• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terapi Migren Farmakologis

Bab III Kerangka Konseptual dan Hipotesis

IHS code

2.9 Terapi Migren Farmakologis

Efisiensi terapi migren tergantung pada diagnosis yang tepat pada pasien secara individual, faktor pencetus migren seperti hormonal, dan frekuensi serangan. Farmakoterapi pada migren terdiri atas terapi keadaan akut dan terapi preventif (Franjo G, 2004). Terapi migren akut meliputi Non Steroidal Anti

Inflamatory Drug (NSAID) dikenal mempunyai efek anti-inflamasi, analgetik,

dan antipiretik yang menghambat sintesis prostaglandin sebagai penyebab nyeri utama. Meskipun prostaglandin mempunyai efek vasodilatasi, tetapi prostaglandin 2α tidak menyebabkan migren ketika diberikan secara infus kepada manusia. Ibuprofen dan indometasin menghilangkan aktivasi nosiseptik hipotalamus. Asam

salisilat adalah salah satu terapi untuk nyeri karena bersifat inhibisi terhadap siklooksigenase (Franjo G, 2004; Gupta Saurabh, 2006).

Ergot Alkaloid adalah terapi yang tepat pada serangan migren akut, jenis yang sering digunakan adalah dihidroergotamin (DHE). Ergotamin dan DHE bersifat vasokonstriktor yang terikat pada reseptor 5-HT1A, 5-HT1B, 5-HT1D, 5-

HT1E, 5-HT1F, 5-HT2, α1 dan α2 adrenoreseptor, serta reseptor D2 dopamin.Ergot

terlihat dalam area yang luas pada patofisiologi migren dan menghambat nosiseptik trigeminovaskular di Trigeminal Cervical Complex (TCC) (Franjo G,

2004; Gupta Saurabh, 2006;Juhasz G, 2003).

Triptan adalah agonis 5-hidroksitriptamin (5-HT; serotonin) dengan afinitas yang tinggi terthadap 5-HT1B-1D. Sebagian besar kelompok triptan menunjukkan

ikatan yang kuat terhadap 5-HT1F, misalnya sumatriptan dan 5-HT1A reseptor

(Bolay H , 2002; Franjo G, 2004; Geoffrey B, 2006). Triptan menjadi basis observasi keterlibatan serotonin dalam patofisiologi migren. Terdapat peningkatan 5-hidroksiendolasetilasid yang merupakan metabolit utama serotonin dalam urin pada pasien selama serangan migren (Bolay H, 2002; Franjo G, 2004; Juhasz G, 2003). Terjadi penurunan platelet 5-HT pada migren (Bolay H, 2002; Franjo G, 2004). Pemberian 5-HT intravena dapat menggagalkan (penggagal serangan) serangan migren (Bolay H, 2002; Franjo G, 2004; Juhasz G, 2003). Triptan adalah prekursor yang mirip dengan aksi serotonin tanpa efek samping. Triptan sangat efektif untuk penggagal serangan migren, tidak hanya mengobati nyeri kepala, namun juga menghilangkan gejala mual, muntah, fonofobi, dan fotofobi yang berkaitan dengan migren (Franjo G, 2004). Triptan sangat efektif untuk mengobati

serangan migren dengan aura dan tanpa aura, namun bila diminum selama terjadi serangan aura kurang efektif (Burstein R, 1998; Franjo G, 2004). Triptan mempunyai efek memodulasi nyeri sepanjang jaras nosiseptik trigeminovaskular. Pencegahan serangan migren dengan terapi preventif untuk mengurangi frekuensi dan beratnya serangan migren direkomendasikan jika:

1. terjadi serangan migren lebih dari 2 atau 3 kali per bulan, 2. serangan berat dan mengganggu aktivitas normal,

3. terapi akut telah gagal atau menimbulkan efek samping,

4. pasien sudah tidak dapat mengatasi beratnya serangan serta seringnya frekuensi serangan (Burstein R, 1998; Franjo G, 2004).

Cara kerja terapi pencegahan masih belum jelas, kemungkinan memodulasi sensitivitas otak yang terlibat selama serangan migren. Untuk pencegahan serangan digunakan antagonis β adrenergik reseptor seperti propranolol, antagonis serotonin yaitu pizotifen (Bolay H, 2002; Burstein R, 1998;Franjo G, 2004).

