• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Proses pembelajaran membutuhkan kemampuan berpikir yang tinggi dan logis karena menggabungkan beberapa kegiatan belajar secara beriringan. Salah satu mata pelajaran yang menuntut kemampuan berpikir siswa secara logis adalah mata pelajaran Matematika (Susanto, 2013: 185). Mata pelajaran Matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang diajarkan di SD. Pada tingkat SD, mata pelajaran Matematika mencakup aspek bilangan, geometri dan pengukuran, serta pengolahan data. Dalam matematika, pembelajaran dimulai dengan pemecahan masalah dan menghubungkan gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lainnya (Departemen Pendidikan Nasional, 2008).

Siswa SD merupakan anak-anak yang berusia 7-12 tahun. Pada usia ini anak memiliki karakteristik tersendiri dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Menurut teori kognitif Jean Piaget anak usia 7-12 tahun berada pada tahap operasional konkret dan tahap awal operasi formal (Suparno, 2001:25). Pada tahap operasional konkret pemikiran anak sudah berdasarkan logika atau aturan logis tertentu. Anak sudah mampu memecahkan masalah dengan pemikiran yang

lebih teratur dan terarah menggunakan logikanya namun masih terbatas pada masalah konkret. Pada aspek afektif anak mulai mencari teman dan menyadari bahwa orang lain memiliki pemikiran yang lain. Aspek psikomotorik ditandai dengan kesukaan anak pada usia ini untuk melakukan aktivitas motorik. Berdasarkan uraian ketiga aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa anak pada usia 7-12 tahun memiliki karakteristik tersendiri. Berkaitan dengan masalah tersebut pentingnya menciptakan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik anak agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Undang-Undang (UU) Pendidikan nomor 20 tahun 2003 disebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Berdasarkan pasal tersebut dapat diartikan bahwa dalam pembelajaran perlu adanya komunikasi dua arah. Komunikasi tersebut dapat berlangsung antara siswa dengan guru, guru dengan siswa, dan siswa dengan siswa. Salah satu upaya yang dapat dilakukan guru untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan mengadakan dan memanfaatkan media pembelajaran yang menarik misalnya dengan menggunakan alat peraga.

Salah satu metode pembelajaran yang menggunakan alat peraga adalah metode Montessori. Metode Montessori merupakan sebuah metode pembelajaran yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh Montessori, seorang dokter wanita Italia yang memiliki keprihatinan khusus terhadap dunia anak-anak dan pendidikan. Metode ini menekankan pembelajaran yang berbasis sensorial. Anak memiliki kesempatan untuk berkembang secara alami sesuai dengan tuntunan dari lingkungannya. Dalam proses tersebut muncul motivasi intrinsik dari seorang

anak untuk bekerja yang mendukung terciptanya konsentrasi penuh dan kemampuan untuk menjadi tuan atas dirinya (Kahn, 2003:1).

Metode Montessori bukan menjadi hal yang baru dalam pendidikan di Indonesia. Belakangan ini beberapa sekolah di Indonesia mulai menerapkan metode ini seiring dengan banyaknya penelitian yang mengungkapkan keberhasilan metode tersebut. Sekolah Montessori yang pertama di Indonesia berdiri pada tahun 1986 yaitu Jakarta Montessori School. Sekolah Montessori lain yag berkembang saat ini adalah Bali Montessori School, Sekolah Montessori di Bandung, Batam, dan Yogyakarta sendiri. Meskipun demikian sampai saat ini penerapan metode Montessori di Indonesia masih sebatas pada sekolah-sekolah swasta yang berlabel mahal. Hal tersebut menjadi fenomena yang wajar karena alat-alat peraga Montessori belum diproduksi di Indonesia dan masih menggunakan bahan terstandar khusus. Awal sejarah metode ini bermula dari pelayanan pendidikan terhadap anak-anak pinggiran di Itali dan Montessori sendiri mengembangkan media pembelajaran berdasarkan hasil observasinya terhadap kesulitan belajar anak didiknya (Montessori, 2002:36). Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya media pembelajaran Montessori dapat dikembangkan sendiri sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh penyelenggara pendidikan.

