• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum. Oleh:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum. Oleh:"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

AUXILIARY ORGAN)

(Studi: Komisi Pemilihan Umum Dan Komisi Pemberantasan Korupsi)

SKRIPSI

Disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum

Oleh:

Iwan Putra Siregar 140200352

Departemen Hukum Tata Negara

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Medan 2018

(2)
(3)

(AUXILIARY STATE ORGAN)

(Studi: Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Pemberantasan Korupsi) ABSTRAK

Iwan Putra Siregar

1

Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum.

2

Yusrin, S.H., M.Hum

3

Prinsip checks and balances merupakan prinsip ketatanegaraan yang menghendaki agar kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. Kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara dapat dicegah dan ditanggulangi. Kekuasaan negara secara umum dapat dibagi ke dalam tiga cabang kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun tuntutan negara-negara modern mengakibatkan beralihnya fungsi negara dari hanya sebagai penjaga malam ke negara kesejahteraan (welfare state). Hal ini juga mengakibatkan berkembangnya organ-organ atau lembaga yang menjalankan fungsi negara hingga melahirkan lembaga-lembaga negara bantu atau lembaga-lembaga negara penunjang. Perkembangannya ini juga terjadi di Indonesia pasca perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yaitu dengan munculnya lembaga-lembaga negara yang bersifat penunjang misalnya Komisi Pemiliha Umum, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, dan lain-lain.

Salah satu implementasi dari prinsip check and balances yaitu adanya pengawasan terhadap lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan negara. Pengawasan terhadap penyelenggaraan kekuasaan negara baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif tidak terkecuali lembaga-lembaga negara penunjang sangat penting guna memastikan tercapainya tujuan negara melalui pelaksanaan fungsi masing-masing cabang kekuasaan tersebut

Skripsi ini membahas tentang bagaimana bentuk fungsi pengawasan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat terhadap lembaga-lembaga negara penunjang sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang di bawahnya.

Dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, adapun metode yang digunakan penulis ialah dengan metode normatif dengan meneliti Undang-Undang Dasar 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi RI, dan Peraturan Perundang-undangan yang dianggap menunjang dalam penulisan skripsi ini. Bahan hukum sekunder yang diteliti adalah beberapa karya ilmiah seperti bahan pustaka, dokumen-dokumen dan buku-buku.

Kata kunci: Dewan Perwakilan Rakyat, Pengawasan, Lembaga negara penunjang

1Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Departemen Hukum Tata Negara

2Dosen Pembimbing I 3Dosen Pembimbing II

(4)
(5)

“Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!”

(Yeremia 17:7)

Terpujilah Allah Tritunggal yang senantia memberkati dan menyatakan kasih-Nya kepada Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Dinamika masyarakat dewasa ini berkembang sangat cepat, membuat fungsi Negara tidak cukup hanya sebagai penjaga malam. Namun telah berkembang menjadi Negara kesejahteraan yang berperan memastikan warga negaranya hidup sejahtera. Hal ini menuntut lembaga-lembaga Negara yang menjalankan fungsi kekuasaan Negara juga berkembang yaitu dengan munculnya lembaga-lembaga Negara penunjang. Skripsi ini berjudul “Bentuk Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap Lembaga Lembaga Negara Penunjang (Auxilary State Organ) ( Studi : Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Pemberantasan Korupsi)” mencoba menguraikan bagaimana bentuk fungsi pengawasan DPR terhadap KPU dan KPK sebagai lembaga penunjang Negara.

Penulis menyadari masih terdapat banyak keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini, semoga kedepannya, Penulis dapat lebih memperbaiki karya ilmiah Penulis, baik dari segi substansi maupun metodologi penulisan. Puji Tuhan, Penulis mendapat banyak dukungan doa, semangat, motivasi dan saran dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu pada kesempatan ini, Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang mendalam kepada:

(6)

2. Bapak Prof. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Pusa Melati HSB, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Unversitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus selaku Dosen Pembimbing I Penulis yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pemikiran dalam memberikan bimbingan selama proses penulisan skripsi ini;

7. Ibu Dr. Afnila, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Bapak Yusrin, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah banyak memberikan waktu, tenaga dan pemikiran kepada Penulis selama proses penulisan skripsi ini;

9. Bapak Drs. Nazaruddin, Bapak Dr. Mirza Nasution, dan Bapak Armansyah, S.H., M.Hum selaku Dosen Pengajar Departemen Hukum Tata Negara.

