• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Remaja Siswi Sekolah Homogen

Pada bagian ini, akan dipaparkan mengenai dinamika psikologis remaja siswi sekolah homogen. Pemaparan akan dibagi menjadi tiga bagian dimulai dari perspektif perkembangan, perspektif sosial, dan yang terakhir ditutup dengan dinamika remaja siswi sekolah homogen.

1. Perspektif Perkembangan

Seorang individu dalam rentang kehidupannya akan mengalami masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa. Masa transisi ini disebut dengan masa remaja. Menurut Hurlock (1973) kata remaja berasal dari bahasa latin,

adulenscentia, yang berarti masa muda. Pada masa transisi ini terdapat perubahan-perubahan yang harus diterima oleh remaja. Perubahan yang akan dialami oleh remaja meliputi perubahan fisik, psikologis dan emosi (Hurlock, 1973). Dalam hal kematangan seksual, terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Pada perempuan, usia remaja dimulai dari 13 sampai dengan 18 tahun sedangkan pada laki-laki baru dimulai dari 14 sampai dengan 18 tahun. Pada rata-rata usia 13 tahun, remaja perempuan mengalami menarche atau menstruasi pertama. Menarche mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan fisik pada diri remaja perempuan (Hurlock, 1973). Tugas

perkembangan utama pada usia remaja adalah menerima perubahan yang terjadi pada tubuhnya sebagai simbol perubahan dirinya, sehingga perubahan pada tubuh lebih banyak menyebabkan distress daripada kepuasan terhadap dirinya (Smolak & Thompson, 2009). Oleh karena itu, remaja akan mengusahakan untuk menjaga penampilan dirinya, walaupun mungkin saja tetap berujung pada ketidakpuasan terhadap diri mereka (Hurlock, 1973).

Selain perubahan dalam segi fisik, remaja juga mengalami perkembangan dari segi psikologis, perkembangan tersebut membuat seorang remaja mulai dapat berpikir secara abstrak dan juga kompleks (Hurlock, 1973). Melalui kemampuan berpikir kompleks tersebut, remaja mulai mempertanyakan dan menilai tentang dirinya sendiri mengenai karakteristik personal dalam hal fisik, psikologis, dan juga dimensi sosial (Reid et al., 2008; Rhodes et al., 2007; Whitbourne, 2008 dalam Matlin, 2012). Erikson (dalam Gunarsa & Gunarsa, 1981) juga mengemukakan bahwa masa remaja merupakan masa terbentuknya identitas diri seseorang. Identitas diri tersebut mencakup cara hidup pribadi yang dikenali dan dialami sendiri dan sulit dikenali oleh orang lain. Cara berpikir yang kompleks juga membuat remaja mulai membandingkan dirinya dengan teman sebayanya.

Dalam perkembangannya, remaja juga mengalami perubahan-perubahan emosi. Cote (1994 dalam Mensinger, 2001) mengatakan bahwa

masa remaja merupakan periode dari “storm and stress” yang diakibatkan oleh interaksi antara ketidakseimbangan biologis yang dirangsang pubertas dan juga dipengaruhi oleh budaya. Usia remaja merupakan saat di mana

seorang individu dalam keadaan emosi tampak lebih tinggi atau dapat dilihat dalam berbagai bentuk tingkah laku seperti bingung, emosi yang mudah meledak, bertengkar, tidak bergairah, pemalas, dan membentuk mekanisme pertahanan diri (Hurlock, 1973). Emosi tersebut merupakan akibat dari kebutuhan untuk meninggalkan kebiasaan yang lama pada saat anak-anak dan menghadapi lingkungan yang baru (Hurlock, 1973). Pada remaja perempuan, perubahan emosi yang mencolok (mood swing) mulai terjadi ketika mengalami menarche dan akan muncul mendekati haid.