Observasi preklinis menunjukkan bahwa reseptor kainat terlibat di dalam sistem trigeminovaskular.Glutamat berperan dalam hal aktivasi sistem trigeminovaskular, sensitisasi sentral, dan CSD. Observasi preklinis dan klinis menunjukkan hubungan yang erat antara sistem glutaminergik dan reseptor kainat sehingga menjadi target terapi di masadatang (Andreou Anna, 2008).

Reseptor kainat terdapat pada struktur ascending dalam jaras nyeri.

Modulasi reseptor kainat mempengaruhi proses nosiseptik pada tingkat ganglia trigeminal dan talamus. Modulasi kainat membuka suatu peluang terapi di masa

depan yang bersifat neuronal, non-vaskular, dan serotonergik pada terapi migren (Andreou Anna, 2008).

Jalur serotonergik adalah suatu jalur yang terlibat dalam patogenesis dan terapi migren. Dalam beberapa hal terdapat tumpang tindih dengan mekanisme kanabinoid. THC menstimulasi sintesis, menghambat pengambilan kembali sinaptosomal, mendorong terjadinya penglepasan 5-HT. Arakidonil Etanolamid Anandamid (AEA) dan agonis CB1 menghambat serotonin tipe 3 (5-HT3) pada

tikus dan terlibat dalam respons nyeri serta muntah. Arakidonil Etanolamid Anandamid meningkatkan potensiasi reseptor 5-HT1A dan 5-HT2A.

Endokanabinoid yang lain adalah 2-arakidonilgliserol (2-AG) menghambat 5- HT2A. THC dan kanabinoid menghambat sintesis prostaglandin E-2. Merokok

kanabis menunjukkan potensi oral sebagai antiinflamasi 20 kali dibandingkan aspirin serta dua kali dibandingkan hidrokortison dan kanabidiol (CBD). Dalam susunan saraf pusat, β-endorpin berkurang selama serangan migren tetapi THC pada eksperimental dapat meningkatkan β-endorpin.

Neurokimia migren sangat kompleks dan berkaitan dengan mekanisme kanabinoid yang akhir-akhir ini telah lebih mendalam diteliti (Dubravka D, Ecaterina B, & Maria M, 2007; Greco R , 2010;Russo EB, 2004). Anandamid dosis tinggi menurunkan serotonin dan ketanserin (5-HT2A antagonis). Observasi

menunjukkan efektivitas terapi kanabinoid terhadap serangan migren akut (Juhasz G, 2003; Pacher P, 2006; Russo EB, 2004). Terdapat mekanisme anti estimasi inflamasi yang disebabkan kanabis. THC dan kanabinoid menghambat sintesis prostaglandin E-2 (Granta I & Cahnb B, 2005; Juhasz G, 2003; Pacher P, 2006).

THC memblok konversi arakidonat menjadi metabolit siklooksigenase dan menstimulasi lipooksigenase serta menurunkan inflamasi. Kadar CNS beta- endorfin menurun selama serangan migren dan THC secara eksperimental meningkatkan kadar beta-endorfin (Granta I & Cahnb B, 2005; Juhasz G, 2003; Pacher P, 2006).

Sistem trigeminovaskular dalam migren berkaitan dengan NMDA-glutamat. Kanabinoid agonis menghambat kanal kalsium dan mengaktifkan kanal kalium sehingga terjadi penghambatan penglepasan glutamat. THC menunjukkan modulasi transmisi glutamat. Antagonis NMDA menunjukkan efektivitas pengurangan hiperalgesia pada migren (Granta I & Cahnb B, 2005; Juhasz G, 2003; Pacher P , 2006).

Dalam kaitannya dengan peningkatan kadar endokanabinoid di bidang terapi menggunakan aliran listrik, dilakukan beberapa penelitian dalam terapi migren namun belum dapat dijelaskan kaitannya terhadap endokanabinoid secara jelas (B. Taylor, 2004; Durham PL & Russo AF, 2003; Granta I & Cahnb B, 2005; Juhasz G, 2003; Pacher P, 2006; Wang & Bakhai, 2006). Reseptor kanabinoid sentral memodulasi sinyal nyeri. Reseptor endokanabinoid adalah CB 1 dan CB 2. Reseptor CB 1 terdapat pada medula oblongata rostral ventromedial, area kelabu periakuaduktus, dan korda spinalis. Reseptor CB 2 terutama terdapat pada sistem imun, yaitu limpa, tonsil, monosit, sel B, dan sel T. Endokanabinoid yang banyak dihasilkan di serebelum dan amigdala bagian lateral merupakan analgetik kuat (Di Marzo V, 2009; Dubravka D, 2007; Mackie K & Stella N, 2006; Salamon E, Esch T, & Stefano G, 2006).

