• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Disusun Guna Melengkapi Tugas Akhir Dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Disusun Guna Melengkapi Tugas Akhir Dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS PENETAPAN HAK ASUH ANAK DI BAWAH UMUR PASCA PERCERAIAN TERKAIT PERLINDUNGAN TERHADAP AKIDAH

(STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BANTUL NO:

0438/PDT.G/2014/PA.BTL)

SKRIPSI

Disusun Guna Melengkapi Tugas Akhir Dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

AMMANAWWARA 160200140

DAPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM

MEDAN 2020

(2)
(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Ammanawwara

NIM : 160200140

Dapartemen : Hukum Keperdataan

Judul Skripsi : Tinjauan Yuridis Penetapan Hak Asuh Anak Di Bawah Umur Pasca Perceraian Terkait Perlindungan Terhadap Akidah (Studi Putusan Pengadilan Agama No. 0438/Pdt.G/2014/Pa.Btl)

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak merupakan jiplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah jiplakan, maka segala akibat hukum yang timbul yang menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, Agustus 2020

Ammanawwara NIM : 160200140

(4)

KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirrahim,

Alhamdulillah Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “Tinjauan Yuridis Penetapan Hak Asuh Anak Dibawah Umur Terkait Perlindungan terhadap akidah ( Studi Putusan Pengadilan Agama Bantul No.

0438/Pdt.G/2014/PA. Btl)”.

Penulisan skipsi ini diselesaikan guna melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan Skripsi ini, penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, dengan hati terbuka penulis meminta kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi untuk kesempurnaan skripsi ini.

Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang banyak membantu, khususnya kepada :

1. Porf. Dr. Runtung , SH.,M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara 2. Prof. Dr. Budiman Ginting,S.H., M.Hum, Selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. OK. Saidin,S.H., M.Hum, Selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan,S.H, M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza,S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Prof. Dr. Rosnidar Sembiring,S.H., M.Hum, selaku Ketua Dapartemen Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Syamsul Rizal,S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Dapartemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

8. Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring,S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan waktu Beliau kepada penulis untuk membimbing, memberi nasihat dan motivasi dalam proses pengerjaan skripsi ini.

9. Ibu Dr. Yefrizawati,S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang memberikan waktu Beliau kepada penulis untuk membimbing, memberi nasihat dan motivasi dalam proses pengerjaan skripsi ini.

10. Ibu Dr. Megaritas S.H.,CN , selaku Dosen Penasehat Akademik penulis.

11. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara seluruhnya yang telah mendidik dan membimbing penulis dalam menempuh Pendidikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12. Kepada Abangda Zairin , Binsar , dan Kak Ira sebagai senior di Fakultas Hukum yang telah banyak memberikan arahan, bantuan dan semangat kepada penulis dalam segala hal dalam proses penulisan skripsi ini

13. Kepada Sahabat Terbaik penulis serta teman seperjuangan penulis selama perkuliahan, Anna Marissa, Annisa Rizkika, Ratih Shania, Indah Novianty, Medina Juniarti yang telah membantu penulis dalam segala hal dan selalu meberikan dukungan serta motivasi kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

14. Kepada Sahabat terbaik penulis, yaitu Sinta Ayu, Aziza Nur Lubis, Nabila Dwisuda, Sigit Pramono, Zuah Eko Mursyid, fery sutan yang telah memberikan dukungan serta membantu dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

15. Kepada Teman teman group E stambuk 2016 dan Teman Dapartemen Keperdataan BW Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

16. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu- persatu

Khusus Keluarga saya, saya ucapkan terimakasih kepada kedua orang tua saya tercinta Ayahanda Enda Tarigan , sebagai sosok ayah yang mensupport, memberi nasihat, motivasi, dan dukungan selama proses penulisan skripsi ini.

Serta Ibu saya Nilfa Yenisda yang sangat penuh kasih sayang, yang tiada hentinya

(6)

kepada penulis. Penulis mengucapkan terimakasih atas dorongan semangat, spiritual, material,dan doa yang telah diberikan selama ini. Juga saya ucapkan kepada saudara kandung saya, kakanda Ammahlifakar Tarigan, kakanda Ammamiarihta,dan kakanda Ammazizzaky Tarigan yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada saya dalam mengerjakan skripsi ini.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan semoga apa yang telah kita lakukan mendapat rahmat dan ridho dari Allah SWT. Hanya doá yang dapat penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar selalu menyertai kita semua dengan harapan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, ilmu pengetahuan dan masyarakat. Atas segala kesalahan dan kekurangan penulis mohon maaf dan atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.

Medan, Agustus 2020

Penulis

Ammanawwara NIM: 160200140

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penulisan ... 11

D. Manfaat Penulisan ... 11

E. Tinjauan Pustaka ... 12

F. Keaslian Penulisan ... 15

G. Metode Penelitian ... 16

H. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II KETENTUAN HUKUM DI INDONESIA TENTANG HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR PASCA PERCERAIAN ... 21

A. Hak Asuh Anak di Bawah Umur Pasca Perceraian Menurut KHI dan UU Perkawinan ... 21

1. Pengertian Anak ... 21

2. Faktor Penyebab Timbulnya hak asuh anak ... 24

3. Hak Asuh Anak di Bawah Umur Pasca Perceraian Menurut KHI dan UU Perkawinan ... 27

B. Hak Asuh Anak Dibawah Umur Pasca Perceraian Ditinjau Dari UU NO.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak ... 33

1. Pengertian Hak Asuh Anak di Bawah Umur Pasca Perceraian Ditinjau Dari UU No.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak ... 33

(8)

2. Hak Dan Kedudukan Anak di Bawah Umur

Pasca Perceraian ... 35

3. Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak di Bawah Umur Pasca Perceraian ... 40

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR TERKAIT PERLINDUNGAN TERHADAP AKIDAH ANAK PASCA PERCERAIAN .. 43

A. Prosedur Penetapan Hak Asuh Anak di Bawah Umur .. 43

B. Penyelesaian sengketa hak asuh anak dibawah umur terkait dengan perlindungan akidah anak pasca perceraian orang tua ... 50

C. Pandangan Hakim dalam menetapkan hak asuh anak terkait perlindungan terhadap akidah ... 56

BAB IV PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PUTUSAN PENGADILAN NOMOR.0438/PDT.G/2014/PA.BTL) ... 62

A. Kasus Posisi ... 62

B. Pertimbangan Hukum Hakim ... 67

C. Analisis Putusan ... 71

BAB V PENUTUP ... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75 LAMPIRAN

1. Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara / Riset 2. Hasil Wawancara

(9)

ABSTRAK Ammanawwara*

Idha Aprilyana Sembiring**

Yefrizawati***

Hak asuh anak merupakan akibat hukum yang timbul dari perceraian.

Sehubungan dengan masalah hak asuh anak dibawah umur yang terjadi akibat perceraian , timbul suatu masalah hak asuh anak dibawah umur jatuh ketangan ayahnya sedangkan Undang-undang menghendaki hak asuh anak dibawah umur merupakan hak ibunya berdasarkan pasal 105 Kompilasi hukum islam. Salah satu alasan hakim mengabulkan permohonan hak asuh anak jatuh ketangan ayah adalah demi melindungi akidah anak, sehingga yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana ketentuan hukum di Indonesia tentang hak asuh anak dibawah umur pasca perceraian, bagaimana penyeselesaian sengketa hak asuh anak dibawah umur terkait perlindungan akidah anak pasca perceraian dan bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Bantul No. 0438/Pdt.G/2014/PA. Btl memberikan hak asuh anak dibawah umur kepada ayah terkait perlindungan terhadap akidah.

