• Tidak ada hasil yang ditemukan

LATAR BELAKANG PERKEMBANGAN EKOWISATA GUNUNG SEMERU

Ekowisata Gunung Semeru memang sudah dikenal sejak lama. Bahkan pada tahun sekitar 1960-an sudah ada yang mendaki Gunung Semeru. Padahal status Gunung Semeru tersebut masih berupa cagar alam, yakni Cagar Alam Ranu Kumbolo yang ditunjuk pada tanggal 4 Mei 1936 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda. Kawasan dengan status cagar alam ini seharusnya tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang karena sesuai dengan fungsinya yakni untuk melindungi kekayaan alam.

Pada tahun 1969 ada sebuah peristiwa yang terjadi di Gunung Semeru, yakni tewasnya seorang aktivis mahasiswa dari Universitas Indonesia yang bernama Soe Hok Gie dan seorang temannya. Pada saat itu, Soe Hok Gie bersama teman-teman mahasiswanya sedang mendaki melakukan pendakian ke puncak Gunung Semeru. Menurut sebuah berita, meninggalnya Soe Hok Gie dan seorang temannya ini lantaran menghirup gas beracun yang berasal dari Puncak Gunung Semeru. Namun, menurut salah seorang saksi mata yakni masyarakat Desa Ranupani yang membantu mencari dan menurunkan jenazah mengatakan bahwa meninggalnya Soe Hok Gie lantaran terkena runtuhan batu dari puncak Semeru.

“Yang saya tahu, pendaki Gunung Semeru itu yaa pas Soe Hok Gie itu mbak. Pas jaman itu masih sepi mbak, nggak ada pendaki lain. Desa Ranupani ini juga masih sepi. Belum ada kendaraan yang juga buat ngangkut pendaki, jadi pendaki harus jalan. Dulu juga jalanannya nggak bagus kayak sekarang. Dulu jalannya masih tanah sama batu-batu,” (NGA, 66 tahun)

Sejak saat itu pendaki Gunung Semeru mulai berdatangan, khususnya pendaki lokal. Pendaki yang ingin ke Gunung Semeru pada saat itu harus jalan dari Tumpang menuju Desa Ranupani dengan jarak tempuh sekitar 45 km dengan kondisi jalanan yang masih tanah dan batu- batu. Kendaraan atau angkutan masih belum ada, yang ada hanyalah truk untuk mengangkut sayuran hasil panen. Jika beruntung para pendaki tersebut bisa menumpang truk sayuran. Hal yang sama juga dilakukan oleh Soe Hok Gie pada masa itu. Ia bersama teman-temannya harus berjalan kaki berjam-jam untuk tiba di Desa Ranupani.

Kemudian sekitar sepuluh tahun kemudian, yakni tahun 1979 dilakukan peresmian pondok pendaki yang letaknya tidak jauh dari loket informasi dan kantor Resort Ranupani. Peresmian ini dilakukan oleh Abdul Salim, Bupati Lumajang pada saat itu dan juga dihadiri oleh Menteri Lingkungan Hidup. Pondok pendaki ini dibangun dengan tujuan sebagai tempat peristirahatan para pendaki baik selepas mendaki maupun yang hendak mendaki. Karena pada saat itu masyarakat Desa Ranupani masih belum mengenal istilah “homestay” atau penginapan.

Semakin tahun semakin banyak pula pendaki yang mulai berdatangan. Hingga pada tahun 1986-an mulai ada angkutan jeep yang berasal dari Desa Tumpang. Namun angkutan jeep ini biasanya digunakan untuk mengangkut wisatawan yang hendak menuju Gunung Bromo melalui jalur Laut Pasir. Angkutan jeep pada masa itu pun masih hanya ada sedikit, bahkan jumlahnya masih dapat dihitung dengan jari. Begitu pula dengan usaha rumah makan di Desa Ranupani pun belum ada.

“Yang jualan nasi buka warung kayak gini dulu belum ada mbak. Dulu saya juga pendaki. Biasanya pendaki ke rumah warga buat minta makan sambil menghangatkan badan. Yaa biasanya kalo minta makan gitu kita kasih uang sebagi ucapan terima kasih. Walaupun terkadang uangnya pun nggak seberapa. Tapi warga sini yaa mengerti aja mbak, kadang malah nggak mau dikasih uang,” (YUD, 50 tahun)

Memasuki tahun 1990-an setelah kawasan Cagar Alam berganti menjadi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru setelah ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian pada tanggal 23 Mei 1997 wisatawan yang dating berkunjung semakin ramai. Wisatawan yang datang tidak hanya dari wisatawan lokal namun mancanegara. Pada saat itu mulai ramai juga penduduk

desa yang berjualan nasi. Ada yang berjualan nasi dengan membuka warung non permanen dan ada pula penduduk desa yang berjualan nasi hingga ke Gunung Semeru. Penduduk Desa Ranupani khususnya bagi laki-laki juga menawarkan jasanya untuk menjadi seorang porter atau pemandu. Upah yang diterima pada saat itu hanya Rp30.000,00 permalamnya. Pada masa itu wisatawan lokal yang ingin mendaki hanya dikenakan biaya sebesar Rp7500,00. Jalan menuju desa mulai diperbaiki dengan diaspal.

