• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Antara Wanprestasi Dengan Tindak Pidana

BAB II : BATASAN YANG MEMBEDAKAN ANTARA WANPRESTASI

C. Perbedaan Antara Wanprestasi Dengan Tindak Pidana

Perjanjian tidak hanya berdasarkan aturan undang-undang berlaku tetapi juga didasarkan pada asas-asas yang melekat pada perjanjian tersebut.117 Asas-asas perjanjian, sebagai berikut:

114Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), hal. 70

115 P.A.F Lamintang & Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus (Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Hak Milik Dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik), (Bandung: Transito, 1979), hal. 174

116 Ibid

1. Asas konsensualisme dimana perjanjian telah terjadi jika telah ada konsensus antara pihak-pihak yang mengadakan kontak. Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Pada pasal tersebut, ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak.118

2. Asas kebebasan berkontrak dimana seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas tentang yang diperjanjikan, bebas pula tentang menentukan bentuk kontraknya. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, menyebutkan, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Asas ini merupakan merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta;

d. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

117 Kata asas di dalam bahasa Inggris disebut principle, yang memiliki hubungan erat dengan kata principium (latin). Principium ialah permulaan, awal mula, sumber, asal, pangkal, pokok, dasar, sebab.Syamsul Arifin, Falsafah Hukum Edisi Revisi, (Batam: UNIBA Press, 2011), hal. 114

118 Wawan Muhwan Hariri, Op.Cit, hal. 139

Asas kebebasan berkontrak ini bersifat universal, artinya berlaku juga dalam berbagai sistem hukum perjanjian di negara-negara lain dan memiliki ruang lingkup yang sama.119

3. Asas itikad baik dimana para pihak, yaitu pihak kreditur dan pihak debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak.120 Itikad baik dalam kontrak dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: itikad baik pra kontrak (pre contractual good faith) dan itikad baik pelaksanaan kontrak (good faithon contract performance).

Itikad baik pra kontrak atau disebut juga sebagai itikat baik subjektif adalah itikad yang harus ada pada saat para pihak melakukannegoisasi. Itikad baik ini bermakna kejujuran bagi para pihak yang melaksanakan negoisasi. Adapun itikad baik dalam fase pelaksanaan kontrak disebut juga sebagai itikad baik objektif mengacu kepada isi perjanjian. Isi perjanjian harus rasional dan patut. Isi kontrak adalah kewajiban dan hak para pihak yang mengadakan kontrak.121

Asas itikad baik dalam praktik biasanya hakim memang menggunakan wewenang untuk mencampuri isi perjanjian, sehingga tampaknya itikad baik bukan saja harus adapada pelaksanaan perjanjian tetapi juga ada saat dibuatnya atau ditandatanganinya perjanjian.122

119 Ridwan Khairandy, Op.Cit, hal. 87

120 H.P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian, (Yogyakarta: Liberty, 2010), hal. 10

121 Ridwan Khairandy, Op.Cit, hal. 91

122 Suharnoko, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Kencana Prenada Group, 2004), hal. 4

4. Asas kekuatan mengikat dimana setiap perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak berlakunya akan mengikat dan tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Artinya, perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak.123

5. Asas kepribadian, yaitu asas yang menentukan seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 menegaskan,“Pada umumnya, seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian, selain untuk dirinya sendiri” sedangkan pasal 1340 KUH Perdata menyebutkan, “perjanjian hanya berlaku pada pihak yang membuatnya”.

