• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab III Kerangka Konseptual dan Hipotesis

1.1 Latar Belakang

Migren merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berdampak cukup berat pada individu pasien. Di Amerika Serikat, sepuluh juta orang setiap tahun menderita migren. Enam belas persen dari suatu populasi adalah pasien migren. Prevalensi migren lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pada pria (18%:16%). Pada tahun 1984, 180 (2,8%) dari 6.448 pasien baru poliklinik saraf di Surabaya adalah pasien migren (Machfoed H, 2005). Di R.S. Cipto Mangunkusumo Jakarta, 273 (21,03%) dari 1.298 pasien baru yang berkunjung selama bulan Januari sampai dengan Mei 1988 adalah pasien migren. Studi populasi di Bogor menunjukkan 61% nyeri kepala terjadi pada kelompok usia 25– 54 tahun, 8,6% dari kelompok usia ini menderita migren, 81,6% menderita migren tanpa aura, 16,8% migren dengan aura, 0,6% migren komplikata (Riyanto B, 1995).

Migren adalah sebagai suatu gangguan kronik yang berakibat berat, biasanya unilateral, nyeri kepala yang berdenyut dengan disertai aura sebagai suatu gejala (Olesen J & Lance JW, 2004). Pada pasien migren terjadi perubahan neurokimiawi dalam duramaterinklusi

di otak, berupa peningkatan kadar Nitrit Oksida (NO) yang berasal dari aktivitas inducible NOS (iNOS) yang berlebihan. Inducible NOS (iNOS)

bertahan di dalam darah selama 4 jam jika telah terinduksi, sedangkan Endothelial

Nitric Oxide Syntase (eNOS) dan neuronal-NOS (nNOS) tidak bertahan lama di

dalam darah (B. J. Schueren, Lunnon, & Laurijssens, 2009; Schueren BJ, Lunnon MW, & Laurijssens BE , 2009; Vander Schueren , 2009; Villalón CM, Centurión D, Valdivia L, De Vries P, & Pramod RS, 2003).

Beberapa peneliti, menyatakan bahwa NO merupakan penyebab nyeri kepala (Goadsby P, Lipton F, & L, 2002; Gupta Saurabh, 2006). Nitrit Oksida yang menjadi penyebab nyeri kepala adalah NO donor eksogen, misalnya glyseryl

trinitrate (GTN) yang dapat melebarkan diameter pembuluh darah secara

berlebihan sehingga terjadi rangsangan pada serabut saraf sensoris di dinding pembuluh darah (Evans GJO, 2007; Evers S, 2004; Pacher P, Batkai S, & Kunos G, 2006). Nitrit Oksida endogen juga dapat menyebabkan nyeri kepala bila suatu proses penyakit menghasilkan NO secara berlebihan, misalnya pada saat terjadi aktivasi iNOS berlebihan, sehingga NO yang dihasilkan juga berlebihan. Beberapa peneliti membuktikan bahwa NO endogen dapat berperan sebagai antinosiseptik, namun bila berlebihan, NO berperan juga dalam hiperalgesia dan alodinia (Arulmani U, 2004; Di Marzo V, 2009; Janke E, 2004; Nnoaham KE & Kumbang J, 2008; Pacher P, 2006; Villalón CM, 2003).

Diagnosis migren berpedoman pada kriteria International Headache Society

(IHS) dan bersifat subjektif. Belum ada parameter objektif seperti pemeriksaan laboratorium yang dapat dijadikan baku emas diagnosis migren (Arulmani U, 2004; Bolay H, 2002; Olesen J & Lance JW, 2004; Schueren BJ , 2009; Villalón CM , 2003). Terdapat kecenderungan penelitian berupa pengukuran kadar iNOS

dalam darah dan NO endogen ekshalasi yang dikaitkan dengan serangan migren akut. Pengukuran kadar iNOS dalam darah selama serangan migren akut dinilai tidak praktis karena diperlukan pemeriksaan laboratorium menggunakan radioaktif (Moshage H, 1997). Pengukuran kadar nitrit dalam darah sebagai pencerminan aktivitas iNOS terbukti tidak tepat karena bersifat labil, sedangkan nitrat dapat merupakan hasil metabolisme kuman di usus (Greco R, Gasperi V, Maccarrone M, & Tassorelli C, 2010).

Pengukuran kadar NO ekshalasi endogen pada pasien migren tidak menyakitkan dan mudah dilakukan. Alat NO ekshalasi tersedia dalam berbagai jenis yang telah dilakukan validasi dan rekomendasi oleh American Thoracic

Society (ATS) (American Thoracic Society, 2005). Pemeriksaan kadar NO

ekshalasi endogen diharapkan dapat digunakan untuk diagnosis migren yang lebih objektif.

Pola kadar NO ekshalasi endogen pada pasien migren belum pernah dilakukan di Indonesia. Kadar NO ekshalasi endogen pada pasien migren dengan alat NO ekshalasi yang dilakukan oleh Van der Schueren dan kawan-kawan yang ingin membuktikan bahwa terjadi peningkatan kadar NO ekshalasi endogen pada pasien migren saat serangan akut mendapatkan nilai rerata kadar NO ekshalasi endogen saat serangan migren, migren di luar serangan, dan normal. Pengukuran dilakukan dalam rentang waktu 2–48 jam sejak serangan migren akut dan belum dapat membuktikan adanya perbedaan yang bermakna (Schueren BJ , 2009).

