• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dibandingkan penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit daripada obat modern. Akan tetapi diperlukan penggunaan secara tepat untuk meminimalisir efek sampingnya, yang meliputi kebenaran obat, ketepatan dosis, ketepatan waktu penggunaan, ketepatan cara penggunaan, ketepatan telaah informasi, dan tanpa penyalahgunaan obat tradisional itu sendiri (Sumayyah dan Salsabila, 2017).

Obat-obat kimia seperti ranitidin, famotidin, dan simetidin memiliki indikasi pengobatan tukak lambung. Akan tetapi, obat-obat kimia tersebut memiliki efek samping seperti sakit kepala, diare, demam, dan lain-lain (ISO, 2017). Menurut WHO (1998), negara-negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima. Penggunaan obat tradisional cukup gencar dilakukan karena lebih mudah dijangkau masyarakat Indonesia, baik harga maupun ketersediaannya. Obat tradisional pada saat ini banyak digunakan karena menurut beberapa penelitian tidak terlalu menyebabkan efek samping (Parwata, 2016). Oleh karena itu, peneliti memformulasikan ekstrak akar manis yang diketahui memiliki banyak khasiat dalam bentuk sediaan tablet.

Akar manis memiliki sifat farmakologis yang bermanfaat seperti anti-inflamasi, antivirus, antimikroba, antioksidan, antikanker dan imunomodulator.

Akar manis yang dikenal sebagai kayu legi juga digunakan sebagai obat

2

tradisional terutama untuk pengobatan tukak lambung, hepatitis C dan penyakit paru-paru dan kulit. Akar kering akar manis telah digunakan sebagai ekspektoran dan karminatif oleh orang Mesir, Cina, Yunani, India dan peradaban Romawi, juga digunakan sebagai oftalmia, anti-sifilis dan antidisentri, gangguan pencernaan, tenggorokan kering, abses bengkak dan bertindak sebagai diuretik (Dastagir dan Rizvi, 2016).

Akar manis dinyatakan memiliki khasiat sebagai ekspektoran, penawar racun, antispasmodik, anti-inflamasi dan pencahar. Secara tradisional, akar manis juga dilaporkan mempengaruhi kelenjar adrenal. Akar manis telah digunakan untuk mengobati penyakit selesema bronkial, bronkitis, gastritis kronis, tukak lambung, kolik dan insufisiensi adrenokortikal primer (Barnes et al., 2007).

Pada penelitian Rivai, dkk., (2020) tentang analisis fitokimia ramuan herbal tradisional untuk batuk dari akar manis (Glycyrrhiza glabra Linn.) dan penelitian Ringoringo dan Choiriyah (2018) tentang formulasi tablet kunyah ekstrak akar manis (Succus liquiritae) dengan kombinasi bahan pengisi sorbitol-laktosa terhadap pengaruh sifat fisik tablet kunyah menggunakan metode kempa langsung memiliki khasiat sebagai antitusif. Kandungan aktif dari akar manis yaitu 18 β-glycyrrhetinic acid yang menunjukkan efek antitusif yang bekerja untuk menekan reaksi batuk. Dari penelitian-penelitian sebelumnya, akar manis banyak digunakan oleh masyarakat dan industri farmasi sebagai obat batuk dalam bentuk ramuan dan tablet hisap, maka pada penelitian ini dilakukan modifikasi yaitu pembuatan formulasi tablet ekstrak akar manis yang penggunaannya digunakan secara oral.

Dosis untuk pemberian oral (dewasa) dengan penggunaan secara tradisional direkomendasikan dalam standar herbal yang lebih tua dan

3

kontemporer dan /atau teks referensi farmasi. Serbuk akar manis sebanyak 1 – 4 gram sebagai rebusan tiga kali sehari. Dalam bentuk ekstrak (BPC, 1973) 0,6 – 2,0 gram (Barnes et al., 2007). Menurut Farmakope Indonesia edisi V (2009), kadar glisirizin pada ekstrak akar manis (Glycyrrhizae Succus) tidak kurang dari 10% dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Menurut penelitian Santoso (2017) tentang efektivitas infusa akar manis sebagai anti tukak lambung tikus yang diinduksi asetosal, hasil yang paling optimal terlihat pada dosis 15 mg/200 g BB tikus yang setara dengan 595.236 mg/

50 kg BB manusia. Akar manis mempunyai kandungan saponin dikenal dengan glisirisin yang menghasilkan aktivitas anti ulkus dengan cara menginhibisi 15-hidroksi prostaglandin dehidrogenase dan prostaglandin reduktase. Menurut penelitian. Amin, dkk., (2015) tentang sifat antiulcer ekstrak Glycyrrhiza Glabra L. pada model eksperimen ulkus lambung mencit menunjukkan bahwa akar manis (50-150 mg/kg) menunjukkan aktivitas antiulcer terhadap lesi lambung yang diinduksi indometasin.