Ketentuan tersebut terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan, “dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, apabila suatu perjanjian yang dapat dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu”. Pasal ini mengonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian atau kontrak untuk kepentingan pihak ketiga dengan adanya suatu syarat yang telah ditentukan.124

6. Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama

123 Lukman Santoso AZ, Op.Cit, hal. 69

124 H.P. Panggabean, Op.Cit, hal. 15

dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama yang lainnya, walaupun subjek hukum tersebut berbeda warna kulit, agama dan ras.125 7. Asas Kepercayaan (Vertrouwens Beginsel) dimana kedua belah pihak harus saling

mempercayai satu sama lain. Dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen Kehakiman RI, menjelaskan bahwa asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yangakan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan di antara mereka padakemudian hari.126

8. Asas keseimbangan merupakan asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur. Akan tetapi, debitur memikul pula kewajiaban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.127

9. Asas kepastian hukum dimana perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, sebagai undang-undang bagi yang membuatya.128 Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa

125 Lukman Santoso AZ, Op.Cit, hal. 70

126 Ibid

127 Ibid, hal. 71

128 Wawan Muhwan Hariri, Op.Cit, hal. 145

hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana selayaknya sebuah undang-undang.129

10. Asas moral dimana perjanjian tersebut tidak sampai melebihi batas moral (tingkah laku) pada suatu lingkungan.130

11. Asas kepatutan dimana hanya tindakan yang patut atau pantas yang harus dilakukan.131

12. Asas kebiasan dimana tindakan para pihak mengikuti kebiasaan yang normatif sebagaimana berlaku dalam perjanjian.132

Perjanjian yang dilaksanakan sesuai Pasal 1320 KUHPerdata dan asas-asas di atas sebagaimana telah diuraikan di dalam sub bab A di atas sangat memungkinkan tidak terpenuhinya prestasi atau terjadi wanprestasi. Wanprestasi kemungkinan terjadi dikarena 2 (dua) hal pokok, yaitu:133

1. Karena kesalahan debitor.

2. Karena keadaan memaksa (overmacht/force majure), sesuatu yang terjadi diluar kemampuan debitor, debitor tidak bersalah.

Keadaan memaksa secara hukum tentunya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata walaupun untuk membuktikannya harus diajukan dipersidangan atau melalui putusan pengadilan. Demikian kesalahan di dalam perjanjian untuk melihat wujud nyata harus melalui sengketa dipengadilan atau tidak

129 Lukman Santoso AZ, Loc.Cit

130 Ibid

131 Ibid, hal. 71-72

132 Wawan Muhwan Hariri, Op.Cit, hal. 141

133 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 17

dengan menginventarisasi poin-poin pelanggaran yang dilakukan oleh debitor.

Artinya, timbulnya wanprestasi ini dapat terjadi karena kesengajaan dan kelalaian.

Wanprestasi yang timbul akibat dari kesalahan debitor, artinya debitor tidak melaksanakan kewajiban kontraktual yang seharusnya ditunaikan.134

Wujud wanprestasi (telah diuraikan di atas) dikelompokkan kedalam 4 (empat) peristiwa, yaitu:135

1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali dimana hal tersebut dapat dilihat dari peristiwa, sebagai berikut: Kedai minuman menjual sejumlah minumannya secara online dimana ada seseorang yang memesan selanjutnya dalam proses pengantaran akan dilakukan sejam kemudian tetapi waktu yang dijanjikan lewat. Akibat hal tersebut penjual telah melakukan wanprestasi, karena tidak bisa melakukan janji yang telah disanggupinya.

2. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru dimana hal tersebut dapat dilihat dari peristiwa, sebagai berikut: seorang pembeli memesan celana melalui online. Pada saat memesan, pembeli melihat contoh bentuk celana yang ditawarkan di layar monitornya lalu pembeli memesan celana tersebut.

Selanjutnya, celana dikirim sampai ke tempat pembeli, celana tidak sesuai seperti

134 Kesalahan dalam wanprestasi adalah kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi kreditor.

Perbuatan berupa wanprestasi tersebut menimbulkan kerugian terhadap kreditor, dan perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada debitor. Jika unsur kesengajaan atau kelalaian dalam peristiwa yang menimbulkan kerugian pada diri kreditor dan dapat dipertanggungjawabkan pada debitor. Kerugian yang diderita kreditor tersebut dapat berupa ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan kreditor, kerugian yang menimpa harta benda milik kreditor, atau hilangnya keuntungan yang dharapkan. Ridwan Khairandy, Op.Cit, hal. 281

135 R. Subekti, Op.Cit, hal. 45

pada gambar. Karena itu penjual dikatakan wanprestasi karena tidak melaksanakan prestasinya sebagaimana mestinya.

3. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya dimana hal tersebut dapat dilihat dari peristiwa, sebagai berikut: seorang pembeli memesan alat pancing dari toko online. Pesanan tersebut harusnya sampai dalam waktu 4 (empat) hari, tetapi ternyata pesanan tersebut baru sampai pada hari ke-10 (kesepuluh). Akibat hal tersebut penjual dikatakan wanprestasi tetapi karena barang yang dipesanmasih dapat dipergunakan maka wanprestasi ini digolongkan wanprestasi yang terlambat.

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan dimana hal tersebut dapat dilihat dari peristiwa, sebagai berikut: penjual yang berkewajiban untuk tidak menyebarkan ke khalayak umum tentang identitas dan data diri pembeli, tetapi penjual telah melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, penjual dikatakan wanprestasi.

Selanjutnya, kondisi wanprestasi di atas sering sekali dialihkan kedalam perkara pidana dimana salah satunya ialah penggelapan. Tindak pidana penggelapan yang diatur pada KUHP yang termuat di dalam 6 (enam) pasal untuk unsur tindak pidananya mengacu pada Pasal 372 KUHP. Pasal 372 KUHP pada hakikatnya memiliki kesamaan dengan pasal tindak pidana lainnya, yakni memiliki unsur subjektif dan unsur objektif.136 Pasal 372 KUHP menunjukkan subjek hukum dengan

136 Unsur subjektif merupakan kemampuan bertanggungjawab dan kesalahan atau schuld dan unsur objektif merupakan perbuatan, akibat dan keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang

kalimat “barang siapa”. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Andi Hamzah, yakni subjek hukum terwujud dalam kalimat “barang siapa” dan “setiap orang”.137 Unsur-unsur tindak pidana Pasal 372 KUHP, yaitu:

1. Unsur subjektif dapat dilihat melalui kata, sebagai berikut:

a. Kesengajaan yang terdapat dalam 372 KUHP dapat dikategorikan sebagai sengaja dengan maksud (oogmerk). Sengaja dengan maksud (oogmerk) memiliki makna si pelaku benar-benar mengkehendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukum pidana (constitutief gevolg).138 Artinya, jika dikaitkan dengan Pasal 372 maka barang siapa atau orang dikatakan sengaja dengan maksud disebabkan orang menghendaki barang yang dikuasainya (tanpa melawan hukum) tetapi bukan miliknya menjadi milik pribadi. Oleh karena itu, orang memiliki kehendak dan membayangkan perbuatan pelaku, yakni orang menghendaki barang yang dikuasainya tanpa melawan hukum menjadi milik pribadi.139 Selanjutnya, bayangan kesengajaan ini ada karena pelaku pada waktu menghendaki barang yang dikuasainya tanpa melawan hukum menjadi milik pribadi, mempunyai bayangan atau gambaran dalam pikirannya untuk menjadikan barang yang dikuasai bukan milik sendiri menjadi milik pribadi sebagaimana yang terbayang tadi. Oleh karena itu, pasal

dan diancam oleh undang-undang. Tongat (II), Hukum Pidana Materiil, (Malang, UMM Press, 2015), hal. 45

137 Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 125. Kata orang atau kalimat barang siapa dan setiap orang merupakan golongan subjek hukum yang dikenal secara umum, yakni orang (persoon) dan badan hukum (rechtpersoon). Zaeni Asyhadie & Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 2016), hal. 61

138 Amir Ilyas, Op.Cit, hal. 78

139 Ibid, hal. 79

ini termasuk pada delik formil yang mana tidak perlu melihat akibat dari tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.

b. Melawan hukum

Hukum pidana sebagai salah satu hukum publik mengenal istilah perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dalam ruang lingkup pidana dikenal dengan istilah wedderechtelijkheid. Perbuatan melawan hukum dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: ajaran melawan hukum formil (formele wederrechtelijkheid) dan ajaran melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid).140