Kemajuan dalam hal terapi migren memperbaiki kualitas hidup serta menurunkan angka kesakitan dan absensi para pekerja (Sokolovic E, 2005).

Terapi migren meliputi terapi farmakologis dan non-farmakologis. Terapi farmakologis berperan sebagai terapi penggagal serangan migren dan penurun frekuensi serangan. Terapi farmakologis mempunyai kelemahan dalam hal efek samping obat berupa rasa mengantuk, gangguan keseimbangan, serta pemantauan fungsi hati (Gupta S, 2007; Gupta Saurabh, 2006; Juhasz G, 2003; Schueren BJ, 2009; Villalón CM, 2003). Terapi farmakologis oral untuk penggagal serangan migren berefek lambatpada satu jam sejak minum obat karena keterlibatan simpatis dan parasimpatis dalam penyerapan obat di lambung sehingga perlu dipikirkan terapi bagi pasien.

Penelitian dalam bidang terapi farmakologis migren meliputi intervensi beberapa sistem yang terlibat dalam patofisiologi migren seperti Calcitonin Gene

Related Peptide (CGRP), sistem glutaminergik, serotonergik, dan endokanabinoid

(Arulmani U, 2004; Durham PL & Russo AF, 2003; Jochen FMF, Stanislav K, & Karl M, 2005; Juhasz G, 2003).

Terapi non-farmakologis untuk migren sampai sekarang belum ada yang mencapai tingkatan terapi berbasis bukti (level evidence) yang tinggi. Penelitian

dalam hal terapi non-farmakologis pada migren menekankan peranan analgetik alami di dalam otak yang dikenal sebagai endokanabinoid. Intervensi sistem endokanabinoid selain dilakukan dengan cara farmakologis, dilakukan pula dengan cara non-farmakologis. Intervensi non-farmakologis memungkinkan untuk memperkecil risiko morbiditas atau mortalitas pada subjek penelitian. Endokanabinoid telah diketahui dapat menekan proses inflamasi pada ganglion trigeminal dengan cara menurunkan aktivitas CGRP dan serotonin (Greco R,

2010) Pada pasien migren diketahui terjadi defisiensi endokanabinoid (Russo EB, 2004).

Penelitian menggunakan rangsangan elektrik berdasarkan fakta bahwa NO adalah modulator berbagai neurotransmiter dan analgetik alami di dalam otak, termasuk endokanabinoid, melalui perangsangan serabut saraf konduksi cepat tipe II dan III, terkait aktivitas serebelum saat terjadi muscle twitch (El Manira A &

Kyriakatos A, 2010.; Yang G, Iadecola C, & Faraci FM, 1998). Dalam sepuluh tahun terakhir diketahui bahwa serebelum tidak hanya berfungsi untuk keseimbangan, tetapi telah dibuktikan bahwa perangsangan muskulus abductor policis brevis dengan rangsang elektrik 4 Hz dan panjang gelombang 0,2 mdetik dapat mengaktifkan serabut climbing serebelum (Hashimoto I, Kimura K, &

Tanosaki M, 2003). Telah dibuktikan pada tikus di mana serabut climbing

serebelum dapat diaktifkan melalui rangsang elektrik diikuti dengan vasodilatasi pembuluh darah di sekitar serebelum akibat nNOS yang aktif kemudian diikuti peningkatan kadar NO yang masuk ke dalam pembuluh darah (Yang G, Chen G, Ebner T, & Iadecola C, 1999). Telah diketahui bahwa serebelum merupakan sumber penghasil nNOS terbanyak di otak (Hashimoto I, 2003; Linden D, Dawson T, & Dawson V, 1995;Yang G, 1999). Telah diketahui pula bahwa melalui proses motor learning, serabut-serabut serebelum yang aktif merupakan

modulator nyeri (Moulton EA, Schmahmann DJ, Becerra L, & Borsook D, 2010; Saab CY & Willis WD, 2003).

Berdasarkan studi Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)

depression dan memengaruhitalamus melalui sirkulasi posterior (sistem

vertebrobasilar) (Vincent M, 2007). Berdasarkan temuan tersebut, terdapat kemungkinan peran NO endogen dalam menghambat proses cortical spreading

depression sehingga serangan migren dapat dihambat. Peningkatan kadar

endokanabinoid pada pasien migren melalui peningkatan kadar NO endogen yang berasal dari nNOS yang disekresi secara sinergis pada proses long-term

depression (LTD) diharapkan dapat menekan aktivitas CGRP. Telah diketahui,

bahwa modulasi nyeri dapat dilakukan melalui aktivasi serabut-serabut serebelum. (Moulton EA, 2010; Saab CY & Willis WD, 2003). Fakta di atas merupakan dasar pemikiran yang berusaha membuktikan bahwa perangsangan elektrik dapat digunakan sebagai salah satu terapi penggagal serangan dalam serangan migren.