• Tidak ada hasil yang ditemukan

KABUPATEN/KOTA HASIL PEMEKARAN 2008-

4.2. Perkembangan PDRB

Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang diambil adalah data PDRB Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 yang dimaksudkan untuk menghilangkan faktor inflasi dalam melihat tingkat pertumbuhannya. Di samping itu, kajian ini juga memilih untuk menggunakan data PDRB Tanpa Minyak dan Gas untuk melihat PDRB riil yang dihasilkan oleh masyarakat. Hal ini karena hampir semua tambang minyak dan gas dikelola oleh korporasi asing sehingga sumber pendapatan dari sektor tersebut tidak murni dari produksi masyarakat.

Nilai PDRB Tanpa Minyak dan Gas Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 di kabupaten/kota hasil pemekaran selama periode 2008-2010 menunjukkan komposisi yang sangat beragam (lihat Tabel 2). Dari 45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel, terlihat bahwa PDRB Kabupaten Kutai Timur memiliki nilai rata-rata tertinggi, yakni: 15.545 milyar rupiah. Nilai rata-rata PDRB Kabupaten Kutai Timur ini bahkan sangat jauh dibandingkan dengan rata- rata PDRB Kabupaten Sumbawa Barat yang berada di posisi kedua dengan nilai rata-rata mencapai 4.737 milyar rupiah. Sedangkan Kabupaten Luwu Timur yang berada di posisi ketiga memiliki rata-rata PDRB yang tidak jauh dari rata-rata PDRB Kabupaten Sumbawa Barat, yakni: 4.529 milyar rupiah.

Memang jika dicermati, hanya ada 17 kabupaten/kota hasil pemekaran (37,8 persen) yang rata-rata PDRB-nya mencapai angka 1 triliun rupiah. Sisanya yakni 28 kabupaten/kota hasil pemekaran (62,2 persen) memiliki nilai rata-rata PDRB di bawah 1 triliun rupiah. Bahkan, ada 4 kabupaten/kota hasil pemekaran yang hanya memiliki rata-rata PDRB di bawah 200 milyar rupiah, yakni: Kabupaten Supiori (118 milyar rupiah), Kabupaten Lembata (146 milyar rupiah), Kabupaten Teluk Wondama (177 milyar rupiah), dan Kabupaten Kepulauan Aru (198 milyar rupiah). Situasi ini menggambarkan betapa jauhnya kesenjangan kinerja perekonomian di antara kabupaten/kota hasil pemekaran.

Ada catatan menarik terkait perbedaan tingkat perekonomian kabupaten/kota hasil pemekaran yang cukup jauh. Pertama, dari perhitungan statistik diketahui bahwa tidak terdapat korelasi yang cukup kuat antara usia kabupaten/kota hasil pemekaran dengan rata-rata PDRB masing-masing, ditunjukkan dari nilai r yang hanya 0,2117. Kedua, sektor pertanian masih menjadi sektor utama (leading sector) bagi sebagian besar kabupaten/kota hasil pemekaran dalam memacu pertumbuhan ekonominya. Dari 45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang diteliti, 35 kabupaten mengandalkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai sektor terbesar (leading sector). Ketiga, meskipun terdapat 35 kabupaten yang mengandalkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai sektor terbesar (leading sector), namun hanya 10 kabupaten/kota hasil pemekaran yang berhasil mencapai rata-rata PDRB di atas 1 trilyun rupiah.

38

Tabel 2. PDRB Tanpa Minyak dan Gas Berdasarkan Harga Konstan 2000 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran 2008-2010 (dalam milyar rupiah)

