BAB III : PENERAPAN WANPRESTASI DAN TINDAK PIDANA
B. Analisa Wanprestasi Dan Tindak Pidana Penggelapan Dalam
Hakim dalam peradilan pidana lebih memiliki kebebasan dalam menjatuhkan putusan. Artinya, hakim lebih mampu menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang telah tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.151 Hal tersebut disebabkan karena hakim pidana memutus atau menjatuhkan putusan sesuai keyakinannya yang didasari oleh 2 (dua) alat bukti. Disamping itu, hakim dalam peradilan pidana memang cenderung lebih bebas dibandingkan peradilan pidana karena sifat hakim dalam peradilan pidana sangat melekat asas hakim yang aktif. Artinya, hakim dapat menentukan luas pokok perkara, kemudian hakim boleh menambahi dan mengurangi termasuk juga harus aktif memimpin sidang.152 Dengan demikian, hakim dalam peradilan pidana mampu memberikan hasil atau keadilan yang lebih maksimal kepada para pencari keadilan. Artinya, di dalam peradilan pidana hakim mempunyai kemampuan mencari kebenaran materiil sehingga keadilan yang dihasilkan atau putusan yang dihasilkan diharapkan membawa kepuasan untuk setiap pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
151 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi:
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
152 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal.
12-13
Hakim peradilan pidana jika merujuk kedalam KUHAP dimana perbuatan pidana terdakwa terbukti maka hakim harus memberikan putusan sesuai atau didasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 182 ayat (3), dan (4) KUHAP, yaitu:
1. Pasal 182 ayat (3) KUHAP, berbunyi:
“Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan danapabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang”.
2. Pasal 182 ayat (4) KUHAP, berbunyi:
“Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segalasesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang”.
Namun, walaupun hakim harus memutus sesuai surat dakwaan penuntut umum majelis hakim pidana dapat memutus diluar dakwaan jika terdakwa secara nyata tidak terbukti melakukan perbuatan pidana. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, berbunyi:
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
Uraian di atas jika dikaitkan dengan putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt yang memuat peristiwa pidana berupa tindak pidana penggelapan di dalam perjanjian dan diduga memuat unsur wanprestasi di dalamnya
maka majelis hakim dalam memberikan pertimbangan hukum tidak menunjukkan kebenaran materiil. Hal tersebut disebabkan karena majelis hakim banyak mengabaikan fakta persidangan yang jelas atau nyata terlihat. Hal tersebut dapat dilihat melalui penguraian, sebagai berikut:
1. Petikan surat dakwaan penuntut umum menguraikan hubungan hukum antara terdakwa dan PT. Agung Bumi Lestari, yakni:
“Terdakwa mengambil barang dari PT. Agung Bumi Lestari. Barang-barang tersebut berupa: karet gelang, Plastik PE, Plastik HD, plastik Asoy, Tali plastik hitam, Karet Gelas Super, Pipet Bengkok, gelas Aqua, plastik PP, Tutup Pop Ice, Tisu dan beberapa barang plastik lainnya untuk dijual kembali. Selanjutnya, agar saksi Himawan Loka yakin terdakwa juga menjanjikan akan membayar barang-barang yang diambilnya setelah barang-barang laku atau terjual. Percaya akan janji terdakwa, saksi Himawan Loka menerima permohonan terdakwa dengah syarat setelah 30 (tiga puluh) hari sejak barang diambil terdakwa harus membayar secara lunas barang yang diambilnya kepada kasir PT. Agung Budi Lestari Saksi Lim Ai Na”.
Merujuk dari hubungan hukum yang terjalin antara terdakwa dengan PT. Agung Bumi Lestari maka terjalin kesepakatan berupa terdakwa akan menjual barang milik PT. Agung Bumi Lestari dengan janji 30 (tiga puluh) hari sejak barang diambil terdakwa harus membayar secara lunas barang yang diambilnya.
