• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang Penelitian

Dalam dokumen DATA PENGUJIAN UKBI TAHUN 2005--2017 (Halaman 107-111)

Peringkat VII: Terbatas (Skor 251—325)

Y: Itu salah satu tanda kamu telah bersikap positif terhadap bahasa Indonesia

II. Pembahasan

1. Latar Belakang Penelitian

99

PERANCANGAN APLIKASI FOG INDEKS UNTUK MENGUJI KETERBACAAN TEKS BERBAHASA INDONESIA

Tri Wahyu Retno Ningsih, Debyo Saptono

Universitas Gunadarma, Jl. Margonda Raya 100 Pondok Cina Depok twahyurn@gmail.com, debyosap@yahoo.com

Abstrak

Suatu teks dapat diukur melalui indikator keterbacaan teks.

Teks yang mempunyai tingkat keterbacaan tinggi adalah teks yang mudah dipahami. Pengukuran tingkat keterbacaan teks bertujuan agar keterbacaan teks dapat dianalisis dan diukur untuk menunjukkan kualitas teks. Teks yang layak dibaca adalah teks yang mampu memberikan gambaran dan kejelasan makna bagi pembaca. Keterbacaan teks sulit dicapai, bila pembaca sukar memahami bacaan tersebut.Penelitian ini bertujuan untuk merancang aplikasi atau perangkat lunak yang digunakan untuk mengukur keterbacaan teks berbahasa Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental berupa perancangan aplikasi tingkat keterbacaan teks atau readability test menggunakan bahasa pemrograman Phyton yang bersifat open source.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teks atau artikel ilmiah berbahasa Indonesia yang diuji mempunyai skor yang cenderung rendah, salah satunya adalah pengunaan kalimat yang terlalu panjang sehingga dapat mengaburkan makna kalimat.

Kata kunci: perancangan aplikasi, Fog Indeks, tingkat keterbacaan teks berbahasa Indonesia

100

Selain itu, hubungan antar gagasan terlihat jelas, rapi, dan sistematis. Tulisan ilmiah berorientasi terhadap kemampuan berbahasa yang mencerminkan kemampuan seorang individu yang dapat secara tepat mengungkapkan hasil berpikir logis dan gagasan yang disampaikan dapat diterima secara tepat oleh pembaca.

Membaca merupakan kegiatan seseorang dalam memahami satu konsep suatu teks. Sebuah teks dikatakan mempunyai tingkat keterbacaan yang baik, jika dapat dipahami oleh pembaca dengan mudah. Salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh penulis atau editor suatu media tulis adalah informasi yang dapat dipahami oleh pembaca. Hal tersebut penting karena pesan tidak akan sampai kalau si penerima pesan atau pembaca tidak dapat menangkap pesan itu dengan baik. Kemampuan seseorang dalam memahami bacaan dianggap merupakan persyaratan awal yang perlu dimiliki seseorang untuk menangkap dan pesan yang disampaikan melalui media tulis. Dalam kegiatan membaca, baeberapa kendala muncul karena faktor seorang pembaca sulit menangkap pesan dari bahan bacaannya. Berdasarkan penelitian sebelumnya, bahan bacaan yang telah tersedia sering sulit dipahami karena bahasa yang dipergunakan tidak jelas fungsi gramatikalnya atau terlalu panjang sehingga menyebabkan rendahnya keterbacaan teks.

Berbagai masalah belajar dapat timbul diakibatkan tingkat keterbacaan buku teks atau artikel yang rendah karena mahasiswa mengalami kesulitan untuk memahami isi bahan bacaan tersebut. Dalam hal ini, keterbacaan menjadi faktor penting yang harus lebih diperhatikan oleh penulis pada saat menyusun buku teks. Selain penulis, yang patut memperhatikan tingkat keterbacaan adalah editor. Namun, seringkali masalah keterbacaan tersebut kurang mendapat perhatian. Kalaupun diperhatikan, mungkin pengukuran keterbacaan yang telah dilakukan kurang cermat atau tidak tepat.