Terima Kasih untuk ilmu dan nasihat yang diberikan selama ini;

(7)

11. Teristimewa kepada orang tua penulis, Ibunda Tomuria Silaban yang telah membesarkan dan mendidik Penulis dengan kasih sayang melimpah bahkan dengan segala perjuangan dan jerih lelah untuk memastikan Penulis bisa seperti sekarang ini;

12. Saudara-saudara Penulis, abangda Hisar Siregar, Rianto Siregar dan Frengki Siregar, yang selama ini telah banyak membantu Penulis;

13. LLUVIA GRATIAS, Irene Cristna Silalahi, Yunita Octavia Siagian dan terkhusus PKK terkasih kak Laratisa Manurung. Terima kasih untuk kasih dan persekutuan kita selama ini, Penulis bersyukur bisa mengenal Kristus melalui kalian, semoga Tuhan semakin berkenan untuk menyatakan kasih- Nya bagi kita;

14. EBEN-HAEZER, KTB penulis yang kedua, terima kasih untuk kasih dan waktu yang kalian berikan bahkan setiap doa-doa kalian. Untuk Tania, Chessa, Gita,sangat bersyukur memiliki saudari seperti kalian. Dan teristimewa kepada dua orang hebat yang sangat Penulis kasihi, kakanda Novika Aritonang dan Yuki Indah Sirait, terima kasih banyak untuk kasih dan perhatian kalian yang selalu mengingatkan, memotivasi bahkan menjadi tempatku berbagi cerita. Tuhan memberkati kita, aku mengasihi kalian;

15. AMADEAUS, adik-adik yang terkasih Artanta Sitepu dan Sarah Sinaga.

Terima kasih untuk kesetiaan kalian, sangat bersyukur dipercayakan menjadi PKK kalian. Dari kalian aku banyak belajar apa arti mengasihi, bagaimana

(8)

16. EL-CHORESTY, adik-adik yang Penulis kasihi Agustina Sinurat, Marta Siagian, dan Martha Pasaribu. Mengenal kalian dan menjadi PKK kalian adalah sukacita yang luar biasa. Teruslah memberikan diri untuk dibentuk Tuhan dan layanilah Dia dengan segenap hati kalian;

17. ZEPHANIA, Sari Sitepu, Parange Sitorus, Lavenia Surbakti, Vina Ginting, dan Ricky Sihombing. Semangat untuk perkuliahan kalian, meskipun mungkin sedikit waktu yang kita habiskan bersama, namun biarlah kasih Tuhan senantiasa mengikat persekutuan kita;

18. Teristimewa kepada adinda terkasih Fanidia Tumanggor, yang selama ini menjadi tempat Penulis untuk berbagi cerita. Terima kasih untuk dukungan dan doa-doa mu selama ini, untuk kasih yang tulus tak terpri. I am blessed having a sister like you. Tuhan menuntunmu untuk tetap setia dalam tugas panggilanmu;

19. Koordinasi UKM KMK USU UP FH 2017, Rame, Andree, Tioneni, Vivi, Sun, Elia, Secylia, Herbet, Farida, Yolanda, Clara, Theresia, Bintang, Ayu, Tania, dan Natasia. Terima kasih untuk waktu yang kita lewati bersama dalam melayani, tetaplah setia melayani Dia;

20. Koordinasi UKM KMK USU UP FH 2018, Andree, Vivi, Ayu, Ira, Fanidia, Reggie, Edris, Sun, Theresia, Natasia, Krismoniati, Fanta, Jampi, Julita, Riah, Jesica, Mariana, Elia, dan Elsaida. Semangat dalam pelayanan kita, tetap andalkan Tuhan dan semoga Dia mendapati kita sampai akhir;

(9)

biasa, semoga ke depan semakin diteguhkan dalam visi masing-masing.

