• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Masyarakat Adat Tengger Terhadap Ekowisata Gunung Semeru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon Masyarakat Adat Tengger Terhadap Ekowisata Gunung Semeru"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON MASYARAKAT ADAT TENGGER TERHADAP EKOWISATA

GUNUNG SEMERU

(Kasus Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Desa Ranupani, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur)

REZKY EKA FAUZIA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Respon Masyarakat Adat Tengger terhadap Ekowisata Gunung Semeru” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan ke dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantukmkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2016

(4)
(5)

ABSTRAK

REZKY EKA FAUZIA. Respon Masyarakat Adat Tengger terhadap Ekowisata Gunung Semeru. Di

bawah bimbingan SATYAWAN SUNITO

Ekowisata adalah wisata berbasis alam yang melibatkan pendidikan, interpretasi dari lingkungan dan dikelola secara berkelanjutan. Perkembangan ekowisata saat ini cukup pesat dilihat dari banyaknya wisatawan baik lokal maupun internasional yang mengunjungi lokasi ekowisata, salah satunya adalah Gunung Semeru. Hadirnya ekowisata memberikan peluang usaha dan jasa wisata bagi masyarakat di sekitar lokasi, yakni masyarakat adat Tengger di Desa Ranupani. Penelitian ini akan melihat respon masyarakat adat tengger terhadap peluang usaha jasa wisata akibat adanya ekowisata Gunung Semeru. Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan metode penelitian survey yang didukung dengan data kualitatif. Metode penarikan sampel yang digunakan adalah “teknik acak berlapis”. Hasil dari penelitian ini adalah 1). Masyarakat merespon positif terhadap ekowisata Gunung Semeru dengan membuka usaha jasa wisata. 2). Peluang usaha yang muncul diantaranya porter pemandu, penyewaan jeep, penginapan, rumah makan, toko Souvenir, penyewaan alat pendakian. Masyarakat adat Tengger yang notabenenya adalah petani miskin hanya dapat mengakses usaha tidak padat modal seperti porter dan tukang parkir sedangkan masyarakat non Tengger dapat mengakses usaha penginapan dan rumah makan. 3). Karakteristik pelaku usaha berbeda-beda sesuai dengan pekerjaan yang dimiliki. Responden dengan tingkat pendidikan rendah bekerja sebagai porter dan tukang parkir (usaha yang tidak perlu modal besar), sedangkan responden yang berpendidikan tinggi memiliki usaha penginapan dan rumah makan (usaha perlu modal dan keterampilan mengelola).

Kata Kunci: ekowisata, masyarakat adat, Peluang usaha jasa wisata, Suku Tengger

ABSTRACT

REZKY EKA FAUZIA. Tengger’s people respons towards Mount Semeru Ecotourism. Supervised by SATYAWAN SUNITO

Ecotourism is nature-based tourism which involves education, interpretation of environment and sustainable management. The rapid growth of ecotourism can be seen from the number of tourists, both of local tourists or international tourists who came to Mt. Semeru Ecotourism. The ecotourism provided the bussiness and employment opportunities for Tengger’s people in Ranupani village who lived around the location. Furthermore, this research look at Tengger’s people respons for bussiness and employment opportunities as a result of Mount Semeru ecotourism. This research was conducted with a quantitative approach supported by qualitative data. Sampling method used “Stratified random sampling”. The result of this research are: 1). Wether Tengger people or non-Tengger people have positive respons towards the ecotourism with having a bussiness in tourism. 2). There are nine bussiness opportunities in Ranupani, wich are porter and guide, jeep, homestay, restaurant, merchandise shop, and outdoor rent. Tengger people can only work as a porter and parking guide. Non-Tengger people can have a homestay and restaurant. 3). The characteristics of the bussinesses are different according to their bussiness. Respondents with low education work as a porter or parking guide, but respondents with high education can have restaurant and homestay.

(6)
(7)

RESPON MASYARAKAT ADAT TENGGER TERHADAP EKOWISATA

GUNUNG SEMERU

(Kasus Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Desa Ranupani, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur)

Oleh

REZKY EKA FAUZIA

I34120106

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan atas ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Respon Masyarakat Adat Tengger terhadap Ekowisata Gunung Semeru” dengan baik. Meskipun seringkali penulis mengalami kesulitan, namun berkat karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan secara tepat waktu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Satyawan Sunito, MS sebagai pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini.

2. Keluarga, Ibu Tri Rahayu Utami dan Bapak Tedy Hernowo Budi Santoso selaku orang tua tercinta, yang selalu berdoa dan senantiasa melimpahkan kasih sayangnya untuk penulis.

3. Sahabat penulis R. Irinne Devita A., Rona Fauzan Noer, M. Fahmi Alby, Ahmad Hafizh, Ghvirly, Feynanda Ferlicia, Herlani Tri W, Neneng Murnasih, Sheillafuri Biru Mardika yang telah banyak memberi masukan dan menerima keluh kesah penulis.

4. Erlina Nur Fitriyani, selaku teman sebimbingan dan Keluarga Besar Mahasiswa Departemen SKPM angkatan 49 yang telah memberi semangat dan menemani penulis dalam proses penulisan laporan ini.

5. Serta, Keluarga Besar Koran Kampus IPB terima kasih atas kebersamaannya selama ini.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca terutama tentang Respon Masyarakat Adat Tengger terhadap Ekowisata Gunung Semeru.

Bogor, November 2016

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI xiii

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 2

Tujuan Penelitian 3

Kegunaan Penelitian 3

PENDEKATAN TEORITIS 5

Tinjauan Pustaka 5

Masyarakat Adat 5

Pariwisata dan Ekowisata 6

Dampak Pariwisata 7

Konsep Respon 9

Kerangka Pemikiran 9

Asumsi Dasar 10

Hipotesis Penelitian 10

PENDEKATAN LAPANGAN 11

Metode Penelitian 11

Lokasi dan Waktu Penelitian 11

Teknik Penentuan Informan dan Responden 11

Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data 11

Definisi Konseptual 14

Definisi Operasional 14

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 17

Gambaran umum Desa Ranupani 17

Kondisi Geografis, Demografi dan Infrastruktur Desa Ranupani 17

Kondisi Sosial dan Ekonomi Penduduk 18

Sekilas tentang Masyarakat Tengger 19

Gambaran Umum Taman Nasional Bromo Tengger Semeru 19

(14)

Objek wisata di Kawasan Gunung Semeru 21

Jumlah Pengunjung Ekowisata Gunung Semeru 22

LATAR BELAKANG PERKEMBANGAN EKOWISATA GUNUNG SEMERU 23

KARAKTERISTIK RESPONDEN 27

Etnisitas Responden 27

Usia Responden 27

Tingkat Pendidikan Responden Etnis Tengger 28

Mata Pencaharian Responden Etnis Tengger 29

RESPON MASYARAKAT ADAT TERHADAP EKOWISATA GUNUNG SEMERU 31

Tingkat Kesempatan Kerja 31

Bentuk Usaha Jasa Wisata 34

Porter dan Pemandu (Guide) 34

Tukang Parkir 36

Jasa Penyewaan Jeep 37

Penginapan dan Rumah Makan 38

Tingkat Pergeseran Matapencaharian 39

Status Penguasaan Properti atau Fasilitas Usaha Jasa Wisata 40

Ikhtisar 42

HUBUNGAN KARAKTERISTIK RESPONDEN DENGAN RESPON MASYARAKAT

TENGGER DESA RANUPANI 43

Hubungan Tingkat Pendidikan Responden dengan Tingkat Kesempatan Kerja 43

Hubungan Tingkat Pendidikan Responden dengan Tingkat Pergeseran Matapencaharian 45

Ikhtisar 46

PENUTUP 47

Kesimpulan 47

Saran 47

DAFTAR PUSTAKA 49

LAMPIRAN 51

(15)

DAFTAR TABEL

1 Kebutuhan Data dan metode pengumpulan data dalam penelitian 13 2 jumlah dan presentase pemilik alat komunikasi di Desa Ranupani 18 3 jalur masuk dan perhubungan ke Taman Nasional Bromo Tengger Semeru 21

4 Perkembangan Ekowisata Gunung Semeru 25

5 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan etnisitas 27

6 Jumlah dan Presentase Usia Responden 28

7 Tingkat Pendidikan Responden Desa Ranupani 28

8 Matapencaharian Utama Responden Etnis Non-Tengger 30

9 Jenis Usaha Jasa Wisata di Desa Ranupani 31

10 Jumlah dan Presentase Jenis Usaha dan Jasa Wisata Berdasarkan Etnis 31 11 sebaran jenis usaha jasa wisata berdasarkan usia responden 32 12 Respon Masyarakat terhadap Kesempatan Kerja di Desa Ranupani 33 13 Respon Masyarakat terhadap Pernyataan Ekowisata Gunung Semeru Memberikan

Ragam Peluang Usaha bagi Masyarakat Adat Tengger Desa Ranupani 33 14 Respon Masyarakat terhadapt Pernyataan Ekowisata Gunung Semeru

