• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suntingan Teks dan Aparat Kritik

Dalam dokumen Dewinta Ayu Hapsari C0108025 (Halaman 91-97)

METODE PENELITIAN

A. Kajian Filologi

3. Suntingan Teks dan Aparat Kritik

Cariyos Anèh-Anèh adalah sêrat yang ditulis dengan aksara Jawa carik, sehingga transliterasi merupakan langkah penting yang harus dilakukan dalam rangka penyuntingan teks. Transliterasi adalah penggantian atau pengalihan huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Dalam proses transliterasi ini sebaiknya peneliti tetap menjaga kemurnian bahasa dalam naskah, khususnya penulisan kata (Edwar Djamaris, 2002:19). Tujuannya adalah memudahkan teks untuk dibaca dan dipahami. Dalam proses transliterasi CAA meggunakan Baoesastra Djawa dan berdasarkan

“Ejaan Bahasa Jawa yang Disempurnakan (EYD)” sebagai pedoman dan

dasar acuan pembetulan ejaan dalam suntingan teks. Transliterasi CAA secara keseluruhan dapat di lihat pada suntingan teks.

Setelah melakukan transliterasi, penulis melakukan kritik teks bertujuan untuk menyusun suntingan teks Cariyos Anèh-Anèh. Metode yang digunakan dalam menyunting CAA adalah metode standar. Metode standar adalah metode yang biasa digunakan dalam penyuntingan teks naskah tunggal. Metode standar digunakan pada naskah yang dianggap sebagai

commit to user

cerita biasa, bukan cerita yang dianggap suci atau penting. Dalam menyunting sebuah teks, penulis harus memperhatikan pemenggalan kata, sebab cara penulisan naskah CAA yang tidak mengenal pemenggalan antar kata, ejaan yang berpedoman pada Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa, kebenaran konteksnya, dan juga kesesuaian metrum atau konvensi têmbang.

Kata atau kelompok kata yang dinilai kurang tepat atau berubah, dalam suntingan teks akan dibiarkan sesuai teks aslinya dan akan diberi nomor kritik sebagai tanda bahwa kata atau kelompok kata tersebut telah di evaluasi. Kesalahan ataupun perubahan ejaan yang sama, hanya akan ditandai sekali untuk selanjutnya akan langsung disesuaikan. Berikutnya hasil evaluasi dicantumkan dalam aparat kritik yang terletak di bagian bawah suntingan teks (semacam catatan kaki/ footnote). Hal ini dilakukan untuk tetap mempertahankan teks aslinya dengan pertimbangan bahwa naskah CAA adalah naskah tunggal dan penulis juga ingin memberi kebebasan kepada pembaca untuk mengecek langsung bacaan naskah yang asli atau bila memiliki penafsiran sendiri. Sehingga dalam hal ini, kritik teks, suntingan teks dan aparat kritik dilakukan secara bersamaan dan ketiganya merupakan suatu proses yang saling melengkapi.

Untuk lebih memudahkan pembaca dalam memahami suntingan teks CAA, dibawah ini adalah pedoman atau tanda-tanda yang digunakan oleh penulis dalam menyajikan suntingan teks CAA:

a. Dalam suntingan teks, huruf kapital digunakan untuk menulis nama Tuhan, nama Raja, nama orang, nama tempat, panggilan

commit to user

untuk seorang Raja, nama bulan, hari dan tahun. Sedangkan kata atau kelompok kata yang lain ditulis dengan huruf kecil atau biasa, meskipun dalam CAA dijumpai beberapa kasus penulisan kata yang tidak wajar, misalnya penggunaan aksara murda di tengah kata.

b. Bila dalam kritik teks ditemukan kesalahan penulisan kata atau ejaan yang sama dalam jumlah lebih dari satu, maka dalam suntingan teks kesalahan tersebut hanya akan ditandai satu kali. Selanjutnya kata tersebut akan langsung disunting.