Dalam penelitian ini, digunakan metode kombinasi dimana sediaan tablet akan diformulasikan dengan cara menggranulasi eksipien (explotab internal dan avicel® PH 101) dengan metode granulasi basah, kemudian granul kering eksipien dan ekstrak kering akar manis dicampurkan dan dicetak menjadi tablet menggunakan metode cetak langsung dengan berat 250 mg per tablet. Menurut penelitian Krahenbuhl, dkk. (1994), diketahui waktu paruh dengan dosis 500 mg adalah kurang dari 10 jam, maka tablet ekstrak akar manis dapat dikonsumsi satu sampai dua tablet sesuai dengan kebutuhan, dimana akar manis tidak hanya berkhasiat sebagai anti ulkus tetapi juga berkhasiat sebagai ekspektoran pada dosis 50 mg/kg dan sebagai antitusif pada dosis 200 mg/kg (Kuang, dkk., 2017).

4

Pemilihan sediaan dalam bentuk tablet adalah karena penggunaannya yang sangat luas sebagai sediaan obat, tablet terbukti menunjukkan suatu bentuk yang efisien, sangat praktis, dan ideal untuk pemberian zat aktif secara oral (Murtini dan Elisa, 2018). Beberapa keuntungan sediaan tablet antara lain volumenya yang kecil tetapi dapat mengandung zat aktif dalam jumlah yang besar, merupakan bentuk sediaan oral yang paling ringan dan kompak sehingga memudahkan dalam pengemasan dan penyimpanannya, mengandung dosis zat aktif yang tepat, merupakan sediaan kering sehingga zat aktif lebih stabil baik secara kimiawi maupun fisiologik, bentuk sediaan yang sesuai untuk zat aktif yang sukar larut dalam air, rasa dan bau yang tidak enak dari zat aktif akan berkurang dalam sediaan tablet, karena ketika ditelan, tidak berkontak lama dengan selaput lendir, pelepasan zat aktif dari suatu tablet dapat diatur untuk tujuan tertentu (Lachman, et al., 1986).

Tablet adalah sediaan padat kompak, dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler, kedua permukaannya rata atau cembung, mengandung satu jenis obat atau lebih, dengan atau tanpa bahan tambahan. Bahan tambahan yang dapat berfungsi sebagai bahan pengisi, pengembang, pengikat, pembasah atau bahan lain yang cocok (Depkes RI, 1979).

Istilah kempa langsung telah lama digunakan untuk memperkenalkan pengempaan senyawa kristalin tunggal menjadi suatu padatan tanpa penambahan zat-zat lain. Hanya sedikit bahan kimia yang mempunyai sifat alir, kohesi, dan lubrikasi di bawah tekanan untuk membuat padatan. Sekarang istilah kempa langsung digunakan untuk menyatakan proses ketika tablet dikempa langsung dari campuran serbuk zat aktif dan eksipien yang sesuai (termasuk pengisi, disintegran, dan lubrikan), yang akan mengalir dengan seragam ke dalam lubang

5

kempa dan membentuk suatu padatan yang kokoh (Siregar dan Wikarsa, 2010).

Pada metode cetak langsung syarat suatu bahan tambahan yang digunakan adalah memiliki sifat alir dan kompresibilitas yang baik. Salah satu bahan tambahan yang digunakan adalah bahan pengisi. Avicel PH 101 merupakan serbuk yang digunakan secara luas dalam pembuatan tablet kempa langsung dan menunjukan kekerasan dan friabilitas yang baik. Avicel memiliki fungsi kemampuan yang baik sebagai pengikat maupun disintegran dalam beberapa formula tablet (Sa’adah, dkk., 2016). Bahan pengisi lainnya yang umum digunakan dalam pembuatan tablet dengan metode cetak langsung antara lain Avicel PH 102 atau Microcrystalline Cellulose, Spray Dried Lactose (SDL), Starch 1500, dan encompress (Hadisoewignyo, dkk., 2011).

