• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N 2020"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

TUNTUTAN TINDAK PIDANA PENGGELAPAN TERHADAP PERBUATAN WANPRESTASI

DALAM HUKUM PERDATA

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt tertanggal 28 Mei 2019)

TESIS

OLEH:

JUNI KRISTIAN TELAUMBANUA 187005150 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2020

(2)

TUNTUTAN TINDAK PIDANA PENGGELAPAN TERHADAP PERBUATAN WANPRESTASI

DALAM HUKUM PERDATA

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt tertanggal 28 Mei 2019)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

JUNI KRISTIAN TELAUMBANUA 187005150 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2020

(3)
(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 3 September 2020

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum

Anggota : 1. Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S 2. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum

3. Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum 4. Dr. M. Ekaputra, S.H., M.Hum

(5)
(6)

ABSTRAK

Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt tertanggal 28 Mei 2019 tersebut dimana terdakwa, didakwa karena melakukan perbuatan telat membayar tagihan setelah melakukan pengambilan barang-barang milik PT. Agung Bumi Lestari dengan tunggakan sebesar Rp. 226.828.440.- yang diperjanjikan harus dibayar paling lambat setelah 30 hari sejak pengambilan barang.

Akibatnya, terdakwa harus menjalani hukuman 2 bulan penjara. Oleh karena itu, perlu dikaji mengenai batasan yang membedakan antara wanprestasi dengan tindak pidana penggelapan dalam perjanjian dan penerapan wanprestasi dan tindak pidana penggelapan dalam putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No.

74/Pid.B/2019/PN.Tbt.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif dan bersifat deskriptif analitis yang memaparkan sekaligus menganalisis suatu fenomena yang berhubungan dengan Tuntutan Tindak Pidana Penggelapan Terhadap Perbuatan Wanprestasi Dalam Hukum Perdata (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No.

74/Pid.B/2019/PN.Tbt tertanggal 28 Mei 2019).

Hasil penelitian, Batasan yang membedakan antara wanprestasi dengan tindak pidana penggelapan dalam perjanjian ialah perbuatan wanprestasi terjadi baik berupa kelalaian debitor dalam memenuhi prestasi sesuai kesepakatan dengan kreditur berupa debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, debitur memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru, debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Tindak pidana penggelapan dalam perjanjian ialah unsur mens rea dalam tindak pidana penggelapan berupa sengaja dengan maksud dan perbuatan melawan hukum formil harus terpenuhi disertai dengan terpenuhinya unsur actus reus tindak pidana penggelapan, yakni perbuatan memiliki, sesuatu benda, yang sebagian atau keseluruhan milik orang lain dan yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. Penerapan wanprestasi dan tindak pidana penggelapan dalam putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt dimana dalam putusan tersebut keliru dalam penjatuhan putusan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan dimana seharusnya terpidana dijatuhi putusan bebas.

Agar polisi dan jaksa memahami persoalan keperdataan sehingga jika terdapat persoalan pidana yang bersinggungan dengan perdata dimana sifat keperdataannya lebih condong dapat memberikan advis hukum yang sesuai dan tidak serta merta persoalan tersebut diselesaikan secara pidana serta hakim agar menyusun sebuah pedoman yang berisi batasan-batasan dari setiap perbuatan yang sering bersinggugan seperti penggelapan dengan wanprestasi, penipuan dengan wanprestasi dan lain sebagainya. Agar hakim cermat dalam memberikan pertimbangan hukum sehingga kedepan tidak ada lagi ada putusan yang keliru dimana seharusnya terdakwa diputus bebas karena perbuatan termasuk ranah perdata bukan pidana. Hal tersebut jika terjadi terus menerus maka mengganggu profesi hakim yang terhormat.

Kata Kunci: Perjanjian, Wanprestasi dan Tindak Pidana Penggelapan

(7)

ABSTRACT

Tebing Tinggi District Court Decision No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt dated May 28, 2019 where the defendant was charged for having committed late payment of bills after taking goods belonging to PT. Agung Bumi Lestari with arrears of Rp.

226,828,440.- which was agreed upon must be paid no later than 30 days after taking the goods. As a result, the defendant had to serve 2 months in prison. Therefore, it is necessary to study the boundaries that distinguish between default and the criminal act of embezzlement in the agreement and the application of default and embezzlement in the decision of the Tebing Tinggi District Court No.

74/Pid.B/2019/PN.Tbt.

This research is a normative and descriptive analytical study that describes and analyzes a phenomenon related to the Crime of Embezzlement Against Default Act in Civil Law (Study of Tebing Tinggi District Court Decision No.

74/Pid.B/2019/PN.Tbt dated 28 May 2019).

The results of the study, the limitation that distinguishes between default and the criminal act of embezzlement in the agreement is that the default occurs either in the form of negligence of the debtor in fulfilling the achievement according to the agreement with the creditor in the form of a debtor who does not meet the achievement at all, the debtor meets the achievement but is not good or wrong, the debtor meets the achievement but not being on time or doing something that the agreement was not allowed to do. The criminal act of embezzlement in the agreement is the element of mens rea in the criminal act of embezzlement in the form of deliberate intent and action against the formal law must be fulfilled accompanied by the fulfillment of the elements of the actus reus of the criminal act of embezzlement, namely the act of possessing something, an object, partly or wholly belonging to another person and which was in his power not because of crime. Application of default and embezzlement in the Tebing Tinggi District Court No.

74/Pid.B/2019/PN.Tbt where the verdict was wrong in making a guilty verdict of committing the crime of embezzlement where the convict should have been sentenced to be acquitted.

So that the police and prosecutors understand civil issues so that if there are criminal matters that intersect with civil matters where the civil nature is more inclined, they can provide appropriate legal advice and do not automatically resolve the issue criminally and the judge should draw up a guideline containing the limitations of each act which often intersect with embezzlement with default, fraud with default and so on. So that judges are careful in giving legal considerations so that in the future there will be no more wrong decisions where the defendant should be acquitted because the act is included in the realm of civil, not criminal. If this happens continuously, it will disturb the honorable profession of judge (officium nobile).

