• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

1.3. Tujuan Penelitian

Dengan memperhatikan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

8

2. Menganalisis perkembangan belanja pemerintah, infrastruktur, dan tenaga kerja besertapengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota hasil pemekaran.

3. Menyusun pokok kebijakan yang bisa dilakukan untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota hasil pemekaran, khususnya ditinjau dari aspek belanja pemerintah, infrastruktur, dan tenaga kerja.

1.4. Manfaat Penelitian

Secara umum, penelitian ini diharapkan akan melengkapi berbagai kajian sebelumnya terkait upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota hasil pemekaran. Secara khusus, penelitian ini diharapkan:

1. Memberi tambahan informasi yang dapat dijadikan masukan dalam menilai perkembangan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota hasil pemekaran.

2. Memberi masukan bagi kepala daerah dan aparat pemerintah kabupaten/kota hasil pemekaran dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya. 3. Memberi tambahan masukan dan wawasan bagi para pengambil keputusan

yang terlibat dalam pembahasan usulan pemekaran daerah baru, baik dari kalangan eksekutif maupun legislatif.

4. Memberi perspektif yang lebih obyektif terkait evaluasi dan penilaian terhadap kebijakan pemekaran daerah.

9

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemekaran Daerah

Pemekaran daerah menurut Gabrielle Ferrazi (2007) dapat dilihat sebagai bagian dari proses penataan daerah atau territorial reform atau administrative reform, yaitu ―management the size, shape, and hierarchy of local government units for the purpose of achieving political and administrative goals‖. Penataan daerah umunya mencakup pemekaran, penggabungan, dan penghapusan daerah. Ferrazi berpendapat bahwa grand strategy otonomi daerah yang optimal tidak berhenti pada menentukan berapa jumlah daerah otonom yang ideal di suatu negara, namun lebih dari itu, harus mampu menjawab pertanyaan apa sebenarnya hakikat otonomi daerah di negara yang bersangkutan. Baru setelah itu mencari

―jawaban‖ untuk tujuan apa sebenarnya pemekaran daerah (dalam konteks

territorial reform) tersebut.

Dari sudut pandang desentralisasi, pemekaran daerah merupakan implementasi azas desentralisasi, tepatnya desentralisasi teritorial. Desentralisasi teritorial menurut salah satu pendapat merupakan wewenang yang diberikan oleh pemerintah kepada suatu badan umum seperti suatu persekutuan yang berpemerintahan sendiri, untuk membina keseluruhan kepentingan yang saling berkaitan dari golongan-golongan penduduk dalam suatu wilayah tertentu (Koeswara, 2001). Selain desentralisasi teritorial, juga dikenal desentralisasi fungsional dan desentralisasi administratif. Desentralisasi fungsional adalah pelimpahan sebagain fungsi pemerintahan kepada organ atau badan asli yang khusus dibentuk untuk itu. Sedangkan desentralisasi administratif adalah pelimpahan wewenang yang semula dipusatkan pada penguasa pusat, kepada pejabat-pejabat bawahannya. Desentralisasi administratif atau dekonsentrasi dapat

dianggap sebagai modifikasi atau ―penghalusan‖ dari sentralisasi.

Alasan pemekaran daerah tidak pernah tunggal, bahkan seringkali tumpang tindih antara alasan yang bersifat sosial, politik, maupun ekonomi. Alasan pertama yang sering disampaikan dalam usulan pemekaran daerah adalah kondisi georgrafis yang terlalu luas yang berdampak pada kualitas layanan publik. Dalam kajian Bappenas dan UNDP (2008) disebutkan pula bahwa salah satu argumen yang mendukung pemekaran, yaitu antara lain karena adanya kebutuhan untuk mengatasi jauhnya jarak rentang kendali antara pemerintah dan masyarakat. Rentang kendali yang lebih pendek dan alokasi fiskal yang lebih merata seyogyanya menjadi modal dasar bagi peningkatan pelayanan di setiap daerah, khususnya daerah pemekaran. Tidak efektif dan efisiennya pelayanan kepada masyarakat akibat wilayah yang tidak dimekarkan misalnya terjadi pada kasus pelayanan administrasi perijinan yang mengharuskan warga yang jauh dari ibukota harus mengeluarkan biaya dan waktu lebih banyak untuk pengurusan SIM/STNK, pengurusan pajak, penyelesaian sidang pengadilan, dan lain-lain sebagainya. Selain pelayanan administrasi, pemusatan layanan kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial yang lain juga menyebabkan tidak efektif dan efisiennya pelayanan kepada masyarakat.