“Dulu saya ikut berjualan nasi mbak. Saya jualin sampe masuk kawasan Gunung Semeru, sampe Ranu Kumbolo biasanya. Nggak Cuma saya aja yang jualan di sana, banyak warga yang lain yang jualan. Dulu saya jualannya nasi bungkus lauknya telor sama minum botol. Ada juga mbak yang jualan rokok di sana.” (DTR, 65 tahun).

Pada tahun segitu pula muncul sebuah penginapan yang pertama yakni penginapan milik Pak Tasrip atau yang saat ini dipegang oleh anaknya yaitu Pak Thomas Hadiwijaya. Pada saat itu, konsep penginapannya seperti “homestay” pada masa kini, yang tamunya tinggal satu rumah dengan pemilik penginapan. Penginapan milik Pak Tasrip ini dahulu sering digunakan sebagai tempat menginap bagi para wisatawan mancanegara. Biasanya oleh pihak resort taman nasional akan diarahkan menuju penginapan milik Pak Tasrip tersebut. Pak Tasrip ini bukanlah penduduk asli Desa Ranupani, melainkan warga Desa Senduro. Kemudian pada tahun 2005 muncul penginapan bernama Arta Jaya. Awalnya pemilik tidak berniat untuk membuka usaha penginapan, namun ia mendapat saran dari temannya untuk membuka penginapan. Usulan tersebut muncul setelah teman dari si pemilik menginap di sana setelah mengunjungi wisata Gunung Bromo dan Gunung Semeru. Akhirnya pemilik penginapan Arta Jaya, Sayuto memutuskan untuk membuat penginapan.

Setelah muncul usaha penginapan kemudian muncul usaha penyewaan alat pendakian sekitar pada tahun 2011-an. Usaha penyewaan alat pendakian ini milik orang Surabaya dan mempekerjakan penduduk Desa Ranupani sebagai pengelola usaha tersebut. Warung makan dengan bangunan permanen dan lebih besar dari sebelumnya juga mulai bermunculan. Usaha jasa wisata yang terbaru adalah membuka Toko Souvenir. Pemilik toko souvenir ini berasal dari Desa Tumpang. Ia baru membuka usahanya sekitar tahun 2013an saat wisatawan baik lokal maupun mancanegara semakin ramai.

Semakin tahun perkembangan wisata Gunung Semeru semakin pesat. Tidak hanya pengunjungnya saja yang semakin banyak tapi juga usaha jasa wisata yang ada di Desa Ranupani pun semakin banyak. Selain itu biaya masuk yang awalnya hanya sebesar Rp7.500,00 mengalami kenaikan menjadi Rp15.000,00 dan kini menjadi Rp22.500,00 untuk wisatawan lokal. Sedangkan untuk wisatawan mancanegara biaya masuk kawasan dikenakan sebesar Rp300.000,00.

Salah satu objek wisata yang juga menjadi nama desa, yakni Danau Ranupani ini semakin tidak terawat. Awalnya menurut penduduk sekitar Danau Ranupani ini sangatlah luas. Namun sekarang Danau Ranupani kian menyempit dan semakin dangkal serta kotor. Hal ini terjadi karena adanya aktivitas pertanian yang kurang bagus. Kontur tanah yang berbukit-bukit yang digunakan sebagai lahan pertanian serta penggunaan pestisida menjadi alasannya.

“Dulu Danau Ranupani ini airnya nggak segini mbak, tapi airnya sampai menuju jalan. Sekitar tahun 1980an nggak ada lapangan di samping balai desa itu, yang ada hanya air danau dan cukup dalam danaunya mbak,” (NGA, 66 tahun).

Gambar 3 Lapangan yang digunakan sebagai tempat parkir

Tepat di sebelah lapangan yang digunakan sebagai tempat parkir (Gambar 3) adalah Danau Ranupani. Awalnya luas Danau Ranupani mencapai lapangan parkir tersebut dan tidak ada tumbuhan yang tumbuh di depan tempat parkir mobil. Pendangkalan semakin terjadi saat memasuki tahun 2000an. Ditambah jumlah pengunjung yang semakin banyak terlebih saat hari libur membuat danau semakin tidak terawat.

Tabel 4 Perkembangan Ekowisata Gunung Semeru

Tahun Peristiwa

1922 Ranupani dan Ranu regulo ditunjuk sebagai Cagar Alam berdasarkan Surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 25 Sbtl.1922 No.765

1936 Ranu Kumbolo ditunjuk sebagai Cagar Alam berdasarkan Surat keputusan Gubernus Hindia Belanda No. 18 Sbtl.1936 No.209

1969 Tewasnya aktivis mahasiswa Universitas Indonesia, Soe Hok Gie di Gunung Semeru

1979 Peresmian Pondok Pendaki oleh Bupati Lumajang Danau Ranupani masih luas

1981 Ranupani dan Ranu Regulo ditunjuk menjadi Taman Wisata berdasarkan Surat Keputusa Menteri Pertanian No.442/Kpts/Um/6/1981

1982 Taman Nasional Bromo Tengger Semeru seluas 58000 hektar ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.736/mentas/X/1982

1986 Muncul angkutan Jeep dari Tumpang

1990-an Mulai ramai pendaki dan sudah ada warga yang bekerja sebagai porter Usaha jaa wisata dengan berjualan nasi bungkus hingga ke Ranu Kumbolo Muncul penginapan yang pertama “Wisma Tasrip”

2005 Muncul usaha pengingapan yang kedua “Arta Jaya” 2011 Muncul usaha penyewaan alat pendakian