Memberikan Ragam Peluang Usaha bagi Masyarakat Pendatang 34 15 Tingkat Pergeseran Matapencaharian Responden Etnis Tengger 39

16 Status Kepemilikan Usaha Jasa Wisata Responden 40

17 Status Kepemilikam Usaha Jasa Wisata Berdasarkan Jenis Usaha Jasa Wisata 41 18 Jumlah Dan Presentase Tingkat Pendidikan Responden etnis Tengger berdasarkan

Jenis Usaha Jasa Wisata 43

19 Tingkat Pendidikan Responden Etnis Non-Tengger 44

20 Jumlah Dan Presentase Tingkat Pendidikan Responden etnis non-Tengger

berdasarkan Jenis Usaha Jasa Wisata 44

21 Hubungan Tingkat Pendidikan Responden Etnis Non-Tengger Dengan Tingkat

(16)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Analisis 10

2 jumlah pengunjung Gunung Semeru (2011-2015) 22

3 Lapangan yang digunakan sebagai tempat parkir 25

4 Sebaran Jenjang Pendidikan Responden 29

5 Pekerjaan Sampingan Responden Etnis Tengger 30

6 Struktur Paguyuban Porter dan Pemandu Semeru Mandiri 35

7 Struktur Organisasi Tukang Parkir 37

8 Peta Desa Ranupani 51

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Desa Ranupani 51

2 waktu penelitian 52

3 Kerangka Sampling 53

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alamnya yang melimpah, serta budaya dan masyarakatnya yang beragam. Letak lndonesia yang berada di garis khatulistiwa serta memiliki 17.504 pulau1 membuat Indonesia disebut sebagai negara dengan mega biodiversity ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire. Besarnya potensi sumberdaya alam Indonesia berupa flora dan fauna termasuk bentang alam dengan keindahan dan keunikannya menjadikan Indonesia sebagai salah satu destinasi wisata yang menarik untuk dikunjungi. Terbukti pada tahun 2015 jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indoensia sebesar 6.322.592 periode (Januari-Agustus 2015) yang mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang berjumlah 6.155.553 wisatawan mancanegara (Badan Pusat Statistik 2015).

Menurut Fauzi (2004), sumberdaya alam merupakan faktor input dalam kegiatan ekonomi yang juga menghasilkan output karena proses produksi. Satu hal yang paling mendasar dari aspek ekonomi sumberdaya alam adalah bagaimana ekstraksi sumberdaya alam tersebut dapat memberikan manfaat atau kesejahteraan kepada masyarakat secara keseluruhan. Hal ini menjadikan sumber daya alam sebagai lokasi pariwisata menjadi salah satu sektor ekonomi penting dalam pembangunan nasional karena dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, membuka lapangan pekerjaan, serta merangsang pertumbuhan ekonomi regional (Kemenparekraf 2011).

Pengertian pariwisata sendiri menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Ada beberapa kategori pariwisata, yakni wisata bahari, wisata alam, wisata pedesaan, wisata budaya dan perjalanan bisnis. Salah satu bentuk pariwisata yang dinimati oleh para wisatawan adalah wisata alam yang memanfaatkan daerah alami sebagai tujuan utamanya. Wisata alam ini sering dikenal dengan ekowisata.

Definisi ekowisata ini tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009, yakni kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggungjawab dengan memperhatikan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumberdaya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat lokal. Salah satu daerah yang dijadikan lokasi ekowisata misalnya kawasan konservasi dalam bentuk taman nasional. Taman nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang dikelola untuk tujuan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan sumber daya alam secara lestari. Salah satu pemanfaatan dari kawasan konservasi adalah berupa pemanfaatan kawasan sebagai objek dan daya tarik wisata alam (Susanti 2014). Selanjutnya Susanti (2014) dalam tesisnya juga mengatakan bahwa kegiatan berwisata alam di taman nasional di Indonesia semakin dikenal secara luas dan juga cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Salah satu kawasan konservasi yang menjadi tujuan wisata alam utama adalah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) yang terletak di Provinsi Jawa Timur. Daya tarik wisata utama yang ada di TNBTS berupa wisata pendakian Gunung Semeru dan Gunung Bromo serta wisata budaya masyarakat adat Tengger. Pada tahun 2015 (Statistik TNBTS 2015) jumlah wisatawan yang datang ke Taman Nasional Bromo Tengger Semeru mencapai 474.011 wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri. Banyaknya wisatawan yang mengunjungi lokasi wisata ini memberi dampak bagi masyarakat yang berada di sekitar lokasi.

Seperti halnya yang diungkapkan Yoeti (2008) bahwa kegiatan ekowisata memberikan dampak pada berbagai aspek seperti sosial-budaya, ekonomi, dan lingkungan. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa dampak positif dan negatif. Dampak positif dilihat dari ekonomi yaitu

1

(18)

dapat menciptakan kesempatan kerja baru, meningkatkan pendapatan sekaligus mempercepat pemerataan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan pajak pemerintah dan retribusi daerah, meningkatkan pendapatan nasional, mendorong peningkatan investasi dari sektor industri pariwisata dan sektor ekonomi lainnya, dan memperkuat neraca pembayaran. Dari segi sosial dampak yang ditimbulkan berupa timbulnya pola kerjasama, gaya bahasa dan pola konsumsi masyarakat, serta timbulnya perilaku menyimpang pada anak remaja.

Masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi ekowisata Gunung Semeru merupakan masyarakat adat Tengger. Definisi mengenai masyarakat adat sendiri menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Namun identitas orang Tengger terkesan problematis dan membuat banyak orang salah sangka. Mereka bukan suku primitif, suku terasing, atau suku lain yang berbeda dari suku Jawa (Sutarto 2006). Mereka sering berinteraksi dengan para wisatawan. Sehingga mereka memperoleh informasi yang cukup untuk dapat memutuskan sikap dan perilaku atau respon mereka terhadap wisata. Dengan demikian menarik bagi penulis untuk menganalisis bagaimana respon masyarakat adat Tengger terhadap ekowisata Gunung Semeru di Desa Ranupani?

Masalah Penelitian

Ekowisata Gunung Semeru sudah dikenal sejak lama oleh wisatawan, khususnya wisatawan lokal bahkan jauh sebelum penetapan kawasan menjadi kawasan konservasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Kawasan Bromo Tengger Semeru ditunjuk menjadi taman nasional melalui Pernyataan Menteri Pertanian No.736/Mentan/X/82 tanggal 14 Oktober 1982, yang terdiri dari Cagar Alam Ranu Kumbolo, Taman Wisata Laut Pasir Tengger, Taman Wisata Ranupani dan Ranu Regulo, Taman Wisata Darungan, Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Di dalam kawasan TNBTS juga terdapat dua desa Tengger yang termasuk desa enclave2 yakni Desa Ngadas di Kabupaten Malang, dan Desa Ranupani di Kabupaten Lumajang. Desa Ranupani ini juga merupakan desa terakhir sebelum melakukan pendakian ke Gunung Semeru. Kedua desa tersebut pun sudah ada di dalam kawasan sejak sebelum kawasan konservasi terbentuk. Sehingga, masyarakat Tengger sudah sering berinteraksi dengan masyarakat luar atau wisatawan yang datang berkunjung ke lokasi wisata. Dengan demikian sebelum mengarah pada dampak yang ditimbulkan, penting untuk mengetahui bagaimana sejarah perkembangan ekowisata Gunung Semeru khususnya di Desa Ranupani?

Perkembangan kegiatan wisata alam ditandai dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun lokal. Tingginya potensi objek dan daya tarik wisata yang dimiliki oleh kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru membuat para wisatawan tersebut tertarik untuk berkunjung. Dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan di kawasan wisata dengan kata lain terdapat interaksi dan transaksi antara wisatawan dengan masyarakat lokal yang tentunya membawa sejumlah dampak ekonomi dan sosial. Salah satu dampak ekonomi yang dapat dilihat adalah munculnya peluang usaha jasa wisata bagi masyarakat adat Tengger. Oleh karena itu, peluang usaha dan jasa wisata apa sajakah yang ada di Desa Ranupani? Menjadi pertanyaan penting untuk dijawab dalam penelitian ini.

Hadirnya ekowisata Gunung Semeru ini menyebabkan munculnya beragam peluang usaha dan jasa wisata bagi masyarakat adat Tengger. Hadirnya peluang usaha dan jasa wisata membuat respon yang ditimbulkan oleh masyarakat adat Tengger berbeda-beda. Lalu bagaimana respon masyarakat adat Tengger terhadap munculnya beragam peluang usaha jasa wisata di Desa Ranupani serta pada tingkat mana peluang usaha tersebut dapat diakses oleh masyarakat adat Tengger?

2

(19)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian tersebut, maka tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis respon masyarakat adat Tengger terhadap ekowisata Gunung Semeru di Desa Ranupani. Adapun tujuan khusus pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi sejarah perkembangan ekowisata Gunung Semeru di Desa Ranupani,

2. Menganalisis peluang usaha dan jasa wisata yang ada di Desa Ranupani,

3. Menganalisis respon masyarakat adat Tengger terhadap munculnya beragam peluang usaha jasa wisata di Desa Ranupani serta tingkatan usaha jasa wisata yang dapat diakses oleh masyarakat adat Tengger

Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:

1. Bagi akademisi, penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai dampak ekowisata bagi masyarakat adat serta menjadi referensi untuk penelitian-penelitan berikutnya. Selain itu diharapkan pula dapat menambah khazanah dalam kajian ekowisata dan masyarakat adat.

2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan dalam menyusun dan mengambil kebijakan mengenai ekowisata serta masyarakat adat.

3. Bagi swasta, penelitian ini diharapkan bisa memberikan gambaran tentang keterlibatan masyarakat adat dalam usaha ekowisata, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam aktivitasnya yang berhubungan dengan pengembangan ekowisata.

(20)
(21)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Masyarakat Adat

Menurut Kongres Masyarakat Adat Nusantara I (Maret 1999), masyarakat adat dirumuskan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Selain itu dalam Konvensi ILO 1989 menyebutkan bahwa masyarakat adat adalah masyarakat yang berdiam di negara-negara merdeka dimana kondisi sosial, kultural dan ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut dan statusnya diatur, baik seluruh maupun sebagian oleh masyarakat adat dan tradisi masyarakat adat tersebut dengan hukum dan peraturan khusus.

Menurut ahli hukum adat Ter Haar dalam Sumardiani (tidak ada tahun) masyarakat hukum adat merupakan masyarakat yang memiliki kesamaan wilayah (teritorial), keturunan (geneologis) serta wilayah dan keturunan (teritorial-geneologis), sehingga terdapat keragaman bentuk masyarakat adat dari suatu tempat ke tempat yang lain. Peraturan Menteri Agraria/Ka BPN no. 5 Tahun 1999 juga menyebutkan pengertian mengenai masyarakat hukum adat yakni sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

Pasal 67 ayat 1 Undang-undang Kehutanan (UU No. 41 Tahun 1999) memberikan kriteria yang harus dipenuhi oleh masyarakat adat, antara lain:

a. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

c. Ada wilayah hukum adat yang jelas;

d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan e. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk

pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Sedangkan pada UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Pakar Hukum Adat Ter Har, Kementrian Agraria, Konvensi ILO dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam Sumardiani (tidak ada tahun) ada lima hal yang disebutkan harus dipenuhi sehingga memenuhi syarat bagi suatu masyarakat hukum adat, yaitu dalam hal

(i) Komunitas: adanya sekelompok orang yang membentuk masyarakat;

(ii) Ada wilayah lokasi keberadaan komunitas itu berada,

(iii) Ada aturan atau hukum yang jelas;

(iv) Ada kondisi kultural, budaya, atau ekonomi yang khas sehingga berbeda dengan masyarakat lainnya, dan

(v) Berasal dari satu keturunan yang sama.

Menurut Martinez Cobo (tidak ada tahun) dalam Qodriyatun (2015) mendefinisikan masyarakat adat ke dalam empat kriteria, yaitu:

(1) Memiliki kelanjutan sejarah dari masa masyarakat pra-invasi yang hadir di wilayah mereka;

(2) Memiliki kekhasan bila dibandingkan dengan kelompok lain di masyarakat; (3) Bukan merupakan kelompok dominan di dalam masyarakat; dan

(4) Memiliki kecenderungan untuk menjaga, mengembangkan dan melanjutkan wilayah adatnya kepada generasi berikut sebagai identitas mereka yang memiliki pola kebudayaan sendiri, institusi sosial dan sistem hukum.

(22)

(1) Memiliki hubungan yang kuat dengan wilayah dan sumberdaya alam di sekitarnya; (2) Memiliki perbedaan sistem sosial, ekonomi, dan politik; dan

(3) Memiliki bahasa, budaya, dan kepercayaan. (Qodriyatun 2015)

Selanjutnya, Soerjono Soekanto mengungkapkan bahwa penghidupan masyarakat adat berciri komunal dimana gotong royong, tolong menolong, serasa dan semalu mempunyai peranan yang besar. Pemerintah juga memiliki tanggung jawab dalam hal penghidupan masyarakat adat seperti yang ditulis dalam Konvensi ILO 169 pasal 2. Dalam Konvensi ILO 169 Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa Pemerintah bertanggungjawab mengembangkan, dengan mengikutsertakan masyarakat yang berkepentingan, mengkoordinasikan dan dengan tindakan sistematis untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan menjamin bahwa mereka dihargai integritasnya.

Menyambung pernyataan pada Pasal 2 ayat 1, dalam Pasal 2 ayat 2 tertulis: Tindakan tersebut meliputi langkah-langkah untuk: a). Menjamin anggota masyarakat adat untuk memperoleh manfaat secara merata atas hak dan kesempatan yang oleh peraturan perundang-undangan negara diberikan kepada penduduk lainnya; b). Meningkatkan terwujudnya pemenuhan atas hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat adat sesuai dengan identitas sosial dan budaya, adat istiadat dan lembaga mereka; c). Membantu para anggota masyarakat yang berkepentingan untuk membatasi kesenjangan sosial-ekonomi dari masyarakat lain, dengan cara yang sesuai dengan aspirasi dan jalan hidup mereka.

Selain itu pada Pasal 20 ayat 2 mengatakan bahwa Pemerintah harus sedapat mungkin mencegah diskriminasi antara pekerja dari masyarakat ini dan pekerja lainnya. Kemudian pada Pasal 20 ayat 3d menyatakan bahwa pekerja dari masyarakat ini memperoleh kesempatan yang sama juga perlakuan yang sama dalam pekerjaan untuk pria dan wanita, serta perlindungan dari pelecehan seksual. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hak masyarakat adat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dijamin oleh undang-undang dan negara.

Pariwisata dan Ekowisata

Mengacu pada UU Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan, wisata didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam waktu sementara. Selanjutnya, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. Selain itu, kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dengan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha.

Kepariwisataan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Tujuan kepariwisataan yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan dan sumberdaya, memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta tanah air, memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, serta mempererat persahabatan antar bangsa.

(23)

jasa wisata; (iv) pemerintah, memiliki otoritas dalam pengaturan, penyediaan, dan peruntukan berbagai infrastuktur; (v) masyarakat lokal, terutama penduduk asli yang bermukim di kawasan wisata, yang akan menyediakan sebagian besar atraksi sekaligus menentukan kualitas produk wisata; (vi) lembaga swadaya masyarakat (LSM), melakukan berbagai kegiatan terkait dengan konservasi dan regulasi kepemilikan serta pengusahaan sumberdaya alam setempat.

Selanjutnya ekowisata pun termasuk ke dalam kategori pariwisata. Menurut The International Eco Tourism Society (TIES) dalam Suarthana (2011) menyatakan ekowisata adalah perjalanan wisata ke wilayah-wilayah alam dalam rangka mengkonservasi atau menyelamatkan lingkungan dan memberi penghidupan penduduk lokal. Masih dalam Suarthana (2011) World Concervation Union (WCU) menyatakan bahwa ekowisata adalah perjalanan wisata ke wilayah-wilayah yang lingkungan alamnya masih asli dengan menghargai warisan budaya dan alamnya, mendukung upaya-upaya konservasi tidak menghasilkan dampak negatif dan memberi keuntungan sosial, ekonomi serta menghargai partisipasi penduduk lokal.

Tidak hanya itu, ekowisata wajib memuat tiga hal, yakni warisan budaya, partisipasi dan kesejahteraan penduduk lokal, dan konservasi lingkungan; yang dikelola dengan unsur pendidikan. Jika salah satu hal tersebut di atas tidak terpenuhi maka tidak lagi masuk kriteria sebagai ekowisata (Nugroho dan Negara 2015). Pengembangan ekowisata di areal kawasan taman nasional menyebabkan adanya interaksi komunitas lokal dengan kawasan. Interaksi ini memberikan pengaruh dinamis terhadap kawasan dan diharapkan interaksi ini adalah interaksi yang mampu meningkatkan kualitas kehidupan dalam masyarakat dan sekaligus mengkonservasi warisan alam dan budaya (Ginting et al. 2010).

Dampak Pariwisata

Pariwisata dianggap sebagai salah satu sektor ekonomi penting tetapi apabila tidak dilakukan dengan benar, maka pariwisata berpotensi menimbulkan masalah atau dampak negatif terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan (Suwantoro 1997 dalam Dhalyana dan Adiwibowo 2013). Retnowati (2004) dikutip oleh Dhalyana dan Adiwibowo (2013) mengatakan bahwa adanya aktivitas ekowisata (pariwisata) dapat memberi manfaat kepada masyarakat setempat dengan pembukaan lapangan kerja, kesempatan berusaha, dan pendanaan yang diserap kembali dalam bentuk proyek-proyek pembangunan daerah.

Selain itu Ginting et al. (2010) dalam jurnalnya juga mengatakan bahwa penyelenggaraan ekowisata merupakan salah satu upaya untuk melestarikan dan mengurangi kerusakan sumberdaya alam, termasuk hutan dan taman nasional. Keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi sangat tergantung kepada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan oleh komunitas lokal yang tinggal di sekitar kawasan konservasi. Untuk mencapai dukungan dan penghargaan ini diantaranya adalah dengan memberikan manfaat ekonomi bagi komunitas lokal yang tinggal berdekatan dengan kawasan konservasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas lokal.

Pengembangan ekowisata di areal kawasan taman nasional menyebabkan adanya interaksi komunitas lokal dengan kawasan. Ginting et al. (2010) menyatakan bentuk interaksi komunitas lokal yang dihasilkan dibagi menjadi dua, yakni Aktifitas ekowisata dan aktifitas non ekowisata. Bentuk-bentuk aktifitas ekowisata yang terjadi adalah pengelolaan penginapan, warung, guide, pertanian, penyewaan lahan, pengambilan hasil hutan dll. Sedangkan aktifitas non ekowisata dibagi menjadi tiga bagian, yakni pengambilan hasil hutan, aktifitas pertanian (bertani, buruh tani, dan beternak) dan aktifitas non pertanian (buruh harian lepas, warung, wiraswasta, karyawan BUMN, karyawan swasta, Pegawai Negeri Sipil, bengkel dan honorer).

Perkembangan industri pariwisata mengakibatkan beragamnya jenis pekerjaan/usaha yang berkembang di suatu lokasi pariwisata. Beberapa jenis pekerjaan dapat dilakukan dengan usaha sendiri, namun beberapa diantaranya membutuhkan bantuan keluarga atau karyawan tetap.

(24)

(i) Dapat menciptakan kesempatan berusaha,

(ii) Dapat meningkatkan kesempatan kerja (employment),

(iii) Dapat meningkatkan pendapatan sekaligus mempercepat pemerataan pendapatan masyarakat,

(iv) Dapat meningkatkan penerimaan pajak pemerintah dan retribusi daerah. (v) Dapat meningkatkan pendapatan nasional atau Gross Domestic Bruto (GDB) (vi) Dapat mendorong peningkatan investasi dari sektor industri pariwisata dan sektor

ekonomi lainnya,

(vii) Dapat memperkuat neraca pembayaran (Yoeti 2008)

Selanjutnya Wijayanti et al. (2008) dalam jurnalnya mengemukakan bahwa dampak ekonomi yang berasal dari kegiatan ekowisata, mengacu pada perubahan pemasaran, pendapatan, lapangan pekerjaan dan lainnya. Ennew (2003) seperti dikutip Wijayanti et al. (2008) mengelompokkan dampak ekonomi menjadi tiga kategori, yakni manfaat langsung (direct), tidak langsung (indirect) dan induced dengan menghitung arus uang pada aktivitas yang dilakukan oleh para pelaku ekowisata.

Untuk mengetahui sejauh mana kontribusi keberadaan industri pariwisata terhadap jumlah dan tingkat pendapatan masyarakat dilakukan pengukuran struktur pendapatan. Pengukuran dilakukan dengan analisis terhadap struktur pendapatan khususnya kepada rumah tangga pelaku usaha pariwisata. Selanjutnya dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Dhalyana dan Adiwibowo (2013) disebutkan bahwa pariwisata memberikan kontribusi pendapatan lebih besar dibandingkan nonpariwisata. Pariwisata secara keseluruhan menyumbang sebesar 82 persen dari total pendapatan selama satu bulan. Hal ini menunjukkan keberadaan industri pariwisata sangat penting untuk menopang perekeonomian rumah tangga penduduk lokal. Penduduk lokal sangat bergantung terhadap adanya aktivitas wisata untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. Besarnya pendapatan yang diperoleh dari sektor pariwisata erat kaitannya dengan jumlah kunjungan wisatawan. Oleh karenanya, besar pendapatan yang diterima para pelaku usaha pariwisata selalu mengalami pasang surut sesuai dengan musim kunjungan wisatawan. Umumnya dibedakan menjadi 4 musim, yaitu musim sepi pengunjung (hari kerja), musim libur (weekend) musim libur long weekend, musim puncak kunjungan wisatawan.

Pitana dan Gayatri (2004) menyatakan bahwa dalam melihat dampak sosial budaya pariwisata terhadap masyarakat setempat tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang internally totally integrated entity, melainkan harus juga dilihat segmen-segmen yang ada atau melihat interest groups. Hal tersebut disebabkan dampak terhadap kelompok sosial yang satu belum tentu sama bahkan bisa bertolak belakang dengan dampak terhadap kelompok sosial yang lain. Dampak pariwisata terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat setempat sangat sulit diukur dan umumnya dipandang oleh masyarakat setempat hanya memberikan dampak negatif. Dampak positif sosial budaya dari aktivitas pariwisata adalah terjadinya pemahaman dan saling pengertian antar budaya (intercultural understanding) antara pengunjung wisata dengan masuarakat setempat, dimana pengunjung (turis) mengenal dan menghargai kehidupan sosial budaya masyarakat setempat dan sebaliknya masyarakat setempat juga dapat memahami dan menghargai latar belakang sosial budaya turis.

(25)

Konsep Respon

Respon merupakan balasan atau tanggapan seseorang terhadap sesuatu. Proses merespon dilatarbelakangi oleh tiga hal yakni sikap, persepsi dan partisipasi (Saputra 2015). Selain itu dalam penelitian Saputra (2015) menyebutkan bahwa sikap yang muncul dapat positif, yakni cenderung menyenangi, mendekati dan mengharapkan suatu objek. Sebaliknya, seseorang disebut mempunyai respon negatif apabila informasi yang didengan atau perubahan terhadap sesuatu objek tidak mempengaruhi tindakannya atau justru menghindar dan membenci objek tertentu. Dengan kata lain respon dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan atau tanggapan seseorang, baik positif maupun negatif terhadap suatu hal.

Perbedaan respon terhadap perubahan yang ditunjukkan oleh masyarakat yang terlibat dalam sebuah program ada 3 macam menurut Sayogyo (1984) dalam Sumardiani (2008), yaitu:

1. Respon positif

Terjadi jika individu dalam masyarakat tersebut terdorong untuk ikut serta mengambil bagian dalam seluruh perncanaan dan pemenuhan program.

2. Respon negatif

Terjadi jika unsur pembaharuan tidak berhasil membuat masyarakat tersebut ikut serta, baik dalam perencanaan maupun dalam pemenuhan program.

3. Respon netral

Terjadi jika pengikutsertaan masyarakat tidak relevan dengan hasil rencana tersebut. Pada penelitian yang dilakukan Afianti (2011) mengenai respon masyarakat lokal atas kehadiran industri pengolahan tahu, respon masyarakat lokal dibagi menjadi tiga, yakni respon masyarakat terhadap dampak sosial, ekonomi dan sosio ekologis dari hadirnya industri pengolahan tahu. Variabel yang digunakan pada respon sosio-ekonomi yakni, tingkat persaingan bekerja antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang, tingkat kesempatan kerja, tingkat hubungan sosial antar masyarakat dan tingkat pendapatan. Sedangkan pada respon sosio-ekologi variabel yang digunakan adalah tingkat pencemaran, tingkat kenyamanan hidup, tingkat konflik dan tingkat kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon masyarakat lokal tentang dampak sosio-ekonomi atas hadirnya industri pengolahan tahu, menurut lapisan rumah tangga berbeda-beda. Responden yang berpendapat bahwa ada kesempatan kerja bagi masyarakat lokal hanya sedikit. Selain itu, hanya sedikit responden yang menyatakan adanya persaingan dengan pendatang untuk bekerja pada industri pengolahan tahu. Mengenai hubungan sosial baik dengan pendatang maupun dengan masyarakat lokal, responden dominan menyatakan hubungan sosialnya tergolong baik.

Kerangka Pemikiran

(26)

Berdasarkan kerangka berpikir tersebut maka dapat disusun asumsi dasar penelitian sebagai berikut:

1. Adanya ekowisata Gunung Semeru menciptakan peluang usaha dan jasa wisata bagi masyarakat adat Tengger.

2. Diduga dominan masyarakat adat bekerja di bidang usaha jasa tenaga.

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, hipotesis penelitian ini adalah

1. Diduga masyarakat adat merespon positif atas peluang usaha jasa wisata di sektor informal

2. Diduga semakin tinggi karakteristik penduduk semakin tinggi kesempatan untuk mengakses peluang usaha jasa wisata. 3. Status penguasaan properti atau

(27)

PENDEKATAN LAPANGAN

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif yang akan memperkaya data dan informasi yang diperoleh. Konsep yang diteliti secara kuantitatif adalah mengenai respon masyarakat adat terhadap peluang usaha dan jasa wisata akibat hadirnya ekowisata. Sedangkan informasi tambahan adalah mengenai usaha jasa wisata yang dianalisis secara kualitatif. Pendekatan kuantatif menggunakan metode penelitian survey. Penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam mengenai sejarah ekowisata dan menggunakan teknik snowball serta dengan observasi langsung. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di daerah Ekowisata Gunung Semeru Desa Ranupani, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan bahwa di lokasi tersebut terdapat masyarakat adat Tengger yang tinggal di dalam kawasan ekowisata. Sebelum menentukan lokasi penelitian, peneliti melakukan penelusuran kepustakaan hasil penelitian, artikel dari internet, serta beberapa narasumber yang memberikan informasi mengenai wilayah ini.

Penelitian dilaksanakan dalam waktu empat bulan, mulai bulan Maret 2016 hingga Juni 2016. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, pengambilan data lapang, pengolahan data, penyusunan skripsi (Lampiran 2).

Teknik Penentuan Informan dan Responden

Informan adalah orang yang termasuk dalam kegiatan ini yang memberikan keterangan mengenai informasi apapun yang ada di sekitar lingkungannya dan yang berhubungan dengan topik penelitian ini. Masyarakat adat Tengger yang dapat menjadi informan dalam penelitian ini adalah mereka yang mengerti dan paham mengenai sejarah perkembangan ekowisata Gunung Semeru serta yang terlibat dalam kegiatan usaha jasa wisata. Informan kunci dalam penelitian ini adalah tokoh masyarakat (Dukun Tengger, Ketua Dusun, Kepala Desa, Ketua RT), tokoh yang dituakan di desa, serta pengelola kawasan ekowisata. Pemilihan informan ini dilakukan secara sengaja (purposive).

Populasi adalah keseluruhan subyek yang telah ditetapkan oleh peneliti secara umum berdasarkan karakteristik tertentu. Populasi dapat digunakan dalam menentukan sampel. Populasi sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat yang terlibat dalam usaha jasa wisata, yakni usaha penyewaan homestay, usaha penyewaan alat-alat pendakian, usaha penyewaan jip, usaha warung makan serta Porter di Desa Ranupani. Unit analisis dari penelitian ini adalah rumah tangga. Populasi sampel berjumlah sekitar 150 orang.

Sampel adalah bagian yang mewakili populasi dalam penelitian dan memiliki karakteristik yang akan diteliti. Dalam penyusunan sampel terlebih dahulu ditentukan kerangka sampel untuk mempermudah peneliti dalam pengambilan data. Metode dalam pengambilan sampel atau responden menggunakan metode teknik acak terlapis (stratified random sampling) dengan alasan bahwa populasi sampel terdiri dari beberapa kelompok jenis usaha (heterogen). Metode pengambilan sampel acak terlapis adalah metode pengambilan sampel dengan karakteristik populasi yang heterogen dengan melihat perbedaan sifat dari populasi. Jumlah sampel yang diteliti berjumlah 39 responden.

Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data

(28)

desa, dan hasil penelitian akademis terdahulu. Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan uji validitas dan uji reliabilitas untuk menguji kuesioner. Uji validitas dilakukan Desa Ngadas dengan alasan bahwa masyarakat desa tersebut memiliki karakteristik yang sama dengan Desa Ranupani yakni berasal dari Suku Tengger dan sebagian dari masyarakatnya memiliki usaha jasa wisata dengan jumlah minimal 10 responden .

Setelah seluruh data terkumpul, dilakukan pengolahan data secara kuantitatif. Tabel frekuensi digunakan untuk mendapatkan deskripsi mengenai karakteristik responden yang terlibat dalam usaha jasa wisata. Kemudian dilakukan pengkodean yang akan berlanjut pada tahap perhitungan presentase jawaban dengan menggunakan sistem tabulasi silang. Data tersebut akan diolah menggunakan software Microsoft Excel 2007 dan SPSS (Statistical Program for Social Sciences) for Windows versi 21.0.

(29)

Tabel 1 Kebutuhan Data dan metode pengumpulan data dalam penelitian

No Kebutuhan Data Jenis Data Sumber Data Metode

(30)

Definisi Konseptual

1. Ekowisata Gunung Semeru adalah perjalanan wisata alam ke wilayah pegunungan dengan tetap mendukung upaya-upaya konservasi agar tidak merusak keindahan alam yang ada.

2. Sejarah perkembangan ekowisata Gunung Semeru adalah asal usul ekowisata Gunung Semeru sejak pertama kali dikenal oleh masyarakat sekitar dan masyarakat luar beserta perubahannya dari tahun ke tahun.

3. Daya tarik wisata adalah objek atau atraksi wisata yang dapat ditawarkan kepada wisatawan pada suatu lokasi ekowisata. Daya tarik wisata yang ada di ekowisata Gunung Semeru adalah Danau Ranupani, Danau Ranu Regulo, Danau Ranu Kumbolo, hutan alam, padang edelweis, kalimati, serta wisata budaya adat Tengger dll.

4. Peluang usaha jasa wisata adalah kesempatan usaha di bidang jasa wisata yang muncul akibat hadirnya ekowisata. Peluang usaha yang muncul diantaranya adalah porter, guide, penginapan/homestay, rumah makan, penyewaan alat pendakian, penyewaan jip, warung kecil dll.

5. Jumlah kunjungan wisatawan adalah banyaknya wisatawan baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara yang datang berkunjung ke ekowisata Gunung Semeru perbulan pertahun.

Definisi Operasional

1. Karakteristik pelaku usaha adalah karakteristik individu yang terdapat pada setiap pelaku usaha yang diukur dari varibel:

a. Usia: lama responden hidup di dunia yang diukur dalam satuan tahun. Jenis data ordinal dan akan dibedakan menjadi tiga kelompok umur, range umur akan diketahui setelah melakukan penelitian yakni:

i. Muda : X ≤ 30 tahun

ii. Sedang : 31 tahun ≤ X ≤ 42 tahun iii.Dewasa : X ≥ 43 tahun

b. Jenis Kelamin: Sifat fisik responden yang tercantum dalam kartu identitas responden. Jenis data ordinal. Dibedakan menjadi perempuan atau laki-laki.

c. Tingkat pendidikan: lama dalam tahun tingkat pendidikan formal yang pernah diselesaikan oleh responden. Diukur dengan indikator jumlah tahun (lama) pendidikan formal yang ditempuh oleh responden. Jenis data ordinal. Tingkat pendidikan responden akan dikelompokkan menjadi tiga, yakni:

i. Pendidikan rendah (Tidak tamat SD/Tamat SD/MI/Sederajat) ii. Pendidikan sedang (SMP/Mts/sederajat)

iii.Pendidikan tinggi (SMA/SMK/MA/sederajat/D3/S1)

d. Jenis Pekerjaan: aktivitas atau kegiatan yang dilakukan sehari-hari oleh masyarakat dan menjadi tulang punggung dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

e. Etnisitas: kelompok sosial yang memiliki kebudayaan berdasarkan dengan adat, dan keturunan, yang dibedakan dalam kategori:

i. Etnis Tengger adalah seseorang yang memiliki adat Tengger dan termasuk ke dalam struktur kehidupan adat.

ii. Etnis non-Tengger adalah seseorang yang memiliki adat di luar Tengger dan tidak termasuk ke dalam struktur kehidupan adat.

2. Respon masyarakat lokal adalah reaksi atau tanggapan seseorang terhadap peluang usaha jasa wisata di kawasan ekowisata Gunung Semeru. Hasil akumulasi skor dikelompokkan ke dalam skala: i). Tinggi (45-60), ii). Sedang (29-44), iii). Rendah (12-28)

Respon ini dilihat dari beberapa indikator diantaranya adalah:

(31)

b. Tingkat Pergeseran mata pencaharian adalah perubahan komposisi pekerjaan sebelum dikenalnya ekowisata Gunung Semeru dan setelah adanya ekowisata.

c. Status penguasaan properti atau fasilitas usaha jasa ekowisata terbagi menjadi dua yakni milik penduduk Tengger dan milik bukan masyarakat Tengger. Pengukuran ini berdasarkan status pelaku usaha jasa wisata dalam menguasai properti atau fasilitas usaha jasa wisata yang dibagi menjadi:

- Pemilik (Skor = 3) - Bagi hasil (Skor = 2) - Sewa (Skor =1)

(32)
(33)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Gambaran umum Desa Ranupani

Kondisi Geografis, Demografi dan Infrastruktur Desa Ranupani

Desa Ranupani terletak di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur. Desa Ranupani memiliki luas 385 hektar. Sebelah utara Desa Ranupani berbatasan dengan Desa Ngadas dan sebelah Selatan berbatasan dengan Burno. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Argosari dan sebelah barat berbatasan dengan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Resort Ranupani.

Sebelum tahun 2002, Desa Ranupani merupakan salah satu dukuh/dusun di Desa Argosari. Pemisahan wilayah ini lebih dikarenakan oleh sulitnya penduduk di Ranupani dalam mengurus surat-menyurat atau administrsi jika terjadi sesuatu dalam kehidupannya, misalnya menikah, melahirkan, kematian dan lain-lain. Untuk mengurus keperluan administrasi tersebut penduduk Ranupani harus mengeluarkan uang sebesar Rp.50.000,- sebagai ongkos ojek untuk menuju ke ibu kota desa, yaitu Dukuh/Dusun Argosari. Apabila tidak bisa diselesaikan dalam satu hari biaya yang harus dikeluarkan oleh penduduk yang tinggal di Ranupani cukup besar yang tentunya sangat memberatkan bagi penduduk (Yuliati 2011).

