• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

1.1. Latar Belakang

Pemekaran daerah adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Alasan paling mengemuka dalam wacana pemekaran daerah adalah beberapa daerah dianggap memiliki wilayah terlalu luas sehingga diperlukan upaya untuk memudahkan pelayanan administrasi dan pemangkasan birokrasi dengan cara pemekaran. Argumentasinya adalah ketika lingkup wilayah kerja pemerintah daerah menjadi lebih kecil maka rentang kendali pemerintah menjadi lebih pendek. Hal ini diharapkan akan meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan daerah.

Dengan pemahaman tersebut pemekaran wilayah diharapkan mampu menyediakan pelayanan publik yang lebih baik melalui pemecahan wilayah kewenangan menjadi wilayah-wilayah otonom yang lebih kecil. Pada skala yang lebih kecil, proses perencanaan dan penyediaan pelayanan publik oleh pemerintah daerah yang dimekarkan akan lebih efisien dan sesuai dengan kebutuhan lokal. Dengan skala yang lebih kecil pula, akses warga terhadap program pembangunan dan pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah otomatis akan lebih dekat.

Di sisi lain, warga akan menjadi semakin mudah berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan. Aspirasi dan kepentingan warga menjadi semakin mudah tersalurkan dalam proses kebijakan daerah. Representasi warga dalam proses pembuatan kebijakan publik di daerah juga akan menjadi semakin tinggi. Jika hal tersebut terjadi maka kebijakan pemerintah daerah akan menjadi semakin responsif terhadap kebutuhan warganya dan rasa kepemilikan warga terhadap kebijakan daerah juga menjadi semakin kuat.

Dalam konteks pembangunan ekonomi, pemekaran wilayah diharapkan akan mendorong pengembangan dan kreatifitas baru dalam mengelola potensi daerah yang dimiliki. Dorongan ini akan meningkatkan peluang untuk menggali berbagai potensi ekonomi daerah baru yang selama ini kurang terperhatikan. Di samping itu, dengan adanya daerah baru hasil pemekaran diharapkan akan merangsang terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru (new economic growth centres) yang akan mendorong percepatan pembangunan ekonomi daerah. Karena beberapa alasan itulah maka dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengakomodasi pengaturan masalah pemekaran daerah.

Terakhir kali pemerintah mengeluarkan UU yang menetapkan daerah otonom baru hasil pemekaran adalah pada bulan Desember 2012. Sejak masa reformasi hingga Desember 2012 tersebut, tercatat ada 217 daerah otonom baru hasil pemekaran, baik berupa provinsi maupun kabupaten/kota. Akibatnya, jumlah daerah di Tanah Air semakin banyak, yakni 34 provinsi dan 502 kabupaten/kota (lihat Gambar 1). Namun, dalam perkembangannya banyak sekali daerah hasil pemekaran yang dinilai berkinerja buruk. Hal ini tentu saja kontraproduktif terhadap tujuan pemekaran itu sendiri. Salah satu faktor yang sering dituding sebagai penyebabnya adalah usulan pemekaran daerah seringkali tidak didasari

3 studi kelayakan yang jelas dan lebih banyak mendasarkan pada alasan sentimen kesukuan atau kepentingan elit lokal di sana.

Sumber: diolah dari data Direktorat Otonomi Daerah Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Bappenas 2012

Gambar 1. Perkembangan Jumlah Provinsi dan Kabupaten/Kota Sejak 1999 Di sisi lain, elit politik di tingkat nasional maupun lokal juga seringkali turut menunggangi usulan pemekaran daerah untuk kepentingan politik mereka. Adanya agenda dan kepentingan lain yang membonceng proses pemekaran daerah menjadikan dinamika dan orientasi yang dituju tidak selalu selaras dengan semangat awal dilakukannya kebijakan pemekaran. Hal ini karena pembentukan daerah baru berimplikasi pada munculnya anggaran baru, peluang jabatan politik baru, dan birokrasi baru. Faktor-faktor inilah yang kemudian mengesankan proses pemekaran lebih banyak mengedepankan pragmatisme politik dan kurang mempertimbangkan studi kelayakan yang memadai. Kesan tersebut terlihat dari melonjaknya jumlah daerah pemekaran baru menjelang pelaksanaan Pemilu, yang tergambar dalam Gambar 2.