Penggunaan bahan penghancur bertujuan untuk memecah bentuk sediaan menjadi partikel kecil sehingga zat aktif obat dapat terlepas dari bentuk sediaannya. Eksplotab merupakan bahan penghancur yang paling baik dan sangat populer yang dikenal dengan nama superdisintegrant. Eksplotab adalah modifikasi dari kanji, digunakan dalam konsentrasi rendah (1–8%) (Banker dan Anderson, 1986).

Pada penelitian ini, dilakukan formulasi tablet ekstrak akar manis (Glycyrrhiza glabra Linn.) dengan metode cetak langsung menggunakan avicel® PH 101 sebagai bahan pengisi dan eksplotab sebagai bahan penghancur yang kemudian dilakukan uji evaluasi sifat fisik tablet untuk mengetahui kualitas tablet yang tercetak.

6 1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah ekstrak akar manis (Glycyrrhiza glabra Linn.) dengan variasi komposisi bahan pengisi avicel® PH 101 dan bahan penghancur eksplotab dapat dicetak menjadi tablet dengan metode cetak langsung?

2. Bagaimana pengaruh variasi jumlah bahan pengisi dan bahan penghancur yang digunakan terhadap evaluasi sifat fisik sediaan tablet ekstrak akar manis (Glycyrrhiza glabra Linn.)?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini diduga:

1. Ekstrak akar manis (Glycyrrhiza glabra Linn.) dengan variasi komposisi bahan pengisi avicel® PH 101 dan bahan penghancur eksplotab dapat dicetak menjadi tablet dengan metode cetak langsung.

2. Variasi bahan pengisi dan bahan penghancur memberikan pengaruh terhadap hasil evaluasi sifat fisik sediaan tablet ekstrak akar manis (Glycyrrhiza glabra Linn.).

7 1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui apakah ekstrak akar manis (Glycyrrhiza glabra Linn.) dengan variasi komposisi bahan pengisi avicel® PH 101 dan bahan penghancur eksplotab dapat dicetak menjadi tablet dengan metode cetak langsung.

2. Untuk mengetahui pengaruh variasi bahan pengisi dan bahan penghancur terhadap hasil evaluasi sifat fisik sediaan tablet ekstrak akar manis (Glycyrrhiza glabra Linn.).

1.5 Manfaat Penelitian

Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pemanfaatan akar manis (Glycyrrhiza glabra Linn.) yang dapat diformulasikan menjadi sediaan tablet.

8 1.6 Kerangka Penelitian

Gambar 1.1 Diagram Kerangka Pikir Penelitian

Akar manis

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Sistematika Tumbuhan

Secara lengkap sistematika akar manis (Glycyrrhiza glabra L.) hasil identifikasi sampel dari Herbarium Medanense (2020) sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Fabales

Famili : Papilionaceae Genus : Glycyrrhiza

Spesies : Glycyrrhiza glabra L.

Nama lokal : Akar manis 2.1.2 Sinonim Tumbuhan

Akar manis (Indonesia), Licoric (Amerika), Liquorice (Inggris), Gan Cao (Cina) (Wahyuno, dkk., 2020).

2.1.3 Nama Asing Tumbuhan

Jashtimadhu (Bangla); Muleti (Punjabi); Mithi Kathi (Sindhi); KhoshaWalgi (Pushto); Rub-us-soos (Arab); Bikhemahaka (Persia); Moyo (Chitrali); Boisdoux (Prancis), Regalizia (Spanyol) (Dastagir dan Rizvi, 2016).

2.1.4 Morfologi Tumbuhan

Akar manis (G. glabra) termasuk famili Papilionaceae, berupa tanaman tahunan berbentuk terna dan dapat tumbuh tinggi sampai satu meter dengan daun

10

yang tumbuh seperti sayap (pinnate) yang panjangnya 7 sampai 15 cm, dengan jumlah daun 9-17 helai dalam satu cabang. Bunga akar manis tersusun secara inflorescens (berkelompok dalam satu cabang), warnanya berkisar dari keunguan sampai putih kebiru-biruan serta berukuran panjang 0,8–1,2 cm. Buah akar manis berpolong dan berbentuk panjang 2–3cm, dan mengandung biji. Akar manis tumbuh dengan baik di tanah yang dalam, subur, cukup air dan dalam iklim yang penuh cahaya matahari. Biasanya dipanen pada musim gugur 2 atau 3 tahun setelah penanaman. Zat yang terkandung di dalamnya adalah glycyrrhizin (Wahyuno, dkk., 2020).

