• Tidak ada hasil yang ditemukan

KABUPATEN/KOTA HASIL PEMEKARAN 2008-

4.4. Perkembangan Infrastruktur

Di antara berbagai jenis infrastruktur, jalan merupakan infrastruktur yang sangat penting dalam membantu peningkatan pertumbuhan ekonomi. Ketersediaan infrastruktur jalan yang baik akan memperlancar distribusi barang dan faktor produksi antar daerah serta meningkatkan mobilitas penduduk. Kondisi pelayanan jalan yang lebih baik menyebabkan reduksi biaya operasional kendaraan (vechicle operating cost) dan biaya kecelakaan (accident cost) serta peningkatan nilai waktu (time value). Wardman (1998) menyatakan nilai penghematan waktu perjalanan memiliki dua komponen yaitu opportunity cost dari waktu yang digunakan untuk perjalanan dan disulitas relatif dari waktu tersebut.

Sumber: diolah dari data BPS 2012

Gambar 12. Perbandingan Pertambahan Rasio Panjang Jalan 45 Kabupaten/ Kota Hasil Pemekaran terhadap Pertambahan Rasio Panjang Jalan Kabupaten/Kota Secara Nasional 2008-2010

0.133 0.141 0.147 0.189 0.200 0.206 0.000 0.050 0.100 0.150 0.200 0.250 2008 2009 2010 (k m /km 2) sampel nasional

46

Pertumbuhan rasio panjang jalan yang menjadi wewenang kabupaten/kota hasil pemekaran terhadap luas wilayah selama kurun waktu 2008-2010 menunjukkan peningkatan walaupun lambat. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan rasio peningkatan jalan yang menjadi wewenang kabupaten/kota secara nasional. Lambatnya pertumbuhan rasio panjang jalan yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota terkait dengan minimnya anggaran yang disediakan untuk membangun jalan baru setiap tahunnya. Situasi ini menunjukkan bahwa secara umum kebijakan otonomi daerah belum memberi dampak yang signifikan pada pertumbuhan rasio panjang jalan. Demikian halnya dengan kebijakan pemekaran daerah, Gambar 12 di atas memperlihatkan bahwa secara nasional kinerja daerah-daerah pemekaran dalam penambahan panjang jalan tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain (yang bukan hasil pemekaran). Kenyataan tentang lambatnya pertumbuhan rasio jalan di daerah pemekaran tersebut selaras dengan penjelasan pada bagian sebelumnya tentang belanja pemerintah. Porsi Belanja Modal dalam Total Belanja pemerintah kabupaten/kota hasil pemekaran terlihat kurang memadai (lihat Gambar 11).

Padahal bila mengacu pada model Rostow dan Musgrave tentang perkembangan pengeluaran pemerintah, pengeluaran untuk investasi (modal) pada daerah baru hasil pemekaran idealnya memiliki porsi yang terbesar dari Total Belanja. Hal ini ditujukan untuk pengadaan sarana maupun prasarana publik, seperti: infrastruktur transportasi, pendidikan, kesehatan, pemerintahan, dan lain sebagainya, yang biasanya minim atau belum tersedia di daerah baru. Namun, dalam kasus daerah-daerah baru hasil pemekaran di Indonesia ternyata tidak seluruhnya sesuai dengan model Rostow dan Musgrave tersebut. Porsi belanja modal terhadap total belanja pemerintah tidak cukup besar. Akibat minimnya porsi belanja modal inilah maka perkembangan infrastruktur—termasuk jalan—di kabupaten/kota hasil pemekaran tidak jauh berbeda dengan kabupaten/kota lain.

Selain soal kinerja dalam pertumbuhan panjang jalan, satu hal lagi yang menarik adalah semua daerah pemekaran yang berstatus kota memiliki nilai rasio panjang jalan di atas 1 (lihat Tabel 4). Artinya, daerah pemekaran yang berstatus kota relatif memiliki rasio panjang jalan yang memadai. Kota Padang Sidimpuan, misalnya, memiliki rasio jalan 2,53. Sementara Kota Tanjung Pinang dan Kota Banjarbaru masing-masing memiliki rasio panjang jalan 1,64 dan 1,39. Bahkan Kota Metro memiliki rata-rata rasio panjang jalan 5,93 yang merupakan rasio tertinggi dari 45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel. Selain karena luas wilayahnya relatif lebih kecil dan tingkat kepadatan penduduknya yang tinggi, kota-kota hasil pemekaran lebih banyak mengandalkan pertumbuhan ekonominya pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Sektor-sektor tersebut memang mensyaratkan adanya dukungan infrastruktur jalan yang memadai.

Situasi berbeda terjadi di daerah hasil pemekaran yang berstatus kabupaten. Semua kabupaten hasil pemekaran memiliki rasio panjang jalan di bawah 1, termasuk kabupaten yang dikategorikan kabupaten kaya. Hal yang diduga menyebabkan lambatnya pertumbuhan panjang jalan di kabupaten hasil pemekaran adalah luasnya wilayah kabupaten hasil pemekaran walaupun sudah direduksi dengan adanya pemekaran tersebut. Di sisi lain, kondisi demografis kurang mendukung dimana jumlah penduduk relatif sedikit dan penyebaran penduduk tidak merata sehingga kebutuhan untuk mobilitas juga kurang.

