BAB I : PENDAHULUAN
G. Metode Penelitian
5. Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga ditemukan tema dan dapat
40 Ibid
41 Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit, hal. 225
42 Ibid, hal. 55
dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disaran oleh data.43 Analisis data yang akan dilakukan secara kualitatif. Kegiatan ini diharapkan akan dapat memudahkan dalam menganalisis permasalahan yang akan dibahas, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan. Peraturan perundang-undangan dianalisis secara kualiatif dengan menggunakan logika berfikir dalam menarik kesimpulan yang dilakukan secara deduktif.44
43 Analisa data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategoridan satuan uraian dasar. Analisa berbeda dengan penafsiran yang memberikan arti yang signifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan diantara dimensi. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 280
44 Penarikan kesimpulan yang dilakukan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang konkret. Jhonny Ibrahim, Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayu Media, 2005), hal. 393
BAB II
BATASAN YANG MEMBEDAKAN ANTARA WANPRESTASI DENGAN TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PERJANJIAN
A. Perjanjian dan Wanprestasi
Perjanjian di Indonesia masih mengacu pada buku ketiga Kitab Undang-Undang Perdata (KUHPerdata) untuk pengaturannya.45 Perjanjian yang diatur di dalam KUHPerdata tentunya masih memiliki rasa atau aroma dari hukum kolonial.
Hal itu disebabkan karena KUHPerdata yang ada sampai hari ini merupakan aturan ciptaan pemerintah kolonial Belanda. Dasar pemberlakuannya, disebabkan karena Indonesia belum memiliki aturan tertulis buatan sendiri untuk perjanjian ditambah hal tersebut memang dibenarkan sesuai dengan Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, berbunyi:46
“Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Perjanjian yang masih mengacu pada KUHPerdata tentunya untuk melihat arti atau pengertiannya juga harus merujuk kepada aturan tersebut. Namun, jika melihat perkembangan hukum terutama perjanjian banyak ahli yang telah mendefinisikan
45 Perjanjian merupakan bagian dari perikatan. Hukum perikatan merupakan bagian dari lapangan hukum harta kekayaan. Hukum perikatan di dalam istilah hukum Belanda, disebut verbintenis. Beberapa istilah perikatan, obligatio (latin), obligation (Perancis; Inggris), yang berarti mengikatkan diri atau ikatan hukum. Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, (Yogyakarta: UII Press, 2014), hal. 2-3
46 Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 di atas atau aturan peralihan pada umumnya keberadaan untuk menghindari kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara. https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt54ac8a8c7c96e/fungsi-aturan-peralihan-dan-aturan-tambahan, diakses 11 Juni 2020
perjanjian dari sudut pandang hukum masing-masing. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk perhatian kepada hukum perjanjian agar dapat berkembang dan mengalami pembaharuan hukum. Berikut beberapa pengertian perjanjian baik yang diatur di dalam KUHPerdata maupun menurut pendapat para ahli, yaitu:
1. Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, mengatakan:
“Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
2. Menurut R. Subekti, mengatakan:47
“Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian ini menimbulkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian ini berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau di tulis”.
3. Menurut Sudikno Metokusumo, mengatakan:48
“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Maksudnya, kedua pihak tersebut sepakat untuk menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan dilaksanakan. Kesepakatan tersebut adalah untuk menimbulkan akibat hukum, yaitu menimbulkan hak dan kewajiban, sehingga apabila kesepakatan itu dilanggar maka akan ada akibat hukumnya atau sanksi bagi pelanggarnya”.
4. Menurut Salim HS, mengatakan:49
“Perjanjian adalah hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan
47 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1963), hal .1
48 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1996), hal. 97-98
49 Salim HS (II), Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 27
subyek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya”.
5. Menurut Sri Soedewi MS, mengatakan:50
“Perjanjian itu suatu peruatan hukum dimana seorarng atau lebih mengingatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih”.
6. Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, mengatakan:51
“Suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.
7. A. Qirom Samsudin Meliala, mengatakan:52
“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana seorang lain itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.