2. Petikan alat bukti yang diajukan kedalam persidangan, yakni:
a. Keterangan saksi yang terdiri atas 5 (lima) orang bernama : Lim Ai Na, Bangun Horas Munthe, Hilmawan Loka Alias Ahui, Fery Tandiono dan Wan Syafruddin Barus yang mana para saksi tersebut menguraikan keterangan yang pada pokoknya, yakni:
1) Terdakwa ada tunggakan pembayaran dengan PT. Agung Bumi Lestari yang beralamat di Dusun I Desa Pelanggiran Laut tador Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batu Bara;
2) Terdakwa telah mengambil barang-barang dengan PT. Agung Bumi Lestari yaitu sesuai dengan 12 (dua belas) lembar bon pengambilan barang (sales invoice) tanggal 27 Desember 2017 sampai dengan Maret 2018;
3) Kerjasama Terdakwa dengan perusahaan PT. Agung Bumi Lestari sejak akhir tahun 2015 dan Terdakwa pesan barang terlebih dahulu dengan PT.
Agung Bumi Lestari baru melakukan pembayarannya belakangan setelah Terdakwa memasarkan barang-barang tersebut ke pihak lain kemudian pihak lain itu membayar barulah terdakwa membayar ke perusahaan PT. Agung Bumi Lestari;
4) Tunggakan Terdakwa pada PT. Agung Bumi Lestari senilai Rp.
251.000.000,- (dua ratus lima puluh satu juta rupiah) tetapi tunggakan tersebut sudah dibayar lunas dan sudah ada perdamaian antara Terdakwa dengan perusahaan PT. Agung Bumi Lestari;
5) Alasan Terdakwa menunggak pembayarannya dan tidak membayarkan uang yang telah diberikan oleh pihak lain tempat terdakwa memasarkan
barang-barang tersebut karena waktu itu orang tua Terdakwa sedang sakit sehingga uang tersebut terpakai dan juga dikarenakan sebagian pelanggan Terdakwa ada yang belum bayar;
6) Terdakwa ada membuat laporan ke pihak perusahaan PT. Agung Bumi Lestari kalau uang pembayaran yang ditagih tersebut terpakai dikarenakan pada saat itu orang tua Terdakwa sedang sakit;
7) Tunggakan tersebut sudah pernah Terdakwa bayar senilai Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) lewat karyawan PT. Agung Bumi Lestari yang menagih kepada Terdakwa;
8) Terdakwa kerjasama dengan perusahaan PT. Agung Bumi Lestari ketika Terdakwa berjumpa dengan Supervisor perusahaan PT. Agung Bumi Lestari dan supervisor tersebut mengatakan kepada Terdakwa “kamu ambil barang dulu baru nanti kamu bayar keperusahaan”;
9) Tidak ada tenggang waktu pembayaran dengan perusahaan PT. Agung Bumi Lestari;
10) Perjanjian dengan Perusahaan PT. Agung Bumi Lestari tersebut hanya secara lisan dan tidak ada tertulis;
b. Alat bukti surat yang terdiri atas:
1) 12 (dua belas) lembar asli bon faktur pengambilan barang milik PT. Agung Bumi Lestari;
2) Kwitansi atau bukti penerimaan sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) yang diterima oleh Wan Syafrudin Barus.
Uraian petikan dakwaan, keterangan saksi dan surat terdapat hubungan kausalitas dimana adanya perjanjian tidak tertulis antara terdakwa dengan PT. Agung Bumi Lestari dimana prestasi yang harus dipenuhi oleh terdakwa selaku debitur ialah pelunasan pembayaran barang yang harus dipenuhi oleh debitur setelah barang-barang tersebut laku terjual dimana menurut PT. Agung Bumi Lestari harus dipenuhi 30 (tiga puluh) hari. Namun, kenyataannya terdakwa terlambat memenuhi perjanjian dari sebagaimana yang diperjanjikan namun setelah lewat waktu yang dijanjikan baru terdakwa melunasi seluruh utang atau prestasi kepada PT. Agung Bumi Lestari.