Alasan kedua yang sering dikemukakan adalah masyarakat di suatu daerah merasakan adanya ketimpangan pemerataan dan keadilan antara daerah yang satu

10

dengan yang lain dalam satu wilayah pemerintahan daerah. Daerah yang dekat dengan pusat kekuasaan (ibukota) cenderung lebih mendapatkan perhatian daripada daerah yang jauh dari pusat kekuasaan. sehingga daerah tersebut merasakan adanya ketimpangan pemerataan dan keadilan dari pemangku kekuasaan. Apalagi ketika kelompok tersebut memiliki ciri-ciri sosial yang sama seperti etnisitas, agama, kesejarahan dan tingkat kohesivitas yang tinggi maka kecenderungan untuk menuntut pembentukan pemerintahan daerah sendiri cenderung amat tinggi. Kelompok warga tersebut beranggapan bahwa ketika mereka memiliki pemerintahan daerah sendiri maka mereka akan mengelola kepentingan mereka menjadi lebih efektif dan responsif sehingga kemakmuran warganya juga akan menjadi semakin baik. Pembentukan daerah baru dianggap dapat menjadi solusi terhadap ketidakadilan dalam hubungan antar kelompok tetapi juga dapat memperkuat indentitas kelompok dan daerah. Alasan ketimpangan dan ketidakadilan ini misalnya mencuat dalam pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Sulawesi Barat (Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah LAN, 2005).

Alasan ketiga yang turut melatarbelakangi keinginan untuk pemekaran daerah adalah adanya perbedaan sosio-kultural atau etnis. Sebagai misal: masyarakat Bangka Belitung merasa berbeda dengan masyarakat Sumatera Selatan, kemudian masyarakat Gorontalo merasa berbeda dengan masyarakat Sulawesi Utara. Demikian pula penduduk Kabupaten Minahasa Utara yang merasa berbeda budaya dengan penduduk Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Minahasa Selatan. Dalam bentuk lain, ada juga masyarakat yang mengajukan pemekaran merasa sebagai komunitas budaya tersendiri yang berbeda dengan komunitas budaya daerah induk. Sebagai contoh: masyarakat Banten merasa secara budaya berbeda dengan masyarakat Jawa Barat. Demikian pula dengan yang terjadi dalam banyak pemekaran kabupaten di Provinsi Papua.

Alasan keempat adalah alasan politik. Alasan ini memang tidak pernah pernah secara eksplisit disampaikan sebagai alasan pemekaran suatu daerah. Namun nuansa motif politik dalam pengusulan pemekaran suatu daerah akan terasa jika melihat elit dan kekuatan politik yang terlihat begitu besar perannya dalam proses pengusulan pemekaran daerah. Sudah menjadi rahasia umum jika alasan dilakukannya pemekaran adalah keinginan sekelompok elit politik untuk memperoleh posisi kekuasaan baru di daerah yang dimekarkan. Hal ini karena keberadaan daerah otonomi baru hasil pemekaran daerah membuka peluang dibentuk aparat pemerintah daerah baru. Di samping itu, adanya daerah pemekaran baru juga membuka peluang partai-partai politik menambah ―alokasi‖ penempatan elit-elitnya untuk menduduki jabatan politik. Daerah pemekaran baru juga berpeluang mengkonsentrasikan dan mengkonsolidasikan basis dukungan atau konstituen tradisional yang dimiliki sebuah kekuatan politik di suatu daerah. Dikemukakan oleh Tri Ratnawati dan Robert E. Jaweng (2005) bahwa ada kecurigaan dari sebagian kalangan bahwa merebaknya jumlah pemekaran kabupaten/kota baru di Indonesia pada dekade 2000-an merupakan strategi divide and rule (memecah belah dan menguasai) dari pemerintahan pusat yang bertujuan mempermudah pengendalian daerah-daerah dan elit-elit yang telah terpecah. Motif lainnya adalah untuk pemenangan pemilu dengan cara melakukan pembelahan daerah pemilihan secara politik (gerrymander). Ini terjadi pada kasus

11 pemekaran Papua di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri (yang berasal dari PDIP) dalam rangka memecah suara Partai Golkar di sana.

Alasan kelima yang mendorong dilakukannya pemekaran adalah adanya keinginan mengambil keuntungan (rent seeking) dari insentif fiskal yang diberikan pemerintah pusat dan daerah induk. Sama seperti alasan sebelumnya, alasan insentif fiskal ini juga tidak pernah secara eksplisit disampaikan. Insentif fiskal tersebut antara lain adanya anggaran tersendiri dari pemerintah pusat yang terpisah dari pemerintah daerah induk. Sebagaimana diketahui, daerah yang dimekarkan akan mendapatkan anggaran dari daerah induk selama 3 tahun dan mendapatkan dana dari pemerintah pusat (DAU dan DAK). Fitrani, Hofman dan Kai (2005) menyatakan bahwa pemekaran telah membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri.