Melihat begitu pentingnya penggunaan alat peraga seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, keberadaan dari alat peraga khususnya di Sekolah Dasar menjadi salah satu hal yang pokok. Alat peraga dapat diperoleh dari pemerintah maupun melalui usaha pengadaaan secara mandiri oleh sekolah. Bahkan guru

sebagai pendidik juga dapat membuat sendiri alat peraga yang hendak digunakan. Menurut Scriven (Gall, Gall, & Borg, 2007: 590-591) alat peraga dalam dunia pendidikan yang berguna sebagai alat bantu dalam pembelajaran seharusnya telah melewati serangkaian tahap uji coba secara ilmiah.

Berdasarkan sumber yang peneliti dapat dari hasil wawancara yang dilakukan dengan guru kelas II SD Kanisius Kumendaman Yogyakarta pada tanggal 18 Juli 2014, diperoleh informasi bahwa siswa di kelas II mengalami kesulitan dalam mata pelajaran matematika yang berkaitan dengan materi perkalian.

Hasil pengamatan saat siswa belajar di kelas yang dilakukan pada 27 Agustus 2014, peneliti menemukan penyebab kesulitan belajar yaitu kendala ketersedian media dan penggunaan media yang telah tersedia pun masih belum maksimal. Seringkali guru menggunakan jari untuk mengajarkan kepada anak mengenai perkalian. Alat peraga yang ada di kelas kebanyakan masih terbatas pada gambar- gambar dan dadu kecil-kecil yang tidak setiap saat dapat digunakan dalam pembelajaran. Pengadaan alat peraga yang mahal seringkali menjadi penyebab minimnya penggunaan alat peraga. Alat peraga yang digunakanpun lebih sering dibuat guru secara mandiri berdasarkan kebutuhan materi yang akan diajarkan. Diungkapkan oleh kepala sekolah bahwa alat peraga yang dibuat guru juga sebatas dibuat dan langsung digunakan tanpa melalui uji coba secara ilmiah terlebih dahulu. Kurang dari satu persen alat peraga di Amerika yang sudah diujicobakan terlebih dahulu di lapangan untuk mengetahui kualitasnya (Gall dkk, 2007: 589). Peneliti melihat kenyataan bahwa di Indonesia masih terbatas bukti

atau referensi yang menunjukkan penggunaan alat peraga yang telah melalui serangkaian tahap uji coba secara ilmiah untuk memastikan kualitasnya.

Penelitian pengembangan ini merupakan salah satu upaya untuk melakukan inovasi dalam pembelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab kebutuhan mengenai alat peraga yang telah teruji secara ilmiah. Penelitian ini memberikan sumbangan bagi dunia pendidikan yang berguna untuk mengembangkan produk alat peraga dan melakukan serangkaian uji coba untuk mengetahui kualitasnya.

Penelitian ini dibatasi pada pengembangan alat peraga matematika berbasis metode Montessori untuk materi perkalian bagi siswa kelas II SD. Peneliti mengambil SD Kanisius Kumendaman yang berlokasi di di Jl. MT Haryono nomor 17, Desa Mantrijeron, Kecamatan Suryodiningratan, Kabupaten Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,sebagai sampel uji coba lapangan terbatas. Materi pembelajaran matematika yang digunakan dibatasi pada Standar Kompetensi (KI) “3. Memahami pengetahuan faktualdengan cara mengamati (mendengar,melihat, membaca) dan menanyaberdasarkan rasa ingin tahu tentangdirinya, makhluk ciptaan Tuhan dankegiatannya, dan benda-benda yangdijumpainya di rumah dan di sekolah”, dengan Kompetensi Dasar (KD) “Mengenal operasi perkalian dan pembagian padabilangan asli yang hasilnya kurang dari 100 melalui kegiatan eksplorasi menggunakan benda konkrit”. Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran 2014/2015 yang terfokus pada mata pelajaran matematika materi perkalian yang hasilnya bilangan tiga angka. Tujuan pengembangan alat peraga ini adalah untuk memberikan

sumbangan ilmu terhadap pendidikan di Indonesia tentang pengembangan alat yang diuji secara ilmiah guna mengetahui kualitas alat peraga.

Dokumen terkait