Studi tentang peran bahasa sebagai alat komunikasi yang lebih baik muncul pada awal 1920-an. Salah satu studi penting yang dilakukan adalah menghitung tingkat keterbacaan (readability). Kegiatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi kualitas teks apakah teks tersebut dapat secara mudah dipahami oleh pembaca. Kegiatan mengidentifikasi kualitas teks telah dilakukan oleh Kintsch dan Miller (1984) yang menjelaskan bahwa seorang pembaca harus dapat memahami teks yang dibacanya, dapat menjelaskan isi bacaan tersebut kepada orang lain, dan dapat membuat orang lain paham terhadap apa yang telah dijelaskan. Nutall (1982) juga mengatakan bahwa sebuah teks yang mempunyai tingkat keterbacaan tinggi yaitu bukan berdasarkan kosa kata saja, namun juga masalah gramatikal bahasa.

101

Nababan (1984) juga mengukur tingkat keterbacaan materi ujian dengan mendasarkan dua indikator, yaitu menghitung persentase jumlah kalimat kompleks yang terdapat dalam setiap teks dan jumlah rata-rata kata per kalimat menggunakan formula keterbatasan Rudolf Flesch. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa teks materi ujian Reading Comprehension mempunyai nilai keterbacaannya yang rendah dan tidak sesuai dengan tingkat kemampuan mahasiswa. Tompkins (1990) mengembangkan model proses dalam menulis dan dideskripsikan sebagai proses pemecahan masalah yang kompleks. Proses menulis ini mengandung tiga elemen, yaitu lingkungan tugas, memori jangka panjang penulis, dan proses menulis.

Kemampuan menulis mahasiswa akan diukur dari beberapa aspek, yaitu kemampuan gramatikal, yang terdiri atas kosa kata, pembentukan kata dan kalimat, semantik linguistik, dan ejaan. Selain itu, kemampuan wacana digunakan untuk mengkombinasikan bentuk-bentuk makna untuk mencapai teks tulis yang utuh.

Dalam sebuah kalimat, dijelaskan bahwa kesederhanaan dan kerumitan susunan kalimat tampak dari jumlah klausa yang terdapat di dalamnya (Nababan, 1994). Kalimat yang padat mempunyai susunan yang rumit dan kepadatan rata-rata kata dalam kalimat itu turut menentukan keterbacaan sebuah teks. Oleh karena itu, salah satu cara untuk meningkatkan keterbacaan ialah membatasi panjang kalimat. Kalimat pendek lebih jelas dan lebih mudah dipahami maknanya dibandingkan dengan kalimat yang panjang. Penelitian tentang tingkat keterbacaan dijelaskan oleh Food dalam bukunya yang berjudul UnderstandingReading Comprehension, Cognition, Language and the Structure of Prose (1984), bahwa harus ada satu hubungan yang tercipta antara pembaca dan tulisan yang dibaca. Dale dan Chall (1984) menjelaskan bahwa keterbacaan dalam keseluruhan elemen yang terdapat pada teks, termasuk interaksi antara elemen-elemen tersebut. Suatu teks dikatakan baik apabila para pembaca dapat memahami dan mengerti apa yang dimaksudkan dalam teks tersebut. Sakri (1993), menyatakan bahwa tulisan yang tinggi keterbacaannya lebih mudah dipahami dibandingkan yang rendah keterbacaannya dan sebaliknya.

Beberapa indikasi kendala keterbacaan suatu teks disebutkan karena seringnya teks menggunakan kata yang bersifat khusus dan menggunakan kalimat yang panjang serta rumit sehingga menyulitkan pembaca untuk memahaminya. Kesulitan tersebut dapat diatasi jika sebuah teks menggunakan bahasa yang sederhana namun tingkat keterbacaannya tinggi.

Secara gramatikal, tingkat keterbacaan tidak hanya ditentukan oleh bahasa saja, akan tetapi juga ditentukan oleh tata huruf atau tipografinya. Richard

102

dkk. (1985), menjelaskan tentang unsur kesulitan kosa kata dan panjang kalimat sangat menentukan tingkat keterbacaan suatu teks.

