• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. HAL IKHWAL PENDAMPINGAN IMAN ANAK

4. Latar Belakang PIA

Pendampingan Iman Anak adalah salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Gereja supaya tercapai pendidikan iman bagi anak-anak. Oleh sebab itu, kita sebagai warga Gereja maupun para Pendamping Iman Anak hendaknya mengetahui seluk beluk pendampingan Iman bagi anak-anak. Hal ini diperlukan agar dalam mendampingi anak-anak, pembimbing dapat memberikan materi yang sungguh sesuai dengan maksud dari kegiatan Pendampingan Iman Anak.

Untuk mengetahui seluk-beluk pendampingan iman anak, Didik Bagiyowinadi (2009: 43-46) menjelaskan tetang asal mula Pendampingan Iman Anak yang pada awal mulanya namanya adalah Sekolah Minggu. Awal mula Sekolah Minggu berasal dari tradisi Gereja Protestan. Sejak reformasi Gereja oleh Martin Luther, beberapa Gereja dan Negara memang kemudian menerima Protestantisme dan melepaskan diri dari negara-kepausan di Roma, salah satunya adalah Inggris.

Pada abad 18 negeri Inggris mengalami krisis ekonomi yang sangat parah, sehingga setiap orang berusaha bekerja mencukupi kebutuhan hidupnya, dan memberikan makan kepada anak-anaknya. Karena situasi yang seperti itu, maka banyaklah anak gelandangan yang sangat kurang perhatian, mereka pun harus bekerja setiap hari dan hanya libur pada hari Minggu. Dengan situasi yang seperti ini, maka anak-anak akhirnya menjadi liar dan nakal. Ada seorang wartawan yang bernama Robert Raikes yang ingin meliput berita di negeri itu merasa prihatin dan mengajak teman-temannya untuk mencoba mengubah

keadaan dengan mendampingi mereka. Setiap hari Minggu anak-anak di kumpulkan di dapur milik ibu Meredith. Di dapur itulah anak-anak mendapatkan makanan, pelajaran tentang sopan satun, membaca, menulis, dan mengajarkan tentang Kitab Suci. Dibutuhkan waktu yang sangat lama serta perjuangan, kesabaran, dan keuletan dalam mendampingi anak-anak apa lagi mereka anak-anak liar dan nakal. Sekolah Minggu juga berkembang di kota-kota lain, sehingga pada tahun 1785 di seluruh Inggris anak-anak yang terkumpul menjadi 250.000.

Kerja keras yang dilakukan oleh Robert Raikes kemudian dikembangkan oleh John Wasley (Pendiri Gereja Metodist) dan kemudian dibawa ke Amerika Serikat. Pada akhirnya para misionaris Amerikalah yang membawa Sekolah Minggu ini ke Indonesia. Sekolah Minggu yang awalnya hanya diberikan kepada anak-anak terlantar, dan kemudian dikembangkan menjadi untuk semua anak-anak Kristiani.

Gereja Katolik melihat bahwa pewartaan bagi anak-anak yang dilakukan oleh Gereja Protestan cukup berhasil, maka gereja Katolik juga mengadakan kegiatan sekolah minggu. Tetapi karena tujuan dari kegiatan itu untuk membantu anak-anak Kristiani dalam mengembangkan imannya, serta setiap paroki tidak semua melakukannya pada hari Minggu, maka nama Sekolah Minggu dirasa kurang sesuai. Sehingga nama kegiatan ini disetiap Paroki berbeda-beda misalnya: Bina Iman Anak, Pendampingan Iman Anak, ASMIKA (Anak Sekolah Minggu Katolik), atau menggunakan nama santo-santa.

Maria Gorreti Sugiarti (1999: 2-3) menjelaskan, Kegiatan Pendampingan Iman Anak yang terjadi di Paroki-Paroki, mula-mula bertujuan agar orang tua tidak terganggu dalam mengikuti perayaan Ekaristi. Tetapi tujuan itu kurang sesuai dengan maksud dari diadakannya kegiatan Pendampingan Iman Anak. Oleh sebab itu jam pelaksanaan Pendampingan Iman Anak hendaknya tidak bersamaan dengan Perayaan Ekaristi, supaya anak-anak dapat mengikuti perayaan Ekaristi bersama dengan orang tuanya.

5. Dasar PIA

Munculnya gagasan tentang pendampingan iman anak memiliki landasan edukatif dan teologis. Dasar edukatifnya ialah pentingnya pendidikan anak usia dini, sedangkan dasar teologisnya adalah iman anak akan tumbuh dan berkembang melalui rahmat Allah sendiri yang berkarya pada diri anak-anak dan orang tua pun bertanggungjawab atas tumbuh dan berkembangnya iman anak. Dasar edukatif munculnya PIA berkaitan dengan pentingnya pendidikan usia dini bagi anak-anak sebagai usaha untuk menyiapkan anak-anak menjadi generasi penerus Gereja. Jika, sejak masa anak-anak tidak diperhatikan maka akan menjadi lebih susah diarahkan ketika mereka menginjak masa dewasa. Maria Gorreti Sugiarti (1999: 17) menjelaskan bahwa:

Orang Kristiani yang telah dilahirkan kembali dari air dan Roh adalah putra-putri Allah, dan karena itu mereka berhak menerima pendidikan kristiani bertujuan mematangkan pribadi manusia, yaitu menjadi manusia sempurna sesuai dengan kepenuhan Kristus (bdk. Ef 4: 13). Konsili Vatikan II dalam hal ini mengingatkan, agar semua orang beriman menikmati pendidikan kristiani, terutama angkatan muda yang merupakan harapan Gereja.

Dalam pendidikan iman anak, sudah sewajarnya orang tua menyadari tugasnya untuk mendidik anak-anaknya tentang ajaran dan iman kristiani, karena keluarga mempunyai tanggung jawab yang utama dan pertama dalam mendampingi dan mengembangkan iman anak-anak mereka. Keluarga Kristiani perlu menciptakan keluarga yang penuh kasih, beriman kepada Allah dan mencintai sesama sesuai dengan ajaran kristiani yang diimaninya. Di dalam Konsili Vatikan II menyatakan, bahwa orangtua mempunyai tugas mendidik anak-anaknya, termasuk pendidikan iman, tetapi juga membutuhkan bantuan masyarakat dan orang beriman. Maka, pendidikan iman juga menjadi tugas Gereja untuk membantu orangtua mendidik anak-anak dalam mengembangkan iman mereka, karena anak-anaklah yang nantinya akan menjadi generasi penerus Gereja. Dalam Dekrit tentang Pendidikan Kristen artikel 3 dikatakan:

Tugas penyelenggaraan pendidikan, yang pertama-tama menjadi tanggung jawab keluarga, memerlukan bantuan dari seluruh masyarakat. Oleh sebab itu, disamping hak-hak orangtua serta mereka, yang oleh orang tua diserahi peranserta dalam tugas mendidik, masyarakat pun mempunyai kewajiban-kewajiban serta hak-hak tertentu, sejauh merupakan tugas wewenangnya untuk mengatur segala sesuatu yang diperlukan bagi kesejahteraan umum di dunia ini. Akhirnya secara istimewa pendidikan termasuk tugas Gereja, bukan hanya karena masyarakat pun harus diakui kemampuannya menyelenggarakan pendidikan, melainkan terutama karena Gereja bertugas mewartakan jalan keslamatan kepada semua orang (GE 3).

Dokumen terkait