• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia saat ini menghadapi permasalahan pengendalian penyakit menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular lama (re-emerging diseases) dan penyakit menular baru (new emerging infection diseases), serta adanya kecenderungan meningkatnya penyakit tidak menular (degeneratif) yang disebabkan oleh gaya hidup. Hal tersebut menunjukan terjadinya transisi epidemiologi penyakit, sehingga Indonesia menghadapi beberapa beban (multiple burden) pada waktu yang bersamaan. Salah satu penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia adalah penyakit filariasis atau kaki gajah (InfoDATIN Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2016).

Filariasis atau kaki gajah adalah penyakit menular yang mengenai saluran dan kelenjar limfe yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan jika tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, tangan, dan alat kelamin baik pada perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat berkerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung pada orang lain sehingga menjadi beban keluarga,

masyarakat dan negara (Departemen Kesehatan Republlik Indonesia, 2009).

Pada tahun 2014 kasus filariasis menyerang 1.103 juta orang di 73 negara yang beresiko filariasis. Kasus filariasis menyerang 632 juta (57%) penduduk yang tinggal di Asia Tenggara (9 negara endemis) dan 410 juta (37%) penduduk yang tinggal di wilayah Afrika (35 negara endemis), Mediterania Timur (3 negara endemis) dan wilayah Barat Pasifik (22 negara endemis) (WHO, 2016).

Indonesia merupakan daerah endemis penyakit filariasis. Penyakit ini tersebar di seluruh provinsi. Dari tahun ke tahun jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah. Bahkan di beberapa daerah mempunyai tingkat endemitas yang cukup tinggi. Berdasarkan laporan daerah dan hasil survai (rapid mapping) pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 6.500 kasus kronis di 1.553 desa, 674 puskesmas di 231 kabupaten, dan 26 provinsi. Sampai tahun 2004 kasus kronis yang dilaporkan sebanyak 8.003 orang yang tersebar di 32 provinsi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009).

Pada tahun 2009, tiga provinsi dengan jumlah kasus terbanyak adalah Nanggroe Aceh Darussalam (2359 orang), Nusa Tenggara Timur (1730 orang), dan Papua (1158 orang). Tiga provinsi dengan kasus terendah adalah Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang), dan Sulawesi Utara (30 orang). Jawa Barat menduduki posisi lima besar dari seluruh provinsi yang terpapar filariasis atau kaki gajah (Ditjen PP & PL Depkes

RI, 2009). Sedangkan pada tahun 2016 dilaporkan sebanyak 29 provinsi dan 239 kabupaten/kota endemis filariasis, sehingga diperkirakan sebanyak 102.279.739 orang yang tinggal di kabupaten/kota endemis tersebut beresiko terinfeksi filariasis. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis pada tahun 2016 turun dari tahun sebelumnya karena beberapa kabupaten/kota telah menyelesaikan tahapan eliminasinya dan dapat menurunkan prevalensinya sehingga menjadi daerah yang tidak endemis lagi (InfoDATIN Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2015).

Daerah endemis filariasis di kabupaten/kota ditentukan berdasarkan survei pada desa yang memiliki kasus kronis, dengan memeriksa darah jari 500 orang yang tinggal disekitar tempat tinggal penderita kronis tersebut pada malam hari. Mikrofilaria (Mf) rate 1% atau lebih merupakan indikator suatu kabupaten/kota menjadi daerah endemis filariasis. Mf rate dihitung dengan cara membagi jumlah sediaan yang positif mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa dikali seratus persen.

Di Indonesia hasil survai darah jari, dengan rentangan yang didapatkan prevalensi mikrofilaria (Mf rate) berkisar antara 0,5 - 27,6%.

Tingkat penularan penyakit filariasis masih tinggi. Diperkirakan sekitar 10 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 60 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk tertular karena nyamuk penularannya tersebar luas (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Selain

itu mereka yang terinfeksi filariasis bisa terbaring di tempat tidur selama lebih dari lima minggu per tahun karena gejala-klinis akut dari filariasis yang mewakili 11% dari masa usia produktif. Untuk keluarga miskin, total kerugian ekonomi akibat ketidakmampuan karena filariasis adalah 67%

dari total pengeluaran rumah tangga per bulan. Rata-rata kerugian ekonomi per satu (termasuk biaya berobat dan obat-obatan, serta kerugian ekonomi karena hilang produktifitas, kehilangan masa produktivitas bagi yang terkena kasus kronis). Sehingga filariasis menyebabkan kerugian ekonomi yang utama bagi penderita dan juga keluarganya. Adapun dampak psikologis dari penyakit ini yaitu mereka hidup dengan gejala kronis menderita karena diasingkan oleh keluarga dan oleh masyarakat, kesulitan mendapatkan suami atau istri dan menghambat mendapatkan keturunan (anak) (Pusat data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI).