2.1.1. Mekanisme Pembentukan Daerah Baru

Secara yuridis formal, mekanisme pembentukan daerah baru diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. PP tersebut merupakan turunan dari UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Setelah dilakukan perubahan terhadap UU Nomor 8 Tahun 1999 dengan ditetapkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, mekanisme pembentukan daerah baru diatur dalam PP Nomor 78 Tahun 2007.

Secara garis besar tidak terdapat perbedaan besar pada prosedur pembentukan dan pemekaran wilayah yang diatur dalam PP Nomor 129 Tahun 2000 maupun PP Nomor 78 Tahun 2007. Mekanisme dilakukan melalui beberapa tahap secara berjenjang dari bawah. Perbedaan pokoknya hanya terletak pada detail dalam proses penjaringan aspirasi dari bawah. Sedangkan teknis penyampaian usulan dan persyaratan administrasinya relatif tidak berbeda.

Setelah melalui proses penjaringan aspirasi dan persetujuan dari kepala daerah dan DPRD, usulan pemekaran disampaikan kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur yang dilampiri dengan: dokumen aspirasi masyarakat, hasil kajian daerah, dan persetujuan dari Bupati dan DPRD Kab/Kota serta Gubernur dan DPRD Provinsi yang bersangkutan. Berdasarkan usulan tersebut, Menteri Dalam Negeri kemudian menugaskan tim observasi yang hasilnya akan menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Selanjutnya, DPOD melakukan kajian lebih lanjut hingga dapat dihasilkan keputusan terhadap usulan pemekaran daerah tersebut. Jika disetujui, Menteri Dalam Negeri yang sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan DPOD dapat mengajukan usul pemekaran daerah tersebut beserta rancangan undang- undangnya kepada Presiden. Rancangan undang-undang tersebut kemudian disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan1.

Dalam perjalanannya, prosedur pengusulan pemekaran wilayah sebagaimana diatur dalam PP tersebut dianggap terlalu memakan waktu lama di tengah tingginya aspirasi dan keinginan masyarakat untuk mengusulkan pemekaran

1 Lihat PP Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan

12

daerah. Oleh karena itu dengan dasar bahwa pembentukan daerah baru harus ditetapkan melalui UU—sementara perancangan UU juga dapat diajukan melalui mekanisme Hak Inisiatif DPR—maka prosedur pemekaran daerah baru pun dapat dilakukan melalui jalur Hak Inisiatif DPR.

Adanya dua mekanisme dalam pengusulan pembentukan daerah pemekaran ini menjadikan lingkaran persoalan terkait daerah pemekaran semakin kompleks. Belum lagi dengan wacana keinginan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang juga ingin mengambil kewenangan DPR dalam usulan daerah pemekaran. Kalangan DPD berargumentasi bahwa persoalan pemekaran daerah merupakan ranah wewenang mereka. Situasi ini menyebabkan usulan pemekaran daerah tidak hanya masuk dari satu pintu, tetapi dari banyak pintu. Tentunya masing-masing pintu memiliki pendekatan dan asumsi penilaian yang berbeda.

Kondisi inilah yang menyebabkan kebijakan Moratorium Pemekaran Daerah yang diberlakukan pemerintah pusat tahun 2007 dan 2010 tidak pernah efektif. Argumentasi pihak pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri, tentang perlunya dirumuskan Desain Besar Pemerintah Daerah sebelum melanjutkan kembali kebijakan pemekran wilayah tidak mendapat sambutan positif dari pihak DPR dan DPD. Pihak DPR dan DPD beralasan bahwa tindakan menutup aspirasi masyarakat untuk memekarkan wilayah merupakan tindakan yang tidak demokratis dan tidak sesuai dengan prinsip tata pemerintahan yang menganut otonomi daerah.

2.1.2. Problematika Pemekaran Daerah

Pemekaran daerah kadang dianggap sebagai sesuatu yang bermasalah. Beberapa contoh permasalahan muncul dari daerah yang dikaji Pamungkas (2007) dari LIPI antara lain:

1. Konflik dengan kekerasan. Salah satu contoh kasusnya adalah Kabupaten Polewali-Mamasa yang dimekarkan pada tahun 2002 menjadi Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa di Provinsi Sulawesi Barat. Konflik juga terjadi dalam pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat. Bahkan, konflik juga terjadi dalam usulan pembentukan Provinsi Tapanuli pada tahun 2009 yang berujung pada kematian Ketua DPRD Sumatera Utara.