Metode penelitian yang digunakan merupakan penelitian hukum Normatif, sifat penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian deskriptif analitis. Sumber data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yang diperoleh dengan studi kepustakaan dan kenyataan yang ada dilapangan.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketentuan hak asuh anak diatur didalam pasal 45 UU Perkawinan yang mana orang tua wajib memelihara anaknya sampai dengan usia 21 tahun meskipun perkawinan kedua orang tuanya telah putus. Dalam hal penetapan hak asuh anak dibawah umur diatur dalam pasal 105 dam 156 KHI merupakan hak ibunya. Penyelesaian sengketa hak asuh anak dibawah umur terkait perlindungan terhadap akidah dilihat berdasarkan kepentingan dan kemashalatan hidup anak dalam kehidupan bergamanya hal ini berdasarkan pasal 41 huruf (a) Undang-Undang No.1 Tahun 1974, pasal 1 ayat (11) dan pasal 42 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perlindungan anak, dan pertimbangan hakim dalam putusan No.0438/Pdt.G/2014/Pa.Btl yang memutuskan bahwa hak asuh anak dibawah umur (6 tahun) jatuh ketangan ayahnya. Putusan hakim tersebut tidak terlepas dari pertimbangan tentang aqidah sebagai kelayakan untuk mengasuh anak merupakan pertimbangan dari sudut syar‟I yang mengedepankan salah satu maqhosidusy syar‟iyyah (tujuan syari‟at Islam) yaitu menjaga keutuhan agama Islam.

Kata kunci: : Hak Asuh Anak , Perceraian, Akidah

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I

*** Dosen Pembimbing II

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Di dalam Kompilasi Hukum Islam Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.2

Tujuan dari sebuah perkawinan, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur‟an Surah Ar-Rum Juz 21, ialah: “...Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan- Nya di antaramu rasa kasih dan sayang....”.3 Maksud dari penjelasan arti ayat tersebut, bahwa dalam membina rumah tangga yang tentram dan penuh rasa kasih sayang antara suami dan istri, perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan dapat mewujudkan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang sejahtera.

Muderis Zaini berpendapat bahwa keluarga mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai manusia sosial dan merupakan masyarakat kecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu, dan anak.4. Anak merupakan salah satu tujuan dari suatu pernikahan atau perkawinan yang kehadirannya sangat diharap- harapkan oleh orang tua. Anak merupakan karunia dan amanah dari Allah kepada

1 Pasal 1 Undang -Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkwaninan

2 Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam

3 Al-Quran dan Terjemahan Surah Ar-rum Juz 21, (Medan : penerbit Sabiq,2017) hal 404

4 Mudderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga System Hukum , (Jakarta : Sinar Grafika, 1992), hal.7

(11)

orang tua yang harus dijaga, dirawat dan dididik dengan baik.

Berlangsungnya suatu pernikahan yang sah menurut agama dan negara.

timbullah hak dan kewajiban suami istri secara timbal balik. Demikian juga setelah kelahiran anak, maka timbullah hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya. salah satu yang perlu diperhatikan adalah tanggung jawab pemeliharaan anak, maka pemeliharaan anak merupakan tanggung jawab kedua orang tua sehingga pemeliharaan anak meliputi berbagai hal seperti, kasih sayang, pendidikan, ekonomi dan kebutuhan pokok anak lainnya. Pemeliharaan anak juga bukan kepada material saja, melainkan kepada kebutuhan dalam menjaganya yang penuh rasa kasih sayang, kesabaran dan ikut turut menjadi faktor penentu pembentuk kepribadian anak dan unsur penting dalam pertumbuhan seorang anak.

Sehingga antara anak dan orang tua itu bisa berkomunikasi dengan baik dan agar tidak terjadi kerusakan pada mental anak, tetapi apabila itu tidak dipenuhi maka kemungkinan besar anak akan terpengaruh oleh pergaulan yang negatif yang bisa merusak anak.5

Memelihara anak adalah kewajiban orang tua. Sebagai mana Allah mewajibkan setiap orang beriman untuk memelihara diri dan keluarganya termasuk istri dan anak dari api neraka. Hal tersebut dapat terwujud jika kedua orang tuanya tetap bersatu dalam sebuah rumah tangga. Percerain dapat terjadi karena alasan antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga.6Anak kerap kali menjadi korban perceraian kedua orang tuanya. Pemeliharaan anak setelah perceraian tidak begitu saja putus, sebab pemeliharaan anak merupakan tanggung

5Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998), h. 240

6 Pasal 116 Huruf F Kompilasi Hukum Islam

(12)

jawab kedua orang tuanya. Pemeliharaan anak setelah perceraian bisanya disebut dengan Hadhanah atau hak asuh.

Pengertian hadhanah secara etimologis, hadhanah ini berarti “disamping”

atau berada “ di bawah ketiak”. Hadhanah merupakan kegiatan merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, Karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.7

Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya dan orang yang mendidiknya. Suami istri yang bercerai sedangkan keduanya mempunyai seorang anak yang belum mumayyiz (belum mengerti kemaslahatan dirinya), maka istrilah yang berkewajiban untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya.8

Para ulama sepakat bahwasanya hukum Hadhanah (Hak Asuh Anak ) mendidik, dan merawat anak adalah suatu kewajiban, tetapi mereka berbeda dalam hal apakah hadhanah ini menjadi hak orang tua ( Terutama Ibu) atau hak ayah. Ulama Mahzab Hanafi dan Maliki misalnya berpendapat bahwa hak Hadhanah menjadi hak ibu sehingga ia dapat saja menggugurkan haknya, sedangkan menurut jumhur ulama, hadhanah ( Hak Asuh ) itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Bahkan menurut Wahbah al-Zuhaily, hak hadhanah adalah hak bersyarikat anatar ibu, ayah, dan anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak atau kepentingan terbaik bagi si anak.9

7 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta:Ikhtiar Baru Van Hoepe,1999) h. 415

8 Sulaiman Rasyid. Fiqh Islam. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003). Cet. 3. h. 426

9Ibid.

(13)

Hadhanah yang dimaksud adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya .Pemeliharaan ini mencangkup masalah ekonomi, Pendidikan, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.10

Pemiliharan anak atau hak asuh anak jika kedua orang tuanya bercerai, baik ibu maupun bapak tetapi berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya semata-mata demi kepentingan anaknya. Jika terjadi perselisihan suami istri mengenai hak asuh anak maka dapat diselesaikan melalui jalur musyawarah keluarga ataupun dengan putusan pengadilan.11

Menurut Pasal 41 huruf a Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), yang berbunyi : “ Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya ”. 12

Pengertian terbaik bagi anak adalah dalam suatu tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah , masyarakat, badan legislative, yudikatif, maka kepentingan yang terbaik anak harus menjadi pertimbangan utama. Penentuan pemberian hak asuh anak kepada siapa diantara ayah dan ibu yang paling mampu menjaga dan menjamin terpeliharanya kemashalatan anak.