Tuhan Yesus memberkati kita;

22. UKM KWK 2018, Sintikhe, Tio, Nova, Lily, bang Kelvyn, Gratia, Rame, Gugun, Rosma, Grace, Imanuel, Bang Alwi, Melinda, Nuri, Siska, Gideon, Tuti, Dita, Agnesia, dan yang lain. Semangat untuk pelayanan kita dan terima kasih untuk suka duka kita bersama;

23. Teman-teman seperjuangan dalam Departemen Hukum Tata Negara sekaligus Pengurus Persatuan Mahasiswa Hukum Tata Negara (PERMATA) stambuk 2014, Anggina, Bona, David, Chengsen, Billy, Doli, Riwando. Salam Konstitusi!;

24. TIM ACD MPR 2017, Anggina, Bona, David, dan Doli. Pengalaman dan ilmu yang sama-sama kita dapatkan pastinya sangat berkesan. Terima kasih untuk kalian yang tamat dengan cepat tanpa menungguku. Salam Konstitusi!

Salam Harmonis! Salam Sinergis!

25. Keluarga Besar Perkumpulan Gemar Belajar, abang kakak 2011 yaitu: bang Poltak, bang Bobby, bang Eko, bang Jaka, bang Samuel, bang Alex, kak Holy dan yang lain, abang kaka 2012 yaitu: kak Betric, kak Paskah, kak Olin, kak Indah, kak Anggis, kak Ivonne, bang Befry, bang Ritcat, bang Samuel, dan yang lain, abang kaka stambuk 2013 yaitu: bang Hendra, bang Defin, bang Jimmy, bang Alex, bang Dian, kak Sarai, kak Mipa, kak Lauren, kak Wita, kak Sarah, kak Melva, dan yang lain, adik-adik Stambuk 15 yaitu: fanidia, Iineirene, Mooidi, Tetty, Frans, Yosafat, Tetty, Maria, Putri, Elysia, Kiki,

(10)

adik-adik stambuk 2017 yaitu: Martha, Agustina, Emry, Valentina, Cinthya, Ariel, Faradisa, Wina, Elvani, Jusniar, dan juga Risky. Terima Kasih untuk semua pengalaman bersama kalian, Salam Persahabatan!!!;

26. Teman-teman GEMBELERS’ 14 yaitu Yunita, David, Elisabeth, Tioneni, Teoli, Alfa, Herman, Elia, Rahma, Gita, Waristo, Sudarman, Helen, Doli, Indra, Delvina. Terima kasih untuk waktu yang kita lewati bersama, pengalaman dan persahabatan yang kita alami bersama, sukses buat ke depan.

Salam Persahabatan!;

27. Seluruh personil PEMERINTAHAN X GEMBEL, bang Hendra, bang Defin, kak Sarai, dll. PEMERINTAHAN XI GEMBEL, David, Sabeth, Yunita, Indra, Sudarman, Teoli, Rahma, dll. Kementerian Kesekretariatan Pemerintahan X dan juga Kementerian Debat dan Diskusi Pemerintahan XI, Elia, Herman, Laora dan Frans. Terima kasih untuk ilmu dan pengalaman yang berharga selama menjadi bagian dari kalian;

28. BUAYA DARAT SQUAD, Kak Sarai Bangun (Yang Mulia) selaku pembina, David Saruksuk (King), dan Elisabeth Silalahi sebagai (Queen) serta Iineirene Sihombing putri yang tertukar. Terima kasih untuk semua cerita kita, semangat untuk semua cita-cita masing-masing. Tuhan memberkati;

29. Adik-adik HITS, Meydana Sitorus, Putri Tampubolon, Sandra Purba dan Laora Silitonga. Terima kasih untuk kegilaan yang pernah kita lakukan, untuk cerita, canda dan tawa yang boleh kita bagi bersama;

(11)

Sianturi(2015). Terima kasih tidak lelah untuk mengingatkan penulis dengan terus bertanya kapan selesai, sungguh kalian luar biasa;

31. Kakak kesayangan yang pernah ada dalam cerita perkuliahan ini, Betric Yolanda Banjarnahor. Terima kasih kakak menempatkan ku sebagai adik kesayangan meskipun kutahu itu hanyalah fiktif belaka. Aku mengasihimu!;

