• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

5. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif. Artinya semua data diungkapkan terlebih dahulu hal-hal yang bersifat umum kemudian dikerucutkan pengungkapan data yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan dengan cara ini disebut juga dengan penalaran logika dari umum ke khusus. Data diungkapkan dalam bentuk uraian yang tersistematis dengan menjelaskan hubungan antar berbagai jenis data. Memberikan penilaian benar atau salah atau apa dan bagaimana yang semestinya menurut asas, norma hukum, kaidah, dan doktrin-doktrin hukum.

BAB II

KEKUATAN HUKUM TERHADAP ALAS HAK ATAS TANAH YANG BELUM MEMPUNYAI SERTIPIKAT

BADAN PERTANAHAN NASIONAL

A. Pendaftaran Tanah dan Prinsip-Prinsipnya

Setelah berlaku UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) tanggal 24 September 1960 dilakukan reformasi agraria di Indonesia dan sifat dualisme hukum pertanahan berakhir, UUPA menjadi hukum tanah nasional tunggal. Seperti halnya pada bab II bagian II Pasal 19 UUPA mengamanatkan pengaturan tentang pendaftaran tanah yang melahirkan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Pasal 1 angka 1 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah menentukan:

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Pendaftaran tanah dikatakan sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus dan teratur berupa pengumpulan keterangan-keterangan tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu dengan tujuan tertentu untuk kemudian diproses dan disimpan serta disajikan dalam rangka memenuhi tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah.59 Ini berarti pendataan

59Aartje Tehupeiory, Op. cit., hal. 7.

terhadap hak-hak atas tanah dilakukan melalui pendaftaran tanah dengan tujuan menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah tersebut agar lebih mudah dapat membuktikan dialah yang berhak atas sebidang tanah tertentu melalui sertipikat yang dikeluarkan oleh BPN.60

Pendaftaran tanah menghasilkan sertipikat tanah yang berfungsi sebagai tanda bukti hak. Pendaftaran tanah bertujuan untuk menjamin kepastian hukum ini dikenal dengan sebutan rechtskadaster/legal kadaster.61 Jaminan kepastian hukum yang hendak diwujudkan meliputi kepastian status hak yang didaftarkan, kepastian subjek hak, dan kepastian objek hak. Demikian pentingnya pendaftaran tanah sehingga menjadi suatu kewajiban bagi Pemerintah maupun pemegang hak atas tanah.62

Kebalikan dari rechtskadaster adalah fiscal kadaster. Kalau tadi rechtskadaster bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian terhadap status hak, objek hak, dan subjek hak, tetapi fiscal kadaster bertujuan untuk menetapkan siapa subjek yang wajib membayar pajak atas tanah. Pendaftaran tanah di Indonesia menganut rechtskadaster bukan fiscal kadaster.63 Untuk tujuan kepastian hukum pendaftaran tanah di Australia menganut torrens system. Untuk kepentingan penarikan pajak seperti di Romawi dikenal dengan capitastrum dan di Perancis disebut dengan belasting kadaster atau fiscale kadaster.64

60Ibid., hal. 9.

61Urip Santoso (III), Pendaftaran Tanah dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal. 2.

62 Umar Said Sugiharto, Suratman, dan Noorhudha Muchsin, Hukum Pengadaan Tanah, (Malang: Setara Press, 2015), hal. 205.

63Affan Mukti, Op. cit., hal. 51.

64Mhd. Yamin Lubis, dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung: Mandar Maju, 2010), hal. 18.

Sistem torren (torrens system) dapat digunakan untuk mengetahui siapa yang memiliki dari yang pertama kali atas bidang-bidang tanah, siapa pejabat-pejabat yang terlibat di dalamnya, termasuk yang menandatanganinya akan dapat diketahui pemilik baru yang sah dan berhak atas tanah tersebut.65 Sesuai dengan sistim torrens dalam pembuktian atas kepemilikan sah atas tanah dapat diketahui dengan bukti-bukti yang cukup dan kuat.