Awalnya, menurut ajaran melawan hukum formil, suatu perbuatan dianggap melawan hukum (wederrechtelijk), apabila perbuatan tersebut telah memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan dari suatu delik menurut undang-undang. Sedangkan menurut paham ajaran hukum materiil, suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum (wederrechtelijk), atau tidak, bukan hanya harus ditinjau kesesuaiannya dengan ketentuan-ketentuan hukum tertulis, melainkan juga harus ditinjau menurut asas-asas umum hukum yang tidak tertulis. Namun, telah terjadi pergeseran dalam literatur hukum dari yang tadinya mengikuti literatur hukum Belanda, dimana ajaran melawan hukum secara materiil tidak dimaknai dengan fungsi positifnya, yaitu hanya digunakan untuk membatasi keberlakuan rumusan delik apabila terdapat alasan pembenar

140 Shinta Agustian et.al, Penjelasan Unsur Melawan Hukum, (Jakarta: Judicial Sector Support Program, 2016), hal. 21

berdasarkan keadaan nyata kasus terkait, menjadi melawan hukum secara materiil dengan fungsi positif.141

Merujuk uraian di atas maka Pasal 372 KUHP merupakan perbuatan melawan hukum formil (formele wederrechtelijkheid).

2. Unsur objektif dapat dilihat dari beberapa kalimat dibawah ini, sebagai berikut:

a. Memiliki dimana kata tersebut di dalam Pasal 372 KUHP mengandung arti sebagai menguasai suatu benda bertentangan dengan sifat dari hak yang memiliki atas benda itu dimana tidak selalu mengandung sifat bermanfaat bagi diri pribadi.142 Seseorang yang memiliki sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 372 KUHP disebut petindak. Petindak telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan sifat dari hak atas barang yang dikuasainya. Orang yang menguasai benda tersebut, tidak berhak untuk melakukan perbuatan memiliki hanya sebatas menguasai saja sehingga apabila terdapat penyalahgunaan maka tidak dibenarkan untuk melebihi dari hak yang dipunyainya tersebut. Artinya, perbuatan memiliki ialah perbuatan terhadap suatu benda oleh orang yang seolah-olah pemiliknya, perbuatan mana bertentangan dengan sifat dari sifat hak yang ada padanya atas benda tersebut.143

141 Ibid

142 Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. No.69 K/Kr/1959 tanggal 11 Agustus 1959 dan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 92 K/Kr/1955 tanggal 7 April 1956

143 Adami Chazawi (II), Kejahatan Terhadap Harta Benda, (Malang: Bayumedia, 2003), hal.

73

b. Benda

Benda yang dimaksud disini ialah benda bergerak dan berwujud saja. Hal tersebut senada dengan Pendapat Adami Chazawi yang mengatakan:144

“Apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu dia dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu, adalah hanya terhadap benda-benda berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi pada benda-benda yang tidak berwujud dan tidak tetap”.

c. Sebagian atau seluruhnya milik orang lain

Benda yang diambil haruslah barang/benda yang dimiliki baik seluruhnya ataupun sebagian oleh orang lain. Jadi harus ada pemiliknya, barang atau benda yang tidak bertuan atau tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek penggelapan. Dengan demikian dalam tindak pidana penggelapan, tidak dipersyaratkan barang yang dicuri itu milik orang lain secara keseluruhan.

Penggelapan tetap ada meskipun itu hanya sebagian yang dimiliki oleh orang lain.145

d. Ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan Van Bemmelen dan Van Hattum mengatakan:146

“Untuk dapat disebut yang ada padanya itu tidak perlu bahwa orang harus menguasai sendiri benda tersebut secara nyata. Dapat saja orang mendapat penguasaan sendiri benda tersebut secara nyata. Dapat saja orang mendapat penguasaan atas suatu benda melalui orang lain. Barang siapa harus

144 Ibid, hal. 77

145 Tongat (II), Op.Cit, hal. 74

146 P.AF Lamintang, Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal.

131

menyimpan suatu benda, ia dapat menyerahkannya kepada orang lain untuk menyimpan benda tersebut. Jika kemudian telah memerintahkan orang lain untuk menjualnya maka ia telah melakukan suatu penggelapan”.