Kondisi tersebut menjadi salah satu sebab yang mempengaruhi keberhasilan daerah-daerah baru hasil pemekaran dalam mewujudkan tujuan utama dari kebijakan pemekaran daerah. Pemekaran wilayah dinilai belum cukup berhasil

0 200 400 600 pra-1999 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 26 27 27 30 30 30 32 32 33 33 33 33 33 33 34 293 336 336 348 385 434 434 434 434 459 489 491 491 491 502 provinsi kab/kota

4

dalam meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan daerah secara signifikan.

Sumber: diolah dari data Direktorat Otonomi Daerah Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Bappenas 2012

Gambar 2. Tahun Penetapan Provinsi dan Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran Sejak 1999

Perihal kurang berhasilnya daerah hasil pemekaran, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (2011) telah mengevaluasi 205 daerah hasil pemekaran yang terbentuk antara tahun 1999-2009. Evaluasi dilakukan dengan melihat dari aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat, tata kelola pemerintahan, dan daya saing daerah. Hasilnya, ke-205 daerah hasil pemekaran yang terdiri atas 164 kabupaten, 34 kota, dan 7 provinsi tersebut dinilai belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Masih sekitar 70 persen daerah pemekaran yang dinilai belum berhasil.

Hasil evaluasi tersebut senada dengan temuan dari laporan-laporan sebelumnya. Ambil contoh, studi evaluasi terhadap dampak pemekaran daerah yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP) pada Juli 2008. Hasil studi ini menyimpulkan bahwa secara umum daerah otonom baru ternyata tidak berada dalam kondisi awal yang lebih baik dibandingkan daerah induk atau daerah kontrol. Bahkan evaluasi setelah lima tahun perjalanannya, daerah otonom baru secara umum masih tertinggal.

Dari sudut pandang masyarakat juga tidak terlalu berbeda. Sebagian besar masyarakat menilai bahwa pemekaran daerah tidak memberi manfaat sebagaimana diharapkan. Hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 12-14 November 2012, misalnya, mengkonfirmasikan penilaian masyarakat tersebut. Dari 716 responden yang berasal dari beberapa kota di Indonesia yang dilibatkan dalam jajak pendapat ini, mayoritas (57,7 persen) menilai bahwa pemekaran daerah yang dilakukan selama ini tidak berhasil menyejahterakan masyarakat di daerah. Hanya 35,2 persen yang menilai pemekaran daerah berhasil. Hal lain yang menarik dari jajak pendapat ini adalah sebanyak 64,2 persen responden mengakui, kebijakan otonomi daerah ikut menguatkan sentimen kedaerahan. Selama ini otonomi daerah ternyata menciptakan kesenjangan antara

43 12 37 49 25 30 2 11 0 10 20 30 40 50 60 kab/kota

5 daerah kaya dan daerah miskin, membentuk oligarki lokal, menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta memberi peluang kepada para pencari laba di daerah.

Meskipun banyak daerah hasil pemekaran yang tidak berhasil menunjukkan kinerja memuaskan namun hal itu tidak menyurutkan kehendak sekelompok masyarakat untuk mengusulkan pemekaran di wilayahnya. Sampai saat ini sudah ada usulan pemekaran 33 provinsi baru, 133 kabupaten baru, serta 17 kota baru— dan masih akan terus bertambah—yang belum ditindaklajuti oleh pemerintah meskipun sudah diajukan kepada DPR. Besarnya kehendak dan aspirasi untuk pemekaran daerah ini memaksa pemerintah—dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri—sempat melakukan moratorium pemekaran.

Kondisi di atas tentu saja memunculkan banyak kritik dan pertanyaan mengenai kebijakan pemekaran daerah, terutama jika dilihat semangat awal kebijakan ini, yakni peningkatan kesejahteraan ekonomi. Semua pihak tidak bisa menutup mata bahwa masih banyak masalah yang dihadapi daerah hasil pemekaran dalam mencapai tujuan peningkatan kesejahteraan ekonomi. Namun ternyata hal itu tidak menyurutkan hasrat sebagian masyarakat untuk mengusulkan pemekaran daerah baru. Mereka seolah mengabaikan berbagai hasil kajian dan evaluasi terhadap daerah-daerah yang telah lebih dulu dimekarkan.