Tujuan pendaftaran tanah disebutkan di dalam Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, bertujuan untuk:

1. Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

2. Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

3. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Selain untuk menciptakan kepastian hukum, pendaftaran tanah juga dimaksudkan agar tercipta suatu pusat informasi mengenai bidang-bidang tanah sehingga pihak yang berkepentingan (pihak ketiga) termasuk Pemerintah dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah didaftar.

Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik juga merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan.

65Affan Mukti, Loc. cit.

Tujuan pendaftaran tanah pada prinsipnya adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain merupakan tujuan utama pendaftaran tanah yang diperintahkan oleh Pasal 19 UUPA,66 sehingga dari pendaftaran tanah tersebut diamaksudkan untuk memperoleh sertipikat BPN yang lebih menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas kepemilikan tanah tersebut.67

Perlu diketahui bahwa sekalipun tanah milik seseorang telah didaftarkan dan telah memperoleh sertifikat BPN namun oleh karena di dalam pendafataran tanah (UUPA dan dan PP Nomor 24 Tahun 1997) menganut prinsip negatif yang menegaskan bahwa seseorang yang telah tercantum namanya dalam sertipikat tidak mutlak sebagai pemilik hak atas tanah tersebut akan tetapi bagi orang lain masih dapat mengajukan keberatan untuk menentukan pemilik dari bidang tanah tersebut dengan pembuktian di sidang pengadilan,68 maka kepemilikan atas objek hak tanah tersebut dapat beralih kepada pihak lain yang lebih berhak melalui proses dan mekanisme pembuktian. Prinsip negatif ini terdapat di dalam Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997).

Pemerintah telah menetapkan tujuan pendaftaran tanah dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA junto Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah untuk menjamin kepastian hukum terhadap pemilik yang terdaftar.69Implementasi dari Pasal 19 ayat (1) UUPA

66Boedi Harsono, Op. cit, hal. 475.

67Badriyah Harun, Loc. cit.

68Affan Mukti, Op. cit., hal. 52.

69Boedi Harsono, Loc. cit.

dikeluarkan PP Nomor10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian diganti dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Penerbitan sertipikat BPN diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, dan ketentuan teknisnya diatur dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997, serta Instruksi Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1998 dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 37 Tahun 1999 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.70

Inti dari muatan ketentuan perundang-undangan tersebut di atas menegaskan bahwa “bukti sah kepemilikan hak atas tanah adalah sertipikat”.71 Sertipikat yang dimaksud adalah sertipikat hak atas tanah sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah yang diterbitkan oleh Kepala BPN melalui proses pendaftaran tanah.72Sertipikat hak atas tanah tersebut berupa salinan buku tanah dan surat ukur yang dijilid menjadi satu dan diberikan kepada yang berhak atas tanah tersebut.73

Pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah merupakan kewajiban dari Pemerintah bertujuan menjamin kepastian hukum yang bersifat rechtscadaster, yaitu untuk kepentingan pendaftaran tanah saja dan hanya mempermasalahkan apa yang

70Aartje Tehupeiory, Op. cit, hal. 12-13.

71Eko Yulian Isnur, Loc. cit.

72Ibid., hal. 17.

73Jayadi Setiadi, Op. cit., hal. 62.

menjadi haknya dan siapa pemiliknya, bukan untuk kepentingan lain seperti perpajakan.74Pendaftaran tanah di seluruh Indonesia sesuai Pasal 19 ayat (1) UUPA bertujuan adalah untuk menjamin kepastian hukum.

Berlakunya prinsip dalam pendaftaran tanah rechtscadaster dan bukan fiscale cadaster, maka tujuan pokok pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum.75Sekalipun untuk tujuan kepastian hukum, prinsip-prinsip dalam pendaftaran tanah juga menegaskan dibolehkannya pihak lain untuk mengajukan tuntutan hak terhadap tanah tersebut, seperti prinsip negatif yang menegaskan bahwa seseorang yang telah tercantum namanya dalam sertipikat tidak mutlak sebagai pemilik hak atas tanah, sehingga dapat pula berlaku dalam hal ini sistim torrens untuk membuktikan kepemilikan sah terhadap tanah agar dapat diketahui siapa pemilik sah atas tanah tersebut dengan bukti-bukti yang cukup dan kuat.