Desa Ranupani ini merupakan desa terakhir sebelum melakukan pendakian ke Gunung Semeru yang juga termasuk daerah enclave. Desa Ranupani dapat dicapai dengan kendaraan bermotor roda dua atau empat dengan jarak tempuh kurang lebih 1,5 jam dari Malang maupun Lumajang (Nugroho 2014). Jalan menuju Desa Ranupani dari Tumpang hingga perbatasan Desa Ngadas dan Ranupani masih tergolong baik, sedangkan saat mulai memasuki Dusun Sidodadi jalan masih berbatu dan rusak. Hal ini terjadi karena perbedaan pemerintahan antara Desa Ngadas dan Ranupani. Desa Ngadas termasuk ke Kabupaten Malang, sedangkan Desa Ranupani termasuk ke Kabupaten Lumajang. Jarak pusat pemerintahan Desa Ranupani dengan Kecamatan Senduro sejauh 28 km, jarak dengan Kabupaten Lumajang sejauh 45 km, jarak dengan Kota Surabaya sejauh 145 km.

Areal pemukiman Desa Ranupani terbagi menjadi dua dusun, yakni Dusun Sidodadi dan Dusun Besaran dengan tujuh Rukun Tetangga (RT) dan dua Rukun Warga (RW). Dusun Sidodadi terbagi menjadi empat Rukun Tetangga (RT) dan satu Rukun Warga (RW), sedangkan Dusun Besaran terbagi menjadi tiga Rukun Tetangga (RT) dan satu Rukun Warga (RW). Nama Dusun Sidodadi dan Dusun Besaran ini juga memiliki cerita tersendiri:

“Awalnya Dusun Sidodadi bernama Dusun Gedok Asu karena pada zaman Belanda dulu terdapat kandang anjing (anjing dalam bahasa Jawa disebut Asu) untuk menjaga peternakan sapi Belanda. Disebut Dusun Besaran karena yang memiliki peternakan sapi tersebut adalah orang Belanda yang dikenal sebagai Tuan Besar yang memiliki rumah di sekitar danau Ranu Pani,” (AMN, 75 tahun, Tokoh masyarakat)

Sebutan lain dari Dusun Sidodadi adalah dusun atas dan Dusun Besaran adalah dusun bawah. Dari kedua dusun tersebut, Dusun Besaran menjadi titik berkumpulnya para pendaki sebelum melakukan pendakian. Karena di dusun inilah lokasi terakhir dan terdekat dengan gerbang pendakian Gunung Semeru. Selain itu, pendaki juga diharuskan mendaftarkan diri di Resort Ranupani yang letaknya di Dusun Besaran.

Desa yang terletak pada ketinggin 2.100-2.200 mdpl ini pada musim hujan suhu maksimal bisa mencapai 30°C dan turun menjadi 6°C pada malam hari. Sedangkan pada saat musim kemarau suhu pada siang hari hanya mencapai 28°C dan kemudian turun hingga -6°C pada malam hari. Kawasan Ranupani setiap hari hampir selalu berkabut dan dingin. Suhu udara rata-rata mencapai 10°C. Pada bulan Januari-Februari angin bertiup kencang disertai dengan hujan yang terus menerus dengan rata-rata curah hujan 992 mm/tahun (BBTNBTS 2010).

(34)

menghangatkan badan, perapian ini juga berfungsi sebagai tempat memasak. Para tamu yang datang ke rumah penduduk biasanya langsung diarahkan menuju dapur atau tempat perapian untuk menghangatkan badan. Sebagian besar penduduk masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan untuk perapian namun sebagian lagi sudah lebih modern yakni dengan menggunakan arang.

Tercatat 408 kepala keluarga yang terdaftar di desa ini dengan total penduduk sekitar 1840 jiwa pada tahun 2016 yang terdiri atas 663 jiwa penduduk laki-laki dan 769 jiwa penduduk perempuan. Jumlah tersebut merupakan total dari jumlah penduduk di dua dusun, yakni Dusun Sidodadi sebanyak 1103 jiwa dengan 230 kepala keluarga dan Dusun Besaran 737 jiwa dengan 178 kepala keluarga.

Sarana dan prasana pendidikan yang berada di Desa Ranupani meliputi: tiga buah gedung taman kanak-kanak, dan satu buah gedung Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang juga digunakan sebagai gedung Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada saat siang hari. SMP ini baru dibuka di Desa Ranupani sejak tahun 2011 yang dinamakan SMP Satu Atap karena Besaran, satu buah gereja yang terletak di Dusun Besaran, dan dua buah pura.

Selain sarana pendidikan, adapula sarana kesehatan yakni satu gedung Puskesmas. Gedung ini sering digunakan masyarakat untuk mengobati balita mereka. Letaknya berdekatan dengan kantor Balai Desa. Namun kantor Balai Desa ini jarang digunakan oleh para pejabat desa atau seringkali tutup. Hanya jika ada acara-acara tertentu saja kantor ini buka. Walaupun begitu, kantor balai desa ini sering didatangi oleh masyarakat untuk sekedar bermain internet karena terdapat jaringan wireless fidelity (Wifi) yang bisa diakses siapa saja. Selain itu di Desa Ranupani juga memiliki beberapa bangunan peribadatan, diantaranya dua buah masjid, satu buah gereja, dan pura.

Desa Ranupani juga memiliki kendala seperti tidak ada satelit untuk telepon genggam. Sehingga seringkali baik masyarakat sekitar maupun pendatang kesulitan untuk berkomunikasi. Sebagai pengganti telepon genggam, masyarakat Desa Ranupani menggunakan pesawat telepon untuk memudahkan berkomunikasi. Pesawat telepon ini juga menggunakan nomor telepon khusus yang hanya dapat digunakan di daerah pegunungan.

Selain itu, fasilitas listrik di Desa Ranupani sendiri baru ada tahun 2007. Listrik tersebut merupakan fasilitas dari pemerintah Malang, padahal Desa Ranupani termasuk ke dalam pemerintahan Kabupaten Lumajang. Hal ini disebabkan jarak Desa Ranupani ke pemerintahan lebih dekat dibandingkan dengan ke Kabupaten Lumajang.

Tabel 2 jumlah dan presentase pemilik alat komunikasi di Desa Ranupani

Alat komunikasi Jumlah Persentase (%)

Pesawat telepon 147 59.5

Pesawat televise 60 24.3

Radio 25 10.1

Antena Parabola 15 6.1

Total 247 100

Sumber: Data Profil Desa Ranupani 2010 diolah

Kondisi Sosial dan Ekonomi Penduduk

(35)

porter serta membuka rumah makan. Sayuran yang ditanam biasanya meliputi kentang, kol, dan daun bawang (bawang pree). Hal ini karena lokasi desa berada di tengah bukit dan berada pada ketinggian 2.100-2.200 mdpl yang membuat cocok untuk menanam ketiga jenis sayuran tersebut. Rata-rata luas lahan pertanian yang dimiliki oleh penduduk Desa Ranupani hanya sebesar 0.25 hektar saja. Selain karena penyempitan lahan, juga karena sudah diwariskan untuk anak-anaknya.

Selain itu, tingkat pendidikan penduduk Desa Ranupani pun masih terbilang rendah. Rata-rata penduduknya lulusan SD/sederajat dan masih banyak juga yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali (Nugroho, 2014). Mayoritas penduduk Desa Ranupani beragama Islam. Hal ini berlawanan dengan masyarakat Suku Tengger pada umumnya yang beragama Hindu. Meskipun secara umum masyarakat Desa Ranupani beragama Islam, namun masih mengikuti tata cara adat istiadat suku tengger baik dalam kehidupan sehari-hari (upacara-upacara yang berkaitan dengan siklus hidup manusia) maupun hari besar (Susanti 2014). Penduduk Desa Ranupani sendiri mayoritas beragama Islam.

Sekilas tentang Masyarakat Tengger

Nama Tengger diambil berdasarkan salah satu legenda masyarakat, berasal dari paduan suku kata terakhir dari nama dua nenek moyang yakni Rara Anteng dan Jaka Seger (teng dan ger). Masyarakat Tengger dalam kehidupan sehari-hari memegang nilai tradisi berdasarkan sistem religi yang dianutnya. Masyarakat Tengger umumnya memeluk agama Hindu Tengger, namun berkembang pula agama Islam, Kristen dan Budha. Di Desa Ranupani sendiri mayoritas masyarakatnya beragama Islam, namun mereka masih menjalankan tradisi atau ikut berpartisipasi dalam setiap pelaksanaan kegiatan adat seperti upacara Kasada, upacara Karo, upacara Unan-unan dll.

