• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komisaris Politik

DESKRIPSI LOKASI ACEH TAMIANG

6 Kota Kualasimpang 9.048 8.982 18.030

1.2. Tinjauan Pustaka

Memang Aceh mempunyai hak istimewa sesuai dengan sejarah yang mereka ukir dalam mendukung Negara Kesatuan Rpublik Indonesia. Prestasi ini menjadikan posisi tawar daerah dengan julukan Serambi Mekah tersebut kuat di tingkat nasional terbukti dengan direstuinya Parlok hanya ada di Provinsi Aceh saja.

Dengan latar belakang masalah tersebut, penulis mencoba untuk melakukan penelitian lapangan guna mengungkapkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas sebagai suatu kajian dari disiplin ilmu Antropologi dengan metode etnografi dalam menguraikan persoalan-persoalan kegagalan Partai Aceh dalam Pilkada di Kabupaten Aceh Tamiang.

1.2. Tinjauan Pustaka

Secara etimologis kata partai dapat ditelusuri jejaknya dari bahasa Latin, yaitu

partire, yang bermakna “membagi” atau “memilah” atau juga bisa disejajarkan

dengan kata benda “part” dalam bahasa Inggris bermakna bagian. Apabila “part” dikembangkan menjadi kata kerja berubah jadi “to participate”, yang berarti turut ambil bagian. Dengan pengertian tersebut, partai bisa dipahami sebagai “bagian dari masyarakat yang turut ambil bagian dalam kegiatan bertujuan” (Damsar, 2012: 245).

Sementara itu, menurut Damsar ( 2012: 10) politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu polis yang berarti kota, negara kota. Dari polis berkembang konsep polites yang bermakna warga negara dan konsep politikos yang berarti kewarganegaraan. Dari penjelasan etimologis terebut maka dapat disimpulkan bahwa politik sebagai sesuatu yang berhubungan antara warga negara pada suatu (Negara) kota. Sedangkan akar katanya dari bahasa Inggris adalah politics, yang bermakna bijaksana. Kalau kita lanjutkan pemahaman etimologis dari dua akar kata dari bahasa yang berbeda tersebut, dari bahasa Inggris maupun Yunani, maka politik dapat dipahami sebagai

18

suatu proses dan sistem penentuan dan pelaksanaan kebijakan yang berkaitan dengan warga negara dalam negara (kota).

Menurut Damsar (2012: 245) jika disandingkan antara makna partai dan politik secara etimologis, maka partai politik dipahami sebagai bagian dari masyarakat yang turut ambil bagian dalam kegiatan bertujuan kekuasaan (power), kewenangan (authority), kehidupan publik (public life), pemerintahan (government), negara (state), konflik dan resolusi konflik (conflict danresolution conflict), kebijakan (policy), pengambilan keputusan (decision making), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).

Dalam bukunya Party and Party Systems: A Framework for Analysis, Sartori memberi pengertian partai politik sebagai “kelompok politik yang ikut serta dalam pemilihan umum, dan mampu menempatkan, melalui pemilihan umum, para calon untuk duduk dalam legislatif dan pemerintahan (dalam Damsar, 2012: 246).

Miriam Budiardjo dalam buku Demokrasi di Indonesia: Demokrasi

Parlementer dan Demokrasi Pancasila, membuat batasan partai politik sebagai

“suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai serta cita-cita yang sama, dan yang mempunyai tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan itu, melaksankan kebijakan-kebijakan mereka” (dalam Damsar, 2012: 246).

Dari pendapat dua ahli tersebut, Damsar (2012: 246) menyimpulkan bahwa partai politik adalah kelompok yang terorganisasi, ditandai dengan adanya visi, misi, tujuan, platform, program dan agenda, serta mengikuti pemilihan umum untuk meraih kekuasaan atau jabatan legislatif dan eksekutif.

19

Sejalan dengan itu, Balandier (1986: 234-235) mengatakan bahwa partai politik adalah alat utama modernisasi, karena sifatnya sebagai inisiatif elit modernis, karena organisasinya, yang memberinya kontak lebih erat dengan komunitas ketimbang yang dimiliki oleh administrasi, dan akhirnya, karena fungsi dan tujuannya, dalam berbagai bidang, menjadi kekuatan motivator di belakang pembangunan ekonomi.