Tanggung jawab pemeliharaan secara sifat ada dua yaitu tanggung jawab bersifat meteril tanggung jawab bersifat pengasuhan. Letak perbedaan tanggung jawab tersebut bahwa tanggung jawab yang bersifat materil itu kaitannya dengan

10 Ahmad rafiq, Op.cit , h. 235

11 Amiur Nuruddin dan Akmal Tarigan Azhari,Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Group,2004), hal 295

12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947 Tentang Perkawinan

(14)

seorang ayah yang harus memenuhi pembiayaan untuk penghidupan anak, termasuk biaya pendidikannya dan apabila ayah tidak bisa memenuhi kewajiban tersebut maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Hal tersebut termaktub dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 41 ayat (2), sedangkan tanggung jawab yang bersifat pengasuhan bahwa ibu lah yang memegang hak asuh, selama anak itu belum mumayyiz.13

Undang-Undang menghendaki hak asuh anak yang belum mumayyiz jatuh ketangan ibu namun bisa saja Majelis Hakim dalam suatu persidangan menjatuhkan hak asuh anak yang belum mumayyiz ketangan bapaknya sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Misal, karena ibunya berkelakuan buruk, seperti judi, zinah, boros, dan lain hal sebagainya.14 Adapun syarat-syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah :15

1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.

2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada dibawah pengasuhan siapapun.

Kedua orang tua yang masih lengkap dan memenuhi syarat, maka yang paling berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah ibu

13 Ahmad Rafiq, Op.cit, Hal. 197-198

14 Solahudin Pugung, Mendapatkan Hak Asuh Anak dan Harta Bersama. (Depok : CV.

Karya Gemilang, 2011), hal. 38

15 Amir syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: kencana,cet.1, 2006) hlm.329

(15)

lebih memiliki rasa kasih sayang dibandingkan dengan ayah,sedangkan dalam usia yang sangat muda itu lebih dibutuhkan kasih sayang. Bila anak dibawah asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada dibawah tanggung jawab si ayah. Hal ini sudah merupakan pendapat yang disepakati oleh para ulama.16

Sebagaimana Hadist Rasullah SAW yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr yang artinya sebagai berikut :17

Seseorang perempuan berkata (kepada Rasullullah SAW):“Wahai Rasullullah SAW anakku ini aku yang mengandungnya, air susuku yang diminumnya, dan dibilikku tempat kumpulnya (bersamaku), ayahnya telah menceraikanku dan ingin memisahkannya dari aku”, maka Rasulullah SAW bersabda: kamulah yang berhak (memelihara)-nya, selama kamu tidak menikah. ( Hadis Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan hakim mensahihkannya).

Hadist tersebut menegaskan bahwa yang lebih berhak memelihara anaknya, selama ibunya itu tidak menikah dengan laki-laki lain, apabila ibunya menikah maka praktis hak asuh anak beralih kepada ayahnya. Ibunya sudah menikah lagi, maka besar kemungkinan perhatiannya akan beralih kepada suaminya yang baru dan mengalahkan atau mengorbankan anak kandungnya sendiri.18

Hak hadanah ini kemudian menjadi amat rumit ketika terdapat suatu realitas dalam masyarakat seperti di Indonesia, yaitu ada seorang anak yang masih kecil dilahirkan dari orang tua yang beragama Islam dan nikah secara Islami.

Kemudian terjadi perceraian antara keduanya dan ibunya tidak menjalankan perintah agama-nya. Dari masing-masing pihak (suami atau istri) berkeinginan

16 Ibid., hal.239

17 Al-Sanány, Subul al-salam, juz 3, kairo:1960. Hal.227

18 Ahmad Rafiq, Op.cit, Hal.251

(16)

mendapatkan hak hadanah terhadap anak tersebut dengan argumentasi masing- masing.

Masalah paling pokok dalam pemeliharaan anak adalah syarat syarat yang menjadi hadnin, karena sifat seorang pengasuh akan berpengaruh kuat terhadap anak yang menjadi asuhannya, keberhasilan seorang anak dalam perkembangan, kedewasaan, dan pendidikanny, sebab ciri dasar manusia adalah bersifat dinamis, merdeka dan social, maka pada saat inilah seorang anak diberikan pendidikan yang paling besar sifatnya seperti diajarinya anak mengenal tuhan sebagai bekal tauhid dan jiwanya, bilamana terjadi perceraian maka, yang paling berhak mengasuh dan melihara anak-anaknya yang belum mummayiz adalah ibunya.19

Ibulah yang selama ini menemaninya, mengasihinya, mengajak bermainnya, memberikan suapan makanan dengan penuh cinta serta kelembutan belaian dari tangan ibunya, meskipun ayah berperan penting dalam mendidik anaknya, namun ayah lebih ditugasnya untuk mencari nafkah bagi anak dan istrinya, sehingga waktu ayah kepada anak tidak se- intens hubangan anak dengan ibunya, tetapi tidak menutup kemungkinan juga anak yang telah mumayyiz lebih memilih bersama dengan ayahnya karena adanya alasan yang logis , walaupun ahli fikih sepakat bahwa hak asuh anak yang belum mummayiz jatuh kepada ibunya, tapi ibu tersebut menurut para ulama fikih harus memenuhi

Beberapa syarat untuk mendapatkan hak asuh anak sebagai berikut:20 1. Pemegang hak asuh atau hadhanah harus sudah akil dan baligh (dewasa).

19 Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam

20 Andi syamsu alam dan M. Fauzan, Hukum pengangkatan Anak Persfektif islam, ( Jakarta: Pena Media, 2008. Hal.121s/d 122

(17)

2. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik anak.

3. Dapat dipercaya memegang amanah.

4. Jika yang melakukan hadhanah adalah ibunya maka ibunya disyaratkan tidak kawin dengan laki-laki lain.

Didalam pasal 105 dan 156 KHI, menyebutkan bahwa seseorang diberi hak asuh anak berdasarkan jenis kelamin. Pasal 105 menentukan pengasuhan anak pada dua keadaan. Pertama ketika anak masih dibawah umur atau belum mummayiz( kurang dari 12 tahun) pengasuhan anak ditetapkan kepada ibunya.

Kedua ketika anak tersebut mummayiz dapat diberikan hak kepada anak untuk memilih diasuh oleh ayah atau ibunya, padahal kedudukan sebagai pemegang hak asuh anak adalah kedudukan yang mempunyai tanggung jawab dan peran penting bagi masa depan anak. Pemegang hak asuh anak berkewajiban mengasuh, memelihara dan mendidik anak baik yang terkait dengan pendidikan, agama, kesehatan, moralitas dan integritas anak.21 Pemegang hak asuh anak akan tinggal bersama anak setiap hari anak akan berpotensi dipengaruhi oleh akhlak atau moralitas, perilaku dan kesehatan pemegang hak asuh anak. Jika moralitas, perilaku, dan kesehatan pemegang hak asuh anak buruk maka potensi mempengaruhi perkembangan akidah , akhlak , moralitas, kebiasaan, perilaku, dan kesehatan anak menjadi buruk. Begitu juga sebaliknya, jika moralitas, akidah, akhlak serta kesehatan pemegang hak asuh anak baik maka akan berpotensi baik pula terhadap anak. Pemegang hak asuh anak akan menjadi contoh dan panutan bagi anak.

