• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terapi Migren Non-Farmakologis

Bab III Kerangka Konseptual dan Hipotesis

IHS code

2.10 Terapi Migren Non-Farmakologis

Terapi non-farmakologis mempunyai beberapa kelebihan yaitu sebagai berikut:

1. Tidak mempunyai efek samping pada organ-organ tubuh manusia bila digunakan dalam jangka waktu lama. Terapi farmakologis sangat membebani fungsi hati dan ginjal terutama pada pasien lanjut usia. 2. Tidak mempunyai efek samping seperti mengantuk, gangguan

keseimbangan, iritasi lambung, toleransi, dan overuse headache.

3. Relatif lebih murah jika dibandingkan dengan terapi farmakologis. 4. Beberapa terapi farmakologis dilakukan dengan cara yang menyakitkan

misalnya berupa tindakan penyuntikan.

5. Khasiatnya dapat dirasakan lebih cepat atau langsung dirasakan, sedangkan terapi farmakologis oral memerlukan waktu lebih lama karena harus melalui proses penyerapan yang lambat akibat gangguan sistem simpatis saat serangan migren.

Terapi non-farmakologis memiliki beberapa kekurangan yaitu sebagai berikut.

1. Belum ada yang memiliki level evidence tinggi.

2. Meditasi dan Taichi memerlukan waktu khusus yang relatif lama (4 minggu) untuk mencapai tahap mahir, dengan studi yang terbatas (Evers S, 2004; Janke E, 2004).

Hal-hal di atas menjadi dasar dalam mencari terapi migren yang:

1. tidak membebani fungsi ginjal dan hati bila digunakan dalam jangka waktu lama;

2. tidak menimbulkan efek samping seperti mengantuk, gangguan keseimbangan, dan mulut kering;

3. tidak invasif sehingga pasien nyaman saat dilakukan terapi; 4. pasien dapat merasakan khasiat terapi dalam waktu singkat;

5. mudah dikerjakan di sarana-sarana kesehatan di seluruh pelosok Indonesia;

6. biaya pemeliharaan alat dan daya beli masyarakat terhadap jasa terapi relatif terjangkau.

Secara umum, dalam terapi nyeri yang menggunakan stimulasi elektrik para peneliti menggunakan metode yang berbeda-beda dalam hal penempelan elektrode. Beberapa peneliti meletakkan elektrode stimulasi pada tempat yang dirasakan nyeri, seperti yang dilakukan oleh Abelson (1983), Al-Smadi (2003), Hsueh (1997), Koke (2004), Mannheimer (1997), Oosterhof (2006), Taylor (1981), Vinterberg (1978), dan Warke (2006). Peneliti lain yang tidak meletakkan elektrode berdasarkan tempat yang dirasakan nyeri adalah Moore (1997) dan Nash (1990). Peneliti lain yang meletakkan elektrode pada trigger point yaitu Cheing

(2003), Ng (2003), Moystad (1990), Smith (1983), dan Thorsteinson (1978). Beberapa orang peneliti meletakkan elektrode Transcutaneous Electrical Nerve

Stimulation (TENS) pada pasien migren di permukaan kulit di atas muskulus

Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation tidak banyak merangsang

serabut saraf yang menghantarkan impuls proprioseptik sehingga berbeda dengan Neuromuscular Electrical Stmulation (NMES) (Thornton M, Mendel F, & Fish D,

April 1998; Tidball J, Lavergne E, Lau K, Spencer M, & Stull J, 1998). Neuromuscular Electrical Stmulation adalah alat stimulasi voltage rendah yang

menimbulkan kontraksi dan relaksasi otot, digunakan dalam usaha mengobati berbagai macam penyakit muskuloskeletal dan kondisi vaskular yang digunakan untuk terapi disuse atrophy selama saraf masih utuh menginervasi otot.

Neuromuscular Electrical Stmulation menggunakan banyak channel,

menstimulasi saraf motorik yang berakibat kontraksi dan relaksasi (Baldwin E, Klakowicz P, & Collins D, 2006; Carmick, August 1993; Gavin T, Spector D, Wagner H, Breen E, & Wagner P, 2000; Man O, Morrissey M, & Cywinski J, 2007; Onambele G, 2006.). Eksitabilitas saraf dan otot telah menjadi dasar penggunaan terapi elektrostimulasi. Saraf perifer terdiri atas akson group I (A)

atau alpha aferen yang bersifat mekanoreseptor. Serabut akson termoreseptor dan nosiseptor dikenal dengan A delta dan C. Ketika elektro stimulasi dilakukan maka serabut-serabut motorik turut teraktifkan, bila rangsangan cukup lama maka akan timbul sedikit rasa gatal karena serabut C juga sedikit aktif (Brizzi L, 2002; Dean J, Yates L, & Collins D, 2007; Georgiev D, 2004; Gregory J, Rockett C, Morgan D, Whitehead N, & Proske U, 2001; Thornton M, April 1998; Tidball J, 1998).