Di Indonesia, sebuah istilah spesifik aliran, merujuk kepada berbagai tendensi sosial yang terjadi, yang harus disalurkan secara itu. Meskipun partai-partai mempergunakan berbagai perangkat modernitas yang nyata, berbagai media informasi massa dan persuasi, mereka telah dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan bahasa dan simbol tradisional, atas apa mereka berkeinginan untuk bertindak. Mereka terkena ketidakpastian kultural, pada masa awalnya, dan bahkan sering berkelanjutan setelah itu. Dengan menghidupkan kembali simbol-simbol lama dan efektif itu, mereka pun mengorganisir upacara-upacara kehidupan politik (terkadang memasukkan elemen-elemen ritusnya sekalian), untuk membuatnya menjadi suci, mereka pun memberi para pemimpinnya suatu wajah ganda, atau mencampurkan suatu kepribadian heroik atasnya (kalau perlu dengan menempatkannya pada urutan para pahlawan rakyat), dan akhirnya, mereka pun mempergunakan cara-cara tradisional untuk memaksakan keanggotaan partai, serta dalam membangun kewenangan para agen mereka (Balandier, 1986: 236).

Anggapan-anggapan di belakang struktur politik seperti itu oleh Mac Iver (1965) disebut “mitos masyarakat”. Ideologi “mitos”, itulah yang menyebabkan orang-orang mempercayainya tunduk kepada penguasa dan kepada beban yang diletakkannya serta peraturan permainannya. Inilah yang menyebabkan alat-alat pemerintahan dapat berjalan lancar (Claessen, 1987: 60).

20

Menurut sejarahnya, Parpol lahir pertama kali di Eropa Barat dari dua kekuatan, yakni dari parlemen dalam bentuk kelompok-kelompok elitis yang didirikan untuk mempertahankan kedudukan raja, dan yang kedua, dari Parpol yang lahir dari luar parlemen yang bersandar pada ideologi atau pandangan hidup tertentu, seperti Sosialisme, Kristen Demokrat, dan semacamnya. Dalam pada itu, di negara-negara jajahan pada umumnya Parpol dibentuk sebagai alat perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan (Cangara, 2009: 208).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2007, Bab I Pasal 1berbunyi: (1) Partai Politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok Warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum (2) Partai Politik Lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok Warga Negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, bangsa, dan negara melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)/Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK), Gubernur dan Wakil Gubernur, serta Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota (dalam Arifin, 2011: 60-61).

Dalam konteks Parlok ini, keberadaan Parlok di beberapa negara di dunia, ternyata telah lebih dahulu hadir jika dibandingkan dengan Indonesia. Latar belakang lahirnya Parlok itu pun berbeda-beda alasan terbentuknya antar satu negara dengan negara lainnya. Seperti di Republik Rakyat China tepatnya di Hongkong dan Tibet, Inggris Raya tepatnya di Skotlandia, Denmark tepatnya di Gugusan Kepulauan Faroe dan Greenland, Malaysia tepatnya di Sabah dan Serawak, Palestina, Papua New Guinea tepatnya di Bougainville di Kepulauan Melanesia, Kanada, khususnya di

21

Provinsi Quebec, Amerika Serikat yang terdapat di negara-negara bagian (state) dan Puerto Rico (Arifin, 2011: 72-83).

Hal menarik dan unik tentang Parpol ditemukan dalam perpolitikan di Negara Jiran Malaysia. Malaysia menganut sistem multi partai, dengan tekanan pada oposisi yang kuat dan jelas. Satu ciri khas dalam budaya politik Malaysia adalah dengan dibentuknya Partai Politik berdasarkan ras dan atau etnisitas, tergambar pada Partai UMNO yang berafiliasi pada Suku Melayu, MIC berafiliasi pada ras keturunan India dan MCA berafiliasi pada ras keturunan China. Ketiga Parpol ini, sekarang berada pada partai pemerintahan yang sedang berkuasa.. Dalam penelitian yang melibatkan peneliti dari 3 negara, yaitu Singapura, Malaysia dan Indonesia, ditemukan bahwa politik multikulturalisme tentang kewarganegaraan di ketiga negara tersebut, yang masyarakatnya bersifat majemuk bertumpu pada etnoreligius (lihat Hefner, 2007).

