• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi yang telah diperoleh dari penelusuran kepustakaan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, ternyata penelitian mengenai “ Landasan Yuridis Pelimpahan Hak Asuh Anak dibawah Umur Terkait Perlindungan Terhadap Akidah (Studi Putusan MA No.0438/Pdt.G/2014/PA.Btl.)

“ belum pernah ditemukan judul yang mirip dengan di atas sebelumnya . dengan demikian , maka penelitian ini adalah asli dan kebenarannya secara ilmiah.

Kalaupun ada kesamaan , hal itu pastilah dilakukan dengan tidak sengaja dan dilakukan dengan pendekata yang berbeda, seperti :

1. Tinjauan Yuridis Hak Asuh Anak Berdasarkan UU N0.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU No.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, skripsi yang disusun oleh Nadya.

Dengan Rumusan Masalah Sebagai Berikut:

a. Bagaimana Analisis hukum terhadap putusan Pengadilan Agama Medan No. 192/Pdt.G/2013/Pa.Mdn.

b. Bagaimana Sanksi terhadap para pihak yang tidak memenuhi putusan Pengadilan Agama Medan No.192/Pdt.G/2013/Pa.Mdn.

c. Bagiamana akibat hukum yang timbul dari perceraian orang tua terhadap anak menurut Putusan Pengadilan Agama Medan No.

192/Pdt.G/2013/Pa.Mdn.

2. Pelimpahan hak asuh anak dibawah umur kepada bapak akibat perceraian (studi putusan pengadilan negeri Nomor:

411/Pdt.G/2012/PN/MDN), skripsi yang disusun oleh Indri Hafni paramita Harahap.

Dengan Rumusan Masalah Sebagai Berikut:

a. Bagaimana Penentuan tanggung jawab hak asuh, dan pemeliharaan terhadap anak dibawah umur Pada putusan pengadilan negeri nomor 411.pdt.G/2012/Pn.Mdn

b. Apakah yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan tuntutan hak asuh anak yang diajuka oleh suami

c. Apakah yang dimaksud dengan hak menemui anak-anak

3. Jatuhnya hak hadhanah kepada orang tua laki-laki karena perceraian berdasarkan putusan Pengadilan agama. ( studi putusan PN No.1521.Pdt.G/2011/PA/MDN), skripsi yang disusun oleh Fakhrul Razi.

Dengan Rumusan Masalah Sebagai Berikut:

a. Untuk mengetahui tentang hak dan ketentuan anak dalam ketentuan hukum islam

b. Bagaimana keawajiban orang tua atas pemeliharaan anak setelah perceraian

c. Alasan-alasan hukum apa saja yang digunakan hakim memutuskan hak hadhanah anak kepada orang tua laki-laki dalam perceraian G. Metode Penulisan

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu suatu metode penelitian hukum yang berupaya untuk melihat hukum

dikonsepkan sebagai apa yang tertulis didalam peraturan perundang- undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. penelitian hukum empiris yaitu penelitian hukum dengan cara meneliti data primer yang ada dilapangan. Penelitian ini dimulai dengan cara mengumpulkan data yang bersifat sekunder. Seperti literature, jurnal, artikel, dan berbagai sumber data lainnya.

2. Sifat penelitian

Sifat penelitian yang digunakan bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan yang dibahas.30

3. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan didalam penelitian ini adalah sumber data sekunder. Sumber data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas(autoritatif), yang terdiri dari:

1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

2) Undang-Undang No.16 tahun 2019 perubahan atas UU Perkawinan 3) Undang-Undang No. 35 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Anak 4) Putusan Mahkamah Agung Nomor. 0438/Pdt.G/Pa.Btl

5) Kompilasi Hukum Islam

30 Ronny Hanitijo Soemitro, ,Metologi Penelitian Hukum dan JuriMetri, (Jakarta:

GhaliaIndonesia, 1988), hal.35

b. Bahan Hukum Sekunder, yang terdiri dari pendapat ahli yang termuat didalam literature, artikel, media cetak maupun media elektronik, termasuk skripsi, tesis, dan jurnal hukum.

c. Bahan Hukum Tersier terdiri dari kamus hukum atau ensiklopedia dan artikel artikel lainnya yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder.31 Selain itu penelitian juga didukung oleh data yang bersumber dari hasil penelitian melalui wawancara dengan informan yaitu Hakim Pengadilan Agama Medan Ibu Emmafatri Sh.M.Hum.