Keywords: Agreement, Default and the Crime of Embezzlement

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa telah memberikan berkat kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul

“TUNTUTAN TINDAK PIDANA PENGGELAPAN TERHADAP

PERBUATAN WANPRESTASI DALAM HUKUM PERDATA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt tertanggal 28 Mei 2019)”. Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis dengan besar hati dan dengan tangan terbuka menerima kritik, saran dan juga ide-ide yang sifatnya konstruktif dan membangun dari para pembaca untuk mewujudkan kesempurnaan Tesis ini.

Dalam menyelesaikan penelitian tesis ini, penulis banyak menerima bantuan serta dorongan dari semua pihak baik bantuan moral maupun materil. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya dengan rasa tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(9)

3. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing I yang telah memberikan begitu banyak ilmu pengetahuan, nasehat serta petuah-petuah yang dapat membekali penulis dengan ilmu yang bermanfaat;

4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S, dan Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum Selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan serta banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis dari awal penulisan sampai akhir penulisan;

6. Ibu Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum, dan Bapak Dr. M. Ekaputra, SH, M.Hum selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan tesis ini;

7. Kedua Orang tua saya tercinta, Ayahanda Alm. Eliyudin Telaumbanua dan Ibunda Else Sederhana Br. Harahap, terimakasih sebesar-besarnya penulis ucapkan yang telah memberikan motivasi, didikan, dorongan, arahan serta telah menjadi sosok orang tua yang akan selalu saya jadikan contoh dan panutan dalam hidup. Semangat yang sangat luar biasa diberikan kepada saya agar segera menyelesaikan tesis ini dengan baik;

(10)

8. Saudara-saudara saya, Abanghanda: Binsar Heppy Telaumbanua, Kakanda:

Desi Natalia Telaumbanua, Intan Apriani Telaumbanua yang telah memberikan semangat serta doanya kepada saya;

9. Kepala Kejaksaan Negeri Batu Bara : Bapak Mulyadi Sajaen, S.H., M.H.

yang juga telah memberikan dorongan kepada penulis selama penyelesaian Tesis ini;

10. Kepada seluruh teman-teman Mahasiswa Kelas Khusus Hukum Eknomi Angkatan 2018 Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan semangat, motivasi, dukungan dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan dan wawasan bagi kita semua. Kiranya Tuhan dapat membalas kebaikan dan dukungan serta bantuan yang diberikan semua pihak.

Medan, September 2020

Penulis

Juni Kristian Telaumbanua, S.H., M.H.

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Diri

Nama : Juni Kristian Telaumbanua Tempat Lahir : Medan

Tanggal Lahir : 24 Juni 1985 Pekerjaan : PNS Kejaksaan

Nama Ayah : Alm. Eliyudin Telaumbanua Nama Ibu : Else Sederhana Br. Harahap

Alamat : Jl. Saewe Kel. Saewa Kec. Gunung Sitoli.

II. Riwayat Pendidikan

SDN 067099 Medan Sunggal : Tahun 1991 – 1997 SLTP Negeri 3 Gunung Sitoli : Tahun 1997 – 2000 SMU Negeri 1 Gunung Sitoli : Tahun 2000 – 2003 S.1 Universitas Darma Agung Medan : Tahun 2004 – 2009 S.2 Universitas Sumatera Utara Medan : Tahun 2018 – 2020

(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Keaslian Penelitian ... 7

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep ... 10

1. Kerangka Teori ... 10

2. Kerangka Konsep ... 11

G. Metode Penelitian ... 13

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 14

2. Pendekatan Penelitian ... 15

3. Data Penelitian ... 16

4. Teknik Pengumpulan Data ... 17

5. Analisis Data ... 17

BAB II : BATASAN YANG MEMBEDAKAN ANTARA WANPRESTASI DENGAN TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PERJANJIAN ... 19

A. Perjanjian dan Wanprestasi ... 19

(13)

B. Tindak Pidana Penggelapan ... 35

C. Perbedaan Antara Wanprestasi Dengan Tindak Pidana Penggelapan Dalam Perjanjian ... 49

BAB III : PENERAPAN WANPRESTASI DAN TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TEBING TINGGI NO. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt ... 64

A. Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/ 2019/PN.Tbt ... 64

1. Posisi Kasus ... 64

2. Dakwaan ... 67

3. Fakta-Fakta Hukum ... 68

4. Tuntutan ... 72

5. Pertimbangan Hakim ... 73

6. Vonis Hakim ... 79

B. Analisa Wanprestasi Dan Tindak Pidana Penggelapan Dalam Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/ PN.Tbt. ... 80

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 113

A. Kesimpulan ... 113

B. Saran ... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 115

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Alasan-Alasan Penghapus Pidana ... 98

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pergaulan hidup bermasyarakat di antara orang yang satu dengan yang lain, saling mengadakan hubungan. Hubungan yang berdasarkan hukum disebut hubungan hukum, yang mempunyai akibat hukum.1 Salah satu hubungan hukum yang dilakukan atau terjadi dimasyarakat ialah perikatan. Perikatan yang sering dilakukan oleh masyarakat pada umumnya lahir karena perjanjian.2

Perjanjian yang dilakukan atau terjadi pada masyarakat, umumnya masih mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). KUHPer mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPer, yaitu:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;3 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;4

1 Angger Saloko, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Universitas Islam Nusantara, 2017), hal.

50

2 Sumber perikatan dibagi menjadi 2 (dua), yaitu perikatan yang bersumber dari perjanjian dan Perikatan yang bersumber dari undang-undang:

a. Perikatan yang bersumber dari perjanjian Perikatan yang bersumber dari perjanjian ditegaskan dalam pasal 1233 KUH Perdata, bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan (perjanjian), maupun karena undang-undang”. Perjanjian adalah sumber perikatan paling penting.

b. Perikatan yang bersumber dari undang-undang.

Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2014), hal. 165

3 Pengaturan terkait sepakat yang mengikatkan diri diatur Pasal 1321-Pasal 1328 KUHPerdata.Syarat sepakat mengikatkan diri mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling mensetujui kehendak masing- masing yang mana tidak ada penipuan, paksaan dan kekeliruan.Riduan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. Alumni, 2013), hal. 203-204

4 Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian harus ada melekat pada diri seseorang itu beberapa hal (Pasal 1329-Pasal 1331 KUHPerdata), yaitu:

a. Dewasa.

b. Sehat akal pikiran.

c. Tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undang.

(16)

3. Suatu pokok persoalan tertentu;5 4. Suatu sebab yang tidak dilarang.6

Perjanjian yang dilakukan oleh subjek hukum tidak selamanya berjalan dengan dengan lancar, sebagai konsekuensi logis dampak dari perjanjian yang sangat mungkin dialami ialah kerugian.7 Kerugian yang dialami oleh subjek hukum disebabkan oleh beberapa situasi wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.

Namun, jika merujuk pada ikatan perjanjian kecenderungan yang menyebabkan kerugian bagi kreditur atas perbuatan debitur ialah wanprestasi.

Ibid, hal. 201

5 Pemaknaan suatu hal tertentu ialah barang yang menjadi objek perjanjian. Jenis-jenis barang tersebut dikelompokkan sebagai berikut:

a. Yang merupakan objek perjanjian tersebut haruslah berupa barang yang dapat diperdagangkan (Pasal 1332 KUHPerdata).

b. Minimal sudah dapat ditentukan jenis barang yang menjadi objek perjanjian ketika perjanjian tersebut dibuat (Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata).

c. Boleh saja jumlah barang yang menjadi objek perjanjian masih tidak tertentu ketika perjanjian dibuat, asal saja jumlah barang tersebut dapat ditentukan atau dapat dihitung dikemudian hari (Pasal 1333 ayat (2) KUHPerdata).

d. Barang yang menjadi objek perjanjian boleh saja barang yang baru akan ada dikemudian hari (Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata).

e. Tidak dapat dibuat suatu perjanjian terhadap barang-barang yang masih dalam warisan yang belum terbuka (Pasal 1334 ayat (2) KUHPerdata).

Ibid, hal. 209 & Munir Fuady, Op.Cit, hal. 200-201

6 Suatu sebab yang halal merujuk pada Pasal 1335 KUHPerdata, berbunyi:

“Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.

KUHPerdata juga menentukan suatu sebab yang terlarang, yakni Pasal 1337 KUHPerdata, berbunyi:

“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

7Buku ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang Verbintenissenrecht. Di dalam buku tersebut termasuk pula istilah Overeenkomst. Selanjutnya, istlah Verbentenis diartikan, sebagai berikut: perikatan, perutangan dan perjanjian sedangkan Overeenkomst diartikan: perjanjian dan persetujuan. Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustitia, 2009), hal. 41

(17)

Ikatan perjanjian yang dilakukan oleh para subjek hukum harus memenuhi prestasi. Prestasi sesuai dengan ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata terdiri atas 3 (tiga) tindakan, yaitu:

1. Untuk memberikan sesuatu;

2. Untuk berbuat sesuatu; dan 3. Untuk tidak berbuat sesuatu.

Selanjutnya, prestasi di atas tentunya sangat logis terjadi peristiwa wanprestasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.8 Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja.9 Wanprestasi dapat dikelompokkan menjadi beberapa perbuatan, sebagai berikut:10

1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;

2. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru;

3. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya;

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Wanprestasi dapat terjadi dikarenakan beberapa sebab, yaitu:

1. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan atau kelalaiannya;11 2. Karena keadaan memaksa (overmacht/force majure).12

8 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 180

9 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hal. 74

10 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 46

11 J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1999), hal. 90

(18)

Perbuatan di atas menyebabkan terlanggarnya perjanjian sehingga terjadi kerugian pada salah satu pihak.13 Perbuatan di atas yang merupakan bagian dari hukum perdata, sering sekali dikaitkan dengan penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal tersebut dapat dilihat dari putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt tertanggal 28 Mei 2019. Di dalam putusan tersebut terdakwa, didakwa karena melakukan perbuatan telat membayar tagihan setelah melakukan pengambilan barang-barang milik PT.

Agung Bumi Lestari dengan tunggakan sebesar Rp. 226.828.440.- (dua ratus dua puluh enam juta delapan ratus dua puluh delapan ribu dua ratus empat puluh rupiah) yang diperjanjikan harus dibayar paling lambat setelah 30 (tiga puluh) hari sejak pengambilan barang. Akibatnya, terdakwa harus menjalani hukuman sebagaimana tercantum di dalam putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No.

74/Pid.B/2019/PN.Tbt, yakni 2 (dua) bulan penjara. Padahal jika dilihat dalam bagian pertimbangan hakim terdapat penguraian yang menunjukkan perbuatan terpidana sebenarnya bukan tindak pidana akan tetapi begian wanprestasi, yaitu:

1. Bahwa Terdakwa mengalami penunggakan pembayaran antara Desember 2017 sampai dengan Maret 2018 barang-barang yang diambil oleh Terdakwa sesuai dengan 12 (dua belas) lembar bon pengambilan barang (sales invoice) tanggal 27 Desember 2017 sampai dengan Maret 2018 sebagaimana dalam barang bukti hingga tunggakan tersebut senilai lebih dari Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah);

12 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 27

13 Riduan Syahrani, Op.Cit, hal. 222

(19)

2. Bahwa terjadinya tunggakan pembayaran atau tidak dibayarkannya barang-barang yang diambil terdakwa dai PT. Agung Bumi Lestari adalah karena uang yang sudah dibayarkan pelanggan Terdakwa tidak Terdakwa setorkan ke perusahaan PT. Agung Bumi Lestari karena terpakai saat orang tuanya sakit sehingga kemudian perusahaan melaporkan Terdakwa ke kepolisian;

3. Menimbang, bahwa saat ini Terdakwa sudah melunasi tunggakannya ke pihak Perusahaan PT. Agung Bumi Lestari dan telah melakukan perdamaian dengan PT.