21 . Ibid. Andi syamsu alam dan M. Fauzan, Hukum pengangkatan Anak Persfektif islam, ( Jakarta: Pena Media, 2008.

(18)

Berbicara mengenai hak asuh anak , ada beberapa kasus yang membahas penyebab terjadinya pelimpahan hak asuh anak. Faktor penyebab berpindahnya hak asuh anak tersebut berdasarkan hal ini, jika seorang ayah atau suami menginginkan hak asuh jatuh kepada dirinya, maka hal tersebut dapat dimintakan didalam surat permohonan cerai atau gugatan rekopensi agar hakim dapat menilai dan kemudian memberikan putusan ,apabila seorang ayah menginginkan hak asuh anak jatuh kepadanya maka ia harus membuktikan dipersidangan bahwa ibu dari anak tersebut tidak mampu untuk menjamin kemashalatan anak baik kemashalatan jasmani maupun rohani. Pemegang hak asuh anak tidak mampu menjamin kemashalatan jasmani maupun rohani anak, maka kerabat meminta kepengadilan Agama untuk memindahkan hak asuh anak keapada kerabat yang memiliki hak dalam mengasuh anak. Seiring dengan perkembangannya waktu dan pembaharuan hukum maka ketentuan hukum yang ditetapkan undang-undang juga memberi jalan beralihnya hak asuh anak dari ibu ke ayah karena faktor-faktor kepentingan anak yang menghendaki hal tersebut.

Konsep penent uan hak asuh anak dengan menjadikan parameter moralitas, kesehatan dan kemampuan untuk mengasuh anak demi terwujudnya kepentingan terbaik sesuai dengan teori maqashid syariah yang menegaskan bahwa tujuan utama pembentukan hukum islam adalah terwujudnya kemashalatan kemanusiaan termasuk dalam kasus hak asuh anak adalah terwujudnya kemashalatan terbaik bagi anak.22

Dalam kasus perceraian pada putusan Pengadilan Agama Bantul Nomor:

22Ibid, Hal 130

(19)

0438/Pdt.G/2014/PA.Btl Perceraian antara Penggugat dan Tergugat, hak pemeliha pemeliharaan anak yang bernama Anak Penggugat dan Tergugat yang berumur 6 tahun ( belum mummayiz) jatuh ke pihak bapak bukan berada dipihak ibu. Karena anak perempuan tersebut terlahir dari perkawinan secara Islam dan mempunyai orang tua ibu dan ayah yang beragama islam, gugatan perceraian dimohonkan penggugat dan melayangkan permohonan hak asuh anak jatuh ketangannya (ibu) namun tergugat (ayah) membantah dalil-dalil gugatan penggugat, sehingga tergugat melakukan rekonpensi (gugatan balik), dikarenakan penggugat khawatir anak tersebut dipelihara dan diberi pendidikan yang berbeda dengan agama orang tuanya mengingat penggugat (ibu/istri) sebelum menikah beragama khatolik dan sebagian keluarga pemohon memeluk agama Khatolik dan Kristen (non-muslim) sehingga tidak berlebihan kecemasan dan rasa khawatir yang dirasakan oleh orang tua anak sebagai ayahnya. Inilah yang menjadi latar belakang penulisan untuk mengambil skripsi dengan judul : “TINJAUAN YURIDIS PENETAPAN HAK ASUH ANAK DI BAWAH UMUR PASCA PERCERAIAN TERKAIT PERLINDUNGAN TERHADAP AKIDAH (STUDI PUTUSAN MA NO:

0438/PDT.G/2014/PA.BTL)”.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana ketentuan hukum di Indonesia tentang hak asuh anak dibawah umur pasca perceraian?

2. Bagaimana penyelesaian sengketa hak asuh anak dibawah umur terkait perlindungan terhadap akidah anak pasca perceraian?

(20)

3. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan (Studi Putusan No.

0438/Pdt.G/2014/PA.BTL.?

C. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dijabarkan , maka tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan memahami ketentuan hukum di Indonesia tentang hak asuh anak pasca perceraian.

2. Untuk Mengetahui penyelesaian sengketa hak asuh anak dibawah umur terkait perlindungan terhadap akidah anak pasca perceraian.

3. Untuk Mengetahui pertimbangan hukum oleh hakim dalam putusan No.0438/pdt.G/2014/PA.Btl.)

D. Manfaat Penulisan

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pemikiran, ilmu pengetahuan, serta pemahaman dalam mengembangkan kajian ilmu hukum perdata khususnya yang berkaitan dengan penetapan hak asuh anak dibawah umur pasca perceraian berkaitan dengan perlindungan terhadap akidah.

2. Manfaat Praktis

Hasil Penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat, masukan , dan referensi bagi mahasiswa dalam pengembangan ilmu hukum khususnya pengembangan pusat sumber belajar yakni perpustakaan serta

(21)

memberikan pengetahuan baru bagi peneliti, mahasiswa, dan masyarakat yang terlibat, terhadap hak asuh anak dibawah umur terkait perlindungan terhadap akidah dan diharapkan penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain dalam membuat suatu penulisan dengan mengangkat tema yang sama namun dengan sudut pandang yang berbeda.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian hak asuh anak

Didalam islam hak asuh atau pemeliharaan anak lebih dikenal dengan nama hadlanah . Secara etimologis Hadlanah berasal dari kata Hadhonah yang artinya memeluk, mendekap, mendidik , mengasuh, dan mengerami. Dalam pengertian hadlanah bersal dari kata hadinah yang berarti pangkuan dada.

Sedangkan menurut terminologis yang dimaksud dengan hadlanah atau pemeliharaan anak adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa maupun berdiri sendiri.23

Para ulama fiqh dalam mendefenisikan Hadlanah tidak jauh berbeda antara ulama satu dengan yang lain. Sayyid Sabiq mendefenisikan hadlanah sebagai

“suatu sikap pemeliharaan anak yang masih kecil atau masih dibawah umur , baik laki-laki maupun perempuan , atau yang sudah besar tetapi belum mummayiz tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mempu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.”24

23 Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993, hal 19

24 Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah jilid 2, Beirut: Darul Kutub Al Arabiyah, 1971, hal 216

(22)

Hak asuh atau hadlahah juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua unruk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup seorang anak oleh orang tua, selanjutnya tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut mencapi batas usia legal sebagai orang dewasa.25

Hadlanah berbeda maksdunya dengan Pendidikan (tarbiyah). Dalam hadlanah, terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani disamping pula terkandung makna Pendidikan. Pengertian Pendidikan yang diasuh mungkin saja terdiri dari keluarga anak dan mungkin pula bukan dari keuarga si anak dan ia merupakan pekerjaan professional, misalnya guru pelajaran disekolah maupun ditempat penyedia layanan belajar diluar sekolah atau yang disebut tempat les, seperti les matematika dan les bahasa inggris maupun guru sekolah mengaji, sedangkan hadlanah dilaksanakan dan dilakukan oleh keluarga si anak, kecuali jika anak tersebut tidak mempunyai keluarga serta ia bukan professional , dilakukan oleh setiap ibu, serta anggota kerbat yang lain. Hadlanah merupaan hak dari hadhin, sedangkan Pendidikan belum tentu merupakan hak dari pendidik.26

2. Pengertian Akidah

Pengertian Akidah Secara etimologis kata aqidah berasal dari bahasa Arab.

