• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara konformitas dalam media sosial dan persepsi tubuh pada remaja di Sekolah Homogen Perempuan di Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan antara konformitas dalam media sosial dan persepsi tubuh pada remaja di Sekolah Homogen Perempuan di Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan antara Konformitas dalam Media Sosial dan Persepsi Tubuh pada Remaja di Sekolah Homogen Perempuan di Yogyakarta

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: Bayu Indrarini 139114096

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii

(3)

iii

HALAMAN PENGESAHAN

HALAMAN MOTTO

Work hard in silence.

Let your success be your noise.

-Frank Ocean-

One day you will thank yourself

for never giving up.

-unknown-

Nikmati saja setiap “hadiah

-

Nya”

(4)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Yesus Kristus Juru Selamatku

Semesta

Keluargaku tercinta

Orang-orang yang ku sayang

(5)

v

(6)

vi

HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS DALAM MEDIA SOSIAL DAN PERSEPSI TUBUH PADA REMAJA DI SEKOLAH

HOMOGEN PEREMPUAN DI YOGYAKARTA

Bayu Indrarini

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara konformitas dalam media sosial dan persepsi tubuh remaja perempuan. Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara konformitas dalam media sosial dan persepsi tubuh pada remaja perempuan. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 246 remaja yang berusia 13-21 tahun dan sedang bersekolah di sekolah homogen perempuan di Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan teknik

convenience sampling sebagai metode pemilihan partisipan. Alat pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah skala konformitas dalam media sosial yang terdiri dari 34 item dengan koefisien reliabilitas 0.932 dan skala persepsi tubuh yang terdiri dari 37 item dengan koefisien reliabilitas 0.852. Uji hipotesis

menggunakan analisis non parametrik spearman’s rho dan menghasilkan koefisien

korelasi 0.089 dengan nilai signifikansi 0.082. Hasil analisis data menunjukkan bahwa hipotesis awal dari penelitian ini ditolak atau tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konformitas dalam media sosial dan persepsi tubuh pada remaja di sekolah homogen perempuan di Yogyakarta. Faktor usia, sosiokultural, norma sosial, dan keinginan individuasi merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.

(7)

vii

THE CORRELATION BETWEEN CONFORMITY IN SOCIAL MEDIA AND BODY IMAGE ON ADOLESCENT AT GIRL’S

HOMOGENEOUS SCHOOL IN YOGYAKARTA

Bayu Indrarini

ABSTRACT

This research aims to see the correlation between conformity in social media and body image in adolescent girls. The hypothesis of this study is that there is a negative and significant relation between conformity in social media and body image in adolescent girls. Participants in this research are 246 adolescent girls aged 13-21 years old who are currently studying in homogeneous school in Yogyakarta. This research used convenience sampling technique as a method to select participant. Researcher used conformity in media social scale and body image scale to collect the data. Conformity in social media scale consists of 34 items, it has 0.932 reliability coefficient and body image scale consists of 37 items

with 0.852 reliability coefficient. The hypothesis uses Spearman’s rho non

parametric test analysis and produces 0.089 correlation coefficient with 0.082 significant value. The data analysis result shows that the initial hypothesis of this study is rejected or there is no significant relationship between conformity in social media and body image in adolescent at girl’s homogeneous school in Yogyakarta. Age, sociocultural, social norms, and individuation desire are factors that can influence the result of research.

(8)

viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Yesus Kristus yang selalu membimbing penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas penyertaan-Mu dalam setiap usaha penulis sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Bagi penulis, penyusunan skripsi yang berjudul “Hubungan antara

Konformitas dalam Media Sosial dan Persepsi Tubuh pada Remaja di Sekolah

Homogen Perempuan di Yogyakarta” ini merupakan suatu tantangan. Walaupun

tidak mudah, tetapi peneliti berhasil menyelesaikannya. Penulis juga menyadari bahwa proses penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Titik Kristiyani M.Psi., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Monica Eviandaru Madyaningrum Ph.D., selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. P. Henrietta P.D.A.D.S, S.Psi., M.A., selaku Wakil Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

(10)

x

5. Dr. Tjipto Susana, M.Si. dan Diana Permata Sari, S.Psi., M.Sc., selaku dosen penguji. Terima kasih atas waktu yang telah ibu luangkan untuk menguji dan memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini.

6. Timotius Maria Raditya Hernawa M.Psi., selaku Dosen Pembimbing Akademik dan kepala Pusat Pelayanan Tes dan Konsultasi Psikologi (P2TKP) Sanata Dharma. Terima kasih atas bimbingan dan kepercayaan bapak selama ini.

7. Prof. Dr. Augustinus Supratiknya, selaku Dosen Pembimbing Akademik. Terima kasih atas bimbingan dan bantuan bapak selama beberapa semester terakhir ini.

8. Dr. Yohannes Babtista Cahya Widiyanto M.Si., yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada penulis untuk belajar dan berkembang di P2TKP. Terima kasih atas bimbingan serta ilmu yang diberikan.

9. Segenap dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih atas segala bimbingan dan pembelajaran selama proses perkuliahan. 10. Segenap Karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Terkhusus kepada Bu Nanik, Pak Sidiq, Mas Gandung, dan Mas Muji. Terima kasih banyak atas bantuan dalam segala hal yang berkaitan dengan administrasi dan urusan laboratorium.

(11)

xi

untuk Pak Boni, terima kasih atas bantuan bapak berkaitan dengan sarana dan prasarana selama penulis bertugas di P2TKP.

12. Kepada Ibu Eny dan Bapak Darmanto, kedua orang tua tercinta yang selalu memberikan kepercayaan, dukungan, dan pengertian kepada saya

sehingga saya jarang mendengar pertanyaan “Kapan lulus?” dari beliau

berdua. Hal tersebut membuat penulis cukup tenang. Terima kasih.

13. Kepada Mas Sinung, yang selalu gengsi untuk menunjukkan perhatian kepada adiknya. I know you love me hehehe.

14. Kepada Mas Angga yang selalu mau direpoti untuk membantu saya mengurus ini itu. Terima kasih atas dukungannya, maaf merepotkan. 15. Kepada rekan kerja serasa keluarga saya di P2TKP yang sangat banyak

jika disebutkan satu persatu. Terima kasih atas dinamika selama dua tahun ini, senang mengenal kalian. Untuk adik-adikku yang masih bertugas, semangat ya.

16. Untuk Dea Ruth, Maria Ika, Liliani Luky, Dewi Ayu, Pancaring, Koleta Acintya, Age Tiara, Andreas, Theresia Wira, dan Robertus Doni. Terima kasih atas semangat yang kalian berikan. Sukses selalu. See you on top.

(12)

xii

18. Untuk teman-teman Psikologi 2013, khususnya kelas B terima kasih atas dinamika saat proses perkuliahan. Sukses terus untuk kalian di mana pun kalian berada.

(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL... xviii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Pengantar ... 1

B. Latar Belakang ... 4

(14)

xiv

D. Ruang Lingkup ... 22

E. Tujuan Penelitian ... 22

F. Pertanyaan Penelitian... 22

G. Manfaat Penelitian ... 23

1. Bagi Orang tua ... 23

2. Bagi Guru, dan Dinas Pendidikan ... 23

3. Bagi Ilmuwan dan Praktisi Psikologi ... 24

BAB II LANDASAN TEORI ... 25

A. Pengantar ... 25

B. Remaja Siswi Sekolah Homogen ... 26

1. Perspektif Perkembangan... 26

2. Perspektif Sosial... 28

3. Remaja Siswi Sekolah Homogen ... 29

C. Persepsi Tubuh ... 31

1. Definisi Persepsi Tubuh ... 31

2. Aspek-Aspek Persepsi Tubuh ... 32

3. Faktor-faktor Persepsi Tubuh ... 36

4. Proses dan Dampak ... 39

D. Persepsi Tubuh Remaja Siswi Sekolah Homogen ... 42

(15)

xv

1. Definisi Konformitas ... 45

2. Aspek-aspek Konformitas ... 46

3. Faktor-faktor Konformitas ... 50

4. Proses dan Dampak ... 53

F. Konformitas Remaja Siswi Sekolah Homogen ... 55

G. Hubungan Antara Konformitas dan Persepsi Tubuh Remaja Siswi Sekolah Homogen ... 56

H. Kerangka Konseptual... 58

I. Hipotesis ... 61

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 62

A. Pengantar ... 62

B. Rancangan Penelitian... 62

C. Partisipan ... 63

1. Populasi ... 63

2. Sampel... 64

D. Identifikasi dan Definisi Variabel Penelitian ... 64

1. Identifikasi Variabel ... 64

2. Definisi Operasional ... 65

E. Prosedur Pelaksanaan ... 67

(16)

xvi

1. Metode Pengumpulan Data ... 69

2. Alat Pengumpulan Data ... 69

G. Validitas dan Reliabilitas ... 78

1. Validitas Skala ... 78

2. Reliabilitas Skala ... 79

3. Daya Diskriminasi Item ... 81

H. Metode Dan Teknik Analisis Data ... 84

1. Uji Asumsi ... 84

2. Uji Hipotesis ... 85

I. Pertimbangan Etis ... 85

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 88

A. Pengantar ... 88

B. Hasil Penelitian ... 88

1. Deskripsi Partisipan Penelitian ... 88

2. Uji Normalitas ... 90

3. Uji Linearitas ... 91

4. Deskripsi Data Penelitian ... 92

5. Uji Hipotesis ... 93

C. Analisis Tambahan ... 94

(17)

xvii

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

A. Kesimpulan ... 100

B. Keterbatasan Penelitian ... 101

C. Saran ... 103

1. Bagi Remaja ... 103

2. Bagi Orang Tua ... 104

3. Bagi Guru Bimbingan Konseling, dan Dinas Pendidikan ... 104

4. Bagi komunitas Ilmuwan Psikologi ... 105

D. Komentar Penutup ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 107

(18)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Penskoran Skala Konformitas ... 70