Agung Bumi Lestari;

Merujuk uraian di atas maka dapat dilihat secara seksama terpidana pada dasarnya melakukan wanprestasi namun telah dikenakan hukuman pidana. Kondisi tersebut jelas menggambarkan perbuatan kriminalisasi sehingga pelaku wanprestasi dihukum pidana padahal secara nyata dapat diselesaikan secara perdata.14 Hal tersebut menunjukkan tidak berjalannya asas ultimum remidium dalam penegakan hukum di Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka akan dilakukan penelitian berjudul

“Tuntutan Tindak Pidana Penggelapan Terhadap Perbuatan Wanprestasi Dalam

14 Kebijakan kriminalisasi ialah kebijakan untuk mengangkat/menetapkan/menunjuk suatu perbuatan yang semula tidak merupakan pidana menjadi suatu tindak pidana (delik/tindak kriminal).

Tan Kamello, Kriminalisasi Perjanjian Kredit Bank, Makalah Seminar Publik, Diselenggarakan Oleh Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2013, hal. 4. Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial (socialpolicy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social-welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social-defense policy). Syafruddin Kalo, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-Hak Tanah Di Indonesia: Suatu Pemikiran :Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria Pada Fakultas Hukum USU, (Medan: USU Press, 2006), hal. 2-3

(20)

Hukum Perdata (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No.

74/Pid.B/2019/PN.Tbt tertanggal 28 Mei 2019)” sangat penting dilakukan.

B. Permasalahan

Permasalahan yang diajukan sesuai dengan latar belakang di atas dan sekaligus untuk memberikan batasan penelitian, sebagai berikut :

1. Apakah batasan yang membedakan antara wanprestasi dengan tindak pidana penggelapan dalam perjanjian?

2. Bagaimana penerapan wanprestasi dan tindak pidana penggelapan dalam putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian, yaitu :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis batasan yang membedakan antara wanprestasi dengan tindak pidana penggelapan dalam perjanjian.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan wanprestasi dan tindak pidana penggelapan dalam putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No.

74/Pid.B/2019/PN.Tbt tertanggal 28 Mei 2019.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak baik secara teoretis maupun secara praktis, sebagai berikut :

(21)

1. Secara teoretis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut dan bermanfaat bagi masyarakat dalam memahami wanprestasi dengan tindak pidana penggelapan.

2. Secara Praktis

Penelitian ini bermanfaat secara praktis bagi masyarakat, aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa dan hakim, sebagai berikut:

a. Bagi polisi, jaksa dan advokat dapat mengetahui dan memahami perbedaan antara wanprestasi dan tindak pidana penggelapan.

b. Bagi hakim pengadilan dapat mengetahui dan memahami perbedaan antara wanprestasi dan tindak pidana penggelapan sehingga dalam menjatuhkan putusan dapat memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan yang sesuai.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan secara khusus di Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul “Tuntutan Tindak Pidana Penggelapan Terhadap Perbuatan Wanprestasi Dalam Hukum Perdata (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No.

74/Pid.B/2019/PN.Tbt tertanggal 28 Mei 2019)” belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama.

Hasil penelusuran keaslian penelitian, penelitian yang menyangkut: Tuntutan Tindak Pidana Penggelapan Terhadap Perbuatan Wanprestasi Dalam Hukum Perdata

(22)

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt tertanggal 28 Mei 2019) yang pernah dilakukan Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu:

1. Tesis S-2 Ilmu Kenotariatan USU atas nama Nanda Yustiansyah, NIM:

157011035, dengan judul, ”Analisis Yuridis Tentang Perbuatan Melanggar Isi Perjanjian (Wanprestasi) Sewa Menyewa Rumah Secara Lisan Yang Dilakukan Pihak Penyewa (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.

03/PDT.G/2012/PN.PWR)”. Fokus masalah yang dikaji ialah a. Bagaimana keabsahan perjanjian sewa menyewa secara lisan?

b. Bagaimana perlindungan hukum bagi pihak pemberi sewa yang mengalami wanprestasi di dalam perjanjian lisan?

c. Bagaimana akibat hukum terhadap pihak yang melakukan wanprestasi di dalam perjanjian lisan ditinjau dari putusan pengadilan negeri no.

03/PDT.G/2012/PN.PWR?

2. Tesis S-2 Ilmu Kenotariatan USU atas nama Aliffiadara Melyza Ayuwi, NIM:

177011098, dengan judul, ”Pertanggungjawaban Notaris/PPAT Dalam Hal Terjadinya Penggelapan Dokumen Oleh Pegawai Kantor Notaris (Putusan PN Langsa No. 157/Pid.B/2017/PN.LGS)”. Fokus masalah yang dikaji ialah

a. Bagaimana tindak pidana penggelapan dokumen yang dilakukan oleh pegawai notaris terjadi di kantor Notaris/PPAT?

b. Bagaimana dampak kerugian bagi Notaris/PPAT terhadap pegawai notaris yang melakukan tindak pidana penggelapan?

(23)

c. Bagaimana tanggung jawab hukum Notaris/PPAT terhadap tindak pidana penggelapan dokumen yang dilakukan oleh pegawai kantor notaris?

3. Tesis S-2 Ilmu Hukum USU atas nama Sondy Raharjanto, NIM: 177005130, dengan judul, ”Analisis Perbuatan Melawan Hukum Dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 3135/Pid.B/2014/pn.Mdn”. Fokus masalah yang dikaji ialah a. Bagaimana analisis perbuatan melawan hukum perdata dan perbuatan hukum

pidana?

b. Bagaimana penarikan perbuatan melawan hukum pidana?

c. Bagaimana pertimbangan hakim tentang perbuatan melawan hukum dalam putusan pengadilan Negeri Medan No. 3135/Pid.B/2014/PN.Mdn tertanggal 15 September 2015 dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1001K/PID/2016 tertanggal 10 November 2016?