32. Teman-teman seperjuangan dari awal masa perkuliahan di Gup A, Bosna Perangin-angin, Fandy Gultom, Arfendo Sianipar, Bintang Manurung, Idola Hulu. Sukses buat kalian, Tuhan memberkati;

33. Sahabat GENESOCIT, Marudut Panjaitan, Ewin Samosir, Risna Siahaan, Yohana Tabita, Darwis Siahaan, Maretha Hutajulu, Delima Batubara, Putri Pangaribuan, Putri Purba, Andri Sibarani, Andre Manurung, Nanda Pardosi, Ninir Siagian dll;

34. Segenap Keluarga Mahasiswa BIDIKMISI Universitas Sumatera Utara (GAMADIKSI USU);

35. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis hingga saat ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-satu persatu, terima kasih banyak penulis ucapkan. Kiranya Tuhan membalaskan berlipat-lipat segala kebaikan kalian.

(12)

LEMBAR PENGESAHAN ...

ABSTRAKSI ...

LEMBAR PERNYATAAN ...

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR BAGAN DAN TABEL ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10

D. Keaslian Penulisan ... 11

E. Tinjauan Pustaka ... 12

F. Metode Penelitian ... 24

G. Sistematika Penulisan ... 26

BAB II KEDUDUKAN DAN FUNGSI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT SEBAGAI CABANG KEKUASAAN LEGISLATIF ... 28

A. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD NRI Tahun 1945 ... .28

B. Fungsi DPR Sebagai Cabang Kekuasaan Legislatif ... 31

(13)

BAB III KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE

ORGAN) DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA ... 51

A. Latar Belakang Munculnya Lembaga Negra Penunjang... 51

B. Pengertian Lembaga Negara Penunjang ... 59

C. Lembaga Negara Penunjang Dalam Ketatanegaraan Indonesia... 62

D. Jenis-Jenis Lembaga Negara Penunjang ... 76

BAB IV BENTUK FUNGSI PENGAWASAN DPR TERHADAP LEMBAGA LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN (KOMISI PEMILIHAN UMUM DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI) ... 88

A. Kewenangan DPR Untuk Melakukan Pengawasan Terhadap Lembaga Negara Penunjang ... 88

B. Bentuk Pengawasan DPR Terhadap KPU ... 99

C. Bentuk Pengawasan DPR Terhadap KPK ... 105

BAB V PENUTUP ... 112

A. Kesimpulan ... 112

B. Saran ... 113

DAFTAR PUSTAKA ...

(14)

BAGAN 1

...

31

BAGAN 2

...

71

BAGAN 3

...

72

BAGAN 4

...

74

TABEL 1

...

76

TABEL 2

...

77

TABEL 3

...

82

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aristoteles sebagaimana dikutip oleh Krisna Harahap mengatakan bahwa suatu negara yang baik yaitu negara yang diperintah dengan konstitusi dan kedaulatan hukum. Menurut Aristoteles, ada tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi yaitu: Pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; Kedua, pemerintahan dilaksanakan berdasarkan pada ketentuan- ketentuan umum, bukan hukum yang mengenyampingkan konvensi dan konstitusi; Ketiga, pemerintah berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat bukan berupa paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik.1 Undang-Undang Dasar adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, karena konstitusi bisa dalam bentuk tertulis atau tidak tertulis.2

Menurut Hamdan Zoelva, salah satu muatan paling penting dari suatu undang-undang dasar (konstitusi) adalah bagaimana penyelenggaraan kekuasaan negara itu dijalankan oleh organ-organ negara yang menjalankan kekuasaan itu. Organ-organ atau lembaga-lembaga negara yang menyelenggarakan kekuasaan negara merupakan subsistem dari keseluruhan sistem penyelenggaraan kekuasaan negara. Karena itu, Hamdan Zoelva berpendapat, sistem penyelenggaraan kekuasaan negara adalah menyangkut

1 Riri Nazriyah, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek di Masa Depan, FH UII Press, Yogyakarta, 2007, hlm 1.

