• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA KAJIAN PUSTAKA

1.1 Latar Belakang

Dalam masyarakat, interaksi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau antara kelompok dengan kelompok selalu terjadi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan disetiap kelompok masyarakat memiliki perbedaan interaksi, dimana hal ini mempengaruhi hubungan timbal balik yang terjadi didalam kelompok tersebut. Perbedaan interaksi didalam satu kelompok masyarakat disebabkan oleh perbedaan lingkungan sosial yang terdiri atas kekayaan sumber daya alam dan budaya serta perbedaan perekonomian yang terdiri atas perbedaan jenis pekerjaan. Interaksi terjadi diberbagai aspek kehidupan manusia, seperti pada aspek pekerjaan, keluarga, sekolah, agama,dll. Faktor pendorong terjadinya interaksi adalah adanya persamaan wilayah, atau tempat tinggal, sikap saling membutuhkan, dan adanya dorongan untuk berkembang. Salah satunya adalah interaksi yang terjadi didalam bidang pekerjaan atau mata pencaharian.

Masyarakat Indonesia memiliki berbagai jenis mata pencaharian yang terdiri dari berbagai sektor, salah satunya adalah sektor pertanian. Indonesia sebagai merupakan negara agraris, dimana mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani. Di negara agraris sektor pertanian menjadi bagian yang penting baik dalam perekonomian maupun pemenuhan kebutuhan pangan. Sebagai negara agraris, jumlah penduduk Indonesia yang bermata pencaharian sebagai petani adalah 31.705.337 jiwa yang terdiri atas 24.363.157 jiwa laki-laki dan 7.343.180 perempuan (BPS 2013). Sektor pertanian terdiri dari beberapa subsektor salah satunya yaitu subsektor

semakin luas dan bertambahnya pelaku usaha perkebunan. Pada tahun 2013 jumlah masyarakat yang berprofesi sebagai pelaku usaha perkebunan adalah 14.116.465 jiwa

yang terdiri atas 11.729.886 laki-laki dan 2.386.579 perempuan (BPS 2013).

Sementara pada rovinsi Riau yang merupakan provinsi dengan luas perkebunan sawit nomor satu di Indonesia dengan luas lahan 2,2 juta hektar atau 25% luas perkebunan sawit nasional (Ditjenbun 2015). Masyarakat yang berprofesi sebagai pelaku usaha perkebunan sawit di provinsi Riau berjumlah 573.046 jiwa yang terdiri atas 489.731 laki-laki dan 83.315 perempuan (BPS 2013).

Dengan laju perkembangan perkebunan yang tinggi, maka pembangunan perkebunan masuk dalam pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan pendapatan. Pola pengembangan perkebunan dilakukan dengan tiga bentuk, meliputi perkebunan besar yaitu perkebunan yang dikelola dan di usahakan secara komersial oleh perusahaan yang berbadan hukum, perkebunan rakyat yaitu perkebunan yang diselenggarakan atau diusahakan oleh rakyat yang dikelompokkan dalam usaha kecil, dan perkebunan inti rakyat budidaya suatu tanaman dimana perkebunan besar bertindak sebagai inti dan ranyat bertindak sebagai petani plasma (Sitarasmi 2007:3). Dengan adanya pengembangan perkebunan yang dilakukan oleh perkebunan besar milik negara atau swasta, berdampak juga pada masyarakat yang bertempat tinggal disekitar perkebunan besar tersebut. Masyarakat yang bertempat tinggal disekitar perkebunan besar secara langsung mendapatkan pengaruh, baik dalam segi perubahan ekonomi, perilaku dan interaksi sosial.

Pada masyarakat disekitar perkebunan iteraksi yang terjadi sama dengan masyarakat desa, dimana interaksi terjadi secara langsung, karena adanya kedekatan tempat tinggal hal ini juga menimbulkan hubungan sosial yang dekat sehingga

menumbuhkan rasa persaudaraan, selain itu masyarakat desa identik dengan solidaritasnya yang tinggi.Pada masyarakat ini setiap anggota masyarakat saling mengenal dengan baik dan memiliki hubungan yang dekat. Selain berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat, masyarakat disekitar perkebunan juga melakukan interaksi dengan pihak perkebunan. Interaksi ini dapat bersifat asosiatif dan dissosiatif. Interaksi sosiatif yang terjalin antara masyarakat dengan pihak perkebunan berupa kerja sama yang umumnya berupa kerja sama dalam membangun atau perbaikan fasilitas umum, ketersediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat pada perkebunan besar, kerja sama dalam jual beli hasil pertanian dan alat-alat perkebunan serta corporate social responsibility (CSR). Sementara interaksi yang bersifat disasosiatif umumnya berupa perebutan lahan perkebunan (Khasanah dan Puji, 2015:9).