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat, permasalahan yang diutarakan pada penelitian ini ialah berbeda dengan penelitian terdahulu. Dengan demikian, penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah berdasarkan kajian ilmu pengetahuan hukum dan asas-asas penulisan yang harus dijunjung tinggi, yaitu jujur, rasional, objektif serta terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dari roses menemukan kebenaran ilmiah.

(24)

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah bagian penting dalam penelitian. Artinya, teori hukum harus dijadikan dasar dalam memberikan deskripsi atau penilaian apa yang seharusnya memuat hukum. Teori juga bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Teori hukum dalam penelitian berguna sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.15 Teori yang digunakan dalam penelitian ini, yakniteori kepastian hukum.16

Teori kepastian hukum (legal certainty) meliputi dua hal, yaitu pertama, kepastian dalam perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar undang-undang tersebut. Kedua, kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum undang-undang tersebut.17

15 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 146

16 Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan. Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif bukan sosiologi. Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami Dan Memahami Hukum, (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010), hal. 59

17 Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia, (Bandung: Alumni, 2004), hal. 117. Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu: pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Kedua, berupa keamanan hukum bagi indibvidu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh

(25)

Perumusan norma dan prinsip hukum itu sudah memiliki kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi undang-undang semata-mata, menurut Tan Kamello berarti kepastian hukum itu tidak pernah menyentuh kepada masyarakatnya.18 Dengan perkataan lain, menurutnya peraturan hukum yang demikian disebut dengan norma hukum yang mati (doodregel) atau hanya sebagai penghias yuridis dalam kehidupan manusia.19

Argumentasi yang didasarkan pada asas-asas, dan norma-norma, serta ketentuan-ketentuan hukum sesungguhnya memiliki argumentatif yang didasarkan pada kepastian hukum. Sebagaimana Menurut Mahfud MD mengatakan demikian sebenarnya kedua belah pihak yang berhadapan dalam kontroversi hukum hanya mendasarkan pada pandangan dan argumentasi menurut logika pilihannya sendiri, bukan menurut undang-undang.20

2. Kerangka Konsep

Penggunaan konsep dalam suatu penelitian adalah untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang dipergunakan dalam

negara terhadap individu. Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 23

18 Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu- raguan (multi tafsir) dan logis. Jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif, kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk. CST. Kansil et.al, Kamus Istilah Hukum, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009), hal. 385

19 Ibid, hal. 118

20 Moh Mahfud MD, “Mendudukkan soal Ultra Petita”, Kompas, Tanggal 5 Februari 2007.

(26)

merumuskan konsep dengan menggunakan model definisi operasional.21 Adapun definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

a. Wanprestasi adalah tidak memenuhi kewajiban sebagaimana diterapkan perikatan atau perjanjian, tidak dipenuhinya kewajiban dalam suatu perjanjian, dapat disebabkan dua hal, yaitu kesalahan debitur baik disengaja maupun karena kelalaian dan karena keadaan memaksa (overmacht/force majure).22

b. Prestasi adalah suatu utang atau kewajiban kontraktual yang harus dilaksanakan oleh para pihak dalam kontrak yang berasal dari perjanjian yang diadakan para pihak atau peraturan perundang-undangan atau kepatutan atau kebiasaan.23

c. Kreditur adalah pihak yang memiliki hak atas pemenuhan suatu prestasi dari debitornya.24

d. Debitur adalah pihak yang memiliki kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi.25

e. Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh

21 Universitas Sumatera Utara, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, (Medan:

Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 72

22 Djaja S. Meliala, Hukum Perikatan dalam Prespektif BW, (Bandung: Nuansa Aulia, 2012), hal. 175

23 Suhendro, Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Kontrak Di Indonesia, (Yogyakarta: Disertasi (S3) Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2014), hal. 42

24 Ibid

25 Ibid

(27)

undang-undang, bersifat melawan hukum serta dengan kesalahan yang dilakukan oleh seseorang yang mampu beratnggung jawab.26

f. Tindak pidana penggelapan adalah penyalahgunaan hak atau penyalahgunaan kepecayaan oleh seseorang yang mana kepercayaan tersebut diperolehnya dengan adanya unsur melawan hukum.27

g. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.28

h. Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan hukum hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.29

G. Metode Penelitian

Metode penelitian berisikan uraian tentang metode atau cara yang digunakan untuk memperoleh data atau informasi. Metode penelitian ini berfungsi sebagai pedoman dan landasan tata cara dalam melakukan operasional penelitian untuk

26 E.Y. Kanter Dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 211

27 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 95

28 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

29 Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP)

(28)

menulis suatu karya ilmiah yang peneliti lakukan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang tidak membutuhkan populasi dan sampel.30 Adapun beberapa langkah yang digunakan dalam metode penelitian ialah :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif mengacu kepada norma- norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan- putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.31 Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut juga penelitian kepustakaan.32

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian.33 Deskriptif analitis merupakan metode yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi atau berlangsung yang bertujuan agar dapat memberikan data seteliti mungkin mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang bersifat ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.34 Dalam penulisan ini akan menguraikan tentang Tuntutan Tindak Pidana Penggelapan Terhadap Perbuatan Wanprestasi Dalam Hukum Perdata (Studi Putusan Pengadilan

30 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 105

31 Ibid

32 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurumateri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hal. 9

33 Ibid, hal. 105

34 Ibid, hal. 223

(29)

Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt tertanggal 28 Mei 2019).