c. Pemakaian tanda hubung untuk penulisan kata ulang (reduplikasi) dalam teks. Misalnya:

 anèh- anèh

 kapya-kapya

Gb. 48-49 contoh pemakaian tanda hubung untuk reduplikasi

d. Penulisan dwipurwa (reduplikasi parsial), ditransliterasi sesuai dengan ejaan bahasa Jawa, misalnya:

rarênggan  rêrênggan

waweka  weweka

commit to user

e. Penulisan teks dengan menggunakan (ô) dibaca [ɔ] langsung disunting, misalnya:

ponca  panca

pujongga  pujangga Gb. 52-53 contoh penulisan teks dengan menggunakan (ô)

f. Sastra laku ditransliterasikan dengan mengubah konsonan penutup pada kata berikutnya, misal:

pandhe wêssi  pandhe wêsi

annèng jronning  anèng jroning Gb. 54-55 contoh sastra laku

g. Pemakaian sandhangan wyanjana kêrêt ( ) untuk

menyatakan bunyi /êr/, misalnya pada kata mangrêti, grêrah, benrêre, prêrahu, namrêre, ngrêsakên, dan sebagainya.

prêrahu  pêrahu

grêrahira  gêrahira Gb. 56-57 contoh pemakaian sandhangan wyanjana kêrêt

commit to user

h. Penulisan kata dasar yang berakhiran huruf /h/ dan mendapat akhiran /e/, /-a/, /-an/, /-ane/, /-anira/ dalam penulisan aksara Jawa sering ditulis dengan fonem /y/ atau /w/. Tetapi dalam suntingan teks, fonem akan ditulis dengan /h/.

kêpangiye  kêpanggihe

mriya  mriha

Gb. 58-59 contoh suntingan teks fonem yang ditulis dengan /h/

i. Kekonsistenan penulis dalam menulis kata dengan vokal [ɔ] pada suku kata awal tanpa menggunakan sandhangan taling tarung, misalnya saja pada kata namêr, batên, capot, batol, balong-balong dianggap bukan kesalahan, melainkan karakter penulis dalam menulis kata, maka pada suntingan teks akan langsung di sunting menurut EYD Bahasa Jawa menjadi nomêr, botên, copot, botol, bolong-bolong.

namêr  nomêr

batên  batên Gb. 60-61 kekonsistenan penulis dalam menulis kata „namêr‟ dan „batên‟

commit to user

Untuk mempermudah pembacaan dan pemahaman terhadap teks CAA, digunakan pula tanda-tanda sebagai berikut:

a. Penggunaan angka Romawi I, II, III, dan seterusnya untuk menunjukkan nomor pupuh.

b. Penggunaan angka Arab ukuran normal 1,2,3 dan seterusnya yang terletak di sebelah kiri teks adalah untuk menunjukkan urutan bait têmbang atau pada.

c. Penggunaan angka Arab ukuran kecil 1,2,3 dan seterusnya di atas kata atau kelompok kata dalam suntingan teks, menunjukkan kritik teks pada dan catatan kaki.

d. Penggunaan angka Arab dalam tanda kurung [1], [2], [3] dan seterusnya menunjukkan pergantian halaman pada teks asli. e. Penggunaan tanda garis miring (/) digunakan untuk menandai

batas setiap baris atau gatra dalam sebuah bait pada konvensi têmbang.

f. Penggunaan tanda garis miring (//) digunakan untuk menunjukkan akhir setiap bait têmbang.

g. Tanda /e/ digunakan untuk menandai vokal e yang dibaca [e] seperti pengucapan kata kowe dalam bahasa Jawa dan kata

„sate‟ dalam bahasa Indonesia.

h. Tanda diakritik /ê/ digunakan untuk menandai vokal e yang

dibaca [ə] seperti pengucapan kata têlas dalam bahasa Jawa

commit to user

i. Tanda diakritik /è/ digunakan untuk menandai vokal e yang dibaca [E] seperti pengucapan kata akèh dalam bahasa Jawa

dan kata „sketsa‟ dalam bahasa Indonesia.

j. Tanda * menunjukan bahwa kata tersebut mengalami pembetulan berdasarkan pertimbangan linguistik.

k. Tanda # menunjukan bahwa kata tersebut mengalami pembetulan berdasarkan konvensi têmbang macapat.

l. Tanda @ menunjukan bahwa kata tersebut mengalami pembetulan berdasarkan konteks kalimat.

Berikut adalah sajian suntingan teks CAA, setelah mengalami berbagai tahapan dalam penelitian ini:

Dalam dokumen Dewinta Ayu Hapsari C0108025 (Halaman 91-97)

Dokumen terkait