Politik identitas etnis juga mewarnai Indonesia tepatnya berada di Kota Pontianak, Provinsi Kalimanatan Barat. Dalam beberapa kasus, mengalami pergolakan yang cukup keras bahkan memicu aksi kekerasan. Ini terjadi pada tingkat kabupaten muncul beragam konflik.

Politik lokal di Kalimanatan Barat mennujukkan warna etnis yang sangat mencoclok sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Beberapa diantaranya membawa konflik, seperti kekerasan yang terjadi tahun 1997 dan 1999. Sejak pertengahan tahun 1990-an pertentangan telah berkembang antara dua kelompok etnis yang paling besar, Dayak dan Melayu dalam hal pengangkatan pejabat untuk posisi strategis. Ketegangan dalam kepentingan politis semakin meningkat di akhir pemerintahan Orde Baru, melibatkan gerakan massa yang kadang disertai dengan kekerasan. Walaupun demikian, etnisitas di Kalimantan Barat juga berlangsung dengan cara yang damai, terutama setelah tahun 2000. Namun, bisa dikatakan politik

22

“berbagi kekuasaan” antar etnis yang diterapkan di tingkat Kabupaten telah sukses menghilang pemicu kekerasan sehingga bisa mencegah terulangnya konflik yang terjadi pada tahun 1997 dan 1999 (Nordholt, 2014: 461).

Sepanjang sejarah Kalimantan Barat pasca kemerdekaan, kecuali selama Orde Baru, politik etnis identik dengan politik elite Dayak. Orang Dayak adalah satu-satunya segmen masyarakat Kalimantan Barat yang sering terlibat menggunakan sentimen etnis. Sebagian besar dari mereka menghendaki representasi lebih besar dalam birokrasi yang diakibatkan oleh sejarah panjang marjinalisasi terhadap mereka. Para elite Melayu lebih cenderung menghindari mobilisasi massa namun terlibat dalam politik internal birokrat, ketika mereka mempunyai pengaruh yang lebih baik. Akhir Orde Baru menyaksikan bangkitnya kembali politik etnis. Elite-elite Dayak, yang mulai menggugat rezim pada pertengahan tahun 1990-an, adalah pihak pertama yang memanfaatkan kesempatan yang disodorkan oleh reformasi di 1998. Lewat politik demonstrasi massanya, elite Dayak dan beberapa organisasi etnis mampu menekan pemerintah untuk memilih dua Bupati Dayak. Elite Melayu yang terancam oleh bangkitnya politik Dayak, akhirnya membentuk sebuah organisasi etnis pada tahun 1997. Setelah konflik antara orang Melayu dan Madura pada tahun 1999, orang Melayu mulai menjawab tantangan yang disodorkan oleh orang Dayak. (Nordholt, 2014: 489).

Identitas etnis akan terus memainkan peranan penting dalam politik Kalimantan Barat, tetapi dengan cara-cara yang lebih damai. Tren sejak tahun 1999 menunjukkan bahwa politisasi etnis yang tinggi antara orang Dayak dan Melayu tidak berakibat pada konflik etnis diantara mereka. Politik etnis yang sekarang dimainkan secara sadar baik oleh orang Dayak maupun Melayu tidak hanya berhasil mencegah

23

kekerasan etnis lebih jauh, tetapi juga menjadi bagian dari proses pembelajaran sipil dan demokratis di Kalimantan Barat ( Nordhotl, 2014: 490)

Boleh jadi politik identitas etnis, juga dialami dalam pertarungan Pilkada di Kabupaten Aceh Tamiang, mengingat Kota Kuala Simpang umumnya dan kecamatan-kecamatan yang ada dihuni oleh multi etnis. Dari pegamatan penulis, persentase etnis bersifat multi. Artinya tidak ada suku yang begitu dominan terutama dalam jumlahnya. Satu yang menjadi catatan penting bahwa memang Kabupaten Aceh Tamiang berbatasan langsung dengan Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Suku asli di Aceh Tamiang adalah Melayu Tamiang. Mereka secara etnis berkaitan dengan Suku Melayu di Kabupaten Langkat. Mereka hanya dipisahkan oleh batas administrasi saja.

Dokumen terkait