Berdasarkan hasil survey kerugian ekonomi akibat filariasis tahun 2000 oleh FKM-UI yaitu biaya untuk berobat sebesar Rp 157,496 (21,4

%), hilangnya produktif penderita sebesar Rp 306,000 (41,6%), hilangnya waktu produktif orang lain sebesar Rp 236,792 (32,2%), dan biaya tindakan sebesar Rp 35,640 (4,8%) dengan total kerugian per kasus per tahun sebesar Rp 735,380 (100%).

Untuk pemberantasan penyakit ini sampai tuntas, WHO sudah menetapkan kesepatan global (The Global Goal Of Elimination of Lymphatic as a Public Health Problem by The Year 2020). Program

eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan massal DEC dan Albendazol setahun sekali selama minimal 5 tahun di daerah endemis perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencengah kecacatan dan mengurangi penderitaanya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009).

Strategi yang digunakan untuk eliminasi filariasis yaitu dengan melaksanakaan pemberian obat pencegahan massal (POPM) filariasis di kabupaten/ kota endemis filariasis dan penatalaksanaan kasus klinis filariasis. Satuan pelaksanaan (Implementation Unit) eliminasi filariasis adalah kabupaten/kota, yaitu seluruh penduduk yang tinggal di kabupaten/kota endemis filariasis harus minum obat pencengah filariasi.

Obat yang efektif digunakan untuk POPM filariasis adalah kombinasi DEC/Diethylcorbamazine Citrate dan Albendazole (Kemenkes RI,2010).

Pemberian obat pencegahan massal filariasis dilaksanakan sekali setahun selama 5 tahun berturut-turut agar penyebab filariasis dapat di berantas dan tidak terjadi reinfeksi filariasis. Adapun tujuan program eliminasi filariasis adalah memutus rantai penularan filariasis di setiap kabupaten/kota endemis dan mencegah serta membatasi kecacatan karena filariasis (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

Pemberian Obat Pencengahan Massal (POPM) Filariasis di daerah endemik dengan Mf >1%. Daerah endemik di Indonesia salah satunya adalah Provinsi Jawa Barat. Di Jawa Barat bulan Juni tahun 2015 jumlah penderita kronis filariasis sebanyak 899 orang yang tersebar di 26

kab/kota (kecuali kota Banjar yang belum melaporkan adanya kasus kronis filariasis), sedangkan daerah endemis filariasis sebanyak 11 kab/kota (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2015).

Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah endemik. Di Kabupaten Bogor juga menetapkan pelaksanaan eliminasi penyakit filariasis (kaki gajah) selama 5 (lima) tahun berturut-turut di seluruh kecamatan mulai tahun 2015 hingga 2019. Sesuai dengan Data Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor tahun 2016, yaitu terjadi peningkatan kasus penyakit filariasis (kaki gajah) dibanding tahun sebelumnya. Pada tahun 2015 terjadi 60 kasus penyakit filariasis (kaki gajah) yang tersebar di 22 kecamatan salah satunya Kecamatan Ciomas. Sedangkan pada tahun 2016 bertambah menjadi 65 kasus penyakit filariasis (kaki gajah) yang menyerang warga Kabupaten Bogor (Profil Dinkes Kabupaten Bogor, 2016).

Kecamatan Ciomas merupakan salah satu wilayah yang ada di Kabupaten Bogor yang juga menjalankan program pencegahan filariasis.

Puskesmas Ciomas telah menjalankan program pemberantasan filariasis dengan membagikan obat pencegahan filariasis kepada penduduk di wilayah kerja Puskesmas Ciomas. Puskesmas memberikan obat melalui kader-kader yang telah dilatih. Obat yang dibagikan berjumlah 2 jenis obat yaitu DEC (Diethyicarbamazine) dan Albendazole. Dosis obat diberikan sesuai umur yaitu 2-5 tahun (1 tablet DEC 100mg dan 1 tablet Albendazole 400mg). 6-14 tahun (2 tablet DEC 100mg dan 1 tablet

Albendazole 400mg), dan >14 tahun (3 tablet DEC 100mg dan 1 tablet Albendazole 400mg) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009).