Aqidah berakar dari kata aqada-yaqidu „aqdan „aqidatan „Aqdan berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi Aqidah berarti keyakinan.27 Relevansi antara arti kata aqdandan „aqidah adalah keyakinan itu

25 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan,Op.cit hal 293-294

26 Tihami dan sohari sahrani , Fiqih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 216

27 Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Cet.XIV (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 95

(23)

tersimpul dengan kokoh didalan hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.28

Senada dengan hal ini Mahrus mengatakan bahwa Kata „aqidahini sering juga disebut „aqo‟ yaitu kata plural (jama) dari aqidah yang artinya simpulan. Kata lain yang serupa adalah I‟tiqod yang mempunyai arti kepercayaan. Dari ketiga kata ini, secara sederhana dapat dipahami bahwa aqidah adalah sesuatu yang dipegang teguh dan terhunjam kuat didalam lubuk jiwa.29

Pengertian Akidah secara terminologis terdapat beberapa depenisi tentang aqidah , antara lain Hasan al-Banna mengatakan aqidah adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati manusia, mendatangkan ketenteraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan keragu- raguan.Sedangkan menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy sebagaimana dikutip Yunahar Ilyas mengatakan aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan akal,wahyu dan fithrah. Kebenaran itu dipatrikan (oleh manusia) di dalam hati serta diyakini kesahihannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu, dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam pengertian umum aqidah adalah ilmu yang mengkaji persoalan–persoalan dan eksistensi Allah berikut seluruh unsur yang tercakup didalamnya, suatu kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa beserta ajaranNya. Selanjutnya dikemukakan bahwa Aqidah Islam adalah suatu sistem kepercayaan Islam yang mencakup didalamnya keyakinan kepada Allah Swt dengan jalan memahami nama-nama dan sifat-sifatnya, keyakinan terhadap

28Unahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, Cet. XIV (Yogyakarta: LPPI (Lembaga Pengkajiandan Pengamalan Islam), 2011), h. 1

29 Mahrus, Aqidah (Jakarta: Sirektorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2009), h. 4

(24)

Malaikat, Nabi-nabi, Kitab-kitab suci, serta hal-hal eskatologis atau kehidupan di akhirat.

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi yang telah diperoleh dari penelusuran kepustakaan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, ternyata penelitian mengenai “ Landasan Yuridis Pelimpahan Hak Asuh Anak dibawah Umur Terkait Perlindungan Terhadap Akidah (Studi Putusan MA No.0438/Pdt.G/2014/PA.Btl.)

“ belum pernah ditemukan judul yang mirip dengan di atas sebelumnya . dengan demikian , maka penelitian ini adalah asli dan kebenarannya secara ilmiah.

Kalaupun ada kesamaan , hal itu pastilah dilakukan dengan tidak sengaja dan dilakukan dengan pendekata yang berbeda, seperti :

1. Tinjauan Yuridis Hak Asuh Anak Berdasarkan UU N0.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU No.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, skripsi yang disusun oleh Nadya.

Dengan Rumusan Masalah Sebagai Berikut:

a. Bagaimana Analisis hukum terhadap putusan Pengadilan Agama Medan No. 192/Pdt.G/2013/Pa.Mdn.

b. Bagaimana Sanksi terhadap para pihak yang tidak memenuhi putusan Pengadilan Agama Medan No.192/Pdt.G/2013/Pa.Mdn.

c. Bagiamana akibat hukum yang timbul dari perceraian orang tua terhadap anak menurut Putusan Pengadilan Agama Medan No.

192/Pdt.G/2013/Pa.Mdn.

2. Pelimpahan hak asuh anak dibawah umur kepada bapak akibat perceraian (studi putusan pengadilan negeri Nomor:

(25)

411/Pdt.G/2012/PN/MDN), skripsi yang disusun oleh Indri Hafni paramita Harahap.

Dengan Rumusan Masalah Sebagai Berikut:

a. Bagaimana Penentuan tanggung jawab hak asuh, dan pemeliharaan terhadap anak dibawah umur Pada putusan pengadilan negeri nomor 411.pdt.G/2012/Pn.Mdn

b. Apakah yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan tuntutan hak asuh anak yang diajuka oleh suami

c. Apakah yang dimaksud dengan hak menemui anak-anak

3. Jatuhnya hak hadhanah kepada orang tua laki-laki karena perceraian berdasarkan putusan Pengadilan agama. ( studi putusan PN No.1521.Pdt.G/2011/PA/MDN), skripsi yang disusun oleh Fakhrul Razi.

Dengan Rumusan Masalah Sebagai Berikut:

a. Untuk mengetahui tentang hak dan ketentuan anak dalam ketentuan hukum islam

b. Bagaimana keawajiban orang tua atas pemeliharaan anak setelah perceraian

c. Alasan-alasan hukum apa saja yang digunakan hakim memutuskan hak hadhanah anak kepada orang tua laki-laki dalam perceraian G. Metode Penulisan

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu suatu metode penelitian hukum yang berupaya untuk melihat hukum

(26)

dikonsepkan sebagai apa yang tertulis didalam peraturan perundang- undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. penelitian hukum empiris yaitu penelitian hukum dengan cara meneliti data primer yang ada dilapangan. Penelitian ini dimulai dengan cara mengumpulkan data yang bersifat sekunder. Seperti literature, jurnal, artikel, dan berbagai sumber data lainnya.

2. Sifat penelitian

Sifat penelitian yang digunakan bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan yang dibahas.30

3. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan didalam penelitian ini adalah sumber data sekunder. Sumber data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas(autoritatif), yang terdiri dari:

1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

2) Undang-Undang No.16 tahun 2019 perubahan atas UU Perkawinan 3) Undang-Undang No. 35 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Anak 4) Putusan Mahkamah Agung Nomor. 0438/Pdt.G/Pa.Btl

5) Kompilasi Hukum Islam

30 Ronny Hanitijo Soemitro, ,Metologi Penelitian Hukum dan JuriMetri, (Jakarta:

GhaliaIndonesia, 1988), hal.35

(27)

b. Bahan Hukum Sekunder, yang terdiri dari pendapat ahli yang termuat didalam literature, artikel, media cetak maupun media elektronik, termasuk skripsi, tesis, dan jurnal hukum.

c. Bahan Hukum Tersier terdiri dari kamus hukum atau ensiklopedia dan artikel artikel lainnya yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder.31 Selain itu penelitian juga didukung oleh data yang bersumber dari hasil penelitian melalui wawancara dengan informan yaitu Hakim Pengadilan Agama Medan Ibu Emmafatri Sh.M.Hum.

4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data a. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan atau library research dan studi lapangan. Studi kepustakaan yaitu metode pengumpulan data yang berwujud sumber data tertulis. Sumber data tertulis berbentuk dokumen resmi, buku, arsip, dokumen resmi terkait permasalahan penelitian. Penelitian ini berdasarkan kenyataan dilapangan dengan melakukan wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Medan Ibu Emmafatri S.H. M.Hum

b. Alat Pengumpulan Data:

a. Studi dokumen b. Pedoman wawancara

Pedoman atau Tata Cara memperoleh informasi atau data melalui wawancara dengan bertanya langsung kepada informan yang merupakan percakapan langsung antara narasumber dengan

31 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, predana Media Group, Jakarta:2005 Hal.155

(28)

pewawancara dimana si pewawancara akan mengajukan sejumlah pertanyaan dan narasumber juga akan menjawab pertanyaan tersebut. Wawancara dilakukan guna bertjuan untuk mendapatkan informasi yang terpercaya dan benar-benar paham perkait permasalahan yang sedang dibahas. Wawancara dilakukan kepada informan yaitu Hakim Pengadilan Agama Medan ibu Emmafatri, S.H.M.Hum.