Tabel 2 Blue print Skala Konformitas ... 71

Tabel 3 Sebaran Item Skala Konformitas untuk Uji Coba ... 73

Tabel 4 Tabel Penskoran Skala Persepsi tubuh ... 74

Tabel 5 Blue print Skala Persepsi Tubuh ... 75

Tabel 6 Sebaran Item Skala Persepsi Tubuh untuk Uji Coba ... 77

Tabel 7 Reliabilitas skala Konformitas ... 80

Tabel 8 Reliabilitas skala Persepsi tubuh ... 80

Tabel 9 Sebaran Item Skala Konformitas Setelah Seleksi Item ... 82

Tabel 10 Sebaran Item Skala Persepsi tubuh Setelah seleksi item... 83

Tabel 11 Rentang Usia Partisipan ... 89

Tabel 12 Asal Sekolah Partisipan ... 89

Tabel 13 Hasil Uji Normalitas Residu ... 90

Tabel 14 Hasil Uji Linearitas Data Penelitian ... 91

Tabel 15 Hasil Pengukuran Deskripsi Variabel Konformitas dan Persepsi tubuh . 92 Tabel 16 Uji Hipotesis Data Penelitian ... 93

Tabel 17 Kategorisasi Konformitas Berdasarkan Mean Empiris ... 94

Tabel 18 Pembagian Kategori berdasarkan Skala Konformitas ... 94

Tabel 19 Kategorisasi Persepsi Tubuh Berdasarkan Mean Empiris ... 95

(19)

xix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Hubungan antara Konformitas dalam Media Sosial dan Persepsi Tubuh

(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Reliabilitas Skala Penelitian ... 114

Lampiran 2 Uji Normalitas dan Linearitas... 118

Lampiran 3 Uji T ... 119

Lampiran 4 Kategorisasi Partisipan ... 120

Lampiran 5 Google form online ... 121

Lampiran 6 Informed Concent ... 122

(21)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Pengantar

(22)

berdandan sebenarnya dapat digunakan untuk mengembangkan bakatnya, selain itu uang yang biasa digunakan untuk membeli make up dapat juga digunakan untuk menyalurkan hobinya.

Kedua, peneliti merasa kagum dan cenderung menilai positif para remaja perempuan yang berdandan sesuai dengan kenyamanan dirinya. Tidak semua remaja perempuan merasa nyaman menggunakan make up dan berdandan berlebihan. Ada beberapa remaja perempuan yang lebih nyaman ketika ia berpenampilan sederhana seakan tidak memakai make up, mengenakan pakaian santai, dan tidak mengikuti tren yang sedang berlangsung. Walaupun berpenampilan tidak serupa dengan tren fashion kekinian, beberapa teman peneliti tersebut memiliki prestasi menonjol di bidang akademik dan/atau olahraga. Dari perbincangan peneliti dengan beberapa teman, terungkap bahwa mereka merasa waktu yang digunakan untuk berdandan dapat mereka gunakan untuk kegiatan lain yang lebih bermanfaat dan dapat mengasah kemampuan mereka. Hal tersebut yang membuat peneliti kagum pada remaja perempuan yang berani tampil apa adanya namun memiliki prestasi yang menonjol.

(23)

baju yang peneliti coba ternyata tidak cocok dan beberapa tidak cukup untuk peneliti kenakan. Saat itu peneliti berpikir bahwa peneliti memiliki bentuk tubuh yang tidak ideal karena tidak sesuai dengan ukuran baju-baju yang dijual di toko tersebut. Selain itu, pernyataan dari orang-orang di sekitar peneliti mengenai bentuk tubuh peneliti saat ini juga membuat peneliti semakin tidak percaya diri. Ketertarikan untuk mendalami tentang persepsi tubuh menjadi salah satu alasan peneliti untuk melakukan penelitian ini.

Dan yang keempat, peneliti berusaha untuk mengurangi rasa prihatin serta memuaskan rasa ingin tahu mengenai remaja perempuan yang berdandan secara berlebihan. Sebagai mahasiswa psikologi peneliti dapat memaparkan proses dan dampak pada remaja perempuan ketika menilai tubuhnya berdasarkan literatur yang ada. Peneliti ingin melihat apakah remaja perempuan pada saat ini hanya mengikuti temannya dalam hal penampilan atau mereka sudah berdandan dan berpenampilan sesuai dengan kenyamanannya. Peneliti mencoba untuk mengetahui perilaku seorang remaja perempuan ketika mengikuti suatu tren terutama dalam hal fashion melalui skala yang peneliti buat. Selain itu, remaja diharapkan dapat melakukan refleksi pribadi dengan mengacu pada hasil penelitian ini sehingga remaja perempuan dapat melihat dan memperkirakan dalam kategori mana ia menilai tubuhnya, apakah rendah, sedang, atau tinggi.

(24)

Setelah menerangkan ketertarikan pribadi peneliti, pada bagian selanjutnya dari bab ini akan dipaparkan berbagai informasi terkait hal-hal yang mendasari penelitian dan kejelasan mengenai batasan-batasan penelitian ini. Pemaparan dimulai dari latar belakang, rumusan permasalahan, dan pertanyaan penelitian.

B. Latar Belakang

(25)

sekolahnya. Lebih parahnya, ternyata siswa maupun siswi di sekolah tersebut rela membawa dua seragam sekolah untuk menghindari teguran gurunya.

Tidak hanya berseragam ketat saja, tetapi remaja perempuan juga sudah mulai belajar menggunakan make up. Menurut Asrianti (2018) perilaku berdandan merupakan salah satu indikasi bahwa seorang perempuan memiliki penilaian dan ketidakpuasan terhadap tubuhnya. Berdasarkan situs gaya hidup Nuyoo, 66% dari 852 perempuan muda mulai memakai kosmetik antara usia 13 sampai 15 tahun. Sementara 11% lainnya mulai berias antara umur 10 sampai 12 tahun (Asrianti, 2018). Remaja menghabiskan waktunya kurang lebih satu jam untuk berdandan (Gentina, Palan, & Fosse-Gomez, 2012). Selain waktu yang cukup banyak terbuang, ternyata remaja perempuan juga mengeluarkan uang yang lumayan banyak untuk merias dirinya. ZAP Clinic bersama MarkPlus melakukan survei dan menunjukkan hasil bahwa perempuan yang memasuki usia 18 tahun, dalam sebulan remaja akan menghabiskan uang kurang dari 1 juta rupiah untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Menariknya, 40% dari uang belanja bulanan tersebut digunakan untuk membeli produk fashion dan kecantikan. Biasanya, biaya yang mereka habiskan adalah sebesar Rp. 200.000,- hingga Rp. 399.000,- (Dimara, 2018).

(26)

poundsterling atau sekitar 279 juta rupiah untuk mengubah dirinya menjadi seperti artis idolanya (Siahaan, 2018). Di tempat lain yaitu Praha, Republik Ceko ada pula seorang gadis yang menghabiskan uang sekitar seribu poundsterling atau setara 19 juta rupiah dalam sebulan untuk melakukan operasi plastik agar dirinya terlihat seperti boneka barbie (Ambar, 2018).