Kadaster (cadaster) menunjukkan kepada kepada kondisi fisik seperti luas, ukuran, nilai dan kepemilikan yang tersebut di dalam sertipikat, sehingga rechtscadaster berarti kondisi fisik seperti luas, ukuran, nilai dan kepemilikan yang tertera dalam sertifikat tersebut menunjukkan kekuatan yuridis bagi nama pemilik yang tertulis di dalamnya.76

Hal ini sejalan dengan prinsip spesialis yang menyebutkan bahwa pelaksanaan pendaftaran tanah diselenggarakan atas dasar perundang-undangan menyangkut masalah pengukuran, pemetaan, dan peralihannya, sehingga dapat memberikan data

74AP. Parlindungan, Loc. cit.

75Affan Mukti, Loc. cit.

76Urip Santoso (II), Op. cit, hal. 286-287.

yuridis tentang siapa yang menjadi subjek hak atas tanah, bagaimana terjadinya peralihan dan pembebanannya dipublikasikan kepada publik sehingga setiap orang dapat melihatnya.77

Prinsip publisitas berarti bersifat terbuka artinya masyarakat harus dapat memperoleh keterangan dalam hal penyelenggaraan pendaftaran tanah termasuk data yang benar dari kantor pertanahan.78Prinsip publisitas ini adalah prinsip negatif yang mengandung unsur positif79, artinya pendaftaran tanah mengisyaratkan keterbukaan bagi pihak lain yang merasa keberatan terhadap suatu kepemilikan hak atas tanah terdaftar untuk memperkarakannya.80

Sertipikat tanah sebagai alat bukti yang kuat tidak berarti mutlak yang tidak dapat dibantah dan digugat oleh siapapun dengan bukti lawan (tegen bewijs), namun seritikat tersebut menjadi lebih kuat bila dibandingkan dengan bukti-bukti yang lemah atau tidak ada sama sekali, akan tetapi bukan berarti tidak dilindungi oleh hukum, justru dengan sertipikat tanah tersebut menjadi lebih kuat daripada bukti-bukti lemah.81 Unsur positif dimaksud karena dianutnya prinsip publisitas dalam pendafataran tanah. Sehingga sekalipun suatu tanah telah terdaftar dalam daftar tanah BPN namun karena adanya unsur positif tadi menyebabkan seseorang yang telah tercantum namanya dalam sertipikat pun masih membuka peluang bagi pihak lain untuk mengajukan klaim atas tanah tersebut.

77Ibid., hal. 290-291.

78Aartje Tehupeiory, Op. cit., hal. 24.

79 J. Andy Hartanto, Hukum Pertanahan, Karakteristik Jual-Beli Tanah Yang Belum Terdaftar Hak Atas Tanahnya, (Surabaya: LaksBang Justitia, 2014), hal. 54.

80S. Chandra, Op. cit, hal. 119.

81J. Andy Hartanto, Op. cit., hal. 55.

Sertipikat BPN merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan, namun karena berlaku sistim torren (torrens system) dan prinsip negatif yang mengandung unsur positif tadi mengakibatkan pihak lain yang telah memiliki sertipikat BPN tersebut dapat saja dihapuskan dari daftar tanah melalui proses dan mekanisme pembuktian.

Sesuai dengan prinsip mutakhir dalam pendaftaran tanah mengisyaratkan agar diwajibkan kepada setiap pemegang hak atas tanah untuk mendaftarkan atau mencatatkan setiap perubahan atas hak tersebut karena peristiwa hukum sehingga data pendaftaran tanah senantiasa sesuai keadaan sebenarnya.82 Data yang tersedia harus menunjukkan data yang mutakhir.83 Prinsip mutakhir menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus-menerus sehingga data tanah tetap terjaga dan up to date dengan fakta di lapangan.84 Konsekuensi dari prinsip mutakhir ini bagi mereka yang telah memperoleh sertifikat BPN dapat saja dihapus dan beralih menjadi milik orang lain yang lebih berhak setelah dibuktikan.