Merujuk beberapa penguraian perjanjian di atas menurut aturan hukum atau pendapat para ahli terdapat beberapa unsur di dalamnya, yaitu:53
1. Adanya kaidah hukum.
Kaidah dalam hukum kontrak dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum kontrak tertulis adalah kaidah kaidah
50 Lukman Santoso AZ, Aspek Hukum Perjanjian: Kajian Komprehensif Teori Dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Penebar Media Pustaka, 2019), hal. 48
51 Ibid
52 Ibid
53 Ibid, hal. 49-50
hukum yang terdapat di dalam peraturan undang-undang, traktat dan yurisprudensi sedangkan kaidah hukum kontrak tidah tertulis adalah kaidah kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat. Contoh: jual beli lepas, jual beli tahunan dan lain-lain. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.
2. Subjek hukum
Subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam hukum perjanjian adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang memiliki utang.
3. Adanya prestasi
Prestasi merupakan yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur, prestasi terdiri dari Memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, Tidak berbuat sesuatu.
4. Kata sepakat
Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak, kata sepakat adalah salah satu syarat sahnya perjanjian yang terkandung dalam pasal 1320 KUHPerdata.
5. Akibat hukum
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum atau dapat dituntut apabila tidak dipenuhinya prestasi. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Hak adalah suatu kenikmatan dan kewajiban adalah suatu beban.
Pembentukan perjanjian antara subjek hukum mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang terdiri atas 4 (empat) syarat, sebagai berikut:54
1. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri
Pengaturan terkait sepakat yang mengikatkan diri diatur Pasal 1321-Pasal 1328 KUHPerdata.55 Syarat sepakat mengikatkan diri mengandung makna bahwa
54Ada pula agar suatu kontrak dapat dianggap sah oleh hukum, haruslah memenuhi beberapa persyaratan yuridis tertentu. Terdapat 4 persyaratan yuridis agar suatu kontrak dianggap sah, sebagai berikut:
a. Syarat sah yang obyektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata 1) Objek atau perihal tertentu
2) Kausa yang diperbolehkan atau dihalalkan
b. Syarat sah yang subjektif berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata 1) Adanya kesepakatan dan kehendak
2) Wewenang berbuat
c. Syarat sah yang umum di luar pasal 1320KUH Perdata 1) Kontrak harus dilakukan dengan itikad baik
2) Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku 3) Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan
d. Syarat sah yang khusus
1) Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu 2) Syarat akta notaries untuk kontrak-kontrak tertentu
3) Syarat akta pejabat tertentu ( selain notaries) untuk kontrak-kontrak tertentu 4) Syarat izin dari pejabat yang berwenang untuk kontrak-kontrak tertentu.
Lukman Santoso AZ, Op.Cit, hal. 55-56
55 Untuk menentukan kapan suatu kesepakatan itu dapat terjadi, terdapat empat teori yang menjelaskan hal tersebut, yaitu:
a. Teori ucapan (uitingstheorie)
Menurut teori ucapan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia memnerima penawaran tersebut. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangan teoretis karena menganggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.
b. Teori pengiriman (verzendtheorie)
Menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram. Kritik terhadap teori ini adalah bagaimana pengiriman itu diketahui ? bisa jadi, walaupun sudah dikirim, tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan. Teori ini juga sangat teoretis, sebab menganggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.
c. Teori pengetahuan (ontvenemingstheorie)
Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan mengetahui adanya acceptatie (penerimaan), tetapi penerimaan tersebut belum diterimanya (tidak
para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling mensetujui kehendak masing-masing yang mana tidak ada penipuan, paksaan dan kekeliruan.56 Hal senada juga diutarakan oleh Subekti yang menyatakan dengan kalimat yang lebih singkat yakni “sepakat mereka yang mengikatkan diri” menjadi “kata sepakat”, sebagai berikut:57
“Kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara 2 (dua) pihak, yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik”.
Sepakat mereka yang mengikatkan diri secara singkat mengadung makna terjadinya kesesuaian kehendak yang terjadi atas dasar pernyataan yang tertuang secara tertulis tanpa ada paksaan, penipuan maupun kekeliruan.