Sumber : diolah dari data BPS

2008 2009 2010

1 Gayo Lues NAD 391 410 431 411 2 Kota Padang Sidimpuan Sumut 836 885 936 886 3 Serdang Bedagai Sumut 4.048 4.287 4.551 4.295 4 Dharmas Raya Sumbar 1.020 1.088 1.159 1.089 5 Pasaman Barat Sumbar 2.395 2.545 2.707 2.549 6 Rokan Hilir Riau 3.567 3.826 4.115 3.836 7 Kuantan Singingi Riau 2.719 2.907 3.111 2.912 8 Tebo Jambi 787 828 879 831 9 Muaro Jambi Jambi 845 906 1.027 926 10 OKU Selatan Sumsel 1.137 1.206 1.279 1.207 11 Kepahiang Bengkulu 670 708 750 709 12 Lebong Bengkulu 468 490 515 491 13 Lampung Timur Lampung 3.483 3.703 3.938 3.708 14 Kota Metro Lampung 504 531 563 533 15 Bangka Barat Babel 2.418 2.520 2.653 2.530 16 Belitung Timur Babel 799 837 886 841 17 Lingga Kep. Riau 529 564 601 565 18 Kota Tanjung Pinang Kep. Riau 2.209 2.363 2.531 2.368 19 Sumbawa Barat NTB 3.827 4.888 5.496 4.737 20 Lembata NTT 139 146 152 146 21 Manggarai Barat NTT 381 395 409 395 22 Bengkayang Kalbar 1.067 1.115 1.166 1.116 23 Sekadau Kalbar 601 633 670 635 24 Lamandau Kalteng 526 556 591 558 25 Barito Timur Kalteng 595 627 665 629 26 Kota Banjarbaru Kalsel 851 901 954 902 27 Tanah Bumbu Kalsel 2.879 3.043 3.243 3.055 28 Kutai Timur Kaltim 14.505 15.314 16.815 15.545 29 Kepulauan Talaud Sulut 384 404 426 405 30 Minahasa Selatan Sulut 1.150 1.224 1.329 1.234 31 Morowali Sulteng 1.262 1.385 1.575 1.407 32 Banggai Kepulauan Sulteng 625 675 732 677 33 Luwu Utara Sulsel 1.357 1.447 1.533 1.446 34 Luwu Timur Sulsel 4.430 4.251 4.905 4.529 35 Bombana Sultra 361 389 420 390 36 Wakatobi Sultra 206 235 262 234 37 Boalemo Gorontalo 293 311 333 312 38 Mamuju Utara Sulbar 533 605 711 616 39 Kepulauan Aru Maluku 188 197 209 198 40 Seram Bagian Barat Maluku 292 307 320 306 41 Kepulauan Sula Malut 297 313 333 314 42 Supiori Papua 111 118 126 118 43 Keerom Papua 287 321 352 320 44 Raja Ampat Papua Barat 234 247 263 248 45 Teluk Wondama Papua Barat 164 180 187 177

Kab/Kota

39 Secara keseluruhan selama periode 2008-2010 laju perkembangan PDRB Tanpa Minyak dan Gas di kabupaten/kota hasil pemekaran menunjukkan peningkatan yang positif. Bahkan jika dibandingkan antara laju PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran dengan laju PDRB kabupaten/kota secara nasional pada periode yang sama terdapat fenomena yang menarik. Di tahun 2009, saat laju PDRB kabupaten/kota secara nasional mengalami sedikit penurunan, laju PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran justru mengalami peningkatan besar.

Sumber: diolah dari data BPS 2012

Gambar 8. Perbandingan Laju PDRB 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran dengan Laju PDRB Kabupaten/Kota secara Nasional 2008-2010 (dalam persen)

Penurunan laju PRDB pada tahun 2009 lebih banyak disebabkan oleh kondisi perekonomian global yang masih mengalami tekanan akibat krisis. Situasi krisis global tersebut mengakibatkan penurunan ekspor karena adanya penurunan permintaan produk ekspor dari luar negeri. Di sisi lain, suku bunga perbankan yang masih tinggi menyebabkan pada melambatnya pertumbuhan investasi. Meskipun terjadi penurunan ekspor dan investasi ini, laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 masih tetap positif karena masih banyak ditopang oleh kegiatan konsumsi domestik, baik konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah.

Memperhatikan latar situasi tersebut, ada beberapa kemungkinan mengapa di saat PDRB kabupaten/kota secara nasional mengalami penurunan, namun PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran tetap mengalami peningkatan. Argumentasi pertama adalah sebagian besar kabupaten /kota hasil pemekaran mengandalkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai sektor utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi mereka—sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Padahal sektor pertanian ini relatif kebal dampak terhadap situasi keuangan global yang tengah krisis. Hal ini karena sektor tersebut lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan domestik dan tidak terkait dengan pergerakan di pasar modal sehingga gejolak ekonomi di luar negeri tidak mempengaruhi pertumbuhan sektor ini.