2.1.5 Kandungan Kimia

Akar manis mengandung berbagai komponen kimia yaitu gula, flavonoid, sterol, asam amino, resin, pati, minyak atsiri dan saponin. Saponin utama mengandung asam glisirizat atau glycyrrhizin (C42H62O16), terbanyak terdapat pada akar mencapai 6% - 20% berat kering. Asam amino yang terdapat pada akar manis adalah asam-2-betaglisirizat, asam glukuronat, asam glisiretinat (enoxolone), asam tanat, asparagin, resin, minyak atsiri. Flavonoid seperti liquiritigenin, liquiritin, isoliquiritigenin, isoliquiritin dan senyawa kumarin, seperti herniarin dan umbeliferon. Flavonoid paling terkenal yang ditemukan oleh Organisasi Standardisasi Internasional pada akar manis adalah senyawa glabridin, gliserin flavon, glabren, glabril, formononetin, isoliquiritigenin (Wahyuno, dkk.., 2020).

2.1.6 Khasiat Tumbuhan

Akar manis memiliki sifat farmakologis yang bermanfaat seperti anti-inflamasi, antivirus, antimikroba, antioksidan, antikanker dan imunomodulator.

Akar manis yang dikenal sebagai kayu legi juga digunakan sebagai obat

11

tradisional terutama untuk pengobatan tukak lambung, hepatitis C dan penyakit paru-paru dan kulit. Akar kering akar manis telah digunakan sebagai ekspektoran dan karminatif oleh orang Mesir, Cina, Yunani, India dan peradaban Romawi, juga digunakan sebagai oftalmia, anti-sifilis dan antidisentri, gangguan pencernaan, tenggorokan kering, abses bengkak dan bertindak sebagai diuretik (Dastagir dan Rizvi, 2016).

Akar manis dinyatakan memiliki khasiat sebagai ekspektoran, penawar racun (demolient), antispasmodik, anti-inflamasi dan pencahar. Secara tradisional, akar manis juga dilaporkan mempengaruhi kelenjar adrenal. Akar manis telah digunakan untuk mengobati penyakit selesema bronkial, bronkitis, gastritis kronis, tukak lambung, kolik dan insufisiensi adrenokortikal primer (Barnes et al., 2007).

Glycyrrhizin merupakan zat aktif yang terdapat dalam akar manis secara spesifik mengurangi penurunan prostlaglandin E (PGE). Kadar PGE yang rendah berhubungan dengan keadaan perut seperti kolik, inflamasi perut, dan ulkus.

Dengan mengurangi penurunan prostlagandin E tubuh maka glisirizin menyediakan lebih banyak PGE yang bersirkulasi pada darah. Dari peningkatan kadar PGE maka akan meningkatkan produksi mukus dan mengurangi produksi asam lambung. Efek tersebut membantu melindungi jaringan lambung, sehingga nyata bahwa akar manis dapat digunakan untuk perawatan ulkus (Tanaka et al., 2001).

Glycyrrhiza glabra menunjukkan efek gastroprotektif potensial dalam studi praklinis dan klinis. Mekanisme yang berhubungan dengan efek antiulserogeniknya adalah peningkatan sekresi musin, peningkatan pelepasan prostaglandin E2, dan penurunan leukotrien. Efek gastroprotektifnya terkait erat dengan aktivitas antioksidan dan antiinflamasinya (Nugroho, dkk., 2016).

12

Mekanisme tersebut mirip dengan mekanisme analog prostaglandin, dimana analog prostaglandin memiliki mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung, menambah sekresi mukus, sekresi bikarbonat dan meningkatkan aliran darah mukosa.

Dosis untuk pemberian oral (dewasa) dengan penggunaan secara tradisional direkomendasikan dalam standar herbal yang lebih tua dan kontemporer dan / atau teks referensi farmasi. Serbuk akar manis sebanyak 1 – 4 gram sebagai rebusan tiga kali sehari. Dalam bentuk ekstrak (BPC, 1973) 0,6 – 2,0 gram (Barnes et al., 2007). Menurut Farmakope Indonesia edisi V (2009), kadar glisirizin pada ekstrak akar manis (Glycyrrhizae Succus) tidak kurang dari 10%

dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Ikhtisar Efek Sistemik: Paparan kronis sedang atau akut terhadap asam glisirizin, amonium glisirizat, dan metabolitnya telah terbukti menyebabkan beberapa perubahan sistemik sementara, termasuk peningkatan ekskresi kalium, retensi natrium dan air, penambahan berat badan, alkalosis, penekanan renin-sistem angiotensis-aldosteron, hipertensi, dan kelumpuhan otot. Sebagian besar efek ini adalah konsekuensi dari penghambatan asam glisirizin dari enzim 11β-hydroxysteroid dehydrogenase-2 (11β-OHSD2) di ginjal (Andersen, 2007). Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa glisirizin dapat diabsorpsi secara sistemik.