Terdapat variasi gelombang-gelombang pada alat elekrostimulasi yaitu: 1. asimetris bifasik rektangular dan

Kedua jenis gelombang memungkinkan sejumlah aliran yang dihantarkan tidak menimbulkan efek elektrokimia yang tidak diinginkan dan iritasi kulit (Ghoname E, Craig W, & White P, 1999; Petrofsky J, 2007). Gelombang rektangular mempunyai ciri bentuk cepat meningkat, plato datar pada puncak, dan cepat kembali ke titik nol (semula). Intensitas atau amplitudo diukur berdasarkan tinggi gelombang dari titik isoelektris. Sewaktu amplitudo meningkat, maka meningkat pula jumlah motor unit yang mengalami recruitment, sehingga

meningkat pula kekuatan otot. Sebagian besar alat NMES mempunyai fase durasi tetap antara 0,2–0,4 mdetik (Petrofsky J, 2007; Trimble M & Enoka R, 1991).

Sampai sekarang, NMES hanya digunakan untuk hal berikut. 1. Terapi disuseatrophy (Baldwin E, 2006; Dean J, 2007)

2. Memelihara dan meningkatkan range of movement (Dean J, 2007)

3. Reduksi otot dan fasilitasi (Dean J, 2007)

4. Managemen spastisitas (Baldwin E, 2006; Carmick J, August 1993) 5. Peningkatan recruitment motor pada otot sehat (Baldwin E, 2006;

Carmick J, August 1993; Powell J, Pandyan A, Granat M, & Cameron M, 1999).

Pada terapi di atas, elektrode diletakkan pada otot yang diterapi.

Akhir-akhir ini mulai terdapat bukti bahwa NMES juga dapat menimbulkan efek penghilang nyeri. Sebagai metode yang invasif, Percutaneous

Neuromuscular Electrical Stimulation (P-NMES) digunakan sebagai terapi pasien

nyeri bahu kronik dengan cara meletakkan elektrode pada salah satu otot bahu secara invasif yang menunjukkan perbaikan klinis berupa hilangnya nyeri. Belum

ada mekanisme yang dapat menjelaskan peran NMES dalam menghilangkan nyeri (Roosink M, Renzenbrink GJ, & Buitenweg JR , 2007; Yu DT, Chae J, Walker ME, & Fang ZP, 2001 ).

Penggunaan NMES pada aplikasi klinis menggunakan beberapa metode seperti berikut:

1. Metode konvensional stimulus pendek (50–400 mdetik) dengan frekuensi konstan (15–40 Hz) (Baldwin E , 2006; Trimble M & Enoka R, 1991).

2. Metode Wide Pulse Stimulation (WPS) dengan frekuensi 100Hz

(Baldwin E, 2006; Dean J, 2007; Trimble M & Enoka R, 1991).

Tujuan aplikasi praktis dengan menggunakan dua macam cara di atas adalah untuk terapi dengan mekanisme pada tingkat perifer bukan tingkat sentral.

Berdasarkan studi yang dilakukan Isao Hashimoto, dibuktikan bahwa frekuensi 4 Hz dan lebar gelombang 0,2 mdetik dapat merangsang serabut serebelum untuk meningkatkan aktivitas serabut climbing serebelum yang

berkaitan dengan aktivitas NOS (Yang G , 1999). Berdasarkan penelitian NMES mempunyai peluang untuk digunakan sebagai terapi migren dengan mengaktifkan hubungan perifer-sentral dengan fokus pada serebelum sebagai sumber NO terbesar dalam otak (Dean J, 2007).

Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) adalah alat yang

digunakan untuk terapi nyeri dalam praktik terutama untuk nyeri pinggang bawah. Penggunaan TENS dalam terapi migren dilakukan dengan cara menempelkan elektrode di atas kulit pada otot yang tegang. Transcutaneous Electrical Nerve

Stimulation terdiri atas generator stimulus elektrik yang mentransmisikan impuls

dengan bermacam-macam konfigurasi yang bertujuan untuk tata laksana terapi nyeri (White P, Fanzca, & Craig W , 2000; White P, Fanzca, Li S, & Chiu J, 2001). Mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun dipostulasikan bahwa impuls elektrik memblok transmisi serabut saraf nyeri melalui perangsangan serabut saraf (yang berukuran lebih besar dibandingkan serabut tipe IV atau A- delta) atau menstimulasi penglepasan endorfin atau serotonin (suatu substansi endogen yang dapat mengurangi persepsi nyeri) (Salamon E, 2006; Zuim P, Garcia A, Turcio K, & Hamata M, 2006). Pada terapi non-invasif migren, TENS menduduki tingkat III berdasarkan tingkatan dalam terapi berbasis bukti. Belum ada penelitian yang bersifat meta-analisis dalam hal efektivitas terapi migren menggunakan TENS (Nnoaham KE & Kumbang J, 2008).

Suatu penelitian menunjukkan bahwa pada pasien Chronic Obstructive

Pulmonary Disease (COPD) yang mengalami penurunan kadar NO ekshalasi

endogen setelah dilakukan latihan dalam hal strength dengan menggunakan alat

NMES terjadi peningkatan kadar NO ekshalasi endogen disertai perbaikan klinis COPD dengan mekanisme yang belum jelas (Rochester, 2003).

Beberapa penelitian pada manusia, stimulasi elektrik digunakan pada terapi migren kronik dengan mekanisme yang belum jelas (Evers S, 2004). Matharu MBD dan kawan-kawan melakukan stimulasi elektrik sub-oksipital pada pasien migren kronik (Matharu M, Weiner R, & Goadsby PJ, 2004).

BAB III