Gambar 2.6 Hubungan antara Endokanabinoid dan CGRP dalam Terapi Migren (Greco R, 2010).

Penelitian menunjukkan peran endokanabinoid dalam menghilangkan nyeri kepala. Studi elektrofisiologi dan neurokimia menunjukkan bahwa endokanabinoid menekan transmisi nosiseptif in vivo. Nitrit Oksida menunjukkan aktivitas sebagai modulator endokanabinoid. Penelitian menggunakan inhibitor NOS menunjukkan penurunan kadar NO dan diikuti dengan penurunan aktivitas

Jalur/efek Struktur

Sistem Endokanabinoid

Otak Pembuluh Darah

Batang otak Aktivasi↓ NF-kB Hipotalamus Penglepasan glutamat menurun Area kelabu periakuaduktus Ekspresi proenkefalin meningkat Sistem trigeminovas kular Penurunan penglepasan substansi P dan CGRP, penurunan aktivasi siklooksigense, penurunan sintesis PGE-2 Platelet Penurunan penglepasan serotonin, penurunan agregasi, penurunan reseptor 5-HT2A

ndokanabinoid (Evans GJO, 2007; Garthwaite J, 2008; Motulsky, 2010;Salamon E, 2006).

Gambar 2.7 Endokanabinoid Disekresi pada Proses Motor Learning Saat Terjadi LTD (El Manira A & Kyriakatos A, 2010.)

Penelitian di atas membuktikan bahwa perangsangan elektrik pada otot merupakan proses motor learning dalam hal menekan sinyal error sehingga tidak

muncul gerakan refleks motorik yang tidak efektif. Proses terjadi pada serabut- serabut serebelum berupa peningkatan sekresi NO pada serabut climbing

serebelum selama proses LTD. Peningkatan sekresi NO diikuti peningkatan sekresi endokanabinoid oleh serabut climbing dengan efek yang mendukung

penekanan sinyal error (LTD) saat terjadi motor learning, yang dikenal dengan

mekanisme sinergis (Evans GJO, 2007; Garthwaite J, 2008; Hashimoto I, 2003; Richard A & Garwicz M, 2005). Motor learning adalah aktivitas mempelajari

gerakan termasuk dalam hal menekan refleks yang tidak perlu saat terjadi stimulasi yang menimbulkan nyeri (Hashimoto I, 2003; Richard A & Garwicz M, 2005; Schmahmann D, 2003; Shin J & Linden D, 2005; Vincent S, 1996). Long

Dalam 10 tahun terakhir serebelum telah diketahui berperan dalam proses modulasi nyeri. Serebelum mengendalikan sinyal error dengan cara mengurangi

sinyal error, yang dikenal dengan proses LTD (Long-term depression). Long-term

Depression berdasarkan pengamatan in vivo terjadi selama 30 menit, dua atau tiga

jam. Sistem sensoris mendeteksi stimulus nyeri, dengan akibat terjadi gerakan refleks yang salah. Mekanisme yang terjadi dalam serebelum merupakan mekanisme adaptasi, sebagai respon terhadap nyeri yang terjadi. Bersamaan dengan proses pengolahan sinyal error juga terjadi proses pengendalian nyeri

melalui hubungan antara serebelum dengan pengendali nyeri pada batang otak. Telah diketahui, serebelum dapat memodifikasi kadar dan kecepatan penghancuran katekolamin di dalam otak (Saab CY & Willis WD, 2003).

Almeida dan kawan-kawan melaporkan bahwa neuron di dalam serebelum mempunyai proyeksi menuju medula dorsalis retikularis. Nukleus ini merupakan perantara transmisi sinyal nyeri (Saab CY & Willis WD, 2003). Lesi pada serebelum menurunkan terjadinya refleks menarik diri terhadap nyeri. Berdasarkan observasi terdapat fakta bahwa studi pencitraan dalam hal serebelum terkait respon motorik terhadap nyeri di lakukan oleh Boly dan kawan-kawan (1999) dan Luft (1998). Halmes menemukan bahwa serebelum terkait dengan proses nyeri (2010). Manipulasi pasif yang dilakukan oleh Jueptner dan Weiller (1998) pada posisi anggota gerak menunjukkan terjadi aktivasi serebelum yang mirip dengan gerakan volunter (Moulton EA, 2010).