4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data a. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan atau library research dan studi lapangan. Studi kepustakaan yaitu metode pengumpulan data yang berwujud sumber data tertulis. Sumber data tertulis berbentuk dokumen resmi, buku, arsip, dokumen resmi terkait permasalahan penelitian. Penelitian ini berdasarkan kenyataan dilapangan dengan melakukan wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Medan Ibu Emmafatri S.H. M.Hum

b. Alat Pengumpulan Data:

a. Studi dokumen b. Pedoman wawancara

Pedoman atau Tata Cara memperoleh informasi atau data melalui wawancara dengan bertanya langsung kepada informan yang merupakan percakapan langsung antara narasumber dengan

31 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, predana Media Group, Jakarta:2005 Hal.155

pewawancara dimana si pewawancara akan mengajukan sejumlah pertanyaan dan narasumber juga akan menjawab pertanyaan tersebut. Wawancara dilakukan guna bertjuan untuk mendapatkan informasi yang terpercaya dan benar-benar paham perkait permasalahan yang sedang dibahas. Wawancara dilakukan kepada informan yaitu Hakim Pengadilan Agama Medan ibu Emmafatri, S.H.M.Hum.

5. Analisis Data

Analisa bahan hukum adalah pengolahan bahan hukum yang diperoleh baik dari penelitian pustaka maupun penelitian yang diperoleh dari kenyataan yang ada dilapangan. Dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan analisis-kualitatif, yaitu mengikhtiarkan hasil pengumpulan data selengkap mungkin serta memilah-milahnya dalam satuan konsep, kategori, atau tema tertentu. Untuk mengungkapkan serta mendalam tentang pandangan dan konsep yang diperlukan dan diuraikan secara konfrehensif sehingga menjawab permasalahan-permasalahan yang ada.

H. Sistematika Penulisan

Agar dapat diketahui secara jelas kerangka garis besar penulisan dari skripsi yang ditulis, maka hasil penelitian yang diperoleh dan dianalisis yang kemungkinan diikuti dengan pembuatan laporan akhir dengan sistematika yang mencangkup (5) bab dengan judul Tinjauan Yuridis Penetapan Hak Asuh Anak dibawah Umur Pasca Perceraian Terkait Perlindungan Terhadap Akidah (Studi Putusan Pengadilan Agama Bantul No.0438/Pdt.G/2014/PA/Btl).

Pada bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi materi uraian yang dapat menghantarkan menuju bab-bab lainnya. Bab pertama ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,tinjauan pustaka, keaslian penulisan , metode penelitian, dan sistematika penelitian.

Pada bab kedua membahas ketentuan hukum tentang hak asuh anak, yang terdiri dari ketentuan hukum menurut Undang-Undang Perkawinan, KHI , dan UU No. 35 Tahun 2004 tentang perlindungan anak, faktor penyebab timbulnya hak asuh anak, kedudukan dan kewajiban orang tua terhadap anak yang masih dibawah umur,

Pada bab ketiga ini membahas mengenai penyelesaian sengketa hak asuh anak dibawah umur terkait perlindungan terhadap akidah anak pasca perceraian orang tua . Bab ketiga ini terdiri dari : prosedur penyelesaian hak asuh anak dibawah umur,penyelesaian sengketa hak asuh anak dibawah umur terkait dengan perlindungan terhadap akidah pandangan hakim dalam penetapan hak asuh anak dibawah umur terkait perlindungan akidah anak.

Bab keempat membahas tentang pertimbangan hukum oleh hakim dalam (studi putusan MA No. 0438/Pdt.G/2014/PA.Btl), yang berisi tentang kasus posisi, pertimbangan hakim, dan analisis putusan.

Bab kelima membahas mengenai penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran, yang terakhir adalah daftar pustaka.