Salah satu kelemahan program yang telah dijalankan Puskesmas Ciomas dalam mencengah filariasis ini adalah tidak adanya pemantauan secara langsung respon masyarakat terhadap obat yang telah diberikan.

Sehingga masih banyak masyarakat yang takut mengkonsumsi obat yang telah dibagikan. Sesuai studi pendahuluan dari 10 orang yang diwawancarai, 7 orang mengatakan tidak mengkonsumsi obat anti filariasis yang telah dibagikan karena merasa tidak sakit dan tidak akan terkena filariasis. Sedangkan warga lainnya tidak mau minum obat anti filariasis karena reaksi umum yang timbul terdiri dari sakit kepala, pusing, demam, mual, sakit otot, nyeri sendi, gatal-gatal bahkan keluar cacing.

Hal seperti ini yang akan menghambat keberhasilan program eliminasi pada daerah endemik.

Peran perawat komunitas dalam hal pemberian obat untuk pencengahan filariasis sebagai pendidik (health educator) yaitu mendidik masyarakat dari tidak tahu menjadi tahu termasuk pemberian obat anti filariasis. Dalam memberikan obat ini, perawat harus menguasai teknik serta aturan dalam menggunakan obat tersebut. Di dalam memberikan obat kepada pasien, perawat harus menguasai beberapa hal yang akan terjadi pada pasien setelah pemberian obat ini, diantaranya interaksi obat, efek samping obat, waktu kerja obat, dan lain-lain. Sehingga terjadi perubahan perilaku untuk mencapai tingkat kesehatan optimal. Peran perawat

komunitas lainnya sebagai pengorganisir layanan kesehatan (organisator) yaitu, berperan serta dalam memberikan motivasi kepada masyarakat dalam setiap upaya layanan kesehatan.

Berdasarkan hal tersebut peneliti melakukan penelitian untuk mengetahui gambaran motivasi masyarakat dalam meminum obat anti filariasis. Sebelumnya ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut seperti yang dilakukan oleh Santhi (2012) dengan hasil penelitian tersebut yaitu responden yang patuh dalam meminum obat filariasis pada penggobatan massal sebanyak 72,9 % responden, dimana persentase yang diharapkan akan kepatuhan minum obat mencapai angka 98%. Selain itu adapun penelitian lainnya yang dilakukan oleh Rusmanto (2013) dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sikap dan perilaku masyarakat tidak dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin, umur, pendidikan, pendapatan, dan pengetahuan seperti yang telah dipaparkan pada teori Health Belief Model (Lewin, 1970) dan Green (1991). Sikap dan perilaku masyarakat RW II Kelurahan Pondok Aren cenderung dipengaruhi oleh budaya masyarakat dalam berperilaku kesehatan. Budaya masyarakat di RW II menunjukkan bahwa masyarakat cenderung memilih pengobatan Alternatif dalam mendapatkan pengobatan, sehingga telah membentuk suatu sikap anti terhadap obat. Kejadian inilah yang menyebabkan ketidaklancaran program yang dijalankan. Target Pencapaian Program adalah 100%, namun hasil penelitian menunjukan bahwa 69,2%

responden dengan perilaku minum obat anti filariasis. Hal ini

menunjukkan bahwa pencapain program masih jauh dari target dan harapan.

Berdasarkan hasil penelitian beberapa peneliti dapat disimpulkan bahwa kepatuhan masyarakat dalam meminum obat anti filariasis masih kurang, oleh karena itu motivasi sangat dibutuhkan untuk masyarakat karena motivasi merupakan sesuatu yang mendorong, atau pendorong seseorang bertingkah laku untuk mencapai tujuan tertentu. Tingkah laku termotivasi dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan. Kebutuhan tersebut diarahkan pada pencapaian tujuan tertentu (Saam, 2012). Jadi Peneliti tertarik untuk mengangkat tema Filariasis yang berjudul “Gambaran Motivasi Masyarakat dalam Meminum Obat Anti Filariasis di RW 04 Desa Padasuka Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor”.