Selain itu, American Academy of Plastic Facial and Reconstructive Surgery (AAFPRS) menemukan bahwa tekanan untuk menampilkan hasil swafoto yang sempurna di media sosial, membuat permintaan operasi plastik semakin meningkat (Ardina, 2017). Alasan para pasien melakukan operasi plastik adalah agar tampak sempurna ketika melakukan swafoto, dan pantas diunggah di Instagram, Snapchat maupun Facebook. American Society of Plastic Surgeons

menunjukkan semakin banyak orang dewasa muda di bawah usia 30 tahun dan remaja yang memilih untuk melakukan koreksi estetika seperti pembesaran payudara, sedot lemak, pengecilan perut, suntik botoks, sampai pengencangan wajah. Kebanyakan pasien semakin merasa mantap untuk melakukan operasi plastik karena telah mendapatkan banyak informasi dan berkonsultasi dengan temannya melalui media sosial (Ardina, 2017).

(27)

Denpasar dan Makassar. Riset pemasaran ini dilakukan oleh Sigma Research

terhadap 1200 responden wanita yang memiliki rentang usia 15-55 tahun. Dari hasil riset dapat diketahui bahwa 40% responden mendefinisikan kecantikan berdasarkan kondisi fisik, 14.8% mendefinisikan kecantikan berdasarkan kepribadian yang menarik, sedangkan yang menganggap perilaku ramah sebagai tolok ukur cantik hanya 9.5%. Sementara kemampuan intelektual sepertinya tidak terlalu dianggap sebagai salah satu sifat yang menentukan definisi cantik, karena yang menganggap orang cerdas sebagai orang cantik hanya 6.1% (Lemmung, dalam Wisnubrata 2017). Hal tersebut diperkuat dengan pesan di media yang mengatakan bahwa seorang wanita cantik ketika memiliki tubuh yang kurus, berkulit putih, gigi rapi, dan juga rambut yang mengkilap (Matlin, 2012). Oleh karena itu, bukanlah suatu hal yang mengherankan apabila seorang remaja perempuan mulai belajar merawat dirinya agar terlihat lebih menarik menurut lingkungan sosialnya. Dari contoh-contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa remaja sangat dekat dengan media khususnya media sosial. Suatu keinginan untuk tampil sempurna dan ditunjang dengan lengkapnya informasi yang disediakan oleh media maka menguatlah keinginan untuk mempercantik diri meskipun harus mengeluarkan banyak biaya.

Akan tetapi, jika remaja kurang mendapatkan pendampingan maka akan timbul berbagai persoalan seperti yang dikatakan Rully (2017) mengenai seorang remaja usia 20 tahun asal Malaysia yang menjadi korban akibat memakai make up

(28)

ditelusuri diduga dalam kosmetik tersebut terdapat zat tretinoin yang biasa digunakan untuk obat jerawat akan tetapi sangat kuat efek sampingnya. Hal itu berakibat wajah remaja tersebut menjadi kemerahan dan berlendir serta nanah kering bertumpuk-tumpuk pada wajahnya.

Fenomena yang terjadi di masyarakat seperti di atas menunjukkan bahwa terlalu mementingkan penampilan fisik akan berdampak negatif bagi remaja perempuan dan cenderung merugikan baik itu secara fisik dan juga material. Akan tetapi, untuk mengesampingkan penampilan, tampaknya akan sulit untuk dilakukan oleh remaja perempuan karena salah satu tugas perkembangannya adalah ia harus membiasakan diri dan menerima segala perubahan yang terjadi karena pada usianya ia akan merasakan banyak perubahan baik secara fisik dan juga psikologis (Stolz & Stolz, 1951 dalam Hurlock, 1973).

(29)

remaja perempuan sering merasa kebingungan dengan apa yang terjadi pada dirinya. Hal tersebut terkonfirmasi dengan wawancara awal dengan Delima.

“…waktu aku pertama kali mens, aku tu kaget plus bingung gitu, terus

nanya ke mamah ini tu kenapa? Terus mamah bilang oo.. itu biasa kok

buat anak perempuan. Nah, waktu mamah bilang gitu aku jd lega

gitu…”(Delima,15 tahun).

Delima mengatakan bahwa ia merasa kebingungan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan tubuhnya ketika SMP dan bahkan ia sempat merasa gelisah serta bingung saat mengalami menarche. Akan tetapi kebingungannya terpecahkan ketika ada orang dewasa yang mendampingi yaitu ibunya.

Selain mengalami menarche dan perubahan bentuk pada tubuh, pada usia remaja umumnya perempuan juga mengalami perkembangan pada cara berpikirnya, sehingga remaja perempuan dapat berpikir mengenai hal-hal yang lebih kompleks (Matlin, 2012). Seperti yang dikatakan oleh Delima, ketika ia sudah memasuki usia remaja ia mulai dapat memperkirakan sebab dan akibat dari perilakunya berdasar pada nilai-nilai di lingkungannya.

“…jadi setelah mens itu kan aku masuk SMP, nah pas SMP tu mulai bisa

mikir kalo aku ngelakuin gini nanti jadinya gimana ya?...” (Delima, 15

tahun).

(30)

2012) juga mengatakan bahwa kemampuan berpikir kompleks akan berpengaruh pada pencarian identitas diri. Identitas tersebut akan melekat pada diri remaja seperti, asal kota kelahiran, suku, dan juga agama. Oleh karena itu akan ada perbedaan perilaku yang dimunculkan oleh masing-masing remaja perempuan sesuai dengan karakteristik budaya di tempat tinggalnya.

Selain perubahan fisik dan kognitif, remaja perempuan juga mengalami perubahan pada interaksi sosialnya. Remaja perempuan menaruh perhatian pada interaksi sosialnya baik itu dalam keluarga dan juga pertemanan. Bagi remaja perempuan, teman dekat memiliki peran yang penting dalam kehidupannya oleh sebab itu pertemanan remaja perempuan terlihat jauh lebih intim jika dibandingkan dengan remaja laki-laki. Hal tersebut sesuai dengan yang telah disampaikan Hurlock (1973) bahwa teman dekat akan memberikan lingkungan yang suportif. Ketika remaja perempuan berkumpul biasanya mereka melakukan hal yang sama-sama mereka sukai seperti menonton film, makan bersama, membicarakan mengenai busana dan juga membicarakan mengenai lawan jenis. Selain bersosialisasi dengan teman yang memiliki jenis kelamin yang sama, pada usia transisi ini remaja juga sudah mulai mencoba memikirkan dan menjalani relasi romantis seperti yang dikatakan oleh Lavender:

“…setelah mens dulu itu, aku jadi mulai suka sama cowok mbak

hehehe …” (Lavender, 18 tahun).

(31)

remaja perempuan lebih memperhatikan penampilannya agar dapat menarik perhatian dari lawan jenisnya (Hurlock, 1973). Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh remaja perempuan untuk menarik perhatian dari lawan jenis adalah mereka mulai belajar menggunakan make up dan juga memakai baju yang akan menunjang penampilan mereka. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Delima yang mengatakan bahwa teman-teman sekolahnya mulai belajar berdandan saat jam istirahat berlangsung, dan riasan tersebut dibiarkan hingga jam pulang sekolah.

Untuk melihat bagaimana remaja menilai tubuhnya, tiga aspek di atas dapat dia jadikan acuan untuk melihat apakah remaja terlalu mementingkan penampilan fisiknya atau tidak. Dari ketiga aspek perkembangan yang dialami remaja perempuan dapat dilihat pula bahwa aspek fisik sangat berpengaruh pada bagaimana remaja menilai diri mereka.

(32)

disimpulkan bahwa lingkungan sekolah merupakan faktor sosiokultural yang penting dalam mempengaruhi sikap dari remaja perempuan mengenai tubuhnya. Oleh karena itu, sekolah homogen menciptakan lingkungan yang menuntut siswinya memiliki pencapaian tinggi dalam intelegensi dan kesuksesan secara profesional (Tiggemann, 2001). Keunikan karakteristik tersebut membuat populasi siswi sekolah homogen perempuan menjadi menarik untuk diteliti.

Dalam ilmu psikologi, fenomena yang sudah dijabarkan di atas, bagaimana remaja perempuan menerima perubahan yang ada dalam dirinya, serta dinamika siswi sekolah homogen itu terkait dengan konsep persepsi tubuh. Secara lebih spesifik Cash dan Smolak (2011) menerangkan bahwa persepsi tubuh merupakan suatu sikap yang dimiliki oleh seorang individu terhadap tubuhnya yang berupa suatu penilaian baik itu positif maupun negatif. Cash (2016) memaparkan ada sepuluh aspek yang nantinya akan digunakan untuk melihat apakah seseorang memiliki penilaian yang positif atau negatif terhadap tubuhnya. Kesepuluh aspek tersebut adalah Appearance evaluation, Appearance orientation, Fitness evaluation, Fitness orientation, Health evaluation, Health orientation, Illness

(33)

Penilaian yang negatif terhadap tubuh dapat membuat seseorang melakukan perubahan ekstrem terhadap tubuhnya seperti yang telah disampaikan (Smolak & Thompson, 2009) di atas oleh karena itu penelitian terkait persepsi tubuh sangat dibutuhkan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada remaja perempuan.

Beberapa penelitian sudah pernah dilakukan terkait persepsi tubuh. Dua penelitian akan dibahas di sini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Gentina et al., (2012) dan Scott (2015). Pada bagian pendahuluan dari jurnal yang ditulis oleh Gentina, disebutkan bahwa terlihat atraktif secara fisik merupakan hal yang sangat penting di kalangan remaja. Sehingga pada usia 15 tahun ke atas merupakan hal yang wajar ketika seorang perempuan menggunakan make up, tampil dengan busana yang sedang diminati banyak orang, bahkan melakukan operasi plastik (Schouten 1991, Park 1998, Rudd 1997 dalam Gentina et al., 2012). Penelitian tersebut menemukan bahwa ritual menggunakan make up merupakan sebuah perilaku yang menunjukkan bahwa seorang remaja mulai tumbuh menjadi orang dewasa (Gentina et al., 2012). Selain itu, penelitian dari Scott pada tahun 2015 yang dilakukan di Amerika menemukan bahwa perempuan selalu lekat dengan anggapan cantik, oleh karena itu banyak perempuan menggunakan make up

(34)

Seorang remaja akan berusaha untuk mendapatkan penampilan yang ideal seperti penilaian orang lain ketika ia memiliki penilaian yang buruk pada tubuhnya. Oleh karena itu, ia akan berusaha untuk mencari informasi mengenai tubuh yang ideal dan bagaimana cara mendapatkannya melalui media. Sepertinya yang telah dikatakan oleh (Deutsch & Gerard, 1955; Insko, 1985 dalam Robert. A. Baron & Nyla R. Branscombe, 2012) ada dua motif kuat yang menjadi alasan seseorang untuk menyesuaikan diri yaitu, keinginan untuk disukai atau diterima oleh orang lain dan keinginan untuk berperilaku benar. Saat memasuki masa puber, remaja perempuan mulai membandingkan tubuhnya dengan teman sebayanya. Dengan keadaan emosi remaja yang belum stabil serta pandangan lingkungan sekitar mengenai bagaimana seharusnya penampilan dari seorang perempuan, membuat remaja berusaha untuk berpenampilan seperti yang lingkungan sosialnya harapkan. Keinginan untuk diterima oleh teman sebayanya membuat remaja berusaha untuk mencari info-info terbaru termasuk gaya berbusana. Melalui media komunikasi, periklanan dan juga industri kosmetik, remaja mencoba untuk tampil cantik seperti model-model dalam iklan (Smolak & Thompson, 2009) karena konten-konten dalam media sosial mengandung unsur persuasif yang mengajak masyarakat untuk mengikuti tren yang ada.

(35)

Association, 2009). Orang-orang cenderung melakukan konformitas bila cukup banyak orang yang mempengaruhi atau pengaruh itu datang dari seseorang yang memiliki hubungan dengan orang tersebut (Matlin, 2012). Penerimaan dan pengakuan dari teman sebaya merupakan suatu hal yang penting sehingga membuat remaja berusaha menyesuaikan diri agar tidak dijauhi oleh teman-temannya karena peran teman sebaya sangat penting dalam kehidupan mereka (Hurlock, 1973) dan media sosial merupakan salah satu media di mana remaja mendapatkan informasi-informasi yang aktual.

(36)

remaja. Menurut Potter dan Perry (2005) persepsi tubuh, ideal diri, harga diri, peran dan juga identitas diri merupakan bagian atau komponen dari konsep diri sehingga dua penelitian terakhir dapat pula dijadikan acuan dalam penelitian ini.

Adanya perbedaan hasil tersebut membuat peneliti semakin tertarik untuk melihat seperti apa gambaran seorang remaja perempuan mengenai tubuhnya dan juga bagaimana sikap yang dimunculkan mengenai tubuhnya berdasarkan tuntutan lingkungannya terutama ketika seorang remaja berada dalam suatu lingkungan. Sekolah homogen berjenis kelamin perempuan peneliti pilih karena belum banyak penelitian yang mengambil populasi tersebut. Penelitian yang dilakukan di Yogyakarta dengan partisipan siswi perempuan di sekolah homogen ini diharapkan mampu menambah kelengkapan pengetahuan dari penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.

Orang-orang yang memiliki peran besar terhadap penilaian tubuh remaja adalah orang tua, pihak sekolah atau guru Bimbingan dan Konseling, serta Dinas Pendidikan. Peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mendampingi walaupun terkadang ada perbedaan pendapat antara anak dengan orang tuanya. Remaja dan juga orang tua tumbuh dalam budaya dan generasi yang berbeda, walaupun dalam beberapa hal seperti pandangan mengenai agama, politik, pendidikan, dan juga norma sosial akan relatif sama tetapi tetap ada beberapa perbedaan cara pandang antara keduanya (Matlin, 2012).

“…aku tu nggak terlalu suka cerita sama ibu, soalnya aku ngerasa gak

(37)

cerita sama temen, jadi berasa sepenanggungan gitu soalnya…”

(Camelia, 15 thn).

Pernyataan Camelia tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan Matlin (2012) bahwa perbedaan pendapat sering kali membuat remaja perempuan merasa tidak nyaman dan cenderung terlibat banyak perdebatan dengan orang tua terutama dengan ibu sehingga menyebabkan remaja perempuan merasa lebih nyaman ketika bersama dengan teman sebayanya. Remaja perempuan bahkan cenderung lebih banyak mengungkapkan perasaannya kepada teman atau sahabatnya.

(38)

Selain peran orang tua, ada pihak lain yang turut mengambil peran dalam perkembangan remaja yaitu pihak sekolah dan juga Dinas Pendidikan. Seperti yang telah dikatakan oleh Tiggemann (2001) sebagian besar remaja menghabiskan waktunya di sekolah, sehingga peran dari para guru juga sangat besar dalam pembentukan penilaian terhadap tubuh. Sekolah merupakan tempat yang sangat penting untuk membantu remaja agar dapat melakukan penanggulangan pada permasalahan sosial dan psikologis yang akan berdampak pada akademiknya. Sekolah diharapkan dapat membantu remaja dalam memilih sikap seperti apa yang lebih tepat untuk diambil daripada hanya memberikan label negatif kepada siswanya. Oleh karena itu, para guru khususnya guru Bimbingan dan Konseling (BK) dapat mendampingi siswi ketika mereka memiliki permasalahan dengan persepsi tubuh. Dinas Pendidikan secara tidak langsung juga memiliki peran untuk membangun penilaian yang positif terhadap tubuh. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membuat keputusan mengenai pentingnya pemberian materi tentang persepsi tubuh, dan mewajibkan sekolah-sekolah menerapkannya.

(39)

Selain peran yang harus dilakukan oleh orang-orang yang berada di sekitar remaja perempuan, persepsi tubuh juga penting untuk diketahui dan dipelajari. Penilaian mengenai persepsi tubuh penting untuk diketahui oleh orang tua karena strategi preventif perlu dilakukan untuk meningkatkan kepuasan persepsi tubuh pada remaja. Orang tua harus dapat menyediakan kebutuhan fisik, emosional, dan intelektual, sehingga remaja akan tumbuh dengan memiliki persepsi tubuh dan self esteem yang positif (Charulata, 2011). Menurut Kenny (dalam Asrianti, 2018), akan menjadi masalah serius apabila ketergantungan merias diri memengaruhi cara berpikir remaja jangan sampai remaja putri menganggap nilai diri mereka semata-mata didasarkan pada penampilan fisik. Kenny juga mengungkapkan bahwa sebagian besar anak-anak berada di bawah tekanan berat untuk menampilkan diri mereka dengan baik. Generasi saat ini ingin selalu terlihat sempurna di depan kamera. Tekanan dari lingkungan sosial tampaknya membuat remaja berusaha cukup keras untuk mempercantik penampilan mereka, bahkan mereka rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk membeli peralatan make up. Oleh karena itu, ada baiknya apabila orang tua mengajak remaja berdiskusi mengenai hal itu agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang telah dipaparkan di bagian sebelumnya.

(40)

diharapkan dapat menunjukkan betapa pentingnya peran sekolah dalam memberikan penilaian positif terhadap tubuh remaja perempuan. Penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi guru BK agar membuat materi pembelajaran agar lebih tepat sasaran. Dinas Pendidikan juga penting untuk mengetahui perkembangan dari usaha yang telah dilakukan oleh guru BK dan perlu memeriksa kesesuaian materi secara berkelanjutan.

Bagi komunitas ilmuwan Psikologi, penelitian ini penting dilakukan agar para ilmuwan psikologi mendapatkan informasi tambahan terutama mengenai keadaan siswi di sekolah homogen perempuan khususnya mengenai persepsi tubuh dan konformitas. Praktisi psikologi dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai gambaran keadaan siswi di sekolah homogen sehingga ketika dibutuhkan praktisi psikologi dapat memberikan intervensi yang tepat saat menghadapi remaja perempuan yang memiliki permasalahan dengan persepsi tubuh dan juga perilaku konformitas bersekolah di sekolah homogen sesuai dengan konteks di sekolahnya.

C. Rumusan Permasalahan

(41)

berlomba-lomba untuk tampil menarik dan cenderung mengikuti tren saat ini dengan berperilaku konform dengan lingkungannya. Penelitian-penelitian sebelumnya mengatakan bahwa ada hubungan yang negatif dan signifikan antara konformitas dan juga persepsi tubuh (Christanto, 2014; Handayani, 2011;

Tiggemann, 2001; Andriani & Ni’matuzahroh, 2013; Nursanti, 2009). Hal itu berarti, ketika penilaian terhadap tubuh cenderung tinggi atau positif maka perilaku konform yang ditunjukkan cenderung rendah. Akan tetapi ada pula beberapa penelitian yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara konformitas dan juga persepsi tubuh (Indrayana & Hendrati, 2013; Erawati, 2016).

(42)

D. Ruang Lingkup

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini tidak dapat menggambarkan semua populasi remaja perempuan di Yogyakarta sehingga peneliti berusaha untuk mengisi sedikit celah dari penelitian sebelumnya dengan menggunakan partisipan remaja perempuan yang bersekolah di sekolah homogen di wilayah Yogyakarta. Sekolah homogen berjenis kelamin perempuan peneliti pilih karena belum banyak penelitian yang mengambil populasi tersebut.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menjawab rumusan permasalahan yang telah peneliti temukan dengan ruang lingkup yang sudah ditentukan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tinggi rendahnya perilaku konformitas dalam media sosial dan juga hubungannya dengan tinggi rendahnya penilaian atau persepsi tubuh remaja perempuan di Yogyakarta dengan karakteristik partisipan siswi SMA di tiga sekolah homogen di Yogyakarta.

F. Pertanyaan Penelitian

(43)

G. Manfaat Penelitian

Penelitian ini tidak hanya menarik bagi peneliti akan tetapi penelitian ini juga bermanfaat bagi orang-orang di sekitar remaja perempuan. Penelitian ini bermanfaat bagi orang tua, guru dan juga Dinas Pendidikan, serta Ilmuwan dan Praktisi Psikologi.

1. Bagi Orang tua

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi orang tua dari siswi sekolah homogen khususnya di Yogyakarta. Orang tua dapat mengetahui gambaran dari persepsi tubuh dan juga perilaku konform dari putrinya yang bersekolah di sekolah homogen. Selain itu, orang tua juga dapat mengetahui pentingnya membantu remaja untuk membiasakan diri menilai tubuhnya secara lebih positif.

2. Bagi Guru, dan Dinas Pendidikan

(44)

3. Bagi Ilmuwan dan Praktisi Psikologi

Bagi komunitas ilmuwan psikologi, penelitian ini diharapkan mampu menambah informasi mengenai gambaran kondisi remaja perempuan di Yogyakarta mengenai sikap konformis pada media sosial dan kaitannya dengan persepsi tubuh. Selain itu, ilmuwan dan komunitas psikologi juga dapat memberikan penanganan yang tepat untuk meningkatkan penilaian positif terhadap tubuh remaja perempuan siswi sekolah homogen ketika dibutuhkan.

(45)

25 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengantar

Pada bab sebelumnya peneliti telah memberi gambaran singkat mengenai topik yang akan menjadi fokus penelitian berdasar pada fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Peneliti juga menjabarkan mengenai ruang lingkup penelitian, tujuan, serta manfaat dari penelitian ini. Kemudian pada bab ini, peneliti akan memberikan gambaran secara umum mengenai dinamika remaja perempuan berkaitan dengan persepsi tubuh dan kecenderungan remaja perempuan untuk melakukan konformitas melalui media sosial berdasarkan tinjauan pustaka yang nantinya akan peneliti gunakan sebagai dasar penelitian. Peneliti mencoba mengawali dengan memberikan gambaran mengenai dinamika psikologis remaja perempuan dari perspektif psikologi perkembangan dan juga perspektif psikologi sosial. Dari kedua perspektif tersebut peneliti kemudian melanjutkan dengan dinamika remaja di sekolah homogen perempuan.

(46)

mempengaruhi. Setelah itu, peneliti mencoba untuk menjelaskan proses dan dampak dari masing-masing variabel serta membuat sebuah kerangka konseptual. Bab ini akan diakhiri dengan hipotesis penelitian yang nantinya akan diuji dalam penelitian ini.

B. Remaja Siswi Sekolah Homogen

Pada bagian ini, akan dipaparkan mengenai dinamika psikologis remaja siswi sekolah homogen. Pemaparan akan dibagi menjadi tiga bagian dimulai dari perspektif perkembangan, perspektif sosial, dan yang terakhir ditutup dengan dinamika remaja siswi sekolah homogen.

1. Perspektif Perkembangan

Seorang individu dalam rentang kehidupannya akan mengalami masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa. Masa transisi ini disebut dengan masa remaja. Menurut Hurlock (1973) kata remaja berasal dari bahasa latin,

(47)

perkembangan utama pada usia remaja adalah menerima perubahan yang terjadi pada tubuhnya sebagai simbol perubahan dirinya, sehingga perubahan pada tubuh lebih banyak menyebabkan distress daripada kepuasan terhadap dirinya (Smolak & Thompson, 2009). Oleh karena itu, remaja akan mengusahakan untuk menjaga penampilan dirinya, walaupun mungkin saja tetap berujung pada ketidakpuasan terhadap diri mereka (Hurlock, 1973).

Selain perubahan dalam segi fisik, remaja juga mengalami perkembangan dari segi psikologis, perkembangan tersebut membuat seorang remaja mulai dapat berpikir secara abstrak dan juga kompleks (Hurlock, 1973). Melalui kemampuan berpikir kompleks tersebut, remaja mulai mempertanyakan dan menilai tentang dirinya sendiri mengenai karakteristik personal dalam hal fisik, psikologis, dan juga dimensi sosial (Reid et al., 2008; Rhodes et al., 2007; Whitbourne, 2008 dalam Matlin, 2012). Erikson (dalam Gunarsa & Gunarsa, 1981) juga mengemukakan bahwa masa remaja merupakan masa terbentuknya identitas diri seseorang. Identitas diri tersebut mencakup cara hidup pribadi yang dikenali dan dialami sendiri dan sulit dikenali oleh orang lain. Cara berpikir yang kompleks juga membuat remaja mulai membandingkan dirinya dengan teman sebayanya.

Dalam perkembangannya, remaja juga mengalami perubahan-perubahan emosi. Cote (1994 dalam Mensinger, 2001) mengatakan bahwa

(48)

seorang individu dalam keadaan emosi tampak lebih tinggi atau dapat dilihat dalam berbagai bentuk tingkah laku seperti bingung, emosi yang mudah meledak, bertengkar, tidak bergairah, pemalas, dan membentuk mekanisme pertahanan diri (Hurlock, 1973). Emosi tersebut merupakan akibat dari kebutuhan untuk meninggalkan kebiasaan yang lama pada saat anak-anak dan menghadapi lingkungan yang baru (Hurlock, 1973). Pada remaja perempuan, perubahan emosi yang mencolok (mood swing) mulai terjadi ketika mengalami menarche dan akan muncul mendekati haid.

2. Perspektif Sosial

(49)

mempertimbangkan nilai-nilai yang mereka miliki dan cenderung langsung melebur bersama teman sebayanya.

Remaja juga mulai belajar untuk bersosialisasi dengan masyarakat. Hidup bermasyarakat merupakan suatu proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan standar, moral, dan tradisi dari masyarakat. Pengelompokan sosial yang berdasarkan pada negara asal, kelompok etnis, atau agama akan membentuk identitas budaya dari seseorang (Markus 2008 dalam Matlin, 2012). Penyesuaian pada masyarakat akan menentukan luasnya tingkatan bagaimana ia akan bersosialisasi pada usia dewasanya (Hurlock, 1973). Identitas yang dimiliki nantinya akan mempengaruhi perilaku remaja ketika berinteraksi di lingkungannya ketika dirinya sudah dewasa.