Dari 45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang diteliti, 35 kabupaten mengandalkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai sektor terbesar (leading sector) dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi mereka. Sedangkan 6

3.21 6.53 8.21 5.47 5.41 5.90 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 2008 2009 2010

%

Laju PDRB Laju PDRB nas

40

kabupaten hasil pemekaran menjadikan sektor pertambangan dan penggalian sebagai sektor terbesar yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, yakni Kab. Rokan Hilir, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Tanah Bumbu, Kab. Kutai Timur, Kab. Luwu Timur, dan Kab. Raja Ampat. Kemudian, yang menumpukan sektor perdagangan sebagai sektor utama dalam pertumbuhan ekonomi adalah 3 daerah yang ketiganya merupakan kota, yaitu: Kota Padang Sidimpuan, Kota Tanjung Pinang, dan Kota Banjarbaru. Hanya ada 1 kabupaten yang mengandalkan pertumbuhan ekonominya pada sektor industri pengolahan, yakni: Kab. Bangka Barat.

Sumber: diolah dari data BPS 2010

Gambar 9. Komposisi 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran Berdasarkan Sektor yang Terbesar Kontribusinya dalam Pertumbuhan Ekonomi Argumentasi kedua adalah semua kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel pada penelitian ini berasal dari luar Jawa. Sementara, struktur perekonomian nasional masih lebih banyak berpusat di Jawa. Hal ini bisa dicermati dari kontribusi PDRB 45 kabupaten/kota hasil pemekaran terhadap PDB yang hanya berkisar 3,7%-3,8%. Artinya, peningkatan PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran tidak banyak pengaruhnya terhadap pertumbuhan PDB nasional.

Argumentasi ketiga adalah kuatnya pengaruh konsumsi rumah tangga terhadap PDB yang antara lain didorong peningkatan belanja pemerintah. Pada tahun 2009, pertumbuhan belanja pemerintah cukup tinggi mencapai 19,25%. Peningkatan belanja pemerintah tersebut teraktualisasi melalui pengeluaran untuk program sosial terkait penyelenggaraan Pemilu 2009 dan penanggulangan dampak krisis ekonomi. Berdasarkan kajian yang dilakukan UNDP dan Bappenas tahun 2008 diketahui bahwa jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota hasil pemekaran relatif masih tinggi. Hal ini karena ada kecenderungan daerah induk melepas kecamatan-kecamatan yang selama ini menjadi kantong-kantong kemiskinan. Terkait hal itu, keberadaan program sosial dan pengeluaran terkait Pemilu 2009 dan penanggulangan dampak krisis ekonomi cukup membantu peningkatan konsumsi rumah tangga miskin di kabupaten/kota hasil pemekaran sehingga turut mendorong pertumbuhan PDRB.

35

6

1 3 pertanian, kehutanan, per

ikanan

pertambangan dan penggalian

industri pengolahan

perdagangan, hotel, resto ran

41 4.3. Perkembangan Belanja Pemerintah

Dalam pandangan ekonom neoklasik, salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah pembentukan kapital/modal. Dengan pemahaman tersebut, besarnya belanja pemerintah daerah dinilai akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan.

Sumber: diolah dari data BPK 2008-2010 dan BPS 2008-2010

Gambar 10. Perbandingan Agregat Realisasi Total Belanja Pemerintah dengan Agregat PDRB 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran 2008-2010 (dalam milyar rupiah)

Secara kumulatif, nilai realisasi total belanja pemerintah kabupaten/kota hasil pemekaran menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun dalam periode tahun anggaran 2008-2010. Demikian halnya dengan nilai agregat PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran selama 2008-2010, terjadi peningkatan setiap tahun. Kondisi ini sesuai dengan hukum Wagner yang menyatakan bahwa semakin tinggi PDB/PDRB akan semakin tinggi pula pengeluaran (belanja) pemerintah. Namun jika dicermati lebih jauh, slope (kemiringan) kurva peningkatan realisasi belanja pemerintah kabupaten/kota hasil pemekaran sedikit lebih landai ketimbang slope kurva peningkatan PDRB. Artinya, selama periode tersebut, porsi kenaikan realisasi belanja pemerintah per tahun lebih lambat daripada kenaikan PDRB per tahun (Gambar 10).