5. Analisis Data

Analisa bahan hukum adalah pengolahan bahan hukum yang diperoleh baik dari penelitian pustaka maupun penelitian yang diperoleh dari kenyataan yang ada dilapangan. Dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan analisis-kualitatif, yaitu mengikhtiarkan hasil pengumpulan data selengkap mungkin serta memilah-milahnya dalam satuan konsep, kategori, atau tema tertentu. Untuk mengungkapkan serta mendalam tentang pandangan dan konsep yang diperlukan dan diuraikan secara konfrehensif sehingga menjawab permasalahan-permasalahan yang ada.

H. Sistematika Penulisan

Agar dapat diketahui secara jelas kerangka garis besar penulisan dari skripsi yang ditulis, maka hasil penelitian yang diperoleh dan dianalisis yang kemungkinan diikuti dengan pembuatan laporan akhir dengan sistematika yang mencangkup (5) bab dengan judul Tinjauan Yuridis Penetapan Hak Asuh Anak dibawah Umur Pasca Perceraian Terkait Perlindungan Terhadap Akidah (Studi Putusan Pengadilan Agama Bantul No.0438/Pdt.G/2014/PA/Btl).

(29)

Pada bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi materi uraian yang dapat menghantarkan menuju bab-bab lainnya. Bab pertama ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,tinjauan pustaka, keaslian penulisan , metode penelitian, dan sistematika penelitian.

Pada bab kedua membahas ketentuan hukum tentang hak asuh anak, yang terdiri dari ketentuan hukum menurut Undang-Undang Perkawinan, KHI , dan UU No. 35 Tahun 2004 tentang perlindungan anak, faktor penyebab timbulnya hak asuh anak, kedudukan dan kewajiban orang tua terhadap anak yang masih dibawah umur,

Pada bab ketiga ini membahas mengenai penyelesaian sengketa hak asuh anak dibawah umur terkait perlindungan terhadap akidah anak pasca perceraian orang tua . Bab ketiga ini terdiri dari : prosedur penyelesaian hak asuh anak dibawah umur,penyelesaian sengketa hak asuh anak dibawah umur terkait dengan perlindungan terhadap akidah pandangan hakim dalam penetapan hak asuh anak dibawah umur terkait perlindungan akidah anak.

Bab keempat membahas tentang pertimbangan hukum oleh hakim dalam (studi putusan MA No. 0438/Pdt.G/2014/PA.Btl), yang berisi tentang kasus posisi, pertimbangan hakim, dan analisis putusan.

Bab kelima membahas mengenai penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran, yang terakhir adalah daftar pustaka.

(30)

BAB II

KETENTUAN HUKUM DI INDONESIA TENTANG HAK ASUH ANAK PASCA PERCERAIAN

A. Hak Asuh Anak Dibawah Umur Menurut UU Perkawinan dan KHI 1. Pengertian Anak

Pengertian anak dalam hukum islam dan hukum perkawinan dihubungkan dengan keluarga. Anak dalam hubungannya dengan keluarga, seperti anak kandung, anak laki-laki dan anak perempuan, anak sah dan anak tidak sah,anak sulung dan anak bungsu, anak tiri dan anak angkat, anak piara, anak pungut, anak kemenangan, anak pisang, anak sumbang (anak haram) dan sebagainya.32

Anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai katurunan yang kedua..33 Anak adalah generasi penerus yang akan datang. Baik buruknya masa depan bangsa tergantung pula pada baik buruknya kondisi anak saat ini. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlakuan terhadap anak dengan cara yang baik adalah kewajiban bersama agar bisa tumbuh dan berkembang dengan baik

Pengertian Anak Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak sebagai berikut :

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

32 Wagiati soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, ( Bandung:Refika Aditama,2006),hal 6

33 M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum:catatan pembahasan undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak ( Jakarta:Sinar grafika,2013), hal 11

(31)

Ter Haar mengemukakan bahwa saat seseorang menjadi dewasa menurut hukum adat adalah Bahwa seseorang sudah dewasa menurut hukum ada di dalam persekutuan-persekutuan hukum yang kecial adalah pada seseorang laki-laki atau perempuan apabila ia sudah kawin dan di samping itu telah meninggalkan rumah orang tuanya ataupun rumah mertua dan pergi pindah dan mendirikan kehidupan rumah tangganya sendiri.34 Selanjutnya, Soedjono Dirjosisworo menyatakan bahwa menurut hukum adat, anak dibawah umur adalah mereka yang belum menentukan tanda-tanda fisik yang konkret bahwa ia dewasa..

Dari pendapat Ter Haar dan Soedjono Dirjosisworo tersebut ternyata, menurut hukum adat Indonesia, tidak terdapat batasan umur yang pasti, sampai umur berapa seseorang masih dianggap sebagai anak dibawah umur atau sampai umur berapakah seseorang dianggap sudah dewasa.35

Adapun batas usia anak ditinjau dari undang-undang di Indonesia, ialah sebagai berikut:

1. Menurut ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, anak atau orang yang belum dewasa mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahundan tidak lebih dahulu kawin. Apabila seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun telah kawin, dan perkawinan itu dibubarkan sebelum umurnya genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka ia tidak kembali lagi ke kedudukan belum dewasa.

2. .Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dalam undang-undang ini tidak langsung mengatur tentang masalah ukuran kapan seseorang digolongkan anak, tetapi secara tersirat tercantum dalam Pasal 6

34 Ter Haar, Azas-Azas Hukum Adat, Armico, Bandung, 1984, hal. 47

35 Marsaid, Perlindungan Hukum Anak Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam (Maqasid AsySyari‟ah) (Palembang: NoerFikri, 2015),hal 57

(32)

ayat 2 yang memuat ketentuan syarat perkawinan bagi seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua. Dalam Pasal 7 ayat 1 memuat batas minimum usia untuk dapat kawin, bagi pria ialah 19 tahun, bagi wanita 16 tahun. Dimana hal ini diubah sebagaimana dalam putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017 Perubahan terhadap batas usia untuk melaksanakan perkawinan dengan menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi wanita. Batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria yaitu 19 Tahun. Sehingga ketentuan mengenai minimal umur untuk melangsungkan perkawinan dicantumkan didalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang No.1 Tahun 1974 3. Dalam Undang -Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, selain

dari pada merujuk pasal 6 ayat 2 mengenai kapan seseorang dikatakan anak maka berdasarkan ketentuan dalam pasal 47 ayat (1) dikatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas tahun) atau belum pernah melakukan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya.

4. Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, memberikan pengertian bahwa anak adalah seseorang yeng belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin

;

Berdasarkan Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

(33)

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut menjelaskan bahwa kreteria dapat dikatakan anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan sudah mampu mengurus diri sendiri, usia 21 tahun sudah dianggap mampu untuk menentukan kemana arah hidup seseorang, mencari pekerjaan, bahkan memilih untuk menikah dan menentukan mana yang baik dan buruk bagi mereka.