2.2 Ekstrak dan Metode Ekstraksi 2.2.1 Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Depkes RI, 1979).

13

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu pelarut cair. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat (Depkes RI, 2000).

2.2.2 Metode Ekstraksi

Menurut Depkes RI (2000), beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan dalam berbagai penelitian antara lain, yaitu:

1. Cara Dingin

a. Maserasi, adalah proses pengekstraksi simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.

b. Perkolasi, adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.

Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali.

2. Cara Panas

a. Refluks, adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

14

b. Digesti, adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari pada temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40o-50oC.

c. Sokletasi, adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga menjadi ekstraksi kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

d. Infundasi, adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90oC selama 15 menit.

e. Dekoktasi, adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90oC selama 30 menit.

2.3 Uraian Tablet

Tablet adalah sediaan padat kompak, dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler, kedua permukaannya rata atau cembung, mengandung satu jenis obat atau lebih, dengan atau tanpa bahan tambahan. Bahan tambahan yang dapat berfungsi sebagai bahan pengisi, pengembang, pengikat, pembasah atau bahan lain yang cocok (Depkes RI, 1979).

Sebagian besar tablet dibuat dengan cara pengempaan dan merupakan bentuk sediaan yang paling banyak digunakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja.

Tablet dapat dibuat dalam berbagai ukuran, bentuk dan penandaan permukaan tergantung pada desain cetakan (Depkes RI, 1995).

Tablet dicetak dari serbuk kering, kristal atau granulat, umumnya dengan penambahan bahan pembantu, pada mesin yang sesuai, dengan menggunakan tekanan tinggi. Tablet dapat memiliki bentuk silinder, kubus, batang atau cakram,

15

serta bentuk seperti telur atau peluru. Garis tengah tablet pada umumnya 5-17 mm, sedangkan bobot tablet 0,1-1 g (Voight, 1995).

Obat-obat diberikan secara oral dalam bentuk sediaan farmasi yang beragam, masing-masing dengan keuntungan terapeutik yang mengakibatkan penggunaannya yang selektif oleh dokter. Perbedaan ukuran dan warna dari tablet dalam perdagangan, serta sering menggunakan monogram dari symbol perusahaan nomor kode, memudahkan pengenalannya oleh orang-orang yang dilatih menggunakannya dan bermanfaat sebagai tambahan perlindungan bagi kesehatan masyarakat (Ansel, 2008).

Menurut Banker dan Anderson (1994), tablet dinyatakan baik harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Memiliki kemampuan atau daya tahan terhadap pengaruh mekanis selama proses produksi, pengemasan dandistribusi;

b. Bebas dari kerusakan seperti pecah pada permukaan dari sisi-sisitablet;

c. Dapat menjamin kestabilan fisik maupun kimia dari zat berkhasiat yang terkandung didalamnya;

d. Dapat membebaskan zat berkhasiat dengan baik sehingga memberikan efek pengobatan seperti yang dikehendaki.

2.3.1 Metode Pembuatan Tablet

Tablet dibuat dengan 3 cara umum, yaitu granulasi basah, granulasi kering dan kempa langsung (Depkes RI, 1995).

Metode pembuatan tablet didasarkan pada sifat fisika kimia dari bahan obat, seperti stabilitas dari bahan aktif dalam panas atau terhadap air, bentuk partikel bahan aktif dan sebagainya. Metode pembuatan sediaan tablet yaitu:

a. Cetak langsung

16

Cetak langsung adalah pencetakan bahan obat atau campuran bahan obat dan bahan pembantu tanpa proses pengolahan awal. Cara ini hanya dilakukan untuk bahan-bahan tertentu saja yang berbentuk butir-butir granul yang mempunyai sifat-sifat yang diperlukan untuk membuat tablet yang baik.

Istilah kempa langsung telah lama digunakan untuk memperkenalkan pengempaan senyawa kristalin tunggal (biasanya garam anorganik dengan struktur kristal kubik seperti natrium klorida, natrium bromida, atau kalium bromida) menjadi suatu padatan tanpa penambahan zat-zat lain. Hanya sedikit bahan kimia yang mempunyai sifat alir, kohesi, dan lubrikasi di bawah tekanan untuk membuat padatan seperti ini (Siregar dan Wikarsa, 2010).