Dari hasil analisis terhadap laporan realisasi APBD kabupaten/kota hasil pemekaran untuk tahun anggaran 2008-2010, ditemukan bahwa realisasi Total Belanja pemerintah daerah kabupaten/kota hasil pemekaran selalu menunjukkan adanya peningkatan tiap tahunnya. Namun jika dicermati lebih jauh, peningkatan realisasi Total Belanja tersebut tidak diikuti dengan peningkatan realisasi Belanja Modal (Gambar 11). Bahkan dalam periode 2008-2010 tersebut justru terlihat bahwa realisasi Belanja Modal terus mengalami penurunan. Realisasi anggaran tahun 2009 menunjukkan bahwa meskipun Total Belanja pemerintah meningkat (dari 20.970 milyar rupiah menjadi 22.700 milyar rupiah), tapi pada realisasi Belanja Modal justru mengalami penurunan dibanding tahun 2008 (dari 8.353 milyar rupiah menjadi 8.135 milyar rupiah). Demikian halnya dengan yang terjadi dalam realisasi anggaran tahun 2010.

20,970 22,700 22,987 68,378 72,840 78,819 - 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 70,000 80,000 90,000 2008 2009 2010 m il y ar r u p iah total belanja PDRB

42

Sumber: diolah dari data BPK 2008-2010

Gambar 11. Perkembangan Agregat Realisasi Belanja Modal dan Total Belanja Pemerintah 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran Tahun Anggaran 2008-2010 (dalam milyar rupiah)

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat alokasi belanja di luar Belanja Modal yang mengalami peningkatan cukup besar. Dari hasil pengamatan terhadap LKPD kabupaten/kota hasil pemekaran di tahun anggaran 2009 terlihat bahwa rata-rata di tahun anggaran tersebut terdapat peningkatan cukup besar pada realisasi Belanja Operasional sub Belanja Sosial. Hal ini bisa dimengerti karena pada tahun 2009 merupakan tahun pemilu dimana para kepala daerah kabupaten/kota hasil pemekaran mengalokasikan Belanja Sosial yang sangat besar untuk kepentingan politik partai yang mengusung mereka. Di samping untuk kepentingan Pemilu 2009, sub Belanja Sosial juga meningkat terkait program- program sosial untuk meredam dampak krisis ekonomi global.

Sedangkan pada realisasi belanja pemerintah tahun 2010, peningkatan belanja umumnya disebabkan oleh peningkatan pada realisasi Belanja Operasi sub Belanja Pegawai. Hal ini terkait banyaknya penambahan aparat pegawai negeri sipil (PNS) baru di tahun tersebut. Sementara untuk realisasi belanja Operasional sub Belanja Sosial justru mengalami penurunan dibanding realisasi tahun anggaran sebelumnya. Fakta ini semakin memperkuat kesimpulan bahwa kepentingan politik praktis dalam penyusunan anggaran dan belanja pemerintah daerah (APBD) masih sedemikian besar.

Hal lain yang menarik untuk dilihat pada realisasi belanja pemerintah tahun 2010 adalah penurunan yang cukup tajam pada realisasi Belanja Modal. Jika pada tahun anggaran 2008-2009, agregat realisasi Belanja Modal 45 kabupaten/kota hasil pemekaran berkisar pada angka 8 trilyun rupiah. Namun pada tahun 2010, nilai agregat realisasi Belanja Modal 45 kabupaten/kota hasil pemekaran berkisar pada angka 6 trilyun rupiah. Meskipun terjadi penurunan Belanja Modal yang cukup besar, namun realisasi Total Belanja tetap terjadi peningkatan. Setelah dicermati dari LKPD kabupaten/kota hasil pemekaran ternyata terdapat peningkatan pada alokasi Belanja Hibah pada tahun anggaran 2010. Peningkatan Belanja Hibah inilah yang menopang peningkatan Total Belanja.