Oleh karena itu, akhir-akhir ini mulai muncul upaya untuk mengkaji lebih jauh kinerja daerah-daerah baru hasil pemekaran, khususnya di tingkat kabupaten/ kota, dalam meningkatkan pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi. Hal ini karena peningkatan kesejahteraan masyarakat hanya bisa dicapai melalui pertumbuhan ekonomi. Itu juga yang mendasari mengapa pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu pendekatan yang paling umum digunakan dalam menilai keberhasilan pembangunan.

Terdapat berbagai sudut pandang yang sering digunakan untuk melihat kinerja daerah hasil pemekaran dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tinjauan pertama yang sering digunakan adalah aspek pengeluaran atau belanja pemerintah (public expenditure). Rujukan yang sering dipakai adalah teori pengeluaran pemerintah yang dikemukakan Rostow dan Musgrave. Teori tersebut mencoba mengaitkan antara pengeluaran pemerintah dengan tiga tahapan pembangunan ekonomi, yaitu: tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pemerintah daerah hasil pemekaran dalam pemahaman teori tersebut dapat dikatakan berada pada tahap awal sehingga pengeluaran untuk investasi merupakan bagian yang terbesar dari total belanja. Pengeluaran investasi tersebut ditujukan untuk pengadaan sarana maupun prasarana publik, seperti: infrastruktur transportasi, pendidikan, kesehatan, pemerintahan, dan lain sebagainya (Mangkoesoebroto, 1997).

Tinjauan kedua yang juga banyak diketengahkan terkait dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah hasil pemekaran adalah infrastruktur. Kesadaran akan pentingnya infrastruktur dalam pertumbuhan ekonomi telah disampaikan oleh Adam Smith pada tahun 1776 dalam karyanya yang terkenal ―The Wealth of Nation‖. Ketersediaan infrasturktur menghasilkan eksternalitas positif yang dapat meningkatkan produktifitas dan pelaku usaha dengan berkurangnya beban usaha yang harus ditanggung (Todaro, 2006). Dengan lingkup wilayah dan jumlah penduduk yang lebih kecil dibanding ketika masih bergabung dengan daerah induknya, pemerintah daerah hasil pemekaran akan berpotensi memiliki kuantitas infrastruktur dengan rasio yang lebih baik. Di samping itu, pemekaran daerah

6

sering ditempatkan sebagai strategi untuk membangun pusat pertumbuhan (center of growth) baru yang pada akhirnya akan memacu pertumbuhan infrastruktur di daerah tersebut.

Sudut pandang ketiga adalah tenaga kerja. Menurut pandangan ekonom neo- klasik, tenaga kerja dinilai sebagai faktor penting dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Teori pertumbuhan ekonomi Solow menjelaskan bahwa pertumbuhan populasi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hal ini karena jumlah tenaga kerja sangat ditentukan oleh jumlah populasi (Mankiw, 2000). Besarnya jumlah penduduk akan menyebabkan besarnya jumlah tenaga kerja. Hal ini akan membuat kenaikan dalam jumlah barang yang diproduksi. Tetapi pada sisi yang lain, besarnya jumlah penduduk akan menyebabkan terhambatnya pembangunan ekonomi jika pertambahan jumlah penduduk tersebut tidak diimbangi dengan pertumbuhan kesempatan kerja. Dalam konteks pemekaran daerah, pemisahan dari daerah induk akan berdampak pada menurunnya jumlah populasi yang tentu saja akan berdampak pada menurunnya jumlah tenaga kerja. Namun jika pemerintah daerah pemekaran dapat mendayagunakan potensi daerahnya untuk meningkatkan kesempatan kerja, tentu hal ini akan menjadi pendorong positif pertumbuhan ekonomi daerah.

Dari pemaparan tersebut dapat dipahami bahwa kebijakan pemekaran daerah seharusnya mampu menjadi pendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pemekaran daerah diharapkan dapat meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara lebih optimal serta dapat mengakomodasi aspirasi dan kreatifitas baru untuk mengembangkan kemampuan daerah sebagai bagian dari tujuan kebijakan otonomi daerah. Namun berbagai studi dan evaluasi tentang kinerja kabupaten/kota hasil pemekaran ternyata memperlihatkan gambaran yang berbeda. Kebijakan pemekaran daerah dinilai kurang berhasil mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu, memperhatikan masalah-masalah dan sudut pandang yang ada, perlu dilakukan sebuah kajian untuk melihat lebih dalam mengenai “pengaruh belanja pemerintah, infrastruktur, dan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/ kota hasil pemekaran”.