Sekarang istilah kempa langsung digunakan untuk menyatakan proses ketika tablet dikempa langsung dari campuran serbuk zat aktif dan eksipien yang sesuai (termasuk pengisi, disintegran, dan lubrikan), yang akan mengalir dengan seragam ke dalam lubang kempa dan membentuk suatu padatan yang kokoh. Tidak ada prosedur praperlakuan granulasi basah atau kering yang diperlukan pada campuran serbuk (Siregar dan Wikarsa, 2010).

Keuntungan metode kempa langsung yaitu: 1. Lebih ekonomis karena validasi proses lebih sedikit; 2. Lebih singkat prosesnya. Karena proses yang dilakukan lebih sedikit, maka waktu yang diperlukan untuk menggunakan metode ini lebih singkat, tenaga dan mesin yang dipergunakan juga lebih sedikit; 3. Dapat digunakan untuk zat aktif yang tidak tahan panas dan tidak tahan lembab (Siregar dan Wikarsa, 2010).

Pada penelitian Ringoringo dan Choiriyah (2018) tentang formulasi tablet kunyah ekstrak akar manis (Succus liquiritae) dengan kombinasi bahan pengisi sorbitol-laktosa terhadap pengaruh sifat fisik tablet kunyah menggunakan metode

17

kempa langsung menghasilkan sifat fisik tablet yang berbeda-beda tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dan memenuhi syarat pada Farmakope Indonesia. Pada penelitian Sa’adah et al., (2016) tentang formulasi granul ekstrak daun kersen (Muntingia calabura L.) menggunakan aerosil dan avicel PH 101 dengan metode granulasi basah dimana aerosil dan avicel PH 101 digunakan sebagai eksipien. Aerosil dengan konsentrasi 0-20% berfungsi sebagai adsorbent dan avicel berupa uap silika submikroskopik, ringan, dan tidak berasa. Avicel PH 101 dengan konsentrasi 20-90% berfungsi sebagai binder/diluent.

b. Granulasi kering

Granulasi kering disebut juga slugging atau prekompresi. Cara ini sangat tepat untuk tabletasi zat-zat yang peka suhu atau bahan obat yang tidak stabil dengan adanya air. Metode pembuatan tablet dengan cara mengempa campuran bahan kering menjadi massa padat.

Obat dan bahan pembantu pada mulanya dicetak dulu, artinya mula-mula dibuat tablet yang cukup besar, yang massanya tidak tertentu, selanjutnya terjadi penghancuran tablet yang dilakukan dalam mesin penggranul kering, atau dalam hal yang sederhana dilakukan di atas sebuah ayakan. Granulat yang dihasilkan kemudian dicetak dengan takaran yang dikehendaki (Voight, 1995).

Metode ini digunakan pada keadaan dosis efektif yang terlalu tinggi untuk pencetakan yang langsung, dimana bahan aktif obatnya peka terhadap pemanasan atau tidak tahan terhadap pemanasan, kelembaban atau keduanya (Lachman et al., 1994). Setelah penimbangan dan pencampuran bahan, serbuk di slug atau dikompresi menjadi tablet yang besar dan datar dengan garis tengah sekitar 1 inci.

Kempaan harus cukup keras agar ketika dipecahkan tidak menimbulkan serbuk yang berceceran. Tablet kempaan ini dipecahkan dengan tangan atau alat dan

18

diayak dengan lubang yang diinginkan, pelicin ditambahkan dan tablet dikempa (Ansel, 2008).

c. Granulasi basah

Pada teknik ini juga memerlukan langkah-langkah pengayakan, penyampuran dan pengeringan. Pada granulasi basah, granul dibentuk dengan suatu bahan pengikat. Teknik ini membutuhkan larutan, suspensi atau bubur yang mengandung pengikat yang biasanya ditambahkan ke campuran serbuk.

Cara penambahan bahan pengikat tergantung pada kelarutannya dan tergantung pada komponen campuran. Karena massa hanya sampai konsistensi lembab bukan basah seperti pasta, maka bahan pengikat yang ditambahkan tidak boleh berlebihan (Banker dan Anderson, 1994).

Proses pengeringan diperlukan oleh seluruh cara granulasi basah untuk menghilangkan pelarut yang dipakai pada pembentukan gumpalan-gumpalan

Proses pengeringan diperlukan oleh seluruh cara granulasi basah untuk menghilangkan pelarut yang dipakai pada pembentukan gumpalan-gumpalan

Dokumen terkait