- 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 2008 2009 2010 8, 35 3 8, 13 5 6, 78 2 20 ,9 70 22 ,7 00 22 ,9 87 m il y ar r u p iah belanja modal total belanja

43 Peningkatan realisasi Belanja Hibah pada tahun anggaran 2010 tersebut tidak lepas dari kebijakan dari Kementerian Keuangan yang mengalihkan Belanja Modal DAK Pendidikan ke Belanja Hibah DAK Pendidikan (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2011). Pengalihan inilah yang menjadikan realisasi Belanja Modal menurun, namun Total Belanja tetap meningkat. Sebagai dampak dari kebijakan, kondisi ini tidak hanya berlaku di kabupaten/kota hasil pemekaran tetapi terjadi dalam realisasi APBD 2010 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Jika dibandingkan dengan kajian lain, tren penurunan realisasi Belanja Modal selama periode 2008-2010 ternyata senada dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Direktorat Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan (2013). Kajian tersebut menemukan bahwa tren penurunan realisasi Belanja Modal selama 2008-2011 merupakan gejala umum yang terjadi di seluruh kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Beberapa faktor yang ditengarai sebagai sebab penurunan realisasi Belanja Modal adalah, pertama, masih sering terjadi keterlambatan pemerintah kabupaten/kota dalam menetapkan APBD untuk kemudian diajukan kepada Kementerian Keuangan, maksimal akhir Januari tahun bersangkutan. Keterlambatan tersebut umumnya disebabkan oleh berlarutnya proses penetapan Perda tentang APBD antara pihak eksekutif dengan legislatif (DPRD). Akibat keterlambatan ini daerah yang bersangkutan dikenakan sanksi penundaan DAU sebesar 25 persen dari pagu perbulan hingga daerah tersebut menetapkan APBD.

Kedua, realisasi Belanja Modal pada APBD di akhir tahun seringkali pelaksanaannya di bawah target atau lebih rendah dibandingkan dengan anggarannya. Hal ini ditengarai karena daerah tidak cukup mampu mengejar peningkatan belanja atau belum cukup mampu melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk menyerap pelampauan pendapatan tersebut saat terjadi tambahan pendapatan yang cukup signifikan dari transfer Pusat ataupun peningkatan penerimaan lainnya. Di samping itu, daerah mempunyai kecenderungan untuk melakukan perubahan APBD sekitar bulan Agustus-September tahun anggaran berjalan, setelah diketahuinya hasil audit atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun sebelumnya sehingga dapat mengetahui secara pasti berapa besarnya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya. Kombinasi antara pelampauan pendapatan, besarnya angka SiLPA yang telah diaudit, dan penetapan perubahan APBD menjelang akhir tahun anggaran berjalan (di atas bulan September) mengakibatkan waktu yang tersisa untuk menyesuaikan belanja dan merealisasikannya menjadi sangat sempit. Apalagi setelah APBD- Perubahan ditetapkan, daerah masih memerlukan proses tender yang sudah pasti akan berakibat pula terhadap keterlambatan pelaksanaan kegiatan. Apabila kegiatan terlambat dan baru dilaksanakan mendekati akhir tahun anggaran, maka akan mengakibatkan rendahnya penyerapan anggaran dan rendahnya kualitas penyelesaian kegiatan.

Ketiga, pemerintah daerah cenderung menganggarkan sangat pesimis (under estimate) pendapatan yang belum terinfokan tersebut pada saat proses perencanaan APBD di daerah. Mengingat bahwa struktur pendapatan APBD sangat didominasi oleh transfer dari Pusat (PAD hanya berkisar 20 persen dari total pendapatan, bahkan untuk Kabupaten/Kota hanya sekitar 9 persen), maka kecepatan dan keakuratan informasi transfer dari pemerintah pusat menjadi sangat krusial bagi daerah.