BAB II

KETENTUAN HUKUM DI INDONESIA TENTANG HAK ASUH ANAK PASCA PERCERAIAN

A. Hak Asuh Anak Dibawah Umur Menurut UU Perkawinan dan KHI 1. Pengertian Anak

Pengertian anak dalam hukum islam dan hukum perkawinan dihubungkan dengan keluarga. Anak dalam hubungannya dengan keluarga, seperti anak kandung, anak laki-laki dan anak perempuan, anak sah dan anak tidak sah,anak sulung dan anak bungsu, anak tiri dan anak angkat, anak piara, anak pungut, anak kemenangan, anak pisang, anak sumbang (anak haram) dan sebagainya.32

Anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai katurunan yang kedua..33 Anak adalah generasi penerus yang akan datang. Baik buruknya masa depan bangsa tergantung pula pada baik buruknya kondisi anak saat ini. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlakuan terhadap anak dengan cara yang baik adalah kewajiban bersama agar bisa tumbuh dan berkembang dengan baik

Pengertian Anak Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak sebagai berikut :

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

32 Wagiati soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, ( Bandung:Refika Aditama,2006),hal 6

33 M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum:catatan pembahasan undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak ( Jakarta:Sinar grafika,2013), hal 11

Ter Haar mengemukakan bahwa saat seseorang menjadi dewasa menurut hukum adat adalah Bahwa seseorang sudah dewasa menurut hukum ada di dalam persekutuan-persekutuan hukum yang kecial adalah pada seseorang laki-laki atau perempuan apabila ia sudah kawin dan di samping itu telah meninggalkan rumah orang tuanya ataupun rumah mertua dan pergi pindah dan mendirikan kehidupan rumah tangganya sendiri.34 Selanjutnya, Soedjono Dirjosisworo menyatakan bahwa menurut hukum adat, anak dibawah umur adalah mereka yang belum menentukan tanda-tanda fisik yang konkret bahwa ia dewasa..

Dari pendapat Ter Haar dan Soedjono Dirjosisworo tersebut ternyata, menurut hukum adat Indonesia, tidak terdapat batasan umur yang pasti, sampai umur berapa seseorang masih dianggap sebagai anak dibawah umur atau sampai umur berapakah seseorang dianggap sudah dewasa.35

Adapun batas usia anak ditinjau dari undang-undang di Indonesia, ialah sebagai berikut:

1. Menurut ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, anak atau orang yang belum dewasa mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahundan tidak lebih dahulu kawin. Apabila seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun telah kawin, dan perkawinan itu dibubarkan sebelum umurnya genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka ia tidak kembali lagi ke kedudukan belum dewasa.

2. .Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dalam undang-undang ini tidak langsung mengatur tentang masalah ukuran kapan seseorang digolongkan anak, tetapi secara tersirat tercantum dalam Pasal 6

34 Ter Haar, Azas-Azas Hukum Adat, Armico, Bandung, 1984, hal. 47

35 Marsaid, Perlindungan Hukum Anak Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam (Maqasid AsySyari‟ah) (Palembang: NoerFikri, 2015),hal 57

ayat 2 yang memuat ketentuan syarat perkawinan bagi seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua. Dalam Pasal 7 ayat 1 memuat batas minimum usia untuk dapat kawin, bagi pria ialah 19 tahun, bagi wanita 16 tahun. Dimana hal ini diubah sebagaimana dalam putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017 Perubahan terhadap batas usia untuk melaksanakan perkawinan dengan menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi wanita. Batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria yaitu 19 Tahun. Sehingga ketentuan mengenai minimal umur untuk melangsungkan perkawinan dicantumkan didalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang No.1 Tahun 1974 3. Dalam Undang -Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, selain

dari pada merujuk pasal 6 ayat 2 mengenai kapan seseorang dikatakan anak maka berdasarkan ketentuan dalam pasal 47 ayat (1) dikatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas tahun) atau belum pernah melakukan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya.

4. Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, memberikan pengertian bahwa anak adalah seseorang yeng belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin

;

Berdasarkan Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut menjelaskan bahwa kreteria dapat dikatakan anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan sudah mampu mengurus diri sendiri, usia 21 tahun sudah dianggap mampu untuk menentukan kemana arah hidup seseorang, mencari pekerjaan, bahkan memilih untuk menikah dan menentukan mana yang baik dan buruk bagi mereka.

Menurut Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam,dalam hal terjadinya perceraian pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Berdasarkan pasal tersebut menyebutkan bahwa anak yang belum mummayiz atau anak dibawah umur adalah anak yang belum berumur 12 tahun. Anak dibawah umur adalah anak yang belum mampu mengurus dirinya sendiri, belum mampu berdiri sendiri karna perlu pengawasan serta kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya.

