalamnya terdapat beragam cerita yang mengungkapkan sisi baik dan buruk dalam kehidupan yang diungkapkan secara ringan dan ada pula yang diungkapkan secara jenaka. Dari ke-58 cerita diatas beberapa diantaranya memuat pesan moral, antara lain ajaran kepemimpinan Raja, kepemimpinan prajurit, kepemimpinan hakim dan juga jaksa.

Ajaran moral kepemimpinan Raja tertuang dalam beberapa pupuh yang tertulis dalam naskah CAA. Salah satunya adalah ajaran kepemimpinan Raja yaitu menjadi seorang pemimpin tidak boleh egois atau mementingkan diri sendiri. Menjadi seorang pemimpin hendaknya memikirkan kepentingan bersama demi mencapai keselamatan dan kesejahteraan. Misalnya saja, pada Pupuh II naskah CAA yaitu kisah tentang seorang Raja bernama Prabu Dhariyus yang melarang prajuritnya agar tidak meruntuhkan jembatan demi keselamatan para prajurit yang masih tertinggal di medan perang.

rèh iktiyar pambêngana nênggih/ pambujunge mêngsah dalêm

narpa/ nata alon timbalane/ iku ingsun tan rêmbug/ kêranane pangèsthi mami/ yuswaning sun tan nêdya/ murwat kèh jinipun/ nganti ambelakna kapya/ umurira bala ngongkang mêksih kari/ anèng jroning bêbaya// kang pakewuh ewuh angluwihi/ binabujung dèn êluding mêngsah/ mêlayu ngungsi marene/ sumêdya labuh mring sun/ kawruhana cipta ngong mangkin/ tan darbe sêdya ala/ mung arja rahayu/ kapya-kapya wadyaningwang/ anusula ingambah karêtêk

sami/ yèn wus kumpul ing pêrnah//” (CAA, Pupuh II Dhandhanggula,

pada 3 & 4)

Terjemahan: Memberi perintah menghalangi musuh dengan cara itu (meruntuhkan jembatan), perburuan musuh sang Raja, maka Raja berkata, itu aku lah yang tidak setuju, sebab menurutku, umurku ini

commit to user

tidak dapat, dibandingkan dengan banyaknya prajurit, yang sampai mengorbankan sesama, umur seluruh prajuritku yang masih tertinggal, dalam sebuah bahaya. Sungguh tidak enak hati, sangat berbahaya perburuan musuhku (peperangan), hingga harus melarikan diri (mengungsi) di tempat ini, bersedia berkorban untukku, pahamilah apa yang aku ucapkan, agar tidak menemui keburukan, hanyalah sejahtera dan keselamatan, untuk seluruh prajuritku, semoga dapat menyusul melewati jembatan ini, dan dapat berkumpul kembali. Dari kutipan diatas, Prabu Dhariyus terlihat begitu bijaksana dalam mengambil keputusan dan memikirkan keselamatan seluruh prajuritnya. Beliau tidak mau mengorbankan umur para prajuritnya dengan cara menolak meruntuhkan jembatan yang dilaluinya sebab beliau berharap prajurit yang lain dapat mengikutinya melewati jembatan tersebut untuk menyelamatkan diri.

Ajaran moral kepemimpinan prajurit juga terdapat pada beberapa pupuh naskah CAA. Salah satunya adalah kisah tentang seorang senapati atau komandan perang yang salah satu kakinya tertembus peluru hingga harus diamputasi. Menjadi seorang prajurit dibutuhkan sikap berani, keikhlasan serta rela berkorban. Teladan seorang prajurit dapat kita lihat dalam dua bait têmbang Kinanthi di bawah ini:

“rêmbage kang para dhukun/ kang tatu tan kêna mari/ sungsum balung katêrajang/ ing mimis angèl jinampin/ iyêg rêmbage wus dadya/ kinêthok kang ponang rijlin// pêngagêng Prêsman kang tatu/ miyarsa dhukun kang dêling/ ayêm sêmu tan nglagewa/ pudhake asru anangis/ moring jalma kathah miyat/ tuwane kang nandhang kanin// alon dènira amuwus/ èh ya gene kowe nangis/ lah ta apa ora sira/ bêja kowe dina kari/ yèn kinêthok sikilingwang/ mung suci kêstiwêl siji//” (CAA, Pupuh IX Kinanthi, pada 6-8)

Terjemahan: Kata para tabib, lukanya tidak dapat disembuhkan, tulang sungsum diterajang peluru, dan peluru tidak dapat dikeluarkan, hingga semuanya setuju, untuk mengamputasi salah satu kakinya. Komandan Perancis yang terluka, memperhatikan perkataan tabib, kabar yang tidak membahagiakan, pembantunya menangis tersedu-sedu, bersama orang-orang yang juga, menyaksikan derita tuannya. Pelan ia (tuan)

commit to user

berkata, mengapa kamu menangis, apakah kamu tidak merasa, beruntung di kemudian hari, jika kakiku harus dipotong, kamu hanya akan memakaikan satu sepatu saja ke kakiku.