Gambaran dari peristiwa di atas jika dirujuk keterangan saksi dan peristiwa yang terurai dalam dakwaan maka perbuatan terdakwa bukan tindak pidana penggelapan akan tetapi perbuatan wanprestasi. Artinya, keterangan saksi menjadi kunci utama yang menunjukkan peristiwa tidak pidana tidak terbukti sama sekali dimana keterangan saksi memiliki persesuaian dan tidak ada yang inkonsisten.153 Kelima saksi menerangkan “telah terjadi perjanjian tidak tertulis antara terdakwa dengan PT. Agung Bumi Lestari dimana prestasinya pembayaran sejumlah uang atas barang yang diambil terdakwa. Selanjutnya, pembayaran terlambat tetapi bukan tidak dibayar oleh terdakwa. Cicilan pertama telah dilakukan oleh terdakwa sebanyak Rp.
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Dikarenakan biaya yang seharusnya dibayar kepada terdakwa terpakai untuk membiayai perobatan orang tua terdakwa maka
153 Pasal 186 ayat (6) KUHAP, berbunyi:
“Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain, Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain, dan alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu”.
terdakwa terlambat melakukan pelunasan. Namun, setelah lewat waktu atau peringatan diberi oleh kreditur maka terdakwa melunasi seluruh prestasi yang tertunggak selama ini”.
Pertimbangan hakim yang menyatakan terdakwa bersalah melakukan penggelapan pada dasarnya tidak beralasan. Hal tersebut dapat dilihat dalam pertimbangan hakim pada halaman 17, yaitu:
“Terdakwa sudah melunasi tunggakannya ke pihak Perusahaan PT. Agung Bumi Lestari dan telah melakukan perdamaian dengan PT. Agung Bumi Lestari yang mana pelunasan tersebut dilakukan ketika kreditur sudah memasukkan laporan kepada pihak kepolisian”.
Dengan demikian, seharusnya terdakwa tidak diputus bersalah melakukan tindak pidana penggelapan. Hal tersebut disebabkan karena terdakwa sudah pernah melakukan pencicilan dan pelunasan pembayaran sehingga alat bukti yang menunjukkan terdakwa melakukan perbuatan, yakni 2 (dua) alat bukti yang sah yang dapat mendasarkan lahirnya keyakinan hakim (negatief wettelijke) seharusnya sangat tidak mungkin putusan hakim yang menjatuhkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan.154 Artinya, dengan sengaja dan melawan hukum menguasai sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagiannya adalah kepunyaan orang lain, yang benda tersebut berada padanya bukan karena kejahatan tidak dapat dibuktikan di dalam
154 Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hal. 28
persidangan atau actus reus maupun mens rea dalam putusan di atas sama sekali tidak dapat dibuktikan. Hal tersebut dapat dilihat dari penguraian, sebagai berikut:
1. Actus reus
Actus reus atau tindak pidana yang dimaksud sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt yang menyatakan terpidana bersalah melanggar Pasal 372 KUHP. Merujuk uraian di atas maka unsur-unsur tindak pidana yang termuat di dalam Pasal 372 KUHP tidak terbukti, sebagai berikut:
a. Barang siapa
Kalimat barang siapa di dalam putusan tersebut untuk menunjukkan subjek hukum pidana telah sesuai yang dihadirkan dipersidangan dengan identitas yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum. Hal tersebut bertujuan agar tidak terjadi error in persona.
b. Memiliki sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan
Kalimat di atas jika dikaitkan dengan putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt maka benar adanya. Namun, perbuatannya bukanlah dapat dikategorikan memenuhi unsur tersebut. Hal tersebut disebabkan karena hubungan hukum yang terjadi antara terpidana dan debitur ialah perjanjian.
Konteks perjanjian harus dilihat iktikad baik dalam pemenuhan perjanjian tersebut dimana hal tersebut ditunjukkan dengan pencicilan dengan nominal Rp.