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum normatif merupakan prosedur penelitian untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai suatu sistem norma yang digunakan untuk memberikan penjelasan tentang suatu peristiwa hukum. Penelitian ini dilakukan dengan maksud memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu, apakah sesuatu penstiwa sudah benar atau salah serta bagaimana sebaliknya peristiwa itu menurut hukum.35 Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute aprroach) dan pendekatan kasus (case aprroach). Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute aprroach) adalah penelaahan semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani dan pendekatan kasus (case aprroach) adalah penelaahan kasus yang sesuai dengan pembahasan yang akan dilakukan36, yaitu

“Tuntutan Tindak Pidana Penggelapan Terhadap Perbuatan Wanprestasi Dalam Hukum Perdata (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No.

74/Pid.B/2019/PN.Tbt tertanggal 28 Mei 2019)”.

35 Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit, hal. 146

36 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 93

(30)

3. Data Penelitian

Penelitian yuridis normatif, data yang digunakan ialah data sekunder37, maka di dalam penelitian hukum normatif yang termasuk data sekunder, yaitu:

a. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang mengikat dengan permasalahan dan tujuan penelitian38, antara lain :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);

3) Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt tertanggal 28 Mei 2019.

b. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer39 yang terdiri dari :

1) Buku-buku;

2) Jurnal;

3) Majalah;

4) Artikel;

5) dan berbagai tulisan lainnya.

37 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 23-24

38 Ibid, hal. 13

39 Ibid

(31)

c. Bahan hukum tertier yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder40, seperti:

1) Kamus;

2) Ensiklopedi dan lain sebagainya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research). Studi ini dilakukan dengan jalan meneliti dokumen-dokumen yang ada, yaitu dengan bahan hukum dan informasi baik yang berupa buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu dengan mencari, mempelajari dan mencatat serta menginterpretasikan hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian.41 Selain itu, juga akan dilakukan wawancara kepada informan yang pelaksanaannya secara terarah (directive interview).42 Pemilihan informan dilakukan dengan mengutamakan segi kompetensi dibidangnya yang diperkirakan sarat dengan informasi yang dibutuhkan.

Dalam hal ini yang dianggap sesuai, yaitu : Hakim Pengadilan Negeri Tebing Tinggi.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga ditemukan tema dan dapat

40 Ibid

41 Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit, hal. 225

42 Ibid, hal. 55

(32)

dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disaran oleh data.43 Analisis data yang akan dilakukan secara kualitatif. Kegiatan ini diharapkan akan dapat memudahkan dalam menganalisis permasalahan yang akan dibahas, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan. Peraturan perundang-undangan dianalisis secara kualiatif dengan menggunakan logika berfikir dalam menarik kesimpulan yang dilakukan secara deduktif.44

43 Analisa data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategoridan satuan uraian dasar. Analisa berbeda dengan penafsiran yang memberikan arti yang signifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan diantara dimensi. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 280

44 Penarikan kesimpulan yang dilakukan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang konkret. Jhonny Ibrahim, Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayu Media, 2005), hal. 393

(33)

BAB II

BATASAN YANG MEMBEDAKAN ANTARA WANPRESTASI DENGAN TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PERJANJIAN

A. Perjanjian dan Wanprestasi

Perjanjian di Indonesia masih mengacu pada buku ketiga Kitab Undang- Undang Perdata (KUHPerdata) untuk pengaturannya.45 Perjanjian yang diatur di dalam KUHPerdata tentunya masih memiliki rasa atau aroma dari hukum kolonial.

Hal itu disebabkan karena KUHPerdata yang ada sampai hari ini merupakan aturan ciptaan pemerintah kolonial Belanda. Dasar pemberlakuannya, disebabkan karena Indonesia belum memiliki aturan tertulis buatan sendiri untuk perjanjian ditambah hal tersebut memang dibenarkan sesuai dengan Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, berbunyi:46

“Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

Perjanjian yang masih mengacu pada KUHPerdata tentunya untuk melihat arti atau pengertiannya juga harus merujuk kepada aturan tersebut. Namun, jika melihat perkembangan hukum terutama perjanjian banyak ahli yang telah mendefinisikan

45 Perjanjian merupakan bagian dari perikatan. Hukum perikatan merupakan bagian dari lapangan hukum harta kekayaan. Hukum perikatan di dalam istilah hukum Belanda, disebut verbintenis. Beberapa istilah perikatan, obligatio (latin), obligation (Perancis; Inggris), yang berarti mengikatkan diri atau ikatan hukum. Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, (Yogyakarta: UII Press, 2014), hal. 2-3

46 Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 di atas atau aturan peralihan pada umumnya keberadaan untuk menghindari kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara. https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt54ac8a8c7c96e/fungsi- aturan-peralihan-dan-aturan-tambahan, diakses 11 Juni 2020

(34)

perjanjian dari sudut pandang hukum masing-masing. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk perhatian kepada hukum perjanjian agar dapat berkembang dan mengalami pembaharuan hukum. Berikut beberapa pengertian perjanjian baik yang diatur di dalam KUHPerdata maupun menurut pendapat para ahli, yaitu:

1. Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, mengatakan:

“Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

2. Menurut R. Subekti, mengatakan:47

“Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian ini menimbulkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian ini berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau di tulis”.

3. Menurut Sudikno Metokusumo, mengatakan:48

“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Maksudnya, kedua pihak tersebut sepakat untuk menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan dilaksanakan. Kesepakatan tersebut adalah untuk menimbulkan akibat hukum, yaitu menimbulkan hak dan kewajiban, sehingga apabila kesepakatan itu dilanggar maka akan ada akibat hukumnya atau sanksi bagi pelanggarnya”.

4. Menurut Salim HS, mengatakan:49

“Perjanjian adalah hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan

47 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1963), hal .1

48 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1996), hal. 97-98

49 Salim HS (II), Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 27

(35)

subyek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya”.

5. Menurut Sri Soedewi MS, mengatakan:50

“Perjanjian itu suatu peruatan hukum dimana seorarng atau lebih mengingatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih”.

6. Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, mengatakan:51

“Suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.

7. A. Qirom Samsudin Meliala, mengatakan:52

“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana seorang lain itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.

Merujuk beberapa penguraian perjanjian di atas menurut aturan hukum atau pendapat para ahli terdapat beberapa unsur di dalamnya, yaitu:53

1. Adanya kaidah hukum.

Kaidah dalam hukum kontrak dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum kontrak tertulis adalah kaidah kaidah

50 Lukman Santoso AZ, Aspek Hukum Perjanjian: Kajian Komprehensif Teori Dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Penebar Media Pustaka, 2019), hal. 48

51 Ibid

52 Ibid

53 Ibid, hal. 49-50

(36)

hukum yang terdapat di dalam peraturan undang-undang, traktat dan yurisprudensi sedangkan kaidah hukum kontrak tidah tertulis adalah kaidah kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat. Contoh: jual beli lepas, jual beli tahunan dan lain-lain. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.

2. Subjek hukum

Subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam hukum perjanjian adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang memiliki utang.

3. Adanya prestasi

Prestasi merupakan yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur, prestasi terdiri dari Memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, Tidak berbuat sesuatu.

4. Kata sepakat

Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak, kata sepakat adalah salah satu syarat sahnya perjanjian yang terkandung dalam pasal 1320 KUHPerdata.

5. Akibat hukum

Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum atau dapat dituntut apabila tidak dipenuhinya prestasi. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Hak adalah suatu kenikmatan dan kewajiban adalah suatu beban.

(37)

Pembentukan perjanjian antara subjek hukum mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang terdiri atas 4 (empat) syarat, sebagai berikut:54

1. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri

Pengaturan terkait sepakat yang mengikatkan diri diatur Pasal 1321-Pasal 1328 KUHPerdata.55 Syarat sepakat mengikatkan diri mengandung makna bahwa

54Ada pula agar suatu kontrak dapat dianggap sah oleh hukum, haruslah memenuhi beberapa persyaratan yuridis tertentu. Terdapat 4 persyaratan yuridis agar suatu kontrak dianggap sah, sebagai berikut:

a. Syarat sah yang obyektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata 1) Objek atau perihal tertentu

2) Kausa yang diperbolehkan atau dihalalkan

b. Syarat sah yang subjektif berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata 1) Adanya kesepakatan dan kehendak

2) Wewenang berbuat

c. Syarat sah yang umum di luar pasal 1320KUH Perdata 1) Kontrak harus dilakukan dengan itikad baik

2) Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku 3) Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan

d. Syarat sah yang khusus

1) Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu 2) Syarat akta notaries untuk kontrak-kontrak tertentu

3) Syarat akta pejabat tertentu ( selain notaries) untuk kontrak-kontrak tertentu 4) Syarat izin dari pejabat yang berwenang untuk kontrak-kontrak tertentu.

Lukman Santoso AZ, Op.Cit, hal. 55-56

55 Untuk menentukan kapan suatu kesepakatan itu dapat terjadi, terdapat empat teori yang menjelaskan hal tersebut, yaitu:

a. Teori ucapan (uitingstheorie)

Menurut teori ucapan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia memnerima penawaran tersebut. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangan teoretis karena menganggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.

b. Teori pengiriman (verzendtheorie)

Menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram. Kritik terhadap teori ini adalah bagaimana pengiriman itu diketahui ? bisa jadi, walaupun sudah dikirim, tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan. Teori ini juga sangat teoretis, sebab menganggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.

c. Teori pengetahuan (ontvenemingstheorie)

Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan mengetahui adanya acceptatie (penerimaan), tetapi penerimaan tersebut belum diterimanya (tidak

(38)

para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling mensetujui kehendak masing-masing yang mana tidak ada penipuan, paksaan dan kekeliruan.56 Hal senada juga diutarakan oleh Subekti yang menyatakan dengan kalimat yang lebih singkat yakni “sepakat mereka yang mengikatkan diri” menjadi “kata sepakat”, sebagai berikut:57

“Kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara 2 (dua) pihak, yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik”.

Sepakat mereka yang mengikatkan diri secara singkat mengadung makna terjadinya kesesuaian kehendak yang terjadi atas dasar pernyataan yang tertuang secara tertulis tanpa ada paksaan, penipuan maupun kekeliruan.

2. Kecakapan untuk Membuat suatu Perjanjian

Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian harus ada melekat pada diri seseorang itu beberapa hal (Pasal 1329-Pasal 1331 KUHPerdata), yaitu:58

a. Dewasa.

b. Sehat akal pikiran.

diketahui secara langsung). Kritik terhadap teori ini adalah bgaimana ia mengetahui isi penerimaan tersebut apabila ia belum menerimanya?.

d. Teori penerimaan (ontvangstheorie)

Menurut teori penerimaan bahwa toesteming terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 123

56 Riduan Syahrani, Op.Cit, hal. 203-204

57 Osgar S. Matompo & Moh. Nafri Harun, Pengantar Hukum Perdata, (Malang: Setara Press, 2017), hal. 109

58 Riduan Syahrani, Op.Cit, hal. 208

(39)

c. Tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undang.