2. Faktor Penyebab Timbulnya Hak Asuh Anak

Hak asuh anak timbul dari akibat adanya perceraian, baik cerai karena kematian maupun karena cerai hidup melalui dua acara yakni:

1. Cerai talak 2. Cerai gugat.36

Perceraian tidaklah mudah untuk dilakukan karena harus ada alasan-alasan kuat yang mendasarinya. Cerai adalah putusnya hubungan perkawinan amtara suami dan istri.

Didalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, mengatur alasan-alasan terjadinya perceraian. Hal tersebut diatur didalam pasal

36 Ahmad Rofiq Op.cit hal 233

116 KHI dan pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.

6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

7. Suami melanggar taklik talak.

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. 37

Dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatur putusnya hubungan perkawinan sebagaimana berikut:

1. Pasal 113 KHI, Menyatakan perkawinan dapat putus karena:38 (1) Kematian,

(2) Perceraian,

(3) Atas Putusan Pengadilan.

2. Pasal 115 KHI dan pasal 39 ayat 1 UU no. 1 Tahun 1974 menyatakan, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan persidangan Pengadilan

37Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974, ( Lembar Negara RI Tahun 1974, No 1 Sekretariat Negara, Jakarta).

` 38 Pasal 133 Kompilasi Hukum Islam

Agama ,setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

3. Pasal 114 KHI menegaskan, bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugat cerai.

Proses perceraian yang sah dan terjadi ketika:

1. Seorang suami mengatakan kalimat “saya ceraikan kamu” dengan maksud menceraikan dengan kalimat dan bahasa jelas yang mengarah kepada perceraian

2. Suami mengatakan perkataan yang mengandung makna cerai dengan bahasa apapun, apabila dia memang bertujuan melontarkan perceraian dalam kalimatnya. Seperti perkataan “Aku ingin berpisah denganmu”

artinya istrinya sudah ditalak. Tetapi jika dia tidak bermaksud menceraikan istrinya denga perkataan itu maka tidak jatuh talak. 39 Berakhirnya hubungan perceraian bukan berarti masalah hubungan rumah tangga begitu saja selesai, akan tetapi masih ada akibat -akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian menurut Undang-undnag Nomor 1 Tahun 1974 atau peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam berdampak kepada bukan hanya hubungan suami istri, melaikan tempat tinggal, dan sebagainya, tetapi yang paling penting mengenai nasib anak-anak dan kepentingannya, biasanya terjadi terhadap anak yang masih dibawah umur atau yang belum mummayiz. Peristiwa perceraian mengakibatkan terlantarnya pengasuhan anak, tidak jarang terjadi perebutan mengenai hak asuh anak, masing-masing bekas suami isteri merasa paling berhak dan paling layak untuk menjalankan hak asuh anak. 40 Tidak sedikit kasus perceraian dengan cerita perseteruan yang sangat serius antara suami dan istri pasca perceraian dengan

39 Nadya Putri Karoza, Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Asuh Anak (hadlanah) berdasarkan UU No.1 tahun 1974 dan UU No.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Skripsi, Fakultas Hukum, USU. Hal 21

40 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (cet-2, Kencana, Jakarta, 2004), hal. 166-7.

berbagai alasan yang dibuat agar ditetapkan sebagai pemegang atas pemegang hak asuh anak.

3. Hak Asuh Anak dibawah Umur Pasca Perceraian Menurut KHI dan UU Perkawinan

Hak asuh atau hadhlanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.41 Hadhanah menurut bahasa adalah Al-janbu yang berarti erat atau dekat, Sedangkan menurut istilah memelihara anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil atau belum dapat mandiri,berdiri sendiri, menjaga kepentingan pribadi anaknya, melindungi dari segala yang mebahayakan dirinya, mendidik rohani dan jasmani serta akalnya supaya si anak dapat berkembang dan dapat mengatasi masalah dan persoalan hidup yang dihadapinya.42 Anak yang sudah mummayiz (berumur 12 tahun) hendaklah diselidiki oleh yang berwajib siapakah diantara kedua orang tuanya yang lebih baik dan lebih cakap untuk mendidik serta memelihara anak tersebut dengan baik dan mampu memelihara jasmani dan rohani anak. Selain persoalan hadhanah , akibat hukum perceraian dengan biaya Hadhanah dan biaya nafkah anak tersebut dan harta serikat ( harta Bersama). 43

Pengertian hak asuh anak menurut Kompilasi Hukum Islam terdapat didalam Pasal 1 Huruf (g) yang mana bunyinya sebagai berikut : “Pemeliharaan anak atau hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anaka hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.”