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) namun terlambat melakukan pelunasan
dikarenkan terjadi kelalaian dimana uang yang seharusnya digunakan untuk membayar prestasi tetapi terpakai membiayai, biaya rumah sakit orang tua terpidana. Selanjutnya, telah dilakukan perdamaian untuk pelunasan sisa prestasi yang belum dibayar sebelumnya. Dengan demikian, seharusnya jika debitur merasa dirugikan seharusnya ranah perdata yang ditempuh sebagai konsekuensi terlanggarnya janji.
2. Mens rea
Mens rea/niat, yaitu:
a. Sengaja
Kata sengaja sebagaimana yang telah diuraikan di dalam Bab 2 pada Pasal 372 KUHP dapat dikategorikan sebagai sengaja dengan maksud (oogmerk).
Artinya, orang dikatakan sengaja dengan maksud disebabkan orangmenghendaki barang yang dikuasainya (tanpa melawan hukum) tetapi bukan miliknya menjadi milik pribadi. Jika dikaitkan dengan putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No.
74/Pid.B/2019/PN.Tbt maka terpidana sama sekali juga tidak dapat dikategorikan sengaja. Hal itu disebabkan karena terpidana pada awalnya telah melakukan pencicilan dengan nominal Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) namun terlambat melakukan pelunasan dikarenkan terjadi kelalaian dimana uang yang seharusnya digunakan untuk membayar prestasi tetapi terpakai membiayai, biaya rumah sakit orang tua terpidana. Selanjutnya, telah dilakukan perdamaian untuk pelunasan sisa prestasi yang belum dibayar sebelumnya.
b. Melawan hukum
Unsur melawan hukum di dalam pasal 372 KUHP ialah delik formil.
Artinya, sebuah perbuatan pidana dilihat bukan berdasarkan dampak atau kerugian atas perbuatan pelaku tindak pidana. Jika dikaitkan dengan putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt maka tidak dapat dilihat atau dibuktikan telah terjadi penggelapan di dalam hubungan hukum antara terpidana dengan saksi korban/kreditur. Hal itu disebabkan karena dalam perjanjian yang dijalan terpidana hanya terlambat memenuhi prestasi dimana prestasi tersebut sebelumnya telah dibayar namun belum lunas. Artinya, iktikad baik dalam hubungan hukum/perjanjian tersebut telah ada.
Selanjutnya, mens rea lebih tegas dapat dilihat melalui unsur pertanggungjawaban pidana. Sebelum dikaitkan dengan putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt maka unsur-unsur pertanggungjawaban pidana akan diuraikan, sebagai berikut:
a. Kemampuan Bertanggungjawab
Kemampuan bertanggungjawab banyak dirumuskan oleh para ahli dimana secara keseluruhan merumuskan keterkaitan antara pelaku pidana dengan kondisi kesehatan, yakni sehat secara jasmani (akal atau pikiran) dan kepribadian atau mental. Untuk memperjelas perumusan kemampuan bertanggungjawab akan dikemukakan beberapa pendapat para ahli, sebagai berikut:
1) Van Hamel mengatakan seseorang mampu bertanggungjawab harus memenuhi 3 (tiga) kriteria, sebagai berikut:
a) Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan,
b) Dapat menginsafi bahwa perbuatanya dipandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat, dan
c) Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi.155
2) Simons mengatakan seseorang mampu bertanggungjawab apabila jiwanya sehat, yaitu:156
a) Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari perbuatannya bertentangan dengan hukum,
b) Ia dapat menentukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut.
3) Sutrisna mengatakan untuk adanya kemampuan bertanggungjawab maka harus ada 2 (dua) unsur, sebagai berkut:157
a) Kemampuan untuk membeda-bedakan antaraperbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum,
b) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
4) E.Y. Kanter dan S.R Sianturi menjelaskan unsur mampu bertanggung jawab, meliputi:158
a) Keadaan jiwanya:
(1) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair);
(2) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan sebagainya), dan
155 Andi Hamzah, Op. Cit, hal.79
156 Tongat, Op. Cit, hal. 226
157 Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 83
158 Amir Ilyas, Op.Cit, hal. 76
(3) Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe bewenging, melindur/slaapwandel, mengigau karena demam/koorts, nyidamdan lain sebagainya.
Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.
b) Kemampuan jiwanya:
(1) Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;
(2) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak; dan
(3) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
5) Pompe mengatakan kemampuan bertanggungjawab pidana harus memuat unsur-unsur, sebagai berikut:159
a) Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat (dader) yang memungkinkan ia menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya.
b) Oleh sebab itu, ia dapat menentukan akibat perbuatannya.
c) Sehingga ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya.
Merujuk beberapa pendapat ahli di atas maka dapat disimpulkan kemampuan bertanggungjawab harus, meliputi:160
1) Harus adanya kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum.
2) Harus adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Kemampuan bertanggungjawab tentunya harus termuat secara nyata di dalam peraturan perundang-undangan. Artinya, kemampuan bertanggungjawab harus ada pengaturannya di dalam KUHP. KUHP memuat kemampuan bertanggungjawab dalam Pasal 44 KUHP, berbunyi:
159 Ibid, hal. 74
160 Moeljatno, Op.Cit, hal. 165
(1) Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum.
(2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk di periksa.
(3) Yang ditentukan dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan pengadilan negeri.
Perumusan Pasal 44 KUHP di atas menunjukkan secara yuridis kemampuan bertanggungjawab meliputi keadaan dan kemampuan jiwa seseorang akan tetapi dalam uraian pasal tersebut tidak memiliki pengertian dari kemampuan bertanggungjawab sehingga dapat dikatakan pasal tersebut bermakna negatif.161 Selanjutnya, Kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan 2 (dua) faktor penting, yaitu:162
1) Faktor akal untuk membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang dilarang atau melanggar hukum.
2) Faktor perasaan atau kehendak yang menentukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran.
b. Kesalahan
Sudarto mengatakan persoalan seseorang dapat dihukum secara pidana,
161 Amir Ilyas, Op.Cit, hal. 77. Rumusan secara negatif tentang kemampuan bertanggungjawab dalam KUHP senada dengan penjelasan resmi Memorie van Toelichting (MvT) yang ketika persoalan kemampuan bertanggungjawab (toereken-baarheid) dalam rancangan undang-undang diajukan, yaitu:
“Bahwa unsur toereken-baarheid baik dalam doktrin maupun yurisprudensi secara diam-diam dianggap ada dan merupakan unsur dari setiap delik (stilzwijgenelement van elk delick) demikian keadaan sebaliknya bahwa seseorang itu tidak mampu bertanggungjawab harus dibuktikan”. Zamhari Abidin, Pengertian Dan Asas Hukum Pidana Dalam Schema (Bagan) Dan Synopsis (Catatan Singkat), (Jakarta: Grafika Indonesia, 1986), hal. 45
162 Roeslan Saleh, Op.Cit, hal. 83
sebagai berikut:
”Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dari tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut”.
Merujuk pendapat di atas maka seseorang dapat dipidana tidak hanya berdasarkan ada perbuatan yang telah dilakukan tetapi perbuatan tersebut harus memuat kesalahan. Kesalahan dapat di bagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
1) Kesengajaan (dolus/opzet) dalam hukum pidana Indonesia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:163
a) Sengaja sebagai niat (Oogmerk) dimana kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmerk) si pelaku dapat dipertanggungjawabkan, mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Kesengajaan semacam ini ada pada suatu tindak pidana, tidak ada yang menyangkal, bahwa si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana ini lebih nampak apabila dikemukakan, bahwa dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, dapat dikatakan si pelaku benar-benar mengkehendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukum pidana (constitutief gevolg).
b) Sengaja sadar akan kepastian atau keharusan (zekerheidsbewustzijn) dimana kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya, tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict, tetapi ia tahu benar, bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
c) Sengaja sadar akan kemungkinan (dolus eventualis, mogelijkeheidsbewustzijn) dimana kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadinya akibat yang
163 Amir Ilyas, Op.Cit, hal. 78-82
bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.