2. Kecakapan untuk Membuat suatu Perjanjian
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian harus ada melekat pada diri seseorang itu beberapa hal (Pasal 1329-Pasal 1331 KUHPerdata), yaitu:58
a. Dewasa.
b. Sehat akal pikiran.
diketahui secara langsung). Kritik terhadap teori ini adalah bgaimana ia mengetahui isi penerimaan tersebut apabila ia belum menerimanya?.
d. Teori penerimaan (ontvangstheorie)
Menurut teori penerimaan bahwa toesteming terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 123
56 Riduan Syahrani, Op.Cit, hal. 203-204
57 Osgar S. Matompo & Moh. Nafri Harun, Pengantar Hukum Perdata, (Malang: Setara Press, 2017), hal. 109
58 Riduan Syahrani, Op.Cit, hal. 208
c. Tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undang.
Syarat cakap untuk membuat perjanjian searah dengan ketentuan tidak cakap untuk membuat perjanjian dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu:
a. Orang-orang yang belum dewasa.
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan.
c. Orang yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pensyaratan kecakapan untuk membuat perjanjian diuraikan, sebagai berikut:
a. Dewasa secara KUHPerdata merujuk pada Pasal 330 KUHPerdata yang pengaturannya memuat:
1) Berusia 21 (dua puluh satu tahun),
2) Sudah kawin walaupun belum berusia 21 (dua puluh satu tahun),
3) Pernah kawin dan bercerai tetapi belum berusia 21 (dua puluh satu tahun).
b. Mereka yang dibawah pengampuan dimana kategori orang-orang yang berada di bawah pengampuan merujuk pada Pasal 433 KUHPerdata, yaitu:
1) Orang dungu, 2) Orang gila,
3) Orang yang mata gelap, 4) Orang yang boros, 5) Orang yang sakit otak.
c. Tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan. Artinya, pada dasarnya seseorang orang itu cakap untuk berbuat akan tetapi karena dilarang
oleh undang-undang maka ia tidak boleh melakukan perjanjian, misalnya pelarangan perjanjian jual beli antara suami dan istri yang tercantum dalam Pasal 1467 KUHPerdata.59
Kecakapan di atas merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh subjek hukum dalam wujud orang. Jika subjek hukumnya berupa badan hukum dapat melakukan persetujuan-persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya. Oleh karena itu, badan hukum dapat bertindak dengan perantaraan pengurus-pengurusnya.60
3. Suatu Hal Tertentu
Pemaknaan suatu hal tertentu ialah barang yang menjadi objek perjanjian.61 Jenis-jenis barang tersebut dikelompokkan sebagai berikut:
a. Yang merupakan objek perjanjian tersebut haruslah berupa barang yang dapat diperdagangkan (Pasal 1332 KUHPerdata).
b. Minimal sudah dapat ditentukan jenis barang yang menjadi objek perjanjian ketika perjanjian tersebut dibuat (Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata).
c. Boleh saja jumlah barang yang menjadi objek perjanjian masih tidak tertentu ketika perjanjian dibuat, asal saja jumlah barang tersebut dapat ditentukan atau dapat dihitung dikemudian hari (Pasal 1333 ayat (2) KUHPerdata).
59 Munir Fuady, Op.Cit, hal. 200
60 Lukman Santoso AZ, Op.Cit, hal. 52
61 Riduan Syahrani, Op.Cit, hal. 209
d. Barang yang menjadi objek perjanjian boleh saja barang yang baru akan ada dikemudian hari (Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata).
e. Tidak dapat dibuat suatu perjanjian terhadap barang-barang yang masih dalam warisan yang belum terbuka (Pasal 1334 ayat (2) KUHPerdata).62
4. Suatu Sebab yang Halal
Suatu sebab yang halal merujuk pada Pasal 1335 KUHPerdata, berbunyi:
“Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.
KUHPerdata juga menentukan suatu sebab yang terlarang, yakni Pasal 1337 KUHPerdata, berbunyi:
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.
Merujuk bunyi kedua pasal di atas maka dapat dirumuskan dorongan untuk atau alasan untuk membuat perjajian harus dengan peraturan undangan yang berlaku dimana tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan, ketertiban dan kesusilaan. Syarat terakhir ini jika dikaitkan dengan persetujuan tindakan medis maka persetujuan tindakan medis keberadaannnya tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.
Uraian mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian jika tidak dipenuhi maka akan menimbulkan 2 (dua) akibat hukum, yaitu:
62 Munir Fuady, Op.Cit, hal. 200-201
1. Syarat pertama dan kedua, yakni sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perjajian disebut sebagai syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian.63 Akibat, kurang atau tidak terpenuhinya kedua syarat tersebut menjadi dapat dibatalkan.64
2. Syarat ketiga dan keempat, yakni suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal disebut sebagai syarat objektif karena kedua syarat tersebut mengenai objek perjanjian.65 Akibat, kurang atau tidak terpenuhinya kedua syarat tersebut menjadi batal demi hukum.66
Perjanjian yang dianggap sah dengan memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata sebagaimana diuraikan di atas. Namun, perjanjian yang telah sah tersebut bukan berarti tidak memiliki kelemahan untuk dimintai pertanggungjawaban secara keperdataan, yakni ketika salah satu pihak melakukan wanprestasi. Artinya, dengan terjadinya wanprestasi akan menyebabkan kerugian terhadap salah satu pihak.
Wanprestasi merupakan lawan dari prestasi.67 Prestasi merupakan suatu yang wajib dipenuhi oleh pihak dalam setiap perjanjian.68 Artinya, pihak harus memenuhi
63 Mariam Darus Badrulzaman et.al, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 73
64 Osgar S. Matompo & Moh. Nafri Harun, Op.Cit, hal. 108
65 Mariam Darus Badrulzaman et.al, Loc.Cit
66 Osgar S. Matompo & Moh. Nafri Harun, Op.Cit, hal. 109
67 Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda, yaitu: “wanprestatie”. Wan berarti buruk atau jelek dan prestatie berarti kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitor dalam suatu perikatan. Wanprestasi adalah prestasi yang buruk atau jelek. Terdapat beberapa para ahli yang mengutarakan pengertian wanprestasi, sebagai berikut:
a. M. Yahya Harahap mengatakan, “wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama sekali”.
isi dari sebuah perjanjian. Unsur-unsur tidak terpenuhinya sebuah perjanjian akibat wanprestasi, yaitu:69
a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;
b. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru;
c. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Uraiannya, sebagai berikut:
1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali. Artinya, debitor memang tidak mau berprestasi atau bisa juga disebabkan karena memang kreditor objektif tidak mugkin berprestasi lagi atau secara subjektif tidak ada gunanya lagi berprestasi.70 2. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru. Artinya, debitor memang
dalam pemikirannya telah memberikan prestasinya, tetapi dalam kenyataannya, yang diterima kreditor lain daripada yang diperjanjikan.71
b. Sri Soedewi Masjchoen Sofyan mengatakan, “wanprestasi adalah hal dimana tidak memenuhi suatu perutangan (perikatan). Wanprestasi memiliki dua macam sifat yaitu pertama dapat terdiri atas hal bahwa prestasi itu memang dilakukan tetapi tidak secara sepatutnya. Dan prestasi itu dilakukan pada waktu yang tepat”.
c. J. Satrio mengatakan, “wanprestasi adalah kalau debitor tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya”.
Ridwan Khairandy, Op.Cit, hal. 278. M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 60. Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, Hukum Perutangan Bagian A, (Yogyakarta: Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1980), hal. 4 & J.
Satrio, Op.Cit, hal. 122
68 Riduan Syahrani, Op.Cit, hal. 218. Prestasi merujuk pada Pasal 1234 KUHPerdata ialah memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu atau secara literature prestasi adalah suatu yang wajib harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi merupakan isi dari pada sebuah perikatan. Apablia debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian, maka ia dikatakan wanprestasi (kelalaian). Budiman N.P.D Sinaga, Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa dari Presfektif Sekretaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 20
69 Abdulkadir Muhammad, Loc.Cit
70 J. Satrio, Op.Cit, hal. 122
71 Ibid
3. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya. Artinya, debitor berprestasi, objek prestasinya betul, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.72 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Artinya,
debitor melaksanakan sesuatu yang tidak diperkenankan dilakukan.