2. Menurunnya jumlah penduduk dan PAD secara dramatis. Contoh: Kabupaten Aceh Utara sebelum dimekarkan penduduknya berjumlah 970.000 jiwa, setelah dimekarkan menjadi Kota Bireun, Kota Lhokseumawe, dan Kabupaten Aceh Utara, penduduknya tinggal 420.000 jiwa. Contoh lain, pembentukan Kota Singkawang menyebabkan Kabupaten Bengkayang banyak kehilangan penduduknya karena bermigrasi ke Kota Singkawang. Selain itu, Bengkayang juga menderita karena PAD-nya menurun secara drastis pasca ditinggalkan Singkawang.

3. Menyempitnya luas wilayah dan beban daerah induk. Kabupaten Halmahera Barat yang setelah pemekaran wilayahnya menyempit secara drastis, saat ini dibebani oleh pembiayaan daerah-daerah baru di Kabupaten Halmahera Utara, Halmahera Selatan, dan Kepulauan Sula.

4. Perebutan wilayah dan masalah ibukota pemekaran. Kasus ini terjadi misalnya antara Pemda Kabupaten Kampar dengan Pemda kabupaten Rokan Hulu yang memperebutkan 3 desa, yaitu: Tandung, Aliantan, dan Kabun. Konflik

13 perebutan wilayah juga terjadi dalam kasus Kabupaten Banggai di Provinsi Sulawesi Tengah.

5. Perebutan aset. Kasus ini pernah terjadi di Kabupaten Nunukan yang dimekarkan tahun 1999 yang kemudian berebut gedung dan peralatan dengan kabupaten induknya, yakni Kabupaten Bulungan. Masalah serupa juga terjadi antara Kota Lhokseumawe dengan Kabupaten Lhoksukon.

Adriansyah (2009) dari Kementerian Keuangan RI mengidentifikasi beberapa masalah dalam pemekaran daerah. Menurutnya, berpindahnya daerah penghasil dari daerah induk ke daerah pemekaran dapat menimbulkan potensi masalah pada munculnya pengakuan sebagai daerah penghasil. Misalkan: Kabupaten Ogan Komering Ulu dengan Kabupaten Ogan Komering Ilir sebagai daerah penghasil migas, Kabupaten Natuna dengan Kabupaten Anambas sebagai daerah penghasil migas, Kabupaten Hulu Sungai Utara dengan Kabupaten Balangan sebagai daerah penghasil pertambangan umum), serta Kabupaten Konawe dengan Kabupaten Konawe Utara sebagai daerah penghasil kehutanan. Munculnya daerah baru sebagai daerah penghasil dalam realisasi penerimaan, padahal daerah tersebut tidak ditetapkan sebagai daerah penghasil dalam SK Menteri ESDM, dapat mengakibatkan penundaan penyaluran kepada daerah yang bersangkutan karena harus terlebih dahulu merubah dokumen anggaran.

Tinjauan yang lain dikemukakan oleh Koespramoedyo (2009) dari Bappenas yang mengungkapkan beberapa persoalan dalam pemekaran daerah terjadi karena: 1. Pada saat melakukan proses pemekaran daerah tidak dihitung kebutuhan

kawasan budidaya yang bisa dikembangkan sehingga daerah yang dimekarkan sebagian besar merupakan kawasan hutan lindung. Alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan non hutan akhirnya dilakukan karena kurangnya kebutuhan kawasan budidaya, meski hal ini melanggar UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

2. Pemekaran wilayah tidak diikuti dengan pemenuhan kebutuhan akan SDM yang memadai sehingga menyebabkan tidak konsistennya penyelenggaraan penataan ruang daerah. Daerah pemekaran belum memiliki rencana tata ruang sehingga mengacu pada tata ruang daerah induknya yang belum tentu sesuai dengan aspirasi daerah.

3. Adanya pemekaran yang tidak memperhatikan batas-batas administrasi akan berpotensi menimbulkan sengketa pertanahan. Arsip tanah yang belum terkelola dengan baik di daerah induk berpotensi menyebabkan permasalahan pembangunan di daerah.