3. Remaja Siswi Sekolah Homogen

(50)

di masa lalunya. Orang tua yang memilih sekolah homogen perempuan berdasarkan struktur tradisional memiliki pertimbangan bahwa sekolah homogen merupakan sekolah yang bergengsi, selain itu sekolah homogen juga memiliki lingkungan yang konservatif dan protektif sehingga orang tua mempercayakan anak perempuannya untuk bersekolah di sana (Mensinger, 2001). Pengalaman keluarga di masa lalu yang bersekolah di sekolah homogen semakin memperkuat keyakinan orang tua untuk menyekolahkan anaknya di tempat itu (Mensinger, 2001). Di samping itu, Mensinger (2001) mengatakan bahwa ada pula orang tua yang memiliki pendapat bahwa sekolah homogen merupakan sekolah yang potensial untuk menambah pengalaman anaknya karena sekolah homogen lebih berfokus pada kegiatan-kegiatan akademik dan kurangnya distraksi dalam hal sosialisasi. Hal tersebut membuat orang tua memiliki harapan jika lulus nanti anak perempuannya akan memiliki kemampuan dan kepercayaan diri untuk mengatasi diskriminasi gender dan perbedaan kelas-kelas sosial.

Pemilihan sekolah homogen perempuan atau sekolah heterogen akan berpengaruh pada diri remaja perempuan. Remaja yang bersekolah di sekolah homogen cenderung memiliki achievement yang tinggi dan juga kemampuan

(51)

sesungguhnya karena di sekolah homogen para siswi dituntut untuk dapat melakukan pekerjaan yang tidak kalah oleh pria akan tetapi tetap terlihat anggun seperti wanita (Mensinger, 2001).

C. Persepsi Tubuh

Pada bagian ini, peneliti akan memaparkan mengenai definisi, aspek, serta faktor yang mempengaruhi persepsi tubuh. Setelah itu, peneliti akan memaparkan proses dan dampak ketika seseorang menilai tubuhnya dan kemudian dilanjutkan dengan pemaparan persepsi tubuh remaja perempuan di sekolah homogen.

1. Definisi Persepsi Tubuh

(52)

2. Aspek-Aspek Persepsi Tubuh

Pada bagian ini, peneliti akan memaparkan aspek-aspek dari persepsi tubuh menurut Cash (2016) yaitu; Appearance evaluation, Appearance orientation, Fitness evaluation, Fitness orientation, Health evaluation, Health

orientation, Illness orientation, Body areas satisfaction, Overweight

preoccupation, dan Self-classified weigh. Kesepuluh aspek tersebut akan dipaparkan sebagai berikut:

a. Appearance Evaluation (Perasaan mengenai Penampilan)

Appearance Evaluation merupakan suatu perasaan seseorang mengenai daya tarik fisik atas kepuasan atau ketidakpuasan terhadap penampilannya. Seseorang yang memiliki nilai tinggi cenderung lebih puas dengan penampilannya, sedangkan orang dengan nilai rendah cenderung merasa tidak puas dengan penampilan fisiknya.

b. Appearance Orientation (Pemahaman mengenai Penampilan)

(53)

c. Fitness Evaluation (Perasaan mengenai Kebugaran Fisik)

Fitness Evaluation merupakan perasaan seseorang mengenai sehat atau tidak sehat dirinya secara fisik. Orang dengan nilai yang tinggi merasa diri mereka sehat secara fisik dan terlihat dalam bentuk tubuh yang atletik, aktif, dan kompeten. Orang dengan nilai tinggi juga cenderung terlibat aktif dalam aktivitas untuk meningkatkan kebugaran. Sedangkan orang dengan skor lebih rendah merasa tidak sehat secara fisik, memiliki bentuk tubuh yang tidak bagus atau tidak atletik serta tidak kompeten. Orang dengan nilai rendah juga cenderung tidak menghargai kebugaran fisik dan tidak secara teratur melakukan aktivitas olahraga dan membiasakannya dalam gaya hidup mereka.

d. FitnessOrientation (Pemahaman mengenai Kebugaran Fisik)

Fitness Orientation adalah luasnya suatu pandangan seseorang mengenai anggapan sehat secara fisik atau kompeten secara atletik. Nilai tinggi akan diperoleh oleh orang yang menghargai kebugaran dan secara aktif terlibat dalam aktivitas untuk meningkatkan atau mempertahankan kebugaran mereka. Sedangkan nilai yang rendah akan didapatkan oleh orang yang cenderung tidak menghargai kebugaran fisik dan tidak secara teratur melakukan aktivitas olahraga dan membiasakan ke dalam gaya hidup mereka.

e. Health Evaluation (Perasaan mengenai Kesehatan)

(54)

tinggi merasa tubuh mereka sehat. Sedangkan orang dengan skor rendah merasa tidak sehat dan mengalami gejala penyakit atau kerentanan pada suatu penyakit.

f. Health Orientation (Pemahaman mengenai Kesehatan)

Health Orientation adalah luasnya pandangan seseorang mengenai gaya hidup sehat secara fisik. Seseorang dengan nilai tinggi akan cenderung sadar akan kesehatan dan mencoba menjalani gaya hidup sehat. Sedangkan seseorang dengan nilai rendah lebih apatis tentang kesehatan mereka.

g. Illness Orientation (Pemahaman mengenai Penyakit)

Illness Orientatiton merupakan suatu pandangan atau reaktivitas seseorang mengenai penyakit. Seseorang dengan nilai tinggi cenderung waspada terhadap gejala penyakit fisik dan cenderung mencari tahu tentang penanganan medis yang kira-kira dibutuhkan. Orang dengan nilai rendah cenderung tidak terlalu waspada terhadap gejala fisik penyakit. h. Body Areas Satisfaction (Kepuasan terhadap Bagian Tubuh)

(55)

i. Overweight Preoccupation (Kecemasan menjadi Gemuk)

Overweight Preoccupation merupakan penilaian seseorang mengenai sebuah konstruksi yang mencerminkan kegelisahan dan kewaspadaan pada berat badan, diet, dan pengendalian makan. Semakin tinggi nilai yang dimiliki seseorang maka semakin ia berusaha untuk menjaga berat badannya agar tetap ideal.

j. Self-Classified Weight (Kemampuan Mengategorikan Bentuk Tubuh)

Self-Classifoed Weight merupakan pandangan dan pemberian label pada berat seseorang, dari yang sangat kurus hingga sangat kelebihan berat badan. Orang yang memiliki skor tinggi akan lebih mudah untuk menentukan atau menilai berat badannya dan juga orang lain dan ia juga akan memiliki pandangan yang hampir sama dengan orang lain ketika menentukan berat badan seseorang.

Menurut Cash (2016) dalam variabel persepsi tubuh terdapat sepuluh aspek yang terdapat di dalamnya. Aspek Appearance, Fitness, dan Helath

masing-masing terbagi menjadi dua yaitu orientation dan evaluation. Bagian

orientation menekankan pada pandangan atau penilaian seseorang, sedangkan pada bagian evaluation lebih menekankan pada perasaan seseorang mengenai suatu hal dalam dirinya. Selain itu, masih ada empat aspek yang lain yaitu

Illness Orientation, Body Areas Satisfaction, Overweight Preoccupation, dan

(56)

tinggi rendahnya persepsi tubuh remaja akan dilihat dari perolehan nilai dari sepuluh aspek tersebut.

3. Faktor-faktor Persepsi Tubuh

Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi persepsi tubuh yaitu usia, kelas sosial, kultural, seksualitas, dan juga media. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi tubuh tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Usia

Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi tubuh. Grogan (2008) mengatakan bahwa, baik anak laki-laki dan juga perempuan mulai kritis terhadap tubuh mereka ketika memasuki usia pra remaja. Sehingga dimulai dari usia praremaja, seseorang akan mulai memberikan penilaian kepada tubuhnya. Seorang remaja mulai merasa di bawah tekanan untuk menjadi lebih langsing ketika mereka berada di Sekolah Dasar. Remaja juga cenderung menginginkan berat badan yang normal, sehingga tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus (Grogan, 2008).

b. Kelas Sosial

(57)

yang lebih tinggi akan cenderung melihat tubuh dari segi estetik dan bukan fungsionalnya sehingga akan cenderung mengikuti kegiatan olahraga agar penampilannya tetap terjaga (Grogan, 2008).

c. Etnik/kultural

Pengaruh sosiokultural telah terbukti signifikan dalam menentukan standar kecantikan dan menunjukkan betapa pentingnya penampilan bagi seseorang. Pengaruh ini terdiri dari konteks sosial secara umum yang digambarkan melalui gambar dan pesan media, mainan yang dijual di toko, dan masukan dari orang-orang terdekat (Smolak & Thompson, 2009). Setiap negara memiliki standar kecantikan yang berbeda-beda, hal itulah yang membuat kepuasan dan penilaian terhadap tubuh berbeda-beda di setiap negara (Grogan, 2008). Grogan (2008) juga mengatakan bahwa pada usia remaja gadis Asian cenderung lebih mungkin merasa bahwa mereka kelebihan berat badan dan lebih banyak terlibat dalam program diet dan konsumsi pil diet yang tidak sehat jika dibandingkan dengan gadis

African dan American. d. Seksualitas

(58)

e. Media

Media juga membawa pengaruh tersendiri dalam penilaian terhadap tubuh seseorang. Tayangan dalam media, memiliki pengaruh terhadap internalisasi seseorang mengenai bentuk tubuh ideal, kurus yang ideal, dan ketidakpuasan terhadap diri (Cash & Smolak, 2011). Media khususnya media sosial dapat mempengaruhi persepsi tubuh seseorang (Fardouly & Vartanian, 2016). Media sosial dapat berpengaruh pada persepsi tubuh ketika penggunanya aktif dalam membandingkan dirinya dengan tayangan di akun media sosialnya. Fardouly dan Vartanian (2016) juga mengatakan bahwa media sosial yang lebih berbasis pada gambar seperti Instagram dan Snapchat memiliki peluang lebih besar untuk mempengaruhi persepsi tubuh seseorang.