2 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan ketiga puluh, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hlm. 95

(16)

mekanisme dan tata kerja antar organ-organ negara itu sebagai satu kesatuan yang utuh untuk mejalankan kekuasaan negara. Sistem penyelenggaraan kekuasaan negara tersebut kemudian akan menggambarkan secara utuh cara bekerjanya lembaga-lembaga negara yang diberi kekuasaan untuk mencapai tujuan negara.3 Oleh sebab itu, salah satu materi penting dan selalu ada dalam setiap konstitusi adalah pengaturan tentang lembaga negara.

Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebelum perubahan istilah

“alat-alat pelengkap negara” tersebut tidak ditemui. Undang-Undang Dasar tidak memberikan panduan untuk mengidentifikasi atau memaknai organ- organ penyelenggara negara. Walaupun dalam UUD 1945 tidak ditemui istilah “alat-alat pelengkap negara”, menurut Sri Soemantri tidak berarti bahwa dalam UUD 1945 tidak terdapat alat-alat pelengkap negara.4 Dalam UUD 1945 juga ditemui pengaturan tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung.

Dalam ketentuan UUD hasil perubahan juga tidak terdapat ketentuan hukum yang mengatur tentang “lembaga negara”, lembaga apa saja yang termasuk lembaga negara. Achmad Roestandi menjelaskan bahwa satu- satunya istilah lembaga negara dalam UUD 1945 setelah perubahan yakni dalam Pasal 24C ayat (1), yang menyebutkan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengadili dan memutuskan sengketa

3 Luthfi Widagdo Eddyono, Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Oleh Mahkamah Konstitusi, Jurnal konstitusi Vol. 7 No. 3 Juni 2010, hlm 10

4 Firmansyah Arifin, ad. al. 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, cet. 1, Jakarta, KRHN, hlm 89

(17)

kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.5

Menurut Sri Soemantri, lembaga-lembaga negara merupakan lembaga- lembaga yang ditentukan dalam konstitusi. Hal ini mengacu pada pendapat K.C. Wheare, bahwa konstitusi digunakan untuk menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara.6 Akan tetapi, Sri Soemantri mengatakan bahwa di luar konstitusi juga terdapat lembaga-lembaga negara.

Hal ini karena adanya pendapat yang mengatakan bahwa di Indonesia terdapat tiga kelompok lembaga negara yakni lembaga negara yang ditentukan dalam UUD 1945, lembaga negara yang ditentukan dalam undang- undang, dan lembaga negara yang ditentukan dalam Keputusan Presiden.7

Terhadap hal tersebut, Sri Soemantri membagi dua sistem ketatanegaraan Indonesia. Pertama, sistem ketatanegaraan dalam arti sempit, yakni hanya berkenaan dengan lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam Undang- Undang Dasar. Kedua, sistem ketatanegaraan dalam arti luas, yakni meliputi lembaga-lembaga negara yang terdapat di dalam dan di luar Undang-Undang Dasar. Menurut Sri Soemantri, lembaga negara yang bersumber pada UUD 1945 hasil perubahan adalah BPK, DPR, DPD, MPR, Presiden (termasuk Wakil Presiden), MA, MK, dan KY.

Perubahan yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 membawa implikasi pada perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia, salah

5 Achmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi dalam Tanya Jawab, Setjen dan Kepaniteraan MK, Jakarta, 2005, hlm.111

6 Sri Soemantri, “Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945”, Disampaikan dalam dialog hukum dan non hukum “Penataan State Auxiliary Bodies dalam Sistem ketatanegaraan” Departemen Hukum dan HAM RI, Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya 26-29 Juni 2007. hlm. 3.

