• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komisaris Politik

DESKRIPSI LOKASI ACEH TAMIANG

6 Kota Kualasimpang 9.048 8.982 18.030

1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Partai politik (Parpol) adalah wadah bagi warga negara untuk menyalurkan aspirasi politiknya secara konstitusional. Hal ini merupakan perwujudan dari azas demokrasi yang dianut negara-negara yang menerapkan sistem demokrasi dalam menjalankan dan melaksanakan roda pemerintahannya. Keberadaan Parpol sebagai salah satu sendi dalam Negara Demokrasi, seperti Indonesia, merupakan sesuatu yang mutlak dan cukup penting untuk mengelola hak dan kewajiban setiap warga negara.

Parpol merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Sebagai lembaga politik, partai bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada. Kelahirannya mempunyai sejarah cukup panjang, meskipun juga belum cukup tua. Bisa dikatakan Parpol merupakan organisasi yang baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan dengan organisasi negara (Budiardjo, 2008: 397).

Dalam konteks Demokrasi di Republik Indonesia, selain Parpol yang bersifat Nasional saat ini, 2014, seperti Partai Golkar, Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan dan Pembangunan Indonesia (PKPI) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), juga ikut berpartisipasi Partai Lokal (Parlok), yang berasal dari Provinsi Aceh dalam setiap Pemilihan Umum (PEMILU)

14

baik itu Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bahkan Pemilihan Presiden (Pilpres).

Eksistensi Parlok Aceh ini diakui secara resmi dan sah, sejalan dengan penandatangan MoU (Memorandum of Understanding) Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di ibukota Finladia, yaitu Helsinki. Penandatangan bersejarah ini, menjadi titik awal berdirinya Parlok di Provinsi Aceh sebagai perwujudan diberikannya kewenangan untuk hidup mandiri, terutama di bidang kehidupan berpolitik. Dari sisi Politik, kewenangan untuk mendirikan Parlok Aceh tercantum dalam MoU yang berbunyi antara lain:

Poin 1.2.1. sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak

penandatangan nota kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akanmemfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan nota kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan DPR.Pelaksanaan kesepahaman ini yang tepat akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut.

Sebagai bentuk pengaturan lebih lanjut, diperlukan peraturan yang sifatnya lebih teknis untuk operasional. Demi keperluan ini kemudian lahir PP Nomor 22 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Peraturan mengenai Parlok ini sebenarnya merupakan tindak lanjut dari penandatangan MoU antara Pemerintah RI dengan GAM di Helsinki, Finlandia tanggal 15 Agustus 2005 (Arifin, 2011: 58).

Seiring dengan lahirnya PP Nomor 22 tahun 2007 tersebut, muncul hiphoria politik pada masyarakat Aceh. Ini ditandai dengan mendaftarnya 14 Parlok ke Kanwil Departemen Hukum dan Hak Azazi Manusia di Banda Aceh, yaitu: 1.Partai Rakyat Aceh (PRA) 2.Partai Darussalam (PD) 3.Partai Pemersatu Muslimin Aceh (PPMA)

15

4.Partai Daulat Atjeh (PDA) 5.Partai Lokal Aceh (PLA) 6.Partai Aceh Meudaulat (PAM) 7.Partai Aliansi Rakyat Aceh (PARA) 8.Partai Gerakan Aceh Merdeka (PGAM) 9.Partai Suara Independen Rakyat Aceh (PSIRA) 10.Partai Bersatu Atjeh (PBA) 11.Partai Aceh Aman Seujahtera (PAAS) 12.Partai Generasi Atjeh Beusaboh dan Taqwa (GABTHAT). Sedangkan dua Parlok dinyatakan gugur adalah Partai Serambi Persada Nusantara dan Partai Nahdhatul Ummah Aceh (lihat Arifin, 2011: 92).

Kemudian setelah lolos verifikasi administrasi, ke-12 Parlok ini akan diverifikasi lagi secara faktual oleh Komisi Independen Pemilu (KIP) – sebutan untuk Komisi Pemilihan Umum di Aceh. Setelah verifikasi faktual yang lolos tinggal 6 Parlok saja, diantaranya adalah: 1.Partai Rakyat Aceh 2. Partai Daulat Atjeh 3.Partai Suara Independen Rakyat Aceh 4.Partai Gerakan Aceh Mandiri, yang awalnya bernama Partai Gerakan Aceh Merdeka dan akhirnya berubah jadi Partai Aceh 5.Partai Bersatu Atjeh 6. Partai Aceh Aman Seujahtera. Untuk Partai Aceh memang mengalami perubahan nama dan kepanjangannya, yang pertama Partai Gerakan Aceh Merdeka (PGAM) menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri. Kemudian karena suasana dan kondisi kurang kondusif mengingat nama GAM dicap oleh Pemerintah RI berbau separatis, maka kemudian berganti nama menjadi Partai Aceh (lihat Arifin 2011: 93-98).

Selanjutnya (dalam Arifin 2011: 100-101) disebutkan, kemenangan Partai Politik Lokal Aceh pada pemilihan legislatif 2009, berhasil merebut 33 kursi dari 69 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) atau menang 46,91 persen, unggul di 14 (dari 23 Kabupaten/Kota). Menurut para peneliti, keberadaan Partai Aceh dianggap sebagai wakil dari seluruh masyarakat Aceh. Faktor kemenangan Partai Aceh lainnya adalah karena, partai tersebut didukung infrastruktur yang cukup baik

16

dengan jaringan yang mengakar hingga ke grass root (akar rumput), menggunakan organisasi Komite Peralihan Aceh (KPA), yaitu sebuah organisasi yang menghimpun para mantan combatant atau pejuang GAM. Hal inilah yang membedakan Partai Aceh dengan Parlok lainnya.

Untuk wilayah Aceh Tamiang, Partai Aceh unggul dengan suara terbanyak 29.228 suara dari 12 Kecamatan yang ada di Aceh Tamiang. Walaupun tidak mendominasi suara secara mutlak, mengingat jumlah total suara 165.520 suara dengan perincian 83.031 suara laki-laki dan 82.489 suara perempuan, namun perolehan suara Parta Aceh terbanyak dibandingkan suara Partai Nasional (Parnas) maupun Parlok lainnya.

Akan tetapi untuk Pilkada Kabupaten Aceh Tamiang, Partai Aceh sebagai Parlok terkuat mengalami kekalahan dalam mengusung calon mereka menjadi Bupati Aceh Tamiang. Pilkada yang dilakukan pada tahun 2012 kemarin, Hamdan Sati sebagai Calon Bupati (Cabup) dari Partai Amanat Nasional(PAN), Partai Keadilan Sejahtra(PKS), Partai Bersatu Aceh(PBA), Partai Bintang Reformasi(PBR) menang dan memperoleh suara terbanyak. Tentu ini menjadi catatan tersendiri dan ketertarikan penulis untuk mengkaji mengapa Partai Aceh sampai mengalami kekalahan, padahal dalam Pileg 2009 dan 2014 mereka unggul dibandingkan suara dari partai lainnya, apakah itu dari Parnas dan Parlok. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan mereka kalah di wilayah yang nota bene adalah dalam kawasan teritorial Aceh. Apalagi Partai Aceh adalah partai lokal yang dianggap merupakan refresentatif masyarakat Aceh.

Selain itu, sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang.

Dokumen terkait