Bila hanya berpedoman pada prinsip negatif, maka kepastian hukum dalam kepemilikan hak atas tana yang telah bersertifikat dari BPN tersebut menjadi sia-sia.

Prinsip negatif yang terdapat di dalam Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tidak mutlak dianut dalam hukum agraria Indonesia karena harus diimbangi pula

82S. Chandra, Loc. cit.

83Urip Santoso, Hukum Agraia…..Op. cit., hal. 291.

84Aartje Tehupeiory, Loc. cit.

dengan prinsip publisitas dan sistim torren sehingga pendaftaran tanah dalam hukum agraria menganut prinsip negatif yang bernuansa positif.

Tujuan penggunaan prinsip publisitas dalam pendaftaran tanah dimaksudkan untuk menemukan kebenaran formil maupun kebenaran materil, penelitian dan pengkajian mendalam dilakukan terhadap data yuridis terhadap tanah yang bersangkutan selama proses penerbitan sertifikat kepemilikan hak atas tanah di kantor pertanahan, tujuan diselenggarakannya pemeriksaan terhadap kebenaran formil dan materil ini adalah untuk menuju kepastian hukum akan perolehan alat bukti yang cukup dan kuat terhadap kepemilikan hak atas tanah.85

Adanya prinsip negatif yang bernuansa positif ini bukan berarti ditafsirkan secara serta merta meniadakan prinsip kepastian hukum, tetapi kepastian hukum yang dimaksdukan untuk menjamin kepastian suatu hak yang didaftar, kepastian subjek dan kepastian objek86 sepanjang tidak ada tuntutan maupun klaim dari pihak lain yang berkepentingan atas tanah tersebut yang telah didaftar setelah melalui proses dan mekanisme pembuktian.

B. Kepastian Hukum Sebagai Tujuan Pendaftaran Tanah

Kepentingan manusia merupakan suatu tuntutan yang dilindungi dan dipenuhi manusia dalam bidang hukum. Kepentingan manusia yang dilindungi itu antara lain:

kepentingan umum (public interest), kepentingan masyarakat (social interest), dan

85S. Chandra, Op. cit., hal. 121.

86Ibid, hal. 293.

kepentingan individual (private interest).87 Melindungi kepentingan manusia berarti menghendaki suatu asas kepastian hukum terhadap kepentingan-kepentingan itu.

Kepastian hukum menurut Bronislav Totskyi mempersyaratkan bagi suatu organisasi dan fungsi sistem hukum dalam rangka untuk memastikan status hukum pribadi. Kepastian hukum bertujuan untuk melindungi hak-hak subjek hukum dari gangguan subjek hukum lainnya.88 Doktrin H.L.A. Hart tentang kepastian hukum menolak konsepsi penuh dengan cara tekstur hukum yang terbuka, menurutnya harus selalu ada aturan sebelumnya untuk setiap kasus (always there are previous rules for every case). Tugas peradilan mencari aturan-aturan hukum harus bersandar pada hukum yang sudah ada aturannya.89

Konsep kepastian hukum dapat diaktualisasikan dari dianutnya asas legalitas suatu negara hukum. Dianutnya asal legalitas dalam suatu negara hukum membuktikan bahwa negara itu memposisikan kepastian hukum lah yang harus dikedepankan. Ketidakjelasan kata-kata atau kalimat dalam sebuah undang-undang tentang apa yang diperintahkan undang-undang tersebut menurut H.L.A Hart dalam bukunya berjudul ”The Concept of Law” merupakan suatu ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dalam undang-undang.90

87Salim, H.S., dan Erlies Septiana Nurbaini, Loc. cit.

88Bronislav Totskyi, “Legal Certainty as A Basic Principle of the Land Law of Ukraine”, Journal Jurisprudence, Vol. 21 No.1 Tahun 2014, hal. 207.