7 Ibid

(18)

satunya dapat dilihat pada struktur lembaga negara yang ada. Apabila sebelum perubahan mengenal adanya lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara, maka setelah perubahan, peristilahan tersebut sirna. Selain itu kelembagaan negara juga mengalami penambahan beberapa lembaga, yang semula belum dikenal keberadaannya, namun setelah perubahan UUD 1945.8

Sebagian besar lembaga yang dibentuk tersebut adalah lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi pembantu, bukan yang berfungsi utama. Lembaga tersebut disebut Auxiliary State Institutions, atau Auxiliary State Organ yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti institusi negara penunjang atau organ negara penunjang. Terkait istilah yang dipakai, para ahli hukum tata negara Indonesia belum memiliki padanan kata yang sama untuk menyebut lembaga ini, ada yang menyebut lembaga negara pembantu, lembaga negara penunjang, lembaga negara independen dan lembaga negara mandiri.9

Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa kelahiran lembaga-lembaga negara baru dalam berbagai bentuk merupakan sebuah konsekuensi logis dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna menjalankan prinsip check and balances. Maraknya pembentukan lembaga- lembaga negara yang baru, juga karena tekanan internal yang di Indonesia berupa kuatnya reformasi politik, hukum, dan sistem kemasyarakatan secara politis dan hukum telah menyebabkan dekosentrasi kekuasaan negara dan reposisi atau restrukturisasi dalam sistem ketatanegaraan. Secara eksternal

8 Ahmad Basarah, Kajian Teoritis Terhadap Auxiliary State’s Organ Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 43 No. 1 Januari 2014, hlm 1.

9Ibid, hlm 2

(19)

berupa fenomena gerakan arus global pasar bebas, demokratisasi, dan gerakan hak asasi manusia internasional.10

Baron de Montesquieu (1689-1755), dalam teori Trias Politika, membagi kekuasaan negara secara horizontal, sehingga terdiri atas tiga cabang kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori politik maupun hukum yaitu cabang kekuasaan legislatif (kekuasaan membentuk undang-undang), cabang kekuasaan eksekutif (kekuasaan melaksanakan undang-undang), dan cabang kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili pelanggaran undang- undang).11

Montesquieu menyatakan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), ketiga cabang kekuasaan itu tidak boleh bertumpu pada satu organ, tetapi harus dipisahkan satu dengan lainnya (separation of power).12 Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara tersebut dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Dimana satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi saja dan tidak boleh saling mencampuri

10 Refly Harun, dkk, 2010, Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi , Konstitusi Pers, Jakarta, hal. 60-61.

11 Jilmy Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm v.

12 Teori Trias Politika yang selalu dikaitkan dengan Montesquieu sebenarnya berasal dari John Locke yang mengajarkan pemisahan kekuasaan atas legislatif, eksekutif, dan federatif kemudian dimodifikasi oleh Montesquieu menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Moh. Mahfud MD,

“Komisi Yudisial dalam Mosaik Ketatanegaraan Kita”, dalam Hermansyah, ed., Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Komisi Yudisial, 2007), hlm. 11. Ajaran Trias Politica pertama kalinya dilaksanakan dalam Konstitusi Amerika Serikat dengan mencontoh keadaan dalam negara Inggris. Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Djambatan, cetakan kelima, 1954), hlm. 138. Menurut Muhammad Alim, pada zaman Kekhalifahan Umar bin Khattab (abad ke-7), sudah dipraktikkan Trias Politica dalam arti fungsi.

Pada zaman tersebut sudah ada badan eksekutif (amirul mukminin, khalifah), ada badan perwakilan rakyat atau legisatif (al Syuyukh), dan ada hakim-hakim (Qodhi). Moh. Mahfud MD,

”Ketatanegaraan Islam, Bukan Soal Lebih Dulunya, tapi Prinsip-prinsipnya” dalam Muhammad Alim, Trias Politica dalam Negara Madinah, Setjen dan kepaniteraan MK, Jakarta, 2008, hlm. xii.

(20)

urusan masing-masing dalam arti mutlak .13 Montesquieu menghendaki hal tersebut, karena ia memandang bahwa suatu fungsi adalah sama/identik dengan suatu organ, sehingga pengertian dan penyebutan sesuatu fungsi adalah juga merupakan pengertian/penyebutan dari organ yang bersangkutan.14

Jimly Asshiddiqie membedakan hal tersebut, walau diakui bahwa keduanya merupakan unsur pokok yang saling berkaitan. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya. Organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm), sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai dengan maksud pembentukannya.15

Fungsi menurut C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, ialah suatu lingkungan kerja dalam hubungan dengan keseluruhannya dan tidak terlepas satu sama lain