Interaksi yang terjalin antara masyarakat dengan pihak perkebunan besar juga terjadi pada pola pengembangan pola inti rakyat. Interaksi yang terjalin diantara masyarakat yang disebut dengan petani plasma dan pihak perkebunan besar yang disebut dengan perkebunan atau perusahaan inti lebih jelas terlihat karena adanya kerja sama dalam pengelolaan perkebunan. Pola perkebunan inti rakyat dikembangkan untuk memperbaiki struktur sosial masyarakat perkebunan, karena kehidupan petani sebelum adanya pola inti rakyat umumnya diwarnai kemiskinan

dengan pendapatan yang rendah (Zahri, 2013:37). Pendapatan petani yang rendah

biasanya disebabkan oleh faktor produktivitas lahan yang rendah,faktor teknologi dan faktor pengetahuan yang rendah serta pembiayaan atau modal yang rendah. Maka setelah dilakukannya kerja sama antara perkebunan besar dengan masyarakat faktor-faktor tersebut dapat diperbaiki, karena tujuan utama pembentukan pola perkebunan inti rakyat adalah untuk meningkatkan pendapatan petani.

Interaksi yang terjalin antara perkebunan besar atau perusahaan inti dengan masyarakat atau petani plasma dalam pola pengembangan perkebunan inti rakyat terjadi melalui komunikasi antar para aktor sosial (pelaku usaha perkebunan inti rakyat). Interaksi yang bersifat asosiatif dan dissosiatif. Interaksi yang bersifat asosiatif berupa kerja sama yang umumnya meliputi pengelolaan perkebunan, pembagian hasil, jual beli hasil perkebunan, dan pembayaran kredit atau utang. Serta interaksi dissosiatif yang berupa pertengtangan atau pertikaian yang umumnya meliputi konversi lahan, pendanaan terhadap fasilitas perkebunan dan kredit macet, hal ini juga dapat menimbulkan konflik antara perusahaan inti dan petani plasma. Dengan adanya interaksi yang bersifat isosiatif ini maka perkebunan inti rakyat tersebut dapat berkembang dan maju. Dengan kemajuan perkebunan inti rakyat tersebut, maka juga berdampak pada masyarakat atau petani plasma tersebut. Tetapi belakangan ini program perkebunan inti rakyat banyak mengalami kegagalan yang utamanya disebabkan karena konversi lahan dan kredit macet. Namun hal ini tidak terjadi pada masyarakat Desa Mahato Timur yang menjalin kerja sama dengan perusahaan perkebunan Torganda dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit dengan sistem pola inti rakyat. Karena alasan inilah yang menjadi latar belakang saya untuk melakukan penelitian ini.

Desa Mahato Timur berada di Kecamatan Tambusan Utara, Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau. Desa Mahato timur merupakan desa baru yang merupakan pemekaran dari Desa Mahato, Desa Mahato timur memiliki sekitar 1.354 jiwa atau sekitar 200 kepala keluarga (Kepala Desa Mahato Timur). Mayoritas masyarakat Desa Mahato Timur memiliki mata pencaharian sebagai petani perkebunan sawit. Model perkebunan yang diterapkan Di Desa Mahato Timur adalah perkebunan rakyat, yang dikelola masyarakat secara tradisional baik dalam pengelolaan dan