2. Perspektif Sosial

Selain perubahan fisik dan emosi, perubahan sosial juga akan dialami oleh remaja. Sejak kecil seseorang telah mengetahui hal-hal mengenai kesesuaian antara penampilan dan peran seperti apa yang akan dimainkan sesuai jenis kelamin mereka dalam penyesuaian sosial (Hurlock, 1973). Melalui pola asuh dan didikan dari orang tua, anak belajar bahwa mereka hidup dalam lingkungan sosial yang memiliki suatu nilai-nilai tertentu. Dalam perkembangannya, anak diharapkan dapat sedikit demi sedikit mengadaptasi budaya dari lingkungannya. Selain itu, anak juga belajar bahwa mereka harus memenuhi penilaian dan tuntutan yang diberikan oleh lingkungannya. Perasaan dinilai akan memunculkan rasa khawatir mengenai kesesuaian antara aspek tubuh dengan jenis kelamin mereka (Hurlock, 1973). Oleh karena itu, dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, remaja kurang

mempertimbangkan nilai-nilai yang mereka miliki dan cenderung langsung melebur bersama teman sebayanya.

Remaja juga mulai belajar untuk bersosialisasi dengan masyarakat. Hidup bermasyarakat merupakan suatu proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan standar, moral, dan tradisi dari masyarakat. Pengelompokan sosial yang berdasarkan pada negara asal, kelompok etnis, atau agama akan membentuk identitas budaya dari seseorang (Markus 2008 dalam Matlin, 2012). Penyesuaian pada masyarakat akan menentukan luasnya tingkatan bagaimana ia akan bersosialisasi pada usia dewasanya (Hurlock, 1973). Identitas yang dimiliki nantinya akan mempengaruhi perilaku remaja ketika berinteraksi di lingkungannya ketika dirinya sudah dewasa.

3. Remaja Siswi Sekolah Homogen

Suatu identitas akan mempengaruhi pandangan dan juga perilaku seseorang termasuk pilihan hidunya termasuk untuk menentukan di mana ia harus melanjutkan pendidikan. Pilihan tempat untuk melanjutkan pendidikan dapat didasarkan pada dua pilihan yaitu diri sendiri, dan juga orang tua. Dalam menentukan sekolah lanjutan, remaja biasanya mendengarkan masukan dari orang tuanya. Di Indonesia ada dua jenis sekolah yaitu sekolah homogen yang berisi dengan siswa atau siswi yang berjenis kelamin sama dalam satu sekolah dan juga sekolah heterogen di mana siswa dan siswinya bercampur menjadi satu. Mensinger (2001) mengatakan bahwa beberapa orang tua yang memilih sekolah lanjutan untuk anak perempuannya dengan berdasar pada pengalaman

di masa lalunya. Orang tua yang memilih sekolah homogen perempuan berdasarkan struktur tradisional memiliki pertimbangan bahwa sekolah homogen merupakan sekolah yang bergengsi, selain itu sekolah homogen juga memiliki lingkungan yang konservatif dan protektif sehingga orang tua mempercayakan anak perempuannya untuk bersekolah di sana (Mensinger, 2001). Pengalaman keluarga di masa lalu yang bersekolah di sekolah homogen semakin memperkuat keyakinan orang tua untuk menyekolahkan anaknya di tempat itu (Mensinger, 2001). Di samping itu, Mensinger (2001) mengatakan bahwa ada pula orang tua yang memiliki pendapat bahwa sekolah homogen merupakan sekolah yang potensial untuk menambah pengalaman anaknya karena sekolah homogen lebih berfokus pada kegiatan-kegiatan akademik dan kurangnya distraksi dalam hal sosialisasi. Hal tersebut membuat orang tua memiliki harapan jika lulus nanti anak perempuannya akan memiliki kemampuan dan kepercayaan diri untuk mengatasi diskriminasi gender dan perbedaan kelas-kelas sosial.

Pemilihan sekolah homogen perempuan atau sekolah heterogen akan berpengaruh pada diri remaja perempuan. Remaja yang bersekolah di sekolah homogen cenderung memiliki achievement yang tinggi dan juga kemampuan

leadership yang lebih menonjol (Mensinger, 2001; Schneider & M. Coutts, 1982). Hal itu disebabkan oleh lingkungan sekolah yang mengedepankan kontrol dan disiplin pada peraturan sekolahnya. Selain itu siswi di sekolah homogen juga diberikan keleluasaan untuk menggunakan make up atau berdandan dengan tujuan agar siswi sekolah homogen terlihat layaknya wanita

sesungguhnya karena di sekolah homogen para siswi dituntut untuk dapat melakukan pekerjaan yang tidak kalah oleh pria akan tetapi tetap terlihat anggun seperti wanita (Mensinger, 2001).

Dokumen terkait