89J. Alberto del Real Alcala, “The Ideal of the Certainty in Law: The Skin and the Heart of Law”, Paper Series No. 103 / 2012 Series D, 25th IVR World Congress Law Science And Technology Frankfurt am Main 15-20 August 2011, hal. 2-3.

90 H.L.A Hart, The Concept of Law, (New York: Clarendon Press-Oxford, 1997) diterjemahkan oleh M. Khozim, Konsep Hukum, (Bandung: Nusamedia, 2010), hal. 230.

Teori kepastian hukum dalam Peter Mahmud Marzuki, menyebut aturan hukum yang bersifat umum menjadi batasan bagi masyarakat dalam melakukan tindakan terhadap individu lain. Sudah menjadi suatu kenyataan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan aturan agar dapat melindungi kepentingan masyarakat, namun menurutnya tidak semua ketentuan di dalam undang-undang mampu mengakomodasi semua kepentingan masyarakat, oleh karena itu setidaknya legislator membuat aturan-aturan hukum yang bersifat umum.91

Hans Kelsen menyebut tidak ada kekosongan hukum tetapi yang ada hanya kekosongan undang-undang. Ketika suatu undang-undang tidak ada mengatur tentang sesuatu hal, maka biasanya diserahkan pada kebijaksanaan hakim berdasarkan keyakinannya. Pandangan seperti ini ditentang oleh Hans Kelsen.92 Hans Kelsen menentang menyerahkan kebijaksaan itu pada hakim pengadilan. Penentangan Kelsen ini semakin memperkuat doktrinnya tentang kepastian hukum adalah kepastian undang-undang.

Bronislav Totskyi telah menyebutkan tujuan kepastian hukum adalah untuk melindungi hak-hak subjek hukum dari gangguan subjek hukum lainnya.93 Tujuan hukum menurut Fitzgerald untuk mengintegrasikan dan mengordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat, dengan cara membatasinya, karena dalam suatu lalu

91 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Jakarta, 2009), hal. 286 dan hal.157.

92Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, diterjemahkan oleh Siswi Purwandari, (Bandung:

Nusa Media, 2009), hal. 135-137.

93Bronislav Totskyi, Loc. cit.

lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan pihak tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan di lain pihak.94

Sistem pendaftaran tanah mengenal sistim negatif dan sistim positif. Sistim negatif maksudnya adalah Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam sertipikat, oleh karena itu belum tentu seseorang yang telah tertulis namanya pada sertipikat adalah mutlak sebagai pemilik, sedang sistim positif adalah sebaliknya.95

Pendaftaran tanah di seluruh Indonesia sesuai Pasal 19 ayat (1) UUPA bertujuan adalah untuk menjamin kepastian hukum. Menurut penjelasan dari pasal ini pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah merupakan kewajiban Pemerintah yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yang bersifat rechtscadaster, yaitu untuk kepentingan pendaftaran tanah saja dan hanya mempermasalahkan apa yang menjadi haknya dan siapa pemiliknya, bukan untuk kepentingan lain seperti perpajakan.96

Selain berfungsi untuk melindungi pemilik, pendaftaran tanah juga berfungsi untuk mengetahui status sebidang tanah, siapa pemiliknya, apa haknya, berapa luasnya, untuk apa dipergunakan dan sebagainya.97 Keharusan mendaftarkan tanahnya dimaksud agar menjadikan kepastian hukum bagi mereka dalam arti demi kepastian hukum bagi pemegang haknya. Oleh karena pendaftaran atas setiap

94 Fitzgerald dalam Muhammad Syaifuddin, Menggagas Hukum Humanistis-Komersial:

Upaya Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Kurang dan Tidak Mampu atas Pelayanan Kesehatan di Rumah sakit Swasta berbadan Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Bayu Media Publishing, 2009), hal. 16.

95AP. Parlindungan, Pencabutan dan Pembebasan…Op. cit, hal. 5.

96AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah…Loc. cit.