Dari kutipan diatas terlihat bahwa menjadi seorang prajurit harus memiliki sifat ikhlas dan rela berkorban, seperti tokoh komandan dalam Pupuh IX yang merelakan salah satu kakinya diamputasi karena tertembus peluru saat berperang. Selain ajaran moral unruk prajurit, dalam naskah CAA juga terdapat ajaran moral kepemimpinan untuk seorang jaksa.

Ajaran moral kepemimpinan untuk jaksa tersebut tertuang dalam sebuah kisah yang tertulis pada Pupuh XXX têmbang Sinom, yaitu tentang seorang jaksa yang menolak suap. Kutipannya sebagai berikut:

“kari dhawuhkên kewala/ kalah siji mênang siji/ iyêg sakanca manira/ nanging tan rampung saiki/ yèn durung ingsun yêkti/ balèkkên darbèkmu wêdhus/ domba gêbirèn ingkang/ kowe kirimakên mami/ lah ta pira rêgane kang wêdhus domba// ing saiki ingsun bayar/ gugat amangsuli angling/ kula botên sade menda/ tan wrin aosirèng kambing/ inggih tuwan pirsani/ kanca panduka sêdarum/ kang sampun sami tampa/ rumiyin pakintun mami/ kula sampun lêga lila yya sumêlang// lah aja dadi tyasira/ yèn sira nora nampani/ baline wêdhusmu domba/ tan rampung sadina iki/ nuli bayar tinampin/ sapuluh rupiyah rampung/ wong gugat garundêlan/ tobat yèn manèh nglakoni/ amêminta adil marang ing pajêksan//” (CAA, Pupuh XXX

Sinom, pada 6, 7 & 8 )

Terjemahan: Tinggal menentukan saja, yang satu kalah dan satunya lagi menang, ucap majikan, namun tidak dapat selesai sekarang, jika belum aku tahu kebenarannya, ambil kembali kambing milikmu, tentu kambing ini, yang kau kirimkan padaku, berapa harga kambing itu katakanlah. Akan aku bayar sekarang, yang memiliki perkara menjawab, aku tidak menjual kambing ini, tidak tampakkah tujuanku memberikan kambing ini, ketahuilah tuan, teman anda semuanya, yang sudah diterima, yang sebelumnya sudah aku kirimkan, aku sudah ikhlas dan janganlah khawatir. Jangan menjadi sakit hatimu, jika kau tidak menerima, saat aku kembalikan kambingmu itu, maka hari ini juga, akan aku bayar, sepuluh rupiah dan selesai, orang yang menggugat bersumpah serapah, tidak akan mengulang lagi, jika menghadapi hukum di pengadilan.

commit to user

Dari kutipan diatas, terlihat sikap jaksa yang tegas segera menolak suap dalam menangani sebuah perkara. Sikap tersebut merupakan salah satu sikap yang patut menjadi tauladan dalam masa sekarang ini mengingat banyaknya kasus suap jaksa yang terkuak. Beberapa ajaran moral kepemimpinan Raja, prajurit, hakim dan jaksa seperti yang tertulis diatas sangat relevan jika diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan bersama demi memperoleh kesejahteraan.

Ketiga, berdasarkan informasi yang diperoleh dan pengamatan penulis, ternyata penelitian yang dilakukan terhadap naskah Cariyos Anèh-Anèh baru sebatas deskripsi naskah guna kepentingan pembuatan katalog, sedangkan penelitian secara filologis dan telaah isi belum pernah dilakukan. Selain itu, naskah Cariyos Anèh-Anèh ini merupakan naskah tunggal yang dikhawatirkan keselamatannya, baik dari segi fisik maupun isi, mengingat bahan yang digunakan berupa kertas yang tidak dapat bertahan lama sejalan dengan bertambahnya usia naskah.

Dalam dokumen Dewinta Ayu Hapsari C0108025 (Halaman 21-36)

Dokumen terkait