Ciri masyarakat Tengger lainnya adalah penggunaan sarung oleh hamper semua masyarakat mulai usia muda sampai tua, laki-laki dan perempuan. Sarung dipercaya memiliki fungsi untuk mengendalikan perilaku dan ucapan masyarakat, selain fungsinya untuk menahan udara dingin di pegunungan. Masyarakat Tengger Ranupani memiliki keaarifan local yang berkenaan dengan pelestarian sumber daya alam dalam bentuk kepercayaan akan keberadaan dewi penunggu emas di gua deka Ranu Regulo, sehingga mereka tidak berani mengganggu kelestarian alam di daerah tersebut. (Sayektiningsih et al 2008).

Gambaran Umum Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Sekilas Sejarah Kawasan

Sebelum ditetapkan sebagai kawasan taman nasional, kawasan Bromo Tengger Semeru, komplek pegunungan Tengger dan Jambangan/Semeru merupakan kawasan cagar alam, taman wisata hutan lindung dan hutan produksi terbatas. Awalnya kawasan Bromo Tengger Semeru adalah kawasan Cagar Alam Laut Pasir Tengger dengan luas 5.250 ha yang ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda tanggal 21 Februari 1919 No. 6 Stbl. 1919 No. 90. Melalui surat Keputusan Menteri Pertanian No. 198/Kpts/Um/5.1981 tanggal 13 Maret 1981 kawasan ini ditunjuk sebagai Taman Wisata Alam Tengger Laut Pasir denan luas 2,67 ha. Hingga pada akhirnya kawasan ini pertama kali dinyatakan sebagai kawasan Taman Nasional berdasarkan Surat Pernyataan Menteri Pertanian Nomor 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 seluas 58.000 ha. Luas Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) mengalami perubahan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.278/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 menjadi 50.276,3 ha. Kemudian Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ditetapkan melalui keputusan Menteri Kehutanan No.178/Menhut-II/2005 tanggal 29 Juni 2005 seluas 50.276,20 ha yang meliputi wilayah 4 kabupaten, yaitu Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang.

(36)

1. Cagar Alam Laut Pasir Tengger seluas 5.250 hektar, ditunjuk berdasarkan Surat Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda tanggal 21 Februari 1919 No. 6 Stbl. 1919 No.90. 2. Cagar Alam Ranu Pani dan Ranu Regulo seluas 96 hektar, ditunjuk berdasarkan Surat

keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 8 Desember 1922 No. 25 Sbtl.1922 No.765.

3. Cagar Alam Ranu Kumbolo seluas 1.340 Hektar, ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda Tanggal 4 Mei 1936 No. 18 Sbtl.1936 N0. 209.

4. Taman Wisata Tengger Laut Pasir seluas 2,67 hektar, ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 13 Maret 1981 No. 198.Kpts/Um/5/1981.

5. Taman Wisata Ranu Darungan seluas 380 hektar, ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 2 Mei 1981 No. 508/Kpts/Um/6/1981.

6. Taman Wisata Ranu Pani-Regulo seluas 96 hektar, ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 12 Juni 1981 No. 442/Kpts/Um/6/1981.

7. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru seluas 58.000 hektar, ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 14 Oktober 1982 No. 736/mentas/X/1982. 8. Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru seluas 50.276,20 hektar, ditunjuk

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tanggal Kehutanan Nomor 278/Kpts-II/1997 tanggal 23 Mei 1997.

9. Melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2007, tanggal 01 Februari 2007 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis TamanNasional Bromo Tengger Semeru menjadi Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dengan tipe IIB (Susanti 2014)

(37)

Tabel 3 jalur masuk dan perhubungan ke Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Surabaya-Malang 89 Umum Aspal 90 menit Bus/Taxi

Malang-Tumpang 18 Umum Aspal 30 menit Taxi

Tumpang-Gubugklakah 12 Umum Aspal 30 menit Jeep/Taxi

Gubugklakah-Ngadas 16 Sewa Aspal/Cor 40 menit Jeep

Ngadas-Jemplang 1 Sewa Beton/Cor 10 menit Jeep

Surabaya-Pasuruan 40 Umum Aspal/Baik 45 menit Bus/Taxi

Pasuruan-Warungdowo 4 Umum Aspal/Baik 15 menit Bus/Taxi

Warungdowo-Tosari 36 Umum Aspal/Baik 60 menit Taxi

Tosari-Wonokitri 3 Sewa Aspal/Baik 15 menit Jeep/Taxi

Wonokitri-Dingklik 6 Sewa Aspal/Baik 25 menit Jeep

Dingklik-Penanjakan 4 Sewa Aspal/Baik 20 menit Jeep

Dingklik-Laut Pasir 3 Sewa Aspal/Baik 20 menit Jeep

Laut Pasir-G. Bromo 4 Sewa Pasir 20-60 menit kuda/Jeep

C

Surabaya-Probolinggo

(Tongas) 100 Umum Aspal/Baik 120 menit Bus/Taxi

Tongas-Sukapura 16 Umum Aspal/Baik 30 menit Bus/Taxi

Sukapura-Cemorolawang 27 Umum Aspal/Baik 60 Menit Bus/Taxi

C.lawang-G.Bromo 2,5 Sewa Batu/Pasir 40 Menit Kuda

D

Gunung semeru merupakan gunung berapi tertinggi di Pulau Jawa dengan ketinggian 3.676 mdpl dan puncaknya bernama Puncak Mahameru. Beberapa objek wisata yang dapat ditemui di sepanjang rute menuju Gunung Semeru diantaranya adalah:

a. Ranu Pani dan Ranu Regulo

Ranu Pani dan Ranu Regulo adalah sebuah danau yang terletak di ketinggian 2.200 mdpl. Kedua danau ini dapat dijumpai saat mendaftar surat ijin masuk kawasan di Resort Ranu Pani.

(38)

Sebuah danau yang terletak pada ketinggian 2390 mdpl dengan luas 17 ha. Salah satu objek wisata yang menarik para wisatawan dan biasa dijadikan sebagai lokasi perisitirahatan.

c. Kalimati

Tempat berkemah terakhir bagi para pendaki sebelum melanjutkan perjalanannya menuju puncak Mahameru.

d. Arcopodo

Terletak di pertengahan Kalimati dan Gunung Semeru. Di tempat ini terdapat dua buah arca kembar yang dalam bahasa Jawa berarti arcopodo.

e. Oro-oro ombo

Padang rumput yang luasnya sekitar 100 ha, berada pada sebuah lembah yang dikelilingi bukit-bukit gundul dengan tipe ekosistem asli tumbuhan rumput.

f. Cemoro Kandang

Hutan yang didominasi pohon cemara dan paku-pakuan. g. Padang Rumput Jambangan

Daerah padang rumpur yang terletak di atas 3200 mdpl, yang diselingi oleh tumbuhan cemara dan bunga edelweiss.

Jumlah Pengunjung Ekowisata Gunung Semeru

Jumlah pengunjung Ekowisata Gunung Semeru melalui pintu masuk Desa Ranupani terus mengalami kenaikan sejak tahun 2011. Baik itu dari wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara. Hal ini disebabkan karena daya tarik Gunung Semeru yang memiliki beberapa objek wisata yang menarik, seperti Danau Ranu Kumbolo dan puncak Semeru. Selain itu, menurut penuturan penduduk sekitar, pendakian Gunung Semeru semakin ramai setiap tahunnya karena adanya sebuah film yang berjudul 5 Cm yang mengambil latar cerita di Gunung Semeru. Berikut ini gambar kenaikan jumlah pengunjung di Gunung Semeru tiap tahunnya mulai dari tahun 2011

Gambar 2 jumlah pengunjung Gunung Semeru (2011-2015)

Gambar 2 menunjukkan bahwa jumlah pengunjung Gunung Semeru mengalami peningkatan tajam setelah tahun 2012 khususnya pada wisatawan lokal. Peningkatan juga terjadi pada wisatawan mancanegara di tahun 2013 yakni sebanyak 848 pengunjung setelah pada tahun sebelumnya hanya 351 pengunjung. Selain karena film 5 Cm yang digadang-gadang sebagai penyebab melonjaknya jumlah pengunjung, penyebaran informasi yang semakin cepat dan mudahnya transportasi menuju Gunung Semeru pun menjadi alasannya.

(39)

LATAR BELAKANG PERKEMBANGAN EKOWISATA GUNUNG

SEMERU

Ekowisata Gunung Semeru memang sudah dikenal sejak lama. Bahkan pada tahun sekitar 1960-an sudah ada yang mendaki Gunung Semeru. Padahal status Gunung Semeru tersebut masih berupa cagar alam, yakni Cagar Alam Ranu Kumbolo yang ditunjuk pada tanggal 4 Mei 1936 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda. Kawasan dengan status cagar alam ini seharusnya tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang karena sesuai dengan fungsinya yakni untuk melindungi kekayaan alam.