Menurut Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam,dalam hal terjadinya perceraian pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Berdasarkan pasal tersebut menyebutkan bahwa anak yang belum mummayiz atau anak dibawah umur adalah anak yang belum berumur 12 tahun. Anak dibawah umur adalah anak yang belum mampu mengurus dirinya sendiri, belum mampu berdiri sendiri karna perlu pengawasan serta kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya.

2. Faktor Penyebab Timbulnya Hak Asuh Anak

Hak asuh anak timbul dari akibat adanya perceraian, baik cerai karena kematian maupun karena cerai hidup melalui dua acara yakni:

1. Cerai talak 2. Cerai gugat.36

Perceraian tidaklah mudah untuk dilakukan karena harus ada alasan-alasan kuat yang mendasarinya. Cerai adalah putusnya hubungan perkawinan amtara suami dan istri.

Didalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, mengatur alasan-alasan terjadinya perceraian. Hal tersebut diatur didalam pasal

36 Ahmad Rofiq Op.cit hal 233

(34)

116 KHI dan pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.

6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

7. Suami melanggar taklik talak.

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. 37

Dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatur putusnya hubungan perkawinan sebagaimana berikut:

1. Pasal 113 KHI, Menyatakan perkawinan dapat putus karena:38 (1) Kematian,

(2) Perceraian,

(3) Atas Putusan Pengadilan.

2. Pasal 115 KHI dan pasal 39 ayat 1 UU no. 1 Tahun 1974 menyatakan, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan persidangan Pengadilan

37Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974, ( Lembar Negara RI Tahun 1974, No 1 Sekretariat Negara, Jakarta).

` 38 Pasal 133 Kompilasi Hukum Islam

(35)

Agama ,setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

3. Pasal 114 KHI menegaskan, bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugat cerai.

Proses perceraian yang sah dan terjadi ketika:

1. Seorang suami mengatakan kalimat “saya ceraikan kamu” dengan maksud menceraikan dengan kalimat dan bahasa jelas yang mengarah kepada perceraian

2. Suami mengatakan perkataan yang mengandung makna cerai dengan bahasa apapun, apabila dia memang bertujuan melontarkan perceraian dalam kalimatnya. Seperti perkataan “Aku ingin berpisah denganmu”

artinya istrinya sudah ditalak. Tetapi jika dia tidak bermaksud menceraikan istrinya denga perkataan itu maka tidak jatuh talak. 39 Berakhirnya hubungan perceraian bukan berarti masalah hubungan rumah tangga begitu saja selesai, akan tetapi masih ada akibat -akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian menurut Undang-undnag Nomor 1 Tahun 1974 atau peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam berdampak kepada bukan hanya hubungan suami istri, melaikan tempat tinggal, dan sebagainya, tetapi yang paling penting mengenai nasib anak-anak dan kepentingannya, biasanya terjadi terhadap anak yang masih dibawah umur atau yang belum mummayiz. Peristiwa perceraian mengakibatkan terlantarnya pengasuhan anak, tidak jarang terjadi perebutan mengenai hak asuh anak, masing- masing bekas suami isteri merasa paling berhak dan paling layak untuk menjalankan hak asuh anak. 40 Tidak sedikit kasus perceraian dengan cerita perseteruan yang sangat serius antara suami dan istri pasca perceraian dengan

39 Nadya Putri Karoza, Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Asuh Anak (hadlanah) berdasarkan UU No.1 tahun 1974 dan UU No.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Skripsi, Fakultas Hukum, USU. Hal 21

40 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (cet-2, Kencana, Jakarta, 2004), hal. 166-7.

(36)

berbagai alasan yang dibuat agar ditetapkan sebagai pemegang atas pemegang hak asuh anak.

3. Hak Asuh Anak dibawah Umur Pasca Perceraian Menurut KHI dan UU Perkawinan

Hak asuh atau hadhlanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.41 Hadhanah menurut bahasa adalah Al-janbu yang berarti erat atau dekat, Sedangkan menurut istilah memelihara anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil atau belum dapat mandiri,berdiri sendiri, menjaga kepentingan pribadi anaknya, melindungi dari segala yang mebahayakan dirinya, mendidik rohani dan jasmani serta akalnya supaya si anak dapat berkembang dan dapat mengatasi masalah dan persoalan hidup yang dihadapinya.42 Anak yang sudah mummayiz (berumur 12 tahun) hendaklah diselidiki oleh yang berwajib siapakah diantara kedua orang tuanya yang lebih baik dan lebih cakap untuk mendidik serta memelihara anak tersebut dengan baik dan mampu memelihara jasmani dan rohani anak. Selain persoalan hadhanah , akibat hukum perceraian dengan biaya Hadhanah dan biaya nafkah anak tersebut dan harta serikat ( harta Bersama). 43

Pengertian hak asuh anak menurut Kompilasi Hukum Islam terdapat didalam Pasal 1 Huruf (g) yang mana bunyinya sebagai berikut : “Pemeliharaan anak atau hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anaka hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.”

41 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam ,( Jakarta: Akademika Presindo,2004),hal 113

42 Hakim Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, ( Bandung: Pustaka setia, 2000), hal 224

43 M. Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam,(Medan: Fakultas Hukum Darmawangsa, 1993), hal,133

(37)

Ketentuan hak asuh anak dalam keluarga di Indonesia terdapat dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI. Menurut Pasal 45 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menegaskan bahwa kedua orang tua sama-sama memiliki hak kewajiban dalam memelihara dan mendidik anak -anak mereka dengan sebaik-baiknya. Kewajiban kedua orang tua tersebut menurut ayat (2) berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Penegasan hak asuh anak pasca perceraian juga dicantumkan dalam pasal 41 huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 yang menegaskah bahwa akibat putusnya perceraian ialah baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak.

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan diatas jika terjadi perceraian memberikan pengasuhan anak tetap menjadi tanggung jawab kedua orang tua dan tidak memberikan uraian yang tegas jika terjadi sengketa atau perebutan hak asuh anak maka hak asuh anak diberikan kepada bapak atau Ibu.

Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 tentang perkawinan , KHI memberikan uraian lebih detail tentang hal itu. Didalam KHI setidaknya ada dua pasal yang menentukan pengasuhan anak yaitu pasal 105 dan 156. Sebagaimana terdapat pada pasa l05 dan 156 KHI . Didalam Pasal 105 Pemeliharaan anak yang belum mummayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya dan pemeliharaan anak yang sudah mummayiz atau sudah berumur 12 Tahun diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya, sebagaimana terdapat didalam Pasal 156 menyebutkan bahwa akibat dari

(38)

perceraian anak yang belum mummayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

a. Garis Keturunan

1. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibunya;

2. Ayah

3. Wanita-wanita garis lurus keatas dari ayahnya;

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibunya;

6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayahnya;

b. Anak yang sudah mummayiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah tercukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadlanah pula.

d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

e. Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b),(c),(d).

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya pemeliharaan tidak turut kepadanya.