41 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam ,( Jakarta: Akademika Presindo,2004),hal 113

42 Hakim Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, ( Bandung: Pustaka setia, 2000), hal 224

43 M. Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam,(Medan: Fakultas Hukum Darmawangsa, 1993), hal,133

Ketentuan hak asuh anak dalam keluarga di Indonesia terdapat dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI. Menurut Pasal 45 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menegaskan bahwa kedua orang tua sama-sama memiliki hak kewajiban dalam memelihara dan mendidik anak -anak mereka dengan sebaik-baiknya. Kewajiban kedua orang tua tersebut menurut ayat (2) berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Penegasan hak asuh anak pasca perceraian juga dicantumkan dalam pasal 41 huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 yang menegaskah bahwa akibat putusnya perceraian ialah baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak.

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan diatas jika terjadi perceraian memberikan pengasuhan anak tetap menjadi tanggung jawab kedua orang tua dan tidak memberikan uraian yang tegas jika terjadi sengketa atau perebutan hak asuh anak maka hak asuh anak diberikan kepada bapak atau Ibu.

Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 tentang perkawinan , KHI memberikan uraian lebih detail tentang hal itu. Didalam KHI setidaknya ada dua pasal yang menentukan pengasuhan anak yaitu pasal 105 dan 156. Sebagaimana terdapat pada pasa l05 dan 156 KHI . Didalam Pasal 105 Pemeliharaan anak yang belum mummayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya dan pemeliharaan anak yang sudah mummayiz atau sudah berumur 12 Tahun diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya, sebagaimana terdapat didalam Pasal 156 menyebutkan bahwa akibat dari

perceraian anak yang belum mummayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

a. Garis Keturunan

1. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibunya;

2. Ayah

3. Wanita-wanita garis lurus keatas dari ayahnya;

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibunya;

6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayahnya;

b. Anak yang sudah mummayiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah tercukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadlanah pula.

d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

e. Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b),(c),(d).

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya pemeliharaan tidak turut kepadanya.

Hadis lain yang juga dijadikan dasar dalam perumusan pasal 105 dan 156 KHI tersebut adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a. yang arti lengkapnya sebagai berikut:44

Seorang anak perempuan berkata : “Wahai Rasulullah SAW suamiku menghendaki pergi Bersama anakku, sementara ia telah memberi manfaat kepadaku dan mengambil air minum untukku disumur Abi “Inbah”. Maka datanglah suaminya, Rasulullah bersabda kepadanya: “Wahai anak kecil, ini ayah dan ibumu, peganglah tangan keduanya mana yang kamu kehendaki”. Maka anak itu memegang tangan ibunya, lalu perempuan itu pergi Bersama anaknya.

Hadis diatas dijadikan dasar pasal 105 ayat (2) dimana bagi anak yang mampu memilih (mummayiz) maka anak tersebut disuruh memilih hendak ikut dengan ayah atau ibunya, namun pendapat Hanaffiyah menegaskan Ibu tetap lebih berhak memeliharanya karena seorang perempuan lebih mampu memberikan perhatian, kasih sayangnya terhadap anak dan mengurus anak.45

Pengadilan Agama juga dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajibannya untuk memelihara, mengasuh dan mendidik anak tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.46

Perlu diketahui bahwa ḥaḍ`lanah ini berkaitan dengan perwalian dimana kita harus membedakan antara ḥaḍlanah dan Perwalian. Perwalian ialah kewenangan yang diberikan kepada seorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak

Perlu diketahui bahwa ḥaḍ`lanah ini berkaitan dengan perwalian dimana kita harus membedakan antara ḥaḍlanah dan Perwalian. Perwalian ialah kewenangan yang diberikan kepada seorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak

Dokumen terkait