Akibat terjadinya wanprestasi oleh salah satu pihak dalam perjanjian maka akan menyebabkan kerugian terhadap pihak lainnya dimana pihak yang dirugikan akan menuntut ganti rugi. Ganti rugi yang dapat dituntut dapat berupa biaya, rugi dan bunga.73
Ganti rugi akibat wanprestasi pada prinsipnya terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu ongkos-ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, kerugian dan bunga, yaitu:74
1. Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya ongkos cetak, biaya materai biaya iklan;
2. Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan kreditor akibat kelalaian debitor (damages). Kerugian disini adalah yang sungguh-sungguh diderita misalnya, busuknya buah-buahan karena kelambatan penyerahan, ambruknya sebuah rumah karena salah konstruksi sehingga merusak perabot rumah tangga, lenyapnya barang karena terbakar;
72 Ibid
73 Secara yuridis, konsep ganti rugi dalam hukum dikenal dalam 2 (dua) bidang hukum, yaitu:
a. Konsep ganti rugi karena wanprestasi kontrak;
b. Konsep ganti rugi karena perikatan berdasarkan undang-undang, termasuk ganti rugi karena perbuatan melawan hukum.
Munir Fuady (II), Op.Cit, hal. 31
74 Pasal 1244 KUHPerdata & Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 39-40
3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitor lalai, kreditor kehilangan keuntungan yang diharapkan. Misalnya, A akan menerima beras sekian ton dengan harga pembelian Rp. 250,00 per kg. sebelum beras diterima, kemudian A menawarkan lagi kepada C dengan harga Rp. 275,00 per kg. setelah perjanjian dibuat, ternyata beras yang diharapkan diterima pada waktunya tidak dikirim oleh penjualnya. Disini A kehilangan kehilangan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp 25,00 per kg.75
Perjanjian yang terlanggar akibat wanprestasi bukan berarti bersifat mutlak harus dilaksanakan ganti rugi. Artinya, terapat alasan-alasan yang dapa diberikan atau diajukan agar terlepas dari tanggung jawab ganti rugi akibat wanprestasi dilakukan, sebagai berikut:76
1. Mengajukan alasan bahwa tidak berprestasinya debitor karena adanya keadaan memaksa (overmacht, force majeur);
2. Mengajukan alasan bahwa tidak berprestasinya debitor karena kreditor juga telah lalai (exeptio non adimpleti contractus); atau
3. Mengajukan alasan bahwa kreditor telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
75 Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi, yaitu:
a. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata). Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan.
b. Dalam perjanjian bilateral, wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUHPerdata).
c. Resiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata).
Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu.
d. Membayar biaya perkara apabila diperkarakan dimuka hakim (Pasal 181 ayat (1) HIR). Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam sidang di pengadilan. Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan.
e. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan atau pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata). Ini berlaku untuk semua perikatan.
R. Subekti, Op.Cit, hal. 45
76 Ridwan Khairandy, Op.Cit, hal. 314
Diantara ketiga alasan di atas yang sering dijadikan alasan untuk tidak membayar prestasi ialah keadaan memaksa (overmacht, force majeur).
Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang dialami oleh debitur yang berada di luar kekuasaan dan kekuatannya sehingga ia tidak mampu melaksanakan prestasinya.77 Ada 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa, yaitu:78
1. Tidak memenuhi prestasi
2. Ada sebab yang terletak diluar kesalahan debitur
3. Faktor penyebab itu tidak di duga sebelumnya dan tidak dipertanggung jawabkan kepada debitur.
Keadaan memaksa membawa konsekuensi perikatan tidak dapat dilaksanakan.79 Akibat lebih lanjut, pihak yang tidak dapat berprestasi tidak dapat
77 Lukman Santoso AZ, Op.Cit, hal. 85
78 Ibid. Ada dua teori yang membahas tentang keadaan memaksa yaitu:
a. Teori ketidakmungkinan (onmogelijkeheid) dimana suatu keadaan tidak mungkin melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan.
b. Teori penghapusan atau peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld) dimana apabila terjadi keadaan memaksa pada debitur, terhapuslah keadaan debitur.
b. Teori penghapusan atau peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld) dimana apabila terjadi keadaan memaksa pada debitur, terhapuslah keadaan debitur.