Penelitian tentang keterbacaan yang telah dilakukan sejak permulaan tahun 1920-an, menghasilkan formula keterbacaan (readability formula). Chall (1984: 236) mengatakan lebih dari 50 formula keterbacaan telah dipublikasikan, seperti Spache (1974), Dale Chall (1948), Flesch (1948), Molaughlin (1969), Robert Gunning (1968) dan Fry (1968). Rumus-rumus keterbacaan tersebut menggambarkan kombinasi antara jumlah kata-kata sukar dan jumlah kalimat (Marjasujana, 1987). Dari beberapa formula keterbacaan yang telah dipublikasikan tiga formula masing-masing formula keterbacaan Dale dan Chall, Rudolf Flesch dan Robert Gunning merupakan formula-formula yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan surat kabar (Westley, 1953). Penelitian-penelitian di bidang keterbacaan bertujuan (1) untuk mengetahui mengapa teks mudah atau sulit dibaca dan dipahami, dan (2) bagaimana menciptakan kesesuaian antara kemampuan pembaca dan tingkat keterbacaan (Chall dalam Flood, 1984 : 236).

Banyaknya penelitian tentang keterbacaan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa keterbacaan menarik untuk diteliti dan mempunyai prospek yang cukup baik.

Dari beberapa formula keterbacaan teks yang ada, peneliti memilih merancang formula keterbacaan Robert Gunning dan J W. Rocke. Di Indonesia, penelitian telah dilakukan oleh oleh Prayuwati (1979) telah bahwa menilai buku-buku bacaan terjemahan anak agar buku tersebut mudah dibaca. Prayuwati menggunakan close test dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dari 10 sampel, hanya satu yang tingkat keterbacaannya rendah dan lainnya mempunyai nilai keterbacaan yang tinggi. Aryatiningsih (1993) menghitung tingkat keterbacaan kemampuan menerjemahkan teks bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia pada faktor gramatikal dan kosa kata suatu teks pada mahasiswa Sastra Inggris dan hasil analisisnya menunjukkan bahwa makin kompleks gramatikal dan kosa kata suatu teks makin sulit teks itu dipahami dan diterjemahkan.

Hingga saat ini problem keterbacaan teks berbahasa Indonesia belum banyak dibincangkan sehingga faktor keterbacaan teks tersebut menarik untuk diteliti. Teks berbahasa Indoesia yang mempunyai pola gramatikal yang sistematis, seringkali tidak diperhatikan oleh para penggunanya. Bahkan, kadangkala kalimat yang digunakan dalam suatu teks berbahasa Indoesia cenderung melebihi panjang kalimat yang wajar sehingga memengaruhi keterbacaan teks. Oleh karena itu, peneliti berasumsi bahwa perlu dihadirkan satu perangkat lunak yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan pengecekan

103

otomatis kalimat-kalimat dalam teks berbahasa Indonesia. Perangkat lunak ini dirancang untuk memenuhi tingkat kebutuhan pengguna bahasa Indonesia, yakni penulis agar lebih mudah melakukan pengecekan keterbacaan teks sebelum dipulikasikan dan pembaca agar lebih mudah memahami bahan bacaannya.

Tujuan penelitian ini adalah merancang aplikasi untuk mengukur atau menguji tingkat keterbacaan teks berbahasa Indonesia. Instrumen yang akan dianalisis adalah diksi, kata sulit, dan panjang kalimat. Diksi yang tidak tepat dinilai berpengaruh terhadap keterbacaan sebuah teks sehingga disarankan untuk menggunakan kata-kata yang bersifat umum dan mempunyai nilai high frequency. Panjang kalimat juga berpengaruh untuk menentukan tingkat keterbacaan suatu teks sehingga makin panjang sebuah kalimat makin sulit untuk dipahami. Selanjutnya, untuk memverifikasi hasil perancangan, sampel ini diuji menggunakan teks berbahasa Indesia yang bersumber dari artikel ilmiah.

Dalam dokumen DATA PENGUJIAN UKBI TAHUN 2005--2017 (Halaman 107-111)