97Chadidjah Dalimunthe, Loc. cit.

peralihan, penghapusan dan pembebanannya, pendaftaran pertama kali atau karena konversi atau pembebanannya akan banyak menimbulkan komplikasi hukum jika tidak didaftarkan, apalagi pendaftaran tersebut merupakan bukti yang kuat bagi pemegang haknya.98

Itulah sebabnya pendaftaran tanah diselenggarakan dengan tujuan agar dapat menjamin kepastian hukum untuk terhadap hak atas tanah. Kepastian dari pemilik, letak, batas, luas dan jenis hak atas tanahnya.99 Secara prinsip sesungguhnya sistim manapun yang digunakan sebenarnya tidak menjadi persoalan, karena baik sistim negatif maupun sistim positif sama-sama memiliki keuntungan dan kelemahan.

Barangkali negara tidak menganut secara mutlak negatif dan tidak pula positif, mengingat tanah di Indonesia masih lebih banyak yang belum terdaftar dan tunduk pada hukum adat yang tidak mementingkan pendaftaran tanahnya.

Kelemahan dari stelsel negatif antara lain: buku tanah tidak memberikan jaminan yang mutlak; peranan yang pasif dari pejabat balik nama; mekanisme yang sulit dan sukar dimengerti oleh orang-orang biasa. Sedang keuntungan yang mendasar dalam stelsel negatif adalah adanya perlindungan pada pemilik yang sebenarnya.

Kemudian bila dilihat keberatan yang terdapat dalam stelsel positif, antara lain:

peranan aktif pejabat-pejabat balik nama akan memakan waktu yang lama; pemilik yang berhak dapat kehilangan haknya di luar kesalahannya dan di luar perbuatannya;

98AP. Parlindungan, Pendaftaran…..Loc. cit.

99 Badan Pertanahan Nasional, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah, (Jakarta, BPN, 1999), hal. 27.

apa yang menjadi wewenang pengadilan diletakkan di bawah kekuasaan administratif.100

Keuntungan dari stelsel positif adalah: menjamin dengan sempurna nama yang terdaftar dalam buku tanah dan tidak dapat dibantah walaupun ia ternyata bukan pemilik yang berhak atau kepada nama yang terdaftar dalam buku tanah diberikan kepercayaan yang mutlak, pejabat balik nama memainkan peranan yang sangat aktif, hak-hak yang didaftar itu dapat didaftar bila formalitas-formalitas yang diperlukan telah dipenuhi atau tidak, serta identitas para pihak memang orang yang berwenang.101

Sistem pendaftaran tanah di Indonesia sering juga dikategorikan menganut sistem campuran keduanya, yaitu sistem negatif yang bertendensi positif, maksudnya negara tidak menjamin mutlak kebenaran data yang disajikan dalam sertipikat, namun selama tidak ada orang lain yang mengajukan gugatan ke pengadilan yang merasa lebih berhak, maka data dalam sertipikat adalah tanda bukti hak yang kuat (vide:

Pasal 19 ayat 2 UUPA).

Bukti di Indonesia menganut sistem negatif bertendensi positif adalah dilakukannya pemeriksaan tanah oleh Panitia Pemeriksaan Tanah A (untuk hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai) dan Panitia B (untuk hak guna usaha), artinya Kantor Pertanahan tidak akan serta-merta menerima permohonan pendaftaran tanah dari setiap orang, tetapi selalu harus melalui suatu mekanisme pemeriksaan oleh

100Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung: Alumni, 1997), hal. 59.

101Ibid, hal. 59-60.

Panitia A dan Panitia B.102 Stelsel hukum pertanahan di Indonesia menganut stelsel negatif. Orang yang tertera di dalam surat bukti kepemilikan atas tanah belum tentu sebagai pemilik yang sebenarnya.

Pemerintah telah menetapkan pada Pasal 19 ayat (1) UUPA prinsip kepastian hukum menjadi tujuan dari pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Pendaftaran tanah memberikan kepastian akan hak seseorang untuk memiliki tanah,

Pendaftaran tanah memberikan kepastian akan hak seseorang untuk memiliki tanah,