Syarat cakap untuk membuat perjanjian searah dengan ketentuan tidak cakap untuk membuat perjanjian dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu:

a. Orang-orang yang belum dewasa.

b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan.

c. Orang yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pensyaratan kecakapan untuk membuat perjanjian diuraikan, sebagai berikut:

a. Dewasa secara KUHPerdata merujuk pada Pasal 330 KUHPerdata yang pengaturannya memuat:

1) Berusia 21 (dua puluh satu tahun),

2) Sudah kawin walaupun belum berusia 21 (dua puluh satu tahun),

3) Pernah kawin dan bercerai tetapi belum berusia 21 (dua puluh satu tahun).

b. Mereka yang dibawah pengampuan dimana kategori orang-orang yang berada di bawah pengampuan merujuk pada Pasal 433 KUHPerdata, yaitu:

1) Orang dungu, 2) Orang gila,

3) Orang yang mata gelap, 4) Orang yang boros, 5) Orang yang sakit otak.

c. Tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan. Artinya, pada dasarnya seseorang orang itu cakap untuk berbuat akan tetapi karena dilarang

(40)

oleh undang-undang maka ia tidak boleh melakukan perjanjian, misalnya pelarangan perjanjian jual beli antara suami dan istri yang tercantum dalam Pasal 1467 KUHPerdata.59

Kecakapan di atas merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh subjek hukum dalam wujud orang. Jika subjek hukumnya berupa badan hukum dapat melakukan persetujuan-persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya. Oleh karena itu, badan hukum dapat bertindak dengan perantaraan pengurus-pengurusnya.60

3. Suatu Hal Tertentu

Pemaknaan suatu hal tertentu ialah barang yang menjadi objek perjanjian.61 Jenis-jenis barang tersebut dikelompokkan sebagai berikut:

a. Yang merupakan objek perjanjian tersebut haruslah berupa barang yang dapat diperdagangkan (Pasal 1332 KUHPerdata).

b. Minimal sudah dapat ditentukan jenis barang yang menjadi objek perjanjian ketika perjanjian tersebut dibuat (Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata).

c. Boleh saja jumlah barang yang menjadi objek perjanjian masih tidak tertentu ketika perjanjian dibuat, asal saja jumlah barang tersebut dapat ditentukan atau dapat dihitung dikemudian hari (Pasal 1333 ayat (2) KUHPerdata).

59 Munir Fuady, Op.Cit, hal. 200

60 Lukman Santoso AZ, Op.Cit, hal. 52

61 Riduan Syahrani, Op.Cit, hal. 209

(41)

d. Barang yang menjadi objek perjanjian boleh saja barang yang baru akan ada dikemudian hari (Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata).

e. Tidak dapat dibuat suatu perjanjian terhadap barang-barang yang masih dalam warisan yang belum terbuka (Pasal 1334 ayat (2) KUHPerdata).62

4. Suatu Sebab yang Halal

Suatu sebab yang halal merujuk pada Pasal 1335 KUHPerdata, berbunyi:

“Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.

KUHPerdata juga menentukan suatu sebab yang terlarang, yakni Pasal 1337 KUHPerdata, berbunyi:

“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

Merujuk bunyi kedua pasal di atas maka dapat dirumuskan dorongan untuk atau alasan untuk membuat perjajian harus dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku dimana tidak boleh bertentangan dengan perundang- undangan, ketertiban dan kesusilaan. Syarat terakhir ini jika dikaitkan dengan persetujuan tindakan medis maka persetujuan tindakan medis keberadaannnya tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.

Uraian mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian jika tidak dipenuhi maka akan menimbulkan 2 (dua) akibat hukum, yaitu:

62 Munir Fuady, Op.Cit, hal. 200-201

(42)

1. Syarat pertama dan kedua, yakni sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perjajian disebut sebagai syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian.63 Akibat, kurang atau tidak terpenuhinya kedua syarat tersebut menjadi dapat dibatalkan.64

2. Syarat ketiga dan keempat, yakni suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal disebut sebagai syarat objektif karena kedua syarat tersebut mengenai objek perjanjian.65 Akibat, kurang atau tidak terpenuhinya kedua syarat tersebut menjadi batal demi hukum.66

Perjanjian yang dianggap sah dengan memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata sebagaimana diuraikan di atas. Namun, perjanjian yang telah sah tersebut bukan berarti tidak memiliki kelemahan untuk dimintai pertanggungjawaban secara keperdataan, yakni ketika salah satu pihak melakukan wanprestasi. Artinya, dengan terjadinya wanprestasi akan menyebabkan kerugian terhadap salah satu pihak.

Wanprestasi merupakan lawan dari prestasi.67 Prestasi merupakan suatu yang wajib dipenuhi oleh pihak dalam setiap perjanjian.68 Artinya, pihak harus memenuhi

63 Mariam Darus Badrulzaman et.al, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 73

64 Osgar S. Matompo & Moh. Nafri Harun, Op.Cit, hal. 108

65 Mariam Darus Badrulzaman et.al, Loc.Cit

66 Osgar S. Matompo & Moh. Nafri Harun, Op.Cit, hal. 109

67 Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda, yaitu: “wanprestatie”. Wan berarti buruk atau jelek dan prestatie berarti kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitor dalam suatu perikatan. Wanprestasi adalah prestasi yang buruk atau jelek. Terdapat beberapa para ahli yang mengutarakan pengertian wanprestasi, sebagai berikut:

a. M. Yahya Harahap mengatakan, “wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama sekali”.

Referensi

Dokumen terkait

1. Belum pernah dihukum atau residivis. Dengan maksud bahwa terdakwa sebelum melakukan tindak pidana, terdakwa tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang

Upaya yang dilakukan dengan adanya penerbitan bilyet giro kosong adalah dengan mengajukan kepada Bank Indonesia agar penerbit nasabah biro yang bersangkutan dimasukkan

INTOSAI menyepakati empat pendekatan dalam pemeriksaan SDGs yang tertuang dalam tema pertama INCOSAI XXII (International Congress of Supreme Audit Institution), yaitu: (1)

Pemilihan forum arbitrase (choice of forum) dan hukum yang berlaku (choice of law). Para pihak bebas untuk menentukan sendiri pemilihan forum arbitrase dalam

Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menyatakan bahwa pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menguji pengaruh desentralisasi fiskal dan fiscal stress terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota se-Propinsi Aceh, baik

Dari uraian yang telah disebutkan di atas, maka jelaslah bahwa peralihan hak milik (penyerahan) dalam perjanjian beli sewa baru dapat beralih atau sudah diserahkannya oleh

1) Penerima kuasa asuransi jiwa syariah mengisi daftar pertanyaan pada Formulir klaim meninggal dunia/kematian dan surat keterangan dokter dengan benar sesuai dengan