Pada tahun 1969 ada sebuah peristiwa yang terjadi di Gunung Semeru, yakni tewasnya seorang aktivis mahasiswa dari Universitas Indonesia yang bernama Soe Hok Gie dan seorang temannya. Pada saat itu, Soe Hok Gie bersama teman-teman mahasiswanya sedang mendaki melakukan pendakian ke puncak Gunung Semeru. Menurut sebuah berita, meninggalnya Soe Hok Gie dan seorang temannya ini lantaran menghirup gas beracun yang berasal dari Puncak Gunung Semeru. Namun, menurut salah seorang saksi mata yakni masyarakat Desa Ranupani yang membantu mencari dan menurunkan jenazah mengatakan bahwa meninggalnya Soe Hok Gie lantaran terkena runtuhan batu dari puncak Semeru.

“Yang saya tahu, pendaki Gunung Semeru itu yaa pas Soe Hok Gie itu mbak. Pas jaman itu masih sepi mbak, nggak ada pendaki lain. Desa Ranupani ini juga masih sepi. Belum ada kendaraan yang juga buat ngangkut pendaki, jadi pendaki harus jalan. Dulu juga jalanannya nggak bagus kayak sekarang. Dulu jalannya masih tanah sama batu-batu,” (NGA, 66 tahun)

Sejak saat itu pendaki Gunung Semeru mulai berdatangan, khususnya pendaki lokal. Pendaki yang ingin ke Gunung Semeru pada saat itu harus jalan dari Tumpang menuju Desa Ranupani dengan jarak tempuh sekitar 45 km dengan kondisi jalanan yang masih tanah dan batu-batu. Kendaraan atau angkutan masih belum ada, yang ada hanyalah truk untuk mengangkut sayuran hasil panen. Jika beruntung para pendaki tersebut bisa menumpang truk sayuran. Hal yang sama juga dilakukan oleh Soe Hok Gie pada masa itu. Ia bersama teman-temannya harus berjalan kaki berjam-jam untuk tiba di Desa Ranupani.

Kemudian sekitar sepuluh tahun kemudian, yakni tahun 1979 dilakukan peresmian pondok pendaki yang letaknya tidak jauh dari loket informasi dan kantor Resort Ranupani. Peresmian ini dilakukan oleh Abdul Salim, Bupati Lumajang pada saat itu dan juga dihadiri oleh Menteri Lingkungan Hidup. Pondok pendaki ini dibangun dengan tujuan sebagai tempat peristirahatan para pendaki baik selepas mendaki maupun yang hendak mendaki. Karena pada saat itu masyarakat Desa Ranupani masih belum mengenal istilah “homestay” atau penginapan.

Semakin tahun semakin banyak pula pendaki yang mulai berdatangan. Hingga pada tahun 1986-an mulai ada angkutan jeep yang berasal dari Desa Tumpang. Namun angkutan jeep ini biasanya digunakan untuk mengangkut wisatawan yang hendak menuju Gunung Bromo melalui jalur Laut Pasir. Angkutan jeep pada masa itu pun masih hanya ada sedikit, bahkan jumlahnya masih dapat dihitung dengan jari. Begitu pula dengan usaha rumah makan di Desa Ranupani pun belum ada.

“Yang jualan nasi buka warung kayak gini dulu belum ada mbak. Dulu saya juga pendaki. Biasanya pendaki ke rumah warga buat minta makan sambil menghangatkan badan. Yaa biasanya kalo minta makan gitu kita kasih uang sebagi ucapan terima kasih. Walaupun terkadang uangnya pun nggak seberapa. Tapi warga sini yaa mengerti aja mbak, kadang malah nggak mau dikasih uang,” (YUD, 50 tahun)

(40)

desa yang berjualan nasi. Ada yang berjualan nasi dengan membuka warung non permanen dan ada pula penduduk desa yang berjualan nasi hingga ke Gunung Semeru. Penduduk Desa Ranupani khususnya bagi laki-laki juga menawarkan jasanya untuk menjadi seorang porter atau pemandu. Upah yang diterima pada saat itu hanya Rp30.000,00 permalamnya. Pada masa itu wisatawan lokal yang ingin mendaki hanya dikenakan biaya sebesar Rp7500,00. Jalan menuju desa mulai diperbaiki dengan diaspal.

“Dulu saya ikut berjualan nasi mbak. Saya jualin sampe masuk kawasan Gunung Semeru, sampe Ranu Kumbolo biasanya. Nggak Cuma saya aja yang jualan di sana, banyak warga yang lain yang jualan. Dulu saya jualannya nasi bungkus lauknya telor sama minum botol. Ada juga mbak yang jualan rokok di sana.” (DTR, 65 tahun).

Pada tahun segitu pula muncul sebuah penginapan yang pertama yakni penginapan milik Pak Tasrip atau yang saat ini dipegang oleh anaknya yaitu Pak Thomas Hadiwijaya. Pada saat itu, konsep penginapannya seperti “homestay” pada masa kini, yang tamunya tinggal satu rumah dengan pemilik penginapan. Penginapan milik Pak Tasrip ini dahulu sering digunakan sebagai tempat menginap bagi para wisatawan mancanegara. Biasanya oleh pihak resort taman nasional akan diarahkan menuju penginapan milik Pak Tasrip tersebut. Pak Tasrip ini bukanlah penduduk asli Desa Ranupani, melainkan warga Desa Senduro. Kemudian pada tahun 2005 muncul penginapan bernama Arta Jaya. Awalnya pemilik tidak berniat untuk membuka usaha penginapan, namun ia mendapat saran dari temannya untuk membuka penginapan. Usulan tersebut muncul setelah teman dari si pemilik menginap di sana setelah mengunjungi wisata Gunung Bromo dan Gunung Semeru. Akhirnya pemilik penginapan Arta Jaya, Sayuto memutuskan untuk membuat penginapan.

Setelah muncul usaha penginapan kemudian muncul usaha penyewaan alat pendakian sekitar pada tahun 2011-an. Usaha penyewaan alat pendakian ini milik orang Surabaya dan mempekerjakan penduduk Desa Ranupani sebagai pengelola usaha tersebut. Warung makan dengan bangunan permanen dan lebih besar dari sebelumnya juga mulai bermunculan. Usaha jasa wisata yang terbaru adalah membuka Toko Souvenir. Pemilik toko souvenir ini berasal dari Desa Tumpang. Ia baru membuka usahanya sekitar tahun 2013an saat wisatawan baik lokal maupun mancanegara semakin ramai.

Semakin tahun perkembangan wisata Gunung Semeru semakin pesat. Tidak hanya pengunjungnya saja yang semakin banyak tapi juga usaha jasa wisata yang ada di Desa Ranupani pun semakin banyak. Selain itu biaya masuk yang awalnya hanya sebesar Rp7.500,00 mengalami kenaikan menjadi Rp15.000,00 dan kini menjadi Rp22.500,00 untuk wisatawan lokal. Sedangkan untuk wisatawan mancanegara biaya masuk kawasan dikenakan sebesar Rp300.000,00.

Salah satu objek wisata yang juga menjadi nama desa, yakni Danau Ranupani ini semakin tidak terawat. Awalnya menurut penduduk sekitar Danau Ranupani ini sangatlah luas. Namun sekarang Danau Ranupani kian menyempit dan semakin dangkal serta kotor. Hal ini terjadi karena adanya aktivitas pertanian yang kurang bagus. Kontur tanah yang berbukit-bukit yang digunakan sebagai lahan pertanian serta penggunaan pestisida menjadi alasannya.

Gambar

Gambar 1 Kerangka Analisis
Gambaran umum
Tabel 3 jalur masuk dan perhubungan ke Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
Tabel 4 Perkembangan Ekowisata Gunung Semeru
+7

Referensi

Dokumen terkait

Impedansi beban itu akan kita jadikan riil dengan menambahkan saluran Impedansi beban itu akan kita jadikan riil dengan menambahkan saluran transmisi sehingga terjadi perputaran

Hasil yang diharapkan dari perencanaan Jaringan indoor 4G LTE di gedung Student Center Universitas Budi Luhur Jakarta adalah agar nilai Reference Signal Received Power (RSRP)

Ka-ruang Ruang Lantai TT Kls Tgl-snsus Norm Pasien Umur Pindah-d Kamar Dokter Pindah-k Jam-msk Tgl-mgl Jam-mgl Jam-klr Status-klr Norm Pasien Umur Staf-ptgs Ruang Lantai TT

Perbedaan warna kulit manusia disebabkan oleh perbedaan kandungan melanin dalam tubuh. Proses pembentukan melanin ini melibatkan tirosinase dan apabila pembentukan melanin

Rumusan masalah penelitian ini adalah “adakah hubungan persepsi tentang kesehatan reproduksi dengan personal hygiene siswi kelas VII SMP Negeri 1 Seyegan Sleman

Dalam peneltian ini diketemukan bahwa pemberian grasi atau pengampunan yang diberikan oleh Presiden terhadap narapidana narkoba transnasional, merupakan kewenangan

Oleh karena itu hasil perhitungan yang menunjukkan nilai p < 0,05 pada nyeri saat bangkit dari posisi duduk dan nyeri saat naik tangga 3 trap, artinya terdapat