44

Tabel 3. Realisasi Total Belanja Pemerintah 45 Kabupaten /Kota Hasil Pemekaran Tahun Anggaran 2008-2010 (dalam milyar rupiah)

Sumber : diolah dari data BPS

2008 2009 2010

1 Gayo Lues NAD 302 363 380 348 2 Kota Padang Sidimpuan Sumut 371 374 356 367 3 Serdang Bedagai Sumut 502 461 666 543 4 Dharmas Raya Sumbar 382 441 440 421 5 Pasaman Barat Sumbar 398 483 491 457 6 Rokan Hilir Riau 1.485 1.673 1.517 1.558 7 Kuantan Singingi Riau 845 901 796 847 8 Tebo Jambi 514 484 513 504 9 Muaro Jambi Jambi 513 528 560 534 10 OKU Selatan Sumsel 480 452 456 463 11 Kepahiang Bengkulu 365 396 379 380 12 Lebong Bengkulu 340 321 329 330 13 Lampung Timur Lampung 695 754 919 789 14 Kota Metro Lampung 340 371 429 380 15 Bangka Barat Babel 348 412 388 383 16 Belitung Timur Babel 320 392 401 371 17 Lingga Kep. Riau 420 520 500 480 18 Kota Tanjung Pinang Kep. Riau 463 589 585 546 19 Sumbawa Barat NTB 305 439 459 401 20 Lembata NTT 318 333 316 322 21 Manggarai Barat NTT 351 333 362 349 22 Bengkayang Kalbar 437 447 438 441 23 Sekadau Kalbar 360 390 439 396 24 Lamandau Kalteng 359 420 373 384 25 Barito Timur Kalteng 393 367 397 386 26 Kota Banjarbaru Kalsel 363 421 416 400 27 Tanah Bumbu Kalsel 466 637 549 551 28 Kutai Timur Kaltim 1.450 1.797 2.050 1.766 29 Kepulauan Talaud Sulut 331 287 342 320 30 Minahasa Selatan Sulut 359 386 379 375 31 Morowali Sulteng 545 551 599 565 32 Banggai Kepulauan Sulteng 381 452 433 422 33 Luwu Utara Sulsel 447 479 501 476 34 Luwu Timur Sulsel 536 678 492 569 35 Bombana Sultra 320 318 285 308 36 Wakatobi Sultra 393 376 355 375 37 Boalemo Gorontalo 320 328 326 325 38 Mamuju Utara Sulbar 274 325 334 311 39 Kepulauan Aru Maluku 279 297 414 330 40 Seram Bagian Barat Maluku 429 449 410 429 41 Kepulauan Sula Malut 409 418 410 412 42 Supiori Papua 360 334 270 321 43 Keerom Papua 509 531 447 496 44 Raja Ampat Papua Barat 629 592 672 631 45 Teluk Wondama Papua Barat 401 410 414 408

Tahun

Rata-rata

45 Dalam praktiknya, dalam penyusunan APBD, daerah hanya menaikkan pendapatan transfernya dengan prosentase kecil. Pada kenyataannya, realisasi pendapatan dari transfer tersebut ditambah lagi dengan komponen pendapatan lainnya—misalnya dari PAD—pasti melampaui angka perencanaan yang berujung pada lebihnya dana pada tahun anggaran yang bersangkutan dan belum tentu semuanya terserap menjadi belanja, bahkan ada yang idle dalam bentuk SiLPA. Kondisi-kondisi itulah yang menyebabkan penurunan realisasi belanja pemerintah.

Secara lebih terperinci, perkembangan belanja pemerintah kabupaten/kota hasil pemekaran dapat dilihat pada Tabel 3. Pada tabel tersebut terlihat bahwa ada 3 kabupaten hasil pemekaran yang memiliki rata-rata realisasi total belanja di atas 1 triliun rupiah, yakni: Kabupaten Kutai Timur (1.766 milyar rupiah) dan Kabupaten Rokan Hilir (1.558 milyar rupiah). Kedua kabupaten tersebut termasuk

―kabupatenkaya‖ dengan rata-rata PDRB di atas 1 trilun rupiah (lihat Tabel 4.2). Sedangan 4 kabupaten/kota hasil pemekaran yang memiliki rata-rata total belanja terkecil adalah Kabupaten Mamuju Utara (311 milyar rupiah), Kabupaten Kepulauan Talaud (320 milyar rupiah), Kabupaten Supiori (321 milyar rupiah), dan Kabupaten Lembata (322 milyar rupiah).