Merujuk penguraian di atas tentunya antara penggelapan dan wanprestasi dalam sebuah perjanjian tidak dapat dikatakan sama. Artinya, terjadinya wanprestasi dalam perjanjian merupakan bagian dari hukum perdata sedangkan penggelapan dalam perjanjian sudah masuh dalam hukum pidana. Namun, perlu menjadi perhatian dalam menerapkan hukum pidana dalam ranah keperdataan (perjanjian) maka yang lebih diutamakan tetap hukum perdata untuk menyelesaikan persoalan hukumnya.

Hal tersebut karena sifat hukum pidana yang ultimum remidium. Persoalan ultimum remidium yang melekat pada hukum pidana disebabkan oleh beberapa hal atau alasan yang merujuk pada pendapat Yoserwan dan P.A.F. Lamintang, yaitu:147

“Mengingat fungsi dan karakteristik hukum pidana yang demikian, keberadaan norma hukum pidana baru diperlukan bilamana norma hukum lainnya tidak dapat atau tidak berfungsi untuk melindungi kepentingan masyarakat. Norma hukum pidana dipandang sebagai upaya atau sarana terakhir untuk melindungi kepentingan bersama. Fungsi hukum pidana yang demikian disebut ultimum remidium. Doktrin ultimum remidium dalam hukum pidana selain dilatarbelakangi oleh fungsi hukum pidana, juga erat dengan keberadaan sanksi pidana. Mengingat sanksi pidana biasanya sangat keras dan mendatangkan penderitaan maka dia akan sangat terkait dengan kepentingan dan hak-hak individu atau hak asasi manusia.

Keberadaan sanksi pidana yang sangat keras dan mendatangkan penderitaan tersebut menempatkan hukum pidana pada 2 (dua) sisi atau fungsi yang berhadap-hadapan. Disatu segi dia bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat yang juga kepentingan individu, sedangkan dipihak lain sanksi pidana juga dapat merugikan kepentingan individu. Fungsi hukum pidana yang demikian dikatakan sebagai dua sisi mata pisau yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Oleh sebab itu, penetapan dan pelaksanaan hukum pidana baru diperlukan bila kepentingan umum benar-benar menghendaki. Penetapan dan penerapan sanksi

147 Sondy Raharjanto, Analisis Perbuatan Melawan Hukum Dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 3135/Pid.B/PN.Mdn, (Medan: Tesis (S2) Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum USU, 2019), hal. 94

pidana baru dilakukan setelah sanksi lain tidak dapat berfungsi. Dalam ilmu hukum pidana, fungsi yang demikian disebut dengan fungsi sekunder dan subsider dari hukum pidana (secondary or subsidiary function)”.

Dengan demikian, perbedaan antara wanprestasi dengan tindak pidana penggelapan dalam perjanjian ialah perbuatan wanprestasi dalam perjanjian termasuk kategori kelalaian debitor dalam memenuhi prestasi sesuai kesepakatan dengan kreditur baik debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, debitur memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru, debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.148 Selanjutnya, tindak pidana penggelapan dalam perjanjian ialah terpenuhinya unsur niat (mens rea) dan unsur perbuatan tindak pidana penggelapan (actus reus).149 Artinya, unsur mens rea/niat dalam tindak pidana penggelapan berupa sengaja dengan maksud (oogmerk) dan perbuatan melawan hukum formil (formele wederrechtelijkheid) harus terpenuhi disertai dengan terpenuhinya unsur actus reus/perbuatan dalam tindak pidana penggelapan, yakni perbuatan memiliki, sesuatu benda, yang sebagian atau keseluruhan milik orang lain dan yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. Dengan demikian, bila actus reus dan mens rea dalam tindak pidana penggelapan dapat ditemukan dalam perjanjian maka dapat dilakukan penegakan hukum pidana. Misalnya, Si A dan si B melakukan perjanjian penitipan barang dimana si B menjadi pihak atau tempat dititipkan barang milik si A. Selanjutnya, si B