Selanjutnya, A. Zainal Abidin Farid membagi kesengajaan atas beberapa jenis yang berasal dari hukum pidana Belanda atau Code Penal Perancis dan lain sebagainya, yaitu:164
a) Doulus malus.
b) Dolus inderectus dan dolus directus.
c) Dolus determinatus versus dolus indeterminatus.
d) Dolus alternatives.
e) Dolus generalis.
f) Dolus premiditatus dan dolus repentinus.
g) Dolus antecedent, dolus susequens.
Kesengajaan merupakan perbuatan seseorang yang didasari atas kehendak dan mengetahui sehingga dalam mengkajinya dapat digunakan 2 (dua) buah teori teori kehendak yang dikemukakan oleh Yon Hippei dalam Die grenze von Vorscatz und Fahrlassigkeil dan Teori Pengetahuan atau Membayangkan yang dikemukakan oleh Frank dalam Festcshrift Gieszeen.165 Teori kehendak menyatakan bahwa kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat ksrena tindskan itu. Dengn demikian sengaja adalah apabila akibat suatu tindakan dikehendaki, apabila akibat itu menjadi maksud benar-benar dari tindakan yang dilakukan tersebut sedangkan teori membayangkan adalah manusia hanya menghendaki suatu tindakan, manusia tidak inungkin menghendaki suatu akibat, manusia hanya dapat
164 A. Zainal Abidin Farid, Asas Hukum dan Beberapa Pengupasan Tentang Delik-Delik Khusus, (Jakarta: Prapartja dan Taufik, 1962), hal. 307
165 Tongat, Op. Cit, hal. 239
menginginkan, mengharapkan atau membayangkan kemungkinan adanya suatu akibat. Merujuk pada rumus Frank maka teori bayangan, yaitu ”sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dan oleh sebab itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang lebih dahulu telah dibuat tersebut”.166
2) Kelalaian atau kealpaan atau culpamerupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang telah ditentukan menurut undang-undang, kelalaian itu terjadi dikarenakan perilaku orang itu sendiri.167 Kelalaian di dalam KUHP tidak memberikan penjelasan tentang pengertian kelalaian (culpa), sehingga secara formal tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan kelalaian. Penjelasan mengenai kelalaian ditemukan dalam MvT pada saat Menteri Kehakiman beianda mengajukan rancangan undang-undang hukum pidana, dimana dalam rancangan tersebut yang dimaksud dengan kelalaian adalah:168
a) Kekurangan pemikiran yang diperlukan (gebrek aan het nodige denke), b) Kekurangan pengetahuan atau pengertian yang diperiukan (gebrek aan de
nodige beleid),
c) Kekurangan dalam kebijakan yang disadari (gebrek aan de nodige).
Modderman membagi kelalaian (culpa) dalam 2 (dua) bentuk,yaitu kelalaian yang disadari (bewuste culpa) dan kelalaian yang tidak disadari
166 Ibid
167 Amir Ilyas, Op.Cit, hal. 83
168 Ibid, hal. 277
(onbewusie culpa).169Modderman mengatakan:170
”Corak kelalaian yang paling ringan adalah orang menggunakan pelanggaran hukum dengan tidak diinsyafi sama sekali, Dia tidak tahu, tidak berfikir dengan panjang atau tidak bijaksana. Akan tetapi, corak kelalaian yang lebih berat adalah yang dinamakan dengan bewuste shuid,
”Corak kelalaian yang paling ringan adalah orang menggunakan pelanggaran hukum dengan tidak diinsyafi sama sekali, Dia tidak tahu, tidak berfikir dengan panjang atau tidak bijaksana. Akan tetapi, corak kelalaian yang lebih berat adalah yang dinamakan dengan bewuste shuid,