(39)

Hadis lain yang juga dijadikan dasar dalam perumusan pasal 105 dan 156 KHI tersebut adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a. yang arti lengkapnya sebagai berikut:44

Seorang anak perempuan berkata : “Wahai Rasulullah SAW suamiku menghendaki pergi Bersama anakku, sementara ia telah memberi manfaat kepadaku dan mengambil air minum untukku disumur Abi “Inbah”. Maka datanglah suaminya, Rasulullah bersabda kepadanya: “Wahai anak kecil, ini ayah dan ibumu, peganglah tangan keduanya mana yang kamu kehendaki”. Maka anak itu memegang tangan ibunya, lalu perempuan itu pergi Bersama anaknya.

Hadis diatas dijadikan dasar pasal 105 ayat (2) dimana bagi anak yang mampu memilih (mummayiz) maka anak tersebut disuruh memilih hendak ikut dengan ayah atau ibunya, namun pendapat Hanaffiyah menegaskan Ibu tetap lebih berhak memeliharanya karena seorang perempuan lebih mampu memberikan perhatian, kasih sayangnya terhadap anak dan mengurus anak.45

Pengadilan Agama juga dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajibannya untuk memelihara, mengasuh dan mendidik anak tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.46

Perlu diketahui bahwa ḥaḍ`lanah ini berkaitan dengan perwalian dimana kita harus membedakan antara ḥaḍlanah dan Perwalian. Perwalian ialah kewenangan yang diberikan kepada seorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau orang tua yang masih hidup namun tidak cakap melakukan perbuatan hukum, sedangkan ḥaḍānah dalam kajian fiqih yaitu

40 Al-Shan'any, Subul al-salam, juz 3 , ( kairo:Dar Ihya al- Turats al- Araby, 1379H/1960M ) Hal.227

45 Ahmad Rofiq, op.cit, hal 200

46 Dr. Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, (Kencana predana Media Group), hal 131

(40)

memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sessuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang merusaknya.

Perkawinan yang telah berlangsung sewaktu-waktu dapat putus, hal itu walaupun dipandang masih secara negatif didalam masyarakat namun oleh Undang-undang diperkenankan jika antara suami dan istri sekiranya tidak dapat lagi untuk dipersatukan didalam berumah tangga. Anak menjadi persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-hanya dalam keluarga dan bagaimana seharusnya ia dipelihara dan diperlakukan dengan baik oleh kedua orang tuanya.

Di dalam pasal 105 (a) dan pasal 156 Kompilasi Hukum Islam meskipun pasal tersebut menyebutkan bahwa pemeliharaan atau pengasuhan anak yang belum mummayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, dan akibat dari perceraian anak yang belum mummayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya.47 Hakim memiliki wewenang untuk menentukan pihak mana yang berhak memperoleh hak asuh anak dengan melihat fakta beserta bukti atau hakim tetap dapat melakukan diskresi, diskresi merupakan kebebasan mengambil suatu keputusan yang diambil terlebih dahulu sebelum menghadapi suatu situasi, bahwa tidak selamanya ibu mendapatkan hak menjadi pengasuh anak dengan berbagai alasan, seperti jika dalam proses persidangan ditemukan fakta bahwa ibu dari anak itu adalah seorang penjudi, pemabuk, ringan tangan dan menelantarkan anak, maka bisa jadi hak asuh anak jatuh kepada pihak ayah.48

47 Ibid.,Hal 132

48 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.cit. Hal 293

(41)

Ayah berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada anak kandungnya dan seorang anak kandung mendapatkan nafkah dari ayah kadungnya baik pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan-kebutuhan lainnya meskipun perkawinan antara kedua orang tuanya telah putus karena perceraian. Semua biaya hadlanah dan nafkah anak tetap merupakan kewajiban ayah sesuai kemampuannya terhadap anak-anaknya yang belum berusia 21 tahun.49

Menurut Abdurrahman Ghazali dalam buku fiqh munakatnya menjelaskan tentang periode hak asuh anak (hadlanah) itu adalah :

1. Periode Sebelum mummayiz

Periode ini ketika anak baru lahir sampai menjelang umur tujuh tahun atau delapan tahun. Pada masa ini seorang anak yang belum mummayiz atau belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan berbahaya bagi dirinya.50 Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya seperti makan, pakaian, memberihkan diri, bahkan sampai pada pengaturan bangun dan tidur, karena ituorang yang menjaganya harus mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu baik (shaleh) dikemudian hari yang memenuhi syarat ini adalah wanita. Konkritnya para ulama menunjukkan bahwa pihak ibu yang lebih berhak terhadap anaknya, maka selanjutnya melakukan hadlanah.51 Disamping itu ibu lebih mengerti kebutuhan anak dalam masa tersebut dan lebih mampu mencurahkan seluruh perhatian serta kasih sayangnya, demikian juga anak sangat membutuhkan kehadiran ibu didekatnya.

49 Pasal 49 Huruf d Kompilasi Hukum Islam

50 Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, ( Jakarta : kencana, 2006), hal 185

51 Ibid hal 186

(42)

Penguasaan atas anak oleh salah satu pihak bukan berarti menghalangi suatu hubungan dengan pihak lain. Anak harus diberikan kepastian hukum (rechtzekerheid) agar memiliki kepastian dengan siapa dia diasuh agar tidak terus diperebutkan.52

2. Periode mummayiz

Masa mummayiz adalah dari umur 7 tahun sampai menjelang baligh dan berakal. Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk yang menimpa dirinya, dan anak pada kondisi ini telah tumbuh akalanya secara sederhana.53

B. Hak Asuh Anak Dibawah Umur Pasca Perceraian Ditinjau Dari UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

1. Pengertian Hak Asuh Anak Menurut UU No. 13 Tahun 2014 Tetang Perlindungan Anak

Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat . kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.

Hak asuh anak menurut Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang No.35 tahun 2014 menyebutkan bahwa hak asuh anak adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh

52 Hasiba Zahra P, Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Anak Akibat Perceraian Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974, Skripsi, Fakultas Hukum , USU, 2018.

Hal 28

53 Abdul Rahman Ghazaly, loc.cit

Referensi

Dokumen terkait

Pengaturan tanggung jawab yuridis dari pelaku usaha adalah pada Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen juga menjelaskan bahwa

Skripsi ini membahas tentang bagaimana bentuk fungsi pengawasan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat terhadap lembaga-lembaga negara penunjang sebagaimana

Dapat pula dipahami bahwa rumusan defenisi tersebut juga menyiratkan tentang sifat kesementaraan dari hukum tata negara darurat (mengenai ini akan

memperoleh kompensasi atas kerugian yang diderita maka konsumen dapat menuntut pertanggungjawaban secara perdata kepada pelaku usaha. Terdapat dua bentuk pertanggungjawaban

Adapun yang menjadi rumusan masalah penulisan ini adalah bagaimana pengetahuan tradisional dalam pengaturan Hak Kekayaan Intelektual, bagaimana pengaturan mengenai

Dalam hal pemohon PKPU adalah kreditur, maka berdasarkan pasal 222 ayat (3) UUK-PKPU, ada empat syarat yang wajib dipenuhi atau harus terbukti agar permohonan

Berdasarkan kasus penganiayaan yang dilakukan seorang ayah terhadap anak kandungnya pada putusan Pengadilan Negeri Tulungagung Nomor : 179/Pid.Sus/2012/PN.Ta dengan

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan, karena berkat-Nya lah saya dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan skripsi saya ini dengan judul: “Tinjauan Hukum Terhadap