• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

B. Latar Belakang

Pada bagian ini, peneliti akan memaparkan fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan kepuasan terhadap tubuh. Peneliti akan membahas mengenai fenomena remaja yang menggunakan make up secara berlebihan, mengenakan seragam ketat, dan bahkan melakukan operasi plastik. Akhir-akhir ini muncul fenomena baru yang beredar di media sosial, yaitu potret remaja perempuan usia Sekolah Menengah Atas (SMA) yang mengenakan rok dan seragam ketat lalu berpose seakan menunjukkan lekuk tubuhnya (Aladhi, 2016; Wirman, 2016). Seperti yang disampaikan oleh Wirman (2016) di kota Bogor masih banyak siswa yang mengenakan seragam tidak sesuai dengan peraturan sekolah. Hal tersebut membuat pihak sekolah terutama guru Bimbingan dan Konseling kewalahan untuk menegur siswa-siswinya. Fenomena yang muncul seakan menjadi tren di kalangan pelajar. Prasetya (2013) mengatakan bahwa tayangan media yang dilihat oleh remaja akan menimbulkan rasa penasaran yang besar, remaja yang cenderung ingin mencoba dan melakukan apa yang ia lihat agar disebut sebagai remaja kekinian. Wirman (2016) juga mengatakan bahwa pembina OSIS SMA di Bogor tersebut telah mencoba untuk menegur, akan tetapi siswa-siswinya tetap mengenakan seragam yang tidak sesuai dengan peraturan di

sekolahnya. Lebih parahnya, ternyata siswa maupun siswi di sekolah tersebut rela membawa dua seragam sekolah untuk menghindari teguran gurunya.

Tidak hanya berseragam ketat saja, tetapi remaja perempuan juga sudah mulai belajar menggunakan make up. Menurut Asrianti (2018) perilaku berdandan merupakan salah satu indikasi bahwa seorang perempuan memiliki penilaian dan ketidakpuasan terhadap tubuhnya. Berdasarkan situs gaya hidup Nuyoo, 66% dari 852 perempuan muda mulai memakai kosmetik antara usia 13 sampai 15 tahun. Sementara 11% lainnya mulai berias antara umur 10 sampai 12 tahun (Asrianti, 2018). Remaja menghabiskan waktunya kurang lebih satu jam untuk berdandan (Gentina, Palan, & Fosse-Gomez, 2012). Selain waktu yang cukup banyak terbuang, ternyata remaja perempuan juga mengeluarkan uang yang lumayan banyak untuk merias dirinya. ZAP Clinic bersama MarkPlus melakukan survei dan menunjukkan hasil bahwa perempuan yang memasuki usia 18 tahun, dalam sebulan remaja akan menghabiskan uang kurang dari 1 juta rupiah untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Menariknya, 40% dari uang belanja bulanan tersebut digunakan untuk membeli produk fashion dan kecantikan. Biasanya, biaya yang mereka habiskan adalah sebesar Rp. 200.000,- hingga Rp. 399.000,- (Dimara, 2018).

Featherstone (1999 dalam Grogan, 2008) yang mengatakan bahwa ada peningkatan besar dalam praktik modifikasi tubuh atau dalam hal ini termasuk penyisipan implan, branding, tattoo, dan tindik. Hal tersebut dikonfirmasi dengan berita yang cukup mengagetkan dari seorang remaja perempuan asal Middlesbrough, North Yorkshire yang rela mengeluarkan uang senilai 15 ribu

poundsterling atau sekitar 279 juta rupiah untuk mengubah dirinya menjadi seperti artis idolanya (Siahaan, 2018). Di tempat lain yaitu Praha, Republik Ceko ada pula seorang gadis yang menghabiskan uang sekitar seribu poundsterling atau setara 19 juta rupiah dalam sebulan untuk melakukan operasi plastik agar dirinya terlihat seperti boneka barbie (Ambar, 2018).

Selain itu, American Academy of Plastic Facial and Reconstructive Surgery (AAFPRS) menemukan bahwa tekanan untuk menampilkan hasil swafoto yang sempurna di media sosial, membuat permintaan operasi plastik semakin meningkat (Ardina, 2017). Alasan para pasien melakukan operasi plastik adalah agar tampak sempurna ketika melakukan swafoto, dan pantas diunggah di Instagram, Snapchat maupun Facebook. American Society of Plastic Surgeons

menunjukkan semakin banyak orang dewasa muda di bawah usia 30 tahun dan remaja yang memilih untuk melakukan koreksi estetika seperti pembesaran payudara, sedot lemak, pengecilan perut, suntik botoks, sampai pengencangan wajah. Kebanyakan pasien semakin merasa mantap untuk melakukan operasi plastik karena telah mendapatkan banyak informasi dan berkonsultasi dengan temannya melalui media sosial (Ardina, 2017).

Remaja rela menghabiskan waktu dan uang agar dirinya terlihat lebih menarik dan sesuai dengan harapannya mengenai penilaian bentuk tubuh ideal. Dalam harian kompas online dikatakan bahwa telah dilaksanakan sebuah riset mengenai pandangan cantik pada awal bulan Mei 2017 lalu di 11 kota besar di Indonesia yang meliputi Medan, Jabodetabek, Bandung, Semarang, Surabaya,

Denpasar dan Makassar. Riset pemasaran ini dilakukan oleh Sigma Research

terhadap 1200 responden wanita yang memiliki rentang usia 15-55 tahun. Dari hasil riset dapat diketahui bahwa 40% responden mendefinisikan kecantikan berdasarkan kondisi fisik, 14.8% mendefinisikan kecantikan berdasarkan kepribadian yang menarik, sedangkan yang menganggap perilaku ramah sebagai tolok ukur cantik hanya 9.5%. Sementara kemampuan intelektual sepertinya tidak terlalu dianggap sebagai salah satu sifat yang menentukan definisi cantik, karena yang menganggap orang cerdas sebagai orang cantik hanya 6.1% (Lemmung, dalam Wisnubrata 2017). Hal tersebut diperkuat dengan pesan di media yang mengatakan bahwa seorang wanita cantik ketika memiliki tubuh yang kurus, berkulit putih, gigi rapi, dan juga rambut yang mengkilap (Matlin, 2012). Oleh karena itu, bukanlah suatu hal yang mengherankan apabila seorang remaja perempuan mulai belajar merawat dirinya agar terlihat lebih menarik menurut lingkungan sosialnya. Dari contoh-contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa remaja sangat dekat dengan media khususnya media sosial. Suatu keinginan untuk tampil sempurna dan ditunjang dengan lengkapnya informasi yang disediakan oleh media maka menguatlah keinginan untuk mempercantik diri meskipun harus mengeluarkan banyak biaya.

Akan tetapi, jika remaja kurang mendapatkan pendampingan maka akan timbul berbagai persoalan seperti yang dikatakan Rully (2017) mengenai seorang remaja usia 20 tahun asal Malaysia yang menjadi korban akibat memakai make up

ditelusuri diduga dalam kosmetik tersebut terdapat zat tretinoin yang biasa digunakan untuk obat jerawat akan tetapi sangat kuat efek sampingnya. Hal itu berakibat wajah remaja tersebut menjadi kemerahan dan berlendir serta nanah kering bertumpuk-tumpuk pada wajahnya.

Fenomena yang terjadi di masyarakat seperti di atas menunjukkan bahwa terlalu mementingkan penampilan fisik akan berdampak negatif bagi remaja perempuan dan cenderung merugikan baik itu secara fisik dan juga material. Akan tetapi, untuk mengesampingkan penampilan, tampaknya akan sulit untuk dilakukan oleh remaja perempuan karena salah satu tugas perkembangannya adalah ia harus membiasakan diri dan menerima segala perubahan yang terjadi karena pada usianya ia akan merasakan banyak perubahan baik secara fisik dan juga psikologis (Stolz & Stolz, 1951 dalam Hurlock, 1973).

Dalam perkembangannya remaja akan mengalami tiga perubahan besar dalam dirinya yaitu perubahan dari segi fisik, kognitif, dan juga sosial (Hurlock, 1973). Dari segi fisik, remaja perempuan akan mengalami menarche (menstruasi pertama), dan yang paling sering dikeluhkan adalah terjadinya perubahan perasaan yang tiba-tiba (mood swing) saat menjelang hari datang bulan (Matlin, 2012). Menarche akan membawa perubahan-perubahan fisik remaja perempuan seperti perubahan suara, membesarnya payudara, dan juga bertumbuhnya rambut halus di bagian kemaluan dan ketiak. Bayaknya perubahan yang terjadi, umumnya membuat remaja merasa tidak nyaman. Dalam menjalani perubahan fisiknya,

remaja perempuan sering merasa kebingungan dengan apa yang terjadi pada dirinya. Hal tersebut terkonfirmasi dengan wawancara awal dengan Delima.

“…waktu aku pertama kali mens, aku tu kaget plus bingung gitu, terus

nanya ke mamah ini tu kenapa? Terus mamah bilang oo.. itu biasa kok

buat anak perempuan. Nah, waktu mamah bilang gitu aku jd lega

gitu…”(Delima,15 tahun).

Delima mengatakan bahwa ia merasa kebingungan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan tubuhnya ketika SMP dan bahkan ia sempat merasa gelisah serta bingung saat mengalami menarche. Akan tetapi kebingungannya terpecahkan ketika ada orang dewasa yang mendampingi yaitu ibunya.

Selain mengalami menarche dan perubahan bentuk pada tubuh, pada usia remaja umumnya perempuan juga mengalami perkembangan pada cara berpikirnya, sehingga remaja perempuan dapat berpikir mengenai hal-hal yang lebih kompleks (Matlin, 2012). Seperti yang dikatakan oleh Delima, ketika ia sudah memasuki usia remaja ia mulai dapat memperkirakan sebab dan akibat dari perilakunya berdasar pada nilai-nilai di lingkungannya.

“…jadi setelah mens itu kan aku masuk SMP, nah pas SMP tu mulai bisa

mikir kalo aku ngelakuin gini nanti jadinya gimana ya?...” (Delima, 15

tahun).

Ketika memasuki usia remaja seseorang akan mengalami perubahan pada cara berpikirnya berkaitan dengan kondisi fisik, psikologis, dan lingkungan sosialnya (Markus, 2008 dalam Matlin, 2012). Markus (2008, dalam Matlin,

2012) juga mengatakan bahwa kemampuan berpikir kompleks akan berpengaruh pada pencarian identitas diri. Identitas tersebut akan melekat pada diri remaja seperti, asal kota kelahiran, suku, dan juga agama. Oleh karena itu akan ada perbedaan perilaku yang dimunculkan oleh masing-masing remaja perempuan sesuai dengan karakteristik budaya di tempat tinggalnya.

Selain perubahan fisik dan kognitif, remaja perempuan juga mengalami perubahan pada interaksi sosialnya. Remaja perempuan menaruh perhatian pada interaksi sosialnya baik itu dalam keluarga dan juga pertemanan. Bagi remaja perempuan, teman dekat memiliki peran yang penting dalam kehidupannya oleh sebab itu pertemanan remaja perempuan terlihat jauh lebih intim jika dibandingkan dengan remaja laki-laki. Hal tersebut sesuai dengan yang telah disampaikan Hurlock (1973) bahwa teman dekat akan memberikan lingkungan yang suportif. Ketika remaja perempuan berkumpul biasanya mereka melakukan hal yang sama-sama mereka sukai seperti menonton film, makan bersama, membicarakan mengenai busana dan juga membicarakan mengenai lawan jenis. Selain bersosialisasi dengan teman yang memiliki jenis kelamin yang sama, pada usia transisi ini remaja juga sudah mulai mencoba memikirkan dan menjalani relasi romantis seperti yang dikatakan oleh Lavender:

“…setelah mens dulu itu, aku jadi mulai suka sama cowok mbak

hehehe …” (Lavender, 18 tahun).

Dengan malu-malu Lavender mengatakan bahwa ia mulai memikirkan tentang lawan jenisnya setelah ia mengalami menarche. Hal tersebut membuat

remaja perempuan lebih memperhatikan penampilannya agar dapat menarik perhatian dari lawan jenisnya (Hurlock, 1973). Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh remaja perempuan untuk menarik perhatian dari lawan jenis adalah mereka mulai belajar menggunakan make up dan juga memakai baju yang akan menunjang penampilan mereka. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Delima yang mengatakan bahwa teman-teman sekolahnya mulai belajar berdandan saat jam istirahat berlangsung, dan riasan tersebut dibiarkan hingga jam pulang sekolah.

Untuk melihat bagaimana remaja menilai tubuhnya, tiga aspek di atas dapat dia jadikan acuan untuk melihat apakah remaja terlalu mementingkan penampilan fisiknya atau tidak. Dari ketiga aspek perkembangan yang dialami remaja perempuan dapat dilihat pula bahwa aspek fisik sangat berpengaruh pada bagaimana remaja menilai diri mereka.

Penjelasan di atas berlaku bagi remaja perempuan pada umumnya. Akan tetapi ada satu populasi khusus yang karakteristiknya menarik untuk diteliti yaitu siswi sekolah homogen. Siswi sekolah homogen menarik untuk diteliti karena ada penelitian yang dilakukan Tiggemann (2001) menemukan bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara siswi yang bersekolah di sekolah homogen maupun heterogen mengenai pandangan dan penilaian pada tubuh yang ideal. Meskipun demikian, siswi yang bersekolah pada sekolah homogen memiliki pencapaian (achievement) dan pandangan mengenai sex role yang lebih modern. Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa siswi di sekolah homogen cenderung mengasosiasikan wanita yang memiliki kemampuan dan intelegensi yang tinggi memiliki bentuk tubuh yang kurus (ideal). Dari penelitian tersebut dapat

disimpulkan bahwa lingkungan sekolah merupakan faktor sosiokultural yang penting dalam mempengaruhi sikap dari remaja perempuan mengenai tubuhnya. Oleh karena itu, sekolah homogen menciptakan lingkungan yang menuntut siswinya memiliki pencapaian tinggi dalam intelegensi dan kesuksesan secara profesional (Tiggemann, 2001). Keunikan karakteristik tersebut membuat populasi siswi sekolah homogen perempuan menjadi menarik untuk diteliti.

Dalam ilmu psikologi, fenomena yang sudah dijabarkan di atas, bagaimana remaja perempuan menerima perubahan yang ada dalam dirinya, serta dinamika siswi sekolah homogen itu terkait dengan konsep persepsi tubuh. Secara lebih spesifik Cash dan Smolak (2011) menerangkan bahwa persepsi tubuh merupakan suatu sikap yang dimiliki oleh seorang individu terhadap tubuhnya yang berupa suatu penilaian baik itu positif maupun negatif. Cash (2016) memaparkan ada sepuluh aspek yang nantinya akan digunakan untuk melihat apakah seseorang memiliki penilaian yang positif atau negatif terhadap tubuhnya. Kesepuluh aspek tersebut adalah Appearance evaluation, Appearance orientation, Fitness evaluation, Fitness orientation, Health evaluation, Health orientation, Illness

orientation, Body areas satisfaction, Overweight preoccupation, dan Self-classified weigh. Ketika seseorang menilai tubuhnya secara positif maka ia akan cenderung bahagia dan memiliki kontrol diri yang baik (Cash & Smolak, 2011) sehingga ia akan lebih menghargai dirinya sebagai pribadi yang unik (Grogan, 2008). Akan tetapi ketika seseorang memiliki penilaian yang negatif terhadap tubuhnya maka ia akan berusaha mengubah tubuhnya secara ekstrem agar terhindar dari penilaian negatif orang lain (Smolak & Thompson, 2009).

Penilaian yang negatif terhadap tubuh dapat membuat seseorang melakukan perubahan ekstrem terhadap tubuhnya seperti yang telah disampaikan (Smolak & Thompson, 2009) di atas oleh karena itu penelitian terkait persepsi tubuh sangat dibutuhkan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada remaja perempuan.

Beberapa penelitian sudah pernah dilakukan terkait persepsi tubuh. Dua penelitian akan dibahas di sini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Gentina et al., (2012) dan Scott (2015). Pada bagian pendahuluan dari jurnal yang ditulis oleh Gentina, disebutkan bahwa terlihat atraktif secara fisik merupakan hal yang sangat penting di kalangan remaja. Sehingga pada usia 15 tahun ke atas merupakan hal yang wajar ketika seorang perempuan menggunakan make up, tampil dengan busana yang sedang diminati banyak orang, bahkan melakukan operasi plastik (Schouten 1991, Park 1998, Rudd 1997 dalam Gentina et al., 2012). Penelitian tersebut menemukan bahwa ritual menggunakan make up merupakan sebuah perilaku yang menunjukkan bahwa seorang remaja mulai tumbuh menjadi orang dewasa (Gentina et al., 2012). Selain itu, penelitian dari Scott pada tahun 2015 yang dilakukan di Amerika menemukan bahwa perempuan selalu lekat dengan anggapan cantik, oleh karena itu banyak perempuan menggunakan make up

karena perempuan percaya bahwa hal itu akan mempengaruhi level daya tariknya (Scott, 2015). Dari dua penelitian di atas dapat dilihat bahwa perempuan mulai memperhatikan penampilannya dan akan berusaha agar terlihat menarik ketika memasuki usia remaja.

Seorang remaja akan berusaha untuk mendapatkan penampilan yang ideal seperti penilaian orang lain ketika ia memiliki penilaian yang buruk pada tubuhnya. Oleh karena itu, ia akan berusaha untuk mencari informasi mengenai tubuh yang ideal dan bagaimana cara mendapatkannya melalui media. Sepertinya yang telah dikatakan oleh (Deutsch & Gerard, 1955; Insko, 1985 dalam Robert. A. Baron & Nyla R. Branscombe, 2012) ada dua motif kuat yang menjadi alasan seseorang untuk menyesuaikan diri yaitu, keinginan untuk disukai atau diterima oleh orang lain dan keinginan untuk berperilaku benar. Saat memasuki masa puber, remaja perempuan mulai membandingkan tubuhnya dengan teman sebayanya. Dengan keadaan emosi remaja yang belum stabil serta pandangan lingkungan sekitar mengenai bagaimana seharusnya penampilan dari seorang perempuan, membuat remaja berusaha untuk berpenampilan seperti yang lingkungan sosialnya harapkan. Keinginan untuk diterima oleh teman sebayanya membuat remaja berusaha untuk mencari info-info terbaru termasuk gaya berbusana. Melalui media komunikasi, periklanan dan juga industri kosmetik, remaja mencoba untuk tampil cantik seperti model-model dalam iklan (Smolak & Thompson, 2009) karena konten-konten dalam media sosial mengandung unsur persuasif yang mengajak masyarakat untuk mengikuti tren yang ada.

Dari uraian yang sudah peneliti sampaikan di atas dapat dilihat bahwa kemungkinan ada hubungan antara konformitas di media sosial dan juga persepsi tubuh. Konformitas adalah suatu usaha seseorang untuk menyesuaikan diri dengan orang lain baik dari sisi pendapat, penilaian, atau tindakan agar sesuai dengan standar normatif suatu kelompok atau situasi sosial (American Psychological

Association, 2009). Orang-orang cenderung melakukan konformitas bila cukup banyak orang yang mempengaruhi atau pengaruh itu datang dari seseorang yang memiliki hubungan dengan orang tersebut (Matlin, 2012). Penerimaan dan pengakuan dari teman sebaya merupakan suatu hal yang penting sehingga membuat remaja berusaha menyesuaikan diri agar tidak dijauhi oleh teman-temannya karena peran teman sebaya sangat penting dalam kehidupan mereka (Hurlock, 1973) dan media sosial merupakan salah satu media di mana remaja mendapatkan informasi-informasi yang aktual.

Selain itu, pada penelitian lain disebutkan pula bahwa persepsi tubuh memiliki pengaruh yang cukup besar pada konformitas (Christanto, 2014; Handayani, 2011; Tiggemann, 2001). Senada dengan penelitian itu (Laili, Soeranti, & Pertiwi, 2015; Sebayang, Yusuf, & Priyatama, 2011; Yuliantari & Herdiyanto, 2015) menemukan bahwa ada hubungan antara konformitas, persepsi tubuh dan juga perilaku konsumtif pada remaja. Penelitian dari Andriani dan Ni’matuzahroh, (2013) serta Nursanti (2009) juga mengatakan bahwa konsep diri yang rendah akan diikuti pula oleh konformitas yang tinggi. Dari penelitian-penelitian tersebut dikatakan bahwa remaja mencoba untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya dengan membeli barang-barang yang menunjang penampilannya. Remaja juga mencoba untuk menyesuaikan diri dengan artis idola yang ia lihat di media karena remaja mulai mengerti betapa pentingnya memperhatikan penampilan untuk memperoleh pengakuan sosial. Akan tetapi ada penelitian lain yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara konformitas dan juga konsep diri (Indrayana & Hendrati, 2013) serta harga diri (Erawati, 2016) pada

remaja. Menurut Potter dan Perry (2005) persepsi tubuh, ideal diri, harga diri, peran dan juga identitas diri merupakan bagian atau komponen dari konsep diri sehingga dua penelitian terakhir dapat pula dijadikan acuan dalam penelitian ini.