47 Tabel 4. Rasio Panjang Jalan yang Menjadi Kewenangan Pemerintah

Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran 2008-2010

Sumber : diolah dari data BPS

2008 2009 2010

1 Gayo Lues NAD 5.719,67 0,109 0,109 0,109 2 Kota Padang Sidimpuan Sumut 139,39 2,530 2,530 2,530 3 Serdang Bedagai Sumut 1.900,22 0,770 0,663 0,770 4 Dharmas Raya Sumbar 2.961,13 0,393 0,399 0,406 5 Pasaman Barat Sumbar 3.887,77 0,320 0,324 0,320 6 Rokan Hilir Riau 8.881,59 0,212 0,212 0,212 7 Kuantan Singingi Riau 7.656,03 0,260 0,260 0,260 8 Tebo Jambi 6.461,00 0,123 0,123 0,123 9 Muaro Jambi Jambi 5.246,00 0,195 0,209 0,209 10 OKU Selatan Sumsel 5.495,94 0,075 0,078 0,089 11 Kepahiang Bengkulu 6.648,00 0,064 0,074 0,079 12 Lebong Bengkulu 2.731,31 0,113 0,113 0,133 13 Lampung Timur Lampung 5.325,03 0,196 0,196 0,312 14 Kota Metro Lampung 68,74 5,930 5,930 5,930 15 Bangka Barat Babel 2.883,70 0,210 0,259 0,271 16 Belitung Timur Babel 2.506,91 0,106 0,148 0,148 17 Lingga Kep. Riau 2.117,72 0,166 0,172 0,178 18 Kota Tanjung Pinang Kep. Riau 239,50 1,027 1,076 1,568 19 Sumbawa Barat NTB 1.849,02 0,106 0,142 0,150 20 Lembata NTT 1.266,39 0,555 0,555 0,539 21 Manggarai Barat NTT 2.947,50 0,238 0,238 0,238 22 Bengkayang Kalbar 5.396,30 0,222 0,242 0,259 23 Sekadau Kalbar 5.444,30 0,078 0,084 0,092 24 Lamandau Kalteng 6.414,00 0,111 0,112 0,112 25 Barito Timur Kalteng 3.834,00 0,129 0,170 0,183 26 Kota Banjarbaru Kalsel 371,38 1,387 1,387 1,387 27 Tanah Bumbu Kalsel 5.066,96 0,258 0,258 0,258 28 Kutai Timur Kaltim 35.747,50 0,021 0,028 0,029 29 Kepulauan Talaud Sulut 1.251,02 0,213 0,213 0,139 30 Minahasa Selatan Sulut 1.484,47 0,298 0,298 0,298 31 Morowali Sulteng 15.490,12 0,095 0,101 0,101 32 Banggai Kepulauan Sulteng 3.214,46 0,339 0,367 0,393 33 Luwu Utara Sulsel 7.843,57 0,298 0,299 0,328 34 Luwu Timur Sulsel 6.944,88 0,209 0,242 0,246 35 Bombana Sultra 3.316,16 0,172 0,209 0,209 36 Wakatobi Sultra 823,00 0,335 0,454 0,457 37 Boalemo Gorontalo 2.300,90 0,285 0,299 0,301 38 Mamuju Utara Sulbar 3.043,75 0,375 0,390 0,410 39 Kepulauan Aru Maluku 6.425,77 0,017 0,025 0,031 40 Seram Bagian Barat Maluku 6.948,40 0,030 0,031 0,033 41 Kepulauan Sula Malut 14.166,29 0,046 0,055 0,046 42 Supiori Papua 9.692,60 0,007 0,007 0,010 43 Keerom Papua 9.365,00 0,083 0,087 0,093 44 Raja Ampat Papua Barat 6.084,50 0,020 0,028 0,036 45 Teluk Wondama Papua Barat 14.953,80 0,029 0,030 0,031

Tahun

No. Kab/Kota Provinsi luas wilayah

48

Hal lain yang juga dianggap sebagai penghambat peningkatan rasio panjang jalan adalah kondisi geografis dan topografis yang kurang mendukung. Ada beberapa kabupaten hasil pemekaran yang secara alamiah merupakan daerah kepulauan dan pegunungan sehingga sulit dan berbiaya mahal untuk meningkatkan jumlah panjang jalan di daerah tersebut. Kondisi alamiah yang menghambat pertumbuhan panjang jalan tersebut banyak dijumpai di daerah- daerah pemekaran yang berada di Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Papua.

Dari Tabel 4 di atas, dapat dilihat bahwa kondisi rasio panjang jalan kabupaten/kota hasil pemekaran di keempat provinsi tersebut sangat rendah, hingga kurang dari 0,1. Sebagai gambaran, angka rasio panjang jalan di tahun 2010 untuk Kab. Kepulauan Aru tercatat hanya 0,03. Selanjutnya, Kab. Seram Bagian Barat (0,03), Kab. Kepulauan Sula (0,05), Kab. Supiori (0,01), Kab. Keerom (0,09), Kab. Raja Ampat (0,04), Kab. Teluk Wondama (0,03). Sedangkan rasio panjang jalan pada tahun-tahun sebelumnya malah lebih rendah lagi.