148 Argumentasi itu berdasarkan referensi yang ditemukan, pada umumnya ketentuan Buku III KUH Perdata tentang perikatan diterjemahkan oleh para ahli hukum bahwa kesalahan dalam melaksanakan perjanjian adalah kelalaian bukan kesengajaan. Sugirhot Marbun, “Perbedaan Wanprestasi Dan Delik Penipuan Dalam Hubungan Perjanjian”, Dalam USU Law Journal Vol. 3 No.

2, Agustus 2015, (Medan: Pasca Sarjana S2 Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU), hal. 132

149 A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hal. 35

memiliki niat untuk memiliki barang tersebut dimana si B mengatakan kepada si A barang yang dititipkan kepadanya telah hilang karena di curi oleh maling.

Selanjutnya, diketahui si B menjual sebuah barang kepada si C dimana barang tersebut merupakan barang milik si A.

Ilustrasi tersebut di atas menunjukkan si B melakukan tindak pidana penggelapan dalam perjanjian yang terjadi antara dirinya (si B) dengan Si A. Tindak pidana penggelapan dalam perjanjian yang dilakukan si B dalam ilustrasi di atas dikarenakan adanya unsur mens rea/niat dalam tindak pidana penggelapan berupa sengaja dengan maksud (oogmerk) berupa si B menghendaki barang yang dititipkan kepadanya tanpa melawan hukum menjadi milik pribadi dan perbuatan melawan hukum formil (formele wederrechtelijkheid) berupa tidak adanya alasan pembenar untuk menghapus pidana yang dilakukan si B dan actus reus/perbuatan dalam tindak pidana penggelapan, yakni perbuatan memiliki berupa si B memiliki barang si A hanya terbatas pada penguasaan saja bukan berhak untuk menggunakan barang tersebut, sesuatu benda berupa barang, yang sebagian atau keseluruhan milik orang lain berupa barang milik si A dan yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan berupa barang yang dikuasai si B merupakan barang milik si A yang dikuasainya dikarena perjanjian penitipan barang antar si A dengan si B.

BAB III

PENERAPAN WANPRESTASI DAN TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TEBING TINGGI

NO. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt

A. Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt 1. Posisi Kasus

Posisi kasus dalam putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No.

74/Pid.B/2019/PN.Tbt, sebagai berikut:

Terdakwa pada bulan Desember 2017 mendatangi Toko PT. Agung Budi Lestari di Dusun I Desa Pelanggiran Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batubara bertemu dengan saksi Himawan Loka dimana kepada saksi tersebut terdakwa bermohon, ingin mengambil barang-barang berupa karet gelang, Plastik PE, Plastik HD, plastik Asoy, Tali plastik hitam, Karet Gelas Super, Pipet Bengkok, gelas Aqua, plastik PP, Tutup Pop Ice, Tisu dan beberapa barang plastik lainnya milik Toko PT.

Agung Budi Lestari untuk dijual kembali. Selanjutnya, agar saksi Himawan Loka yakin terdakwa juga menjanjikan akan membayar barang-barang yang diambilnya setelah barang laku atau terjual. Percaya akan janji terdakwa, saksi Himawan Loka menerima permohonan terdakwa dengah syarat setelah 30 (tiga puluh) hari sejak barang diambil terdakwa harus membayar secara lunas barang yang diambilnya

Agung Budi Lestari untuk dijual kembali. Selanjutnya, agar saksi Himawan Loka yakin terdakwa juga menjanjikan akan membayar barang-barang yang diambilnya setelah barang laku atau terjual. Percaya akan janji terdakwa, saksi Himawan Loka menerima permohonan terdakwa dengah syarat setelah 30 (tiga puluh) hari sejak barang diambil terdakwa harus membayar secara lunas barang yang diambilnya

Dokumen terkait