Adanya perbedaan hasil tersebut membuat peneliti semakin tertarik untuk melihat seperti apa gambaran seorang remaja perempuan mengenai tubuhnya dan juga bagaimana sikap yang dimunculkan mengenai tubuhnya berdasarkan tuntutan lingkungannya terutama ketika seorang remaja berada dalam suatu lingkungan. Sekolah homogen berjenis kelamin perempuan peneliti pilih karena belum banyak penelitian yang mengambil populasi tersebut. Penelitian yang dilakukan di Yogyakarta dengan partisipan siswi perempuan di sekolah homogen ini diharapkan mampu menambah kelengkapan pengetahuan dari penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.

Orang-orang yang memiliki peran besar terhadap penilaian tubuh remaja adalah orang tua, pihak sekolah atau guru Bimbingan dan Konseling, serta Dinas Pendidikan. Peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mendampingi walaupun terkadang ada perbedaan pendapat antara anak dengan orang tuanya. Remaja dan juga orang tua tumbuh dalam budaya dan generasi yang berbeda, walaupun dalam beberapa hal seperti pandangan mengenai agama, politik, pendidikan, dan juga norma sosial akan relatif sama tetapi tetap ada beberapa perbedaan cara pandang antara keduanya (Matlin, 2012).

“…aku tu nggak terlalu suka cerita sama ibu, soalnya aku ngerasa gak bebas gitu mbak nanti dikit-dikit aku di judge gini lah gitu lah. Enak

cerita sama temen, jadi berasa sepenanggungan gitu soalnya…”

(Camelia, 15 thn).

Pernyataan Camelia tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan Matlin (2012) bahwa perbedaan pendapat sering kali membuat remaja perempuan merasa tidak nyaman dan cenderung terlibat banyak perdebatan dengan orang tua terutama dengan ibu sehingga menyebabkan remaja perempuan merasa lebih nyaman ketika bersama dengan teman sebayanya. Remaja perempuan bahkan cenderung lebih banyak mengungkapkan perasaannya kepada teman atau sahabatnya.

Walaupun remaja lebih nyaman bercerita pada teman sebayanya, tetapi pengawasan peran orang tua sangat diharapkan. Hal itu dikarenakan ketika remaja perempuan merasa puas dan nyaman dengan dirinya ia akan cenderung memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi dalam mengembangkan kemampuannya yang lain (Charulata, 2011). Hal itu sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Canada, penelitian tersebut menemukan bahwa remaja yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung tidak menggunakan make up dan dalam hal akademik biasanya mereka lebih mampu mengungkapkan pendapat dan kemampuannya di depan umum (Charulata, 2011). Akan tetapi, ketika seorang remaja memiliki penilaian yang rendah ia akan cenderung mengikuti seseorang yang menjadi idolanya seperti yang berita yang telah disampaikan di atas. Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa peran orang tua sangat penting untuk menanamkan nilai yang positif pada tubuh remaja perempuan agar remaja memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

Selain peran orang tua, ada pihak lain yang turut mengambil peran dalam perkembangan remaja yaitu pihak sekolah dan juga Dinas Pendidikan. Seperti yang telah dikatakan oleh Tiggemann (2001) sebagian besar remaja menghabiskan waktunya di sekolah, sehingga peran dari para guru juga sangat besar dalam pembentukan penilaian terhadap tubuh. Sekolah merupakan tempat yang sangat penting untuk membantu remaja agar dapat melakukan penanggulangan pada permasalahan sosial dan psikologis yang akan berdampak pada akademiknya. Sekolah diharapkan dapat membantu remaja dalam memilih sikap seperti apa yang lebih tepat untuk diambil daripada hanya memberikan label negatif kepada siswanya. Oleh karena itu, para guru khususnya guru Bimbingan dan Konseling (BK) dapat mendampingi siswi ketika mereka memiliki permasalahan dengan persepsi tubuh. Dinas Pendidikan secara tidak langsung juga memiliki peran untuk membangun penilaian yang positif terhadap tubuh. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membuat keputusan mengenai pentingnya pemberian materi tentang persepsi tubuh, dan mewajibkan sekolah-sekolah menerapkannya.

Ilmuwan dan praktisi psikologi juga memiliki peran untuk menumbuhkan persepsi tubuh positif pada remaja perempuan. Upaya yang dapat dilakukan

Dokumen terkait