Setiap negara memiliki standar kecantikan yang berbeda-beda, penilaian standar tersebut didapatkan dari tayangan di media (Grogan, 2008). Orang dengan usia dan juga kelas sosial yang berbeda akan memberikan penilaian serta menunjukkan sikap yang berbeda pula pada standar yang ditunjukkan oleh media. Selain itu, bagaimana seseorang menilai tubuhnya juga dipengaruhi oleh penilaian pasangannya. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa persepsi tubuh dapat dipengaruhi oleh lima faktor yaitu usia, kelas sosial, kultural, seksualitas, dan juga media.

(59)

dampak-dampak yang ditimbulkan baik dari persepsi tubuh yang tinggi dan juga rendah. Penelitian ini akan lebih banyak membahas faktor usia, etnik/kultural, serta media sebagai faktor yang mempengaruhi persepsi tubuh.

4. Proses dan Dampak

Setelah memaparkan definisi persepsi tubuh, aspek-aspek, serta faktor-faktor yang mempengaruhi di bawah ini akan dijelaskan mengenai proses seseorang menilai tubuhnya serta dampaknya bagi diri sendiri dan orang lain.

(60)

anak mulai membandingkan dirinya dengan lebih banyak anak lain (Cash & Smolak, 2011). Dalam usia sekolah dasar, peran teman sebaya juga memberikan dampak yang besar pada persepsi tubuh terutama pada anak perempuan. Karena pada lingkaran pertemanannya, mereka akan bertukar informasi mengenai body attitudes (Paxton et al 1999 dalam Smolak & Thompson, 2009).

(61)

secara fisik dan lebih bergantung pada pria sehingga penilaian perempuan terhadap diri mereka cenderung rendah.

Selain itu, Eagly et.al (1991 dalam Grogan, 2008) mengemukakan bahwa efek stereotip daya tarik fisik paling kuat adalah untuk persepsi kompetensi sosial (sociability and popularity). Salah satu proses yang mempengaruhi tingkat ketidakpuasan terhadap tubuh adalah ketika seseorang mulai peka dan sadar pada penilaian sosial (Smolak & Thompson, 2009). Oleh karena itu, perempuan khususnya pada usia remaja cenderung tidak mau kalah dan berusaha untuk mencapai tubuh yang ideal menurut penilaian teman sebayanya. Ketidakpuasan terhadap tubuh dapat menjadi suatu penyebab seseorang menjadi tertekan dan melakukan perilaku ekstrem mengubah tubuhnya untuk menghindari penilaian negatif (Smolak & Thompson, 2009). Konsen pada berat dan bentuk tubuh juga merupakan suatu prediksi peningkatan pada permasalahan makan seperti diet, dorongan untuk menjadi kurus, simptom bulimia, bigne eating, dan sindrom BN. Persepsi tubuh juga dapat dijadikan prediktor dari keseluruhan well-being. Ketidakpuasan terhadap tubuh akan menimbulkan perkembangan self esteem yang rendah.

(62)

Orang yang merasa puas dengan tubuhnya akan memiliki kontrol diri yang baik sehingga ia akan memiliki koneksi dengan tubuhnya dan dapat segera mengetahui apa yang dibutuhkan oleh tubuhnya (Cash & Smolak, 2011). Perasaan puas terhadap tubuh juga akan meningkatkan kemampuan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (interpersonal relationship),

meningkatkan perilaku altruistik, waspada terhadap penyakit, dan membangun daya tahan tubuh. Perasaan-perasaan positif tersebut akan terpancar dari perilaku seseorang yang akan berusaha untuk mendorong dan meyakinkan orang lain untuk mencintai dan menghargai tubuhnya. Orang tersebut juga akan cenderung tidak terpengaruh oleh media-media yang menampilkan sosok tubuh yang ideal dalam masyarakat saat ini (Cash & Smolak, 2011).

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa usia, kelas sosial, etnik/kultural, seksualitas, serta media merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi tubuh. Pada bagian proses dan dampak juga telah dipaparkan mengenai dampak penilaian yang positif serta negatif pada tubuh bagi diri sendiri dan orang lain. Pada bagian selanjutnya, peneliti akan mengaitkan persepsi tubuh remaja pada karakteristik siswi sekolah homogen.

D. Persepsi Tubuh Remaja Siswi Sekolah Homogen

(63)

akan mulai membandingkan tubuh mereka dan memperbincangkan mengenai berat badan yang berujung pada meningkatnya ketidakpuasan terhadap tubuh. Tingkat perasaan puas dengan tubuh atau berbagai bagiannya, lebih penting bagi remaja perempuan daripada laki-laki karena masyarakat memberi nilai lebih pada penampilan remaja perempuan (Smolak & Thompson, 2009). Pada usia remaja, perempuan lebih merasa tidak puas pada tubuhnya daripada laki-laki Knauss, Paxton, dan Alsaker (2007 dalam Smolak & Thompson, 2009). Lebih dari 70% remaja perempuan yang tidak puas terhadap bentuk tubuhnya ingin menjadi lebih kurus. Penghargaan diri yang rendah akan mengembangkan pemikiran bahwa tubuh yang kurus merupakan suatu keharusan dan sangat penting, hal itu tentu saja akan meningkatkan rasa tidak puas terhadap tubuh (Smolak & Thompson, 2009). Jika remaja tidak puas dengan tubuhnya setelah transformasi masa pubertas, ia akan mengembangkan perasaan cemas dan tidak aman (Hurlock, 1973) berbeda dengan orang dewasa baik laki-laki atau perempuan merasa lebih puas dengan tubuhnya terutama saat mereka berusia 60-85 tahun (Cash & Smolak, 2011). Persepsi tubuh yang positif memainkan peran penting dalam membina perkembangan psikologis dan fisik yang sehat pada anak perempuan. Sebaliknya, persepsi tubuh yang buruk memiliki berbagai konsekuensi negatif (Smolak & Thompson, 2009).

(64)

yang bersekolah di sekolah homogen memiliki kemauan yang tinggi untuk mewujudkan apa yang ia inginkan sehingga mereka saling bersaing untuk mendapatkan nilai yang tinggi terutama dalam bidang akademik (Tiggemann, 2001). Dalam wawancara dengan Loren Bridge ditemukan bahwa di sekolah homogen tidak ada sexual harassment, dan bully dari siswa laki-laki sehingga tidak adanya tekanan dari laki-laki di sekolah homogen perempuan membuat remaja perempuan lebih mudah mengekspresikan diri dan lebih dekat dengan teman-temannya yang lain sehingga mereka bersaing secara sehat untuk mencapai kesuksesan (Knuckey, 2016). Hal tersebut berbeda dari siswi di sekolah heterogen di mana remaja perempuan cenderung memperhatikan tubuhnya karena ada penilaian dari teman sebaya yang berjenis kelamin laki-laki (Tiggemann, 2001). Siswi di sekolah homogen cenderung memiliki evaluasi yang rendah terhadap penampilan fisiknya sehingga daya tarik fisik cenderung tidak diperhatikan hal tersebut disebabkan oleh reaksi sosial yang dimunculkan karena mereka hanya berinteraksi dengan teman yang berjenis kelamin sama. Dari situ dapat disimpulkan bahwa remaja perempuan yang bersekolah di sekolah homogen memiliki penilaian yang tinggi pada tubuhnya.

E. Konformitas

(65)

dan dampak ketika seseorang melakukan konformitas dan kemudian dilanjutkan dengan konformitas yang dilakukan remaja perempuan di sekolah homogen.

1. Definisi Konformitas

Alldden (1965 dalam Cialdini & Trost, 1998) menyatakan bahwa para ahli masih memunculkan pandangan yang bervariasi mengenai definisi dari konformitas. Asch (1956 dalam Cialdini & Trost, 1998) berpendapat bahwa konformitas berbeda dengan perilaku normatif, konformitas ditandai dengan adanya suatu perpindahan posisi seseorang dari posisi awal ke posisi bertentangan yang dimunculkan karena adanya perbandingan dengan orang lain atau orang-orang di dalam kelompok. Baron dan Branscombe (2012) mendefinisikan konformitas sebagai tekanan untuk berperilaku dengan cara yang dipandang dapat diterima atau sesuai oleh kelompok atau masyarakat pada umumnya. Menurut Taylor, Peplau, dan Sears (2009) konformitas adalah tindakan yang secara sukarela dilakukan seseorang karena orang lain juga melakukan hal yang sama. Dengan demikian, konformitas mengacu pada perubahan perilaku seseorang agar sesuai dengan respon orang lain (Cialdini & Goldstein, 2003) yang dilakukan karena adanya perbandingan dengan orang lain dalam suatu group. Tekanan untuk mengubah perilaku muncul karena adanya keinginan agar dapat diterima di lingkungannya

(66)

sosial baru dalam media sosial, dan untuk menavigasi modal sosial mereka (Yoo, Choi, Choi & Rho, 2014). Hal ini menyajikan peluang yang tampaknya tak terbatas bagi individu untuk tumbuh dan berkembang, sementara juga memfasilitasi peredaran norma dan pengaruh sosial yang tidak akan dapat diakses atau berpengaruh di dunia offline (Kende, et al., 2015). Pengaruh sosial dalam media sosial akan membuat seseorang cenderung melakukan hal yang juga disukai oleh orang yang ia kenal di media sosial (Egebrark & Ekström 2011). Informasi dan akses yang lebih mudah secara online akan memfasilitasi bentuk-bentuk baru konformitas, yang dapat mengarah pada internalisasi keyakinan sosial baru dan mengubah cara orang bertindak (Yoo et al., 2014)

Dari definisi yang sudah disebutkan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa konformitas adalah suatu tekanan yang mendorong seseorang untuk mengubah perilakunya secara sukarela agar sesuai dan dapat diterima oleh orang-orang dalam kelompoknya. Kemudahan mendapatkan informasi dari media sosial tentunya akan mempermudah persebaran norma dan juga pengaruh sosial, sehingga seseorang akan cenderung mengubah perilaku berdasarkan informasi yang mereka dapatkan.

2. Aspek-aspek Konformitas

(67)

dan tepat, membangun dan memelihara hubungan dengan orang lain, dan mempertahankan konsep diri. Berikut ini adalah penjelasan mengenai motivasi yang mendasari perilaku konformitas:

a. Motivasi Akurasi

Keinginan untuk membentuk interpretasi akurat dari realita serta berperilaku benar (Cialdini & Goldstein, 2003).

1) Perceived Concencus

Perceived Concencus merupakan persepsi mengenai persetujuan umum bagaimana seseorang bereaksi terhadap kepercayaan yang dianut oleh orang lain. Sehingga bergantung pada tingkat keyakinan dan persetujuan dari orang tersebut.

2) Dynamical System

Individu yang menempati ruang sosial tertentu akan cenderung menyesuaikan diri dengan sikap, kepercayaan dan kecenderungan perilaku yang ditunjukkan oleh mayoritas hal itu disebut Dynamical System.

3) Automatic Activation

Konformitas juga mungkin merupakan produk dari

(68)

b. Motivasi Afiliasi

Didasarkan pada tujuan mendapatkan persetujuan sosial dari orang lain (Cialdini & Goldstein, 2003).

1) Behavioral Mimicry

Behavioral mimicry dijuluki efek bunglon, istilah ini menggambarkan perilaku yang cocok dengan postur, ekspresi wajah, karakteristik vokal, dan perilaku yang terjadi di antara dua individu atau lebih (Chartrand & Bargh 1999 dalam Cialdini & Goldstein, 2003).

2) Gaining Social Approach

Individu sering terlibat dalam usaha yang lebih sadar dan disengaja untuk mendapatkan persetujuan sosial dari orang lain, untuk membangun hubungan yang bermanfaat dengan mereka, dan dalam prosesnya, untuk meningkatkan harga diri mereka disebut dengan gaining social approach (Cialdini & Goldstein, 2003).

Terdapat sedikit kesamaan antara sub aspek gaining social approach dan automatic activation, perbedaannya adalah pada sub aspek gaining social approach perubahan perilaku dilakukan secara lebih sadar agar membangun suatu hubungan yang bermanfaat bagi seseorang sedangkan pada automatic activation

(69)

c. Motivasi mempertahankan konsep diri.

Salah satu motivasi seseorang untuk menyesuaikan diri dengan perilaku dan pandangan orang lain adalah untuk meningkatkan, menjaga, dan memperbaiki harga dirinya. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa perilaku menyesuaikan diri memiliki peran dalam menegaskan konsep diri seseorang. Seseorang yang fokus pada dasar-dasar harga dirinya seperti sifat (self-attribute), akan memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk menyesuaikan diri. Mempertahankan konsep diri dapat melalui cara perlindungan harga diri maupun proses kategorisasi diri (Cialdini & Goldstein, 2003). Dibawah ini, peneliti akan menjelaskan mengenai perspektif dasar kategorisasi diri mengenai pengaruh mayoritas dan minoritas, dan juga efek deindividuasi pada konformitas:

1) Majority and minority Influence

(70)

2) Deindividuation Effect

Deindividution effect adalah suatu proses di mana seorang individu akan menyesuaikan perilakunya dengan norma lokal dan situasi spesifik yang ditentukan oleh identitas kelompok (Cialdini & Goldstein, 2003). Respons seseorang terhadap norma kelompok bukanlah suatu proses tanpa berpikir atau irasional tetapi mungkin saja merupakan proses sadar dan rasional yang berkaitan dengan identitas diri (Spears et al, 2001 dalam Cialdini & Goldstein, 2003). Postmes dan Spears (1998 dalam Cialdini & Goldstein, 2003) mengungkapkan bahwa daripada terlibat dalam kegiatan anti normatif, individu mengalami proses deindividuation yang tidak sesuai dengan perilaku mereka, akan tetapi untuk mengikuti norma-norma atau situasi khusus yang didefinisikan oleh identitas kelompok.

3. Faktor-faktor Konformitas

(71)

a. Cohesiveness (Kohesivitas)

Cohesiveness merupakan salah satu cara seseorang untuk mencoba menyesuaikan diri dengan cara mengikuti perilaku yang berlaku dalam situasi tertentu dan didasarkan pada pengaruh orang lain. Seseorang melakukan hal tersebut agar dapat diterima oleh anggota kelompok. Jadi, semakin seseorang ingin menjadi anggota dan diterima oleh anggota lainnya, semakin orang itu berusaha untuk menghindari melakukan sesuatu yang akan memisahkan dirinya dari kelompok tersebut (Baron & Branscombe, 2012).

b. Ukuran Kelompok

Ukuran kelompok juga mempengaruhi karena konformitas cenderung meningkat apabila ukuran kelompok meningkat, setidaknya sampai titik tertentu (Sarwono, 2014). Jadi semakin banyak jumlah orang dalam kelompok yang berperilaku dengan cara tertentu, maka akan semakin besar pula kecenderungan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan melakukan apa yang orang-orang tersebut lakukan (Baron & Branscombe, 2012).

c. Komitmen pada kelompok

Gambar

Gambar 1 Hubungan antara Konformitas dalam Media Sosial dan Persepsi Tubuh
Gambar 1 Hubungan antara Konformitas dalam Media Sosial dan Persepsi Tubuh
Tabel 1 Penskoran Skala Konformitas
Tabel 2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mutitas katier akar yang tinggi terbadap P yang ditunjukkan oleh konstanta Michaelis-Menten (1<.,) yang rendah merupakan salah satu mekanisme yang berperan pada

[r]

Laporan Tugas Akhir dengan judul : “ PENGENDALIAN KECEPATAN MOTOR BRUSHLESS DIRECT CURRENT (MOTOR BLDC ” diajukan untuk memenuhi sebagian dari persyaratan

Kepribadian Konselor Dengan Keberhasilan Layanan Informasi Pada siswa. Kelas XI di UPT SMA Negeri 1 Kalianget Tahun Ajaran

Nama awal dan kedua penulis pertama dan nama awal dan kedua penulis kedua. Kota {meliputi negara, provinsi, atau kota}: Penerbit.. Dalam teks: Penulis Pertama dan Kedua

Ditjen Bina Pembangunan Daerah, Rancangan RPJP Daerah ditetapkan menjadi Peraturan Daerah tentang RPJP Daerah Kepulauan Riau Tahun 2005-2025, yang merupakan

(1) Perizinan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b merupakan acuan dan dasar bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian izin pemanfaatan

Memeriksa dan merekomendasikan hasil pekerjaan para bawahan dalam hal mutu dan jumlah, untuk memastikan bahwa hasil proses layanan tersebut bisa ditindaklanjuti oleh