penggunaan teknologi serta luas lahan perkebunan yang relatif kecil. Ketika Desa Mahato timur masih bersatu dengan Desa Mahato, masyarakat Desa Mahato timur secara keseluruhan menjalin kerja sama dengan pihak perkebunan swasta yang terdapat di Desa Mahato yaitu pekebunan Torganda. Perusahaan perkebunan PT.Tor Ganda yang merupakan perkebunan swasta nasional yang berdiri pada tahun 1979 adalah perusahaan yang bergerak pada bisnis perkebunan kelapa sawit dan industrinya. Kantor pusat berada di Jl. Abdullah Lubis No 26 Medan. Pada saat ini memiliki perkebunan di Riau yang berada di Kabupaten Rokan Hulu. Dari kerja sama yang telah dijalin antara masyarakat Desa mahato dengan perusahaan perkebunan Torganda, 200 kk penduduk Desa Mahato Timur mendapatkan 1 kavling lahan perkebunan sawit yang terdiri dari 2 ha yang dikelola oleh pihak Torganda (Kepala Desa Mahato Timur). Masyarakat desa menjalin kerja sama dengan pihak perkebunan Torganda dalam pengelolaan lahan sawit dimulai sejak tahun 2008, masyarakat Desa Mahato berperan sebagai penyedian lahan sawit dan pihak pekebunan berperan sebagai penanam modal sekaligus yang mengelola perkebunan sawit tersebut, dimana masyarakat setempat sering menyebutnya dengan sistem bapak angkat.

Sistem bapak angkat adalah hubungan antara pengusaha besar yang bersedia membantu masyarakat dalam perkembangannya. Dalam hal ini posisi bapak angkat yang merupakan perkebunan inti dan petani plasma sejajar, oleh sebab itu tidak ada pihak yang paling dominan. Tetapi pada realitasnya pihak perkebunan inti memiliki memiliki peranan yang lebih dominan dimana petani plasma tunduk terhadap perkebunan inti terkait dengan pola pengelolaan hingga bagi hasil. Hal ini terjadi karena adanya ketergantungan antara petani plasma kepada pihak perkebunan inti. Sistem bapak angkat juga diharapkan mampu meningkatkan kemampuan petani

plasma tetapi pada perkembangannya banyak perkebunan inti yang tidak menjalankan fungsi dan peranannya ( Rachmad, 2011: 4).

Interaksi yang terjalin diantara masyarakat dengan pihak perkebunan terjalin dengan baik, hal ini terlihat dari perkembangan perkebunan sawit tersebut. Pihak perkebunan inti dan petani plasma mendirikan koperasi unit desa dengan nama koperasi karya bakti, dimana koperasi ini menjadi wadah untuk perusahaan inti dan petani plasma bertemu dan berdiskusi mengenai pengelolaan perkebunan sawit. Petani plasma Desa Mahato Timur menerima “gaji” dengan besaran tertentu yang telah disepakati sekitar Rp 500.000 - Rp 1.000.000 perbulan, dengan pemotongan utang modal (Kepala Desa Mahato Timur). Sistem pengelolaan dengan sistem pola inti rakyat ini diharapkan mampu meningkatkan produktivitas serta menunjang perekonomian masyarakat Desa Mahato Timur. Dengan sistem pengelolaan inti rakyat masyarakat yang memiliki modal sedikit serta pengetahuan dalam pengelolaan sawit yang rendah mendapat bantuan dari pihak perkebunan besar dalam pengelolaannya. Sistem pengelolaan perkebunan yang modern serta maju baik dari penggunaan teknologi, perawatan tanaman, pemasaran, hingga pengaturan manajemen yang baik yang tidak dimiliki dan diketahui masyarakat diharapkan mampu meningkatkan produksi kelapa sawit.

Melalui pola perkebunan inti rakyat pemerintah berusaha untuk meningkatkan produktivitas petani sawit di Indonesia, selain itu dengan adanya kerja sama antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan besar diharapkan juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan bertambahnya pendapatan. Perkembangan perkebunan dengan inti rakyat juga didasarkan pada pertimbangan bahwa masih banyak lahan tidur dan lahan kurang produktif milik masyarakat yang

belum dimanfaatkan karena disebabkan oleh berbagai faktor. Dalam pembangunan ekonomi, pola inti rakyat merupakan perwujudan cita-cita untuk melaksanakan sistem perekonomian gotong royong yang dibentuk antara mitra yang kuat dari segi permodalan, pasar, dan kemampuan teknologinya bersama petani yang golongan rendah serta miskin yang tidak kurang memiliki kemampuan yang disebabkan oleh minimnya pendidikan dan keterampiran serta pengetahuan dalam menjalankan suatu usaha atau pekerjaan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan produktivitas dan usaha atas dasar kepentingan bersama. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi dengan pola kemitraan dapat dianggap sebagai usaha yang paling menguntungkan (maximum social benefit), terutama ditinjau dari pencapaian tujuan pembangunan nasional

jangka panjang.

Dokumen terkait