2.2. Belanja Pemerintah

Belanja pemerintah merupakan instrumen untuk mengukur besarnya peran pemerintah maupun peran pihak swasta. Selain itu pengeluaran pemerintah dapat digunakan sebagai penentu jumlah pengeluaran agregat maupun penentu pertumbuhan PDB riil dalam jangka pendek. Pengeluaran pemerintah atas barang maupun jasa dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu konsumsi pemerintah dan investasi pemerintah. Yang termasuk dalam golongan yang pertama (konsumsi pemerintah) adalah pembelian ke atas barang dan jasa yang akan dikonsumsikan, seperti membayar gaji guru sekolah, membeli alat-alat tulis dan kertas untuk digunakan dan membeli bensin untuk kendaraan pemerintah.

14

Sedangkan investasi pemerintah meliputi pengeluaran untuk membangun prasarana seperti jalan, sekolah, rumah sakit dan irigasi (Soekirno, 2006).

Dalam konsep keuangan negara, pendapatan negara yang bersumber dari penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak, akan digunakan untuk mendanai belanja pemerintah. Dalam klasifikasi ekonomi (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara), belanja pemerintah terdiri dari: belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Sedangkan, dalam teori ekonomi makro, belanja pemerintah dikelompokkan dalam belanja konsumsi (Government Consumption Expenditure = GC) dan investasi pemerintah (Government Investment Expenditure = GI). Oleh karena itu, penggunaan terminologi belanja menurut klasifikasi ekonomi dan menurut ekonomi makro tidak 100 (seratus) persen paralel. Sejalan itu, terminologi belanja modal tidak dapat digunakan untuk merepresentasikan belanja investasi, atau sebaliknya (Direktorat Jenderal Anggaran, 2013).

Selanjutnya, dalam APBD, perkembangan pengeluaran investasi yang sebetulnya tercermin dalam berbagai komponen APBD, sering ditafsirkan secara lebih sempit sehingga diidentikkan sebagai belanja modal. Sesuai dengan karakternya, belanja modal dalam APBD diterjemahkan sebagai belanja yang dilakukan dalam rangka pemupukan modal dalam aset fisik, seperti tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, serta dalam bentuk fisik lainnya. Padahal, belanja tersebut tidak hanya dilakukan pada belanja modal, tetapi juga dilakukan dalam belanja barang dan bantuan sosial. Oleh karena itu, dalam konteks ekonomi makro penggunaan terminologi tersebut sebagai belanja modal menjadi terlalu sempit, dan lebih cocok untuk menggunakan pengeluaran investasi Pemerintah.

Terlepas dari problematika terminologi di atas, agar tidak terjadi kerancuan maka dalam kajian ini tidak dibedakan pengertian antara belanja konsumsi dengan belanja investasi. Lingkup pengertian belanja pemerintah daerah yang digunakan adalah mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004. Dalam UU tersebut, belanja daerah didefinisikan sebagai semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Pengertian tersebut selaras dengan pengertian belanja daerah dalam Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, dimana belanja daerah diartikan sebagai semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.

Berdasarkan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi belanja daerah menurut jenis belanja terdiri dari:

1. Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD, dan pegawai pemerintah daerah baik yang bertugas di dalam maupun di luar daerah sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Contoh: gaji dan tunjangan, honorarium, lembur, kontribusi sosial, dan lain- lain sejenis.

15 2. Belanja barang dan jasa adalah digunakan untuk pembelian barang dan jasa yang habis pakai guna memproduksi barang dan jasa. Contoh: pembelian barang dan jasa keperluan kantor, jasa pemeliharaan, ongkos perjalanan dinas. 3. Belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/

pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, buku perpustakaan, dan hewan.

4. Belanja lain-lain (bunga; subsidi; hibah; bantuan sosial; belanja bagi hasil dan bantuan keuangan; dan belanja tidak terduga).

Dari kacamata definisi lain, belanja daerah menurut kelompok belanja berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 terdiri atas belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Kelompok belanja langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal.

Secara empirik, belanja pemerintah dianggap sebagai implementasi dari peran atau campur tangan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Ada beberapa teori yang menunjukkan bahwa perkembangan peran pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan ekonomi tidak pernah bisa dihilangkan. Bahkan, teori-teori tersebut justru mengemukakan bahwa peran pemerintah malah akan semakin meningkat seiring dengan berkembangnya kondisi perekonomian. Teori-teori tersebut antara lain:

2.2.1. Model Rostow dan Musgrave

Model Rostow dan Musgrave berisi tentang perkembangan pengeluaran pemerintah. Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk

16

aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. (Mangkoesoebroto, 2008)

2.2.2. Hukum Wagner

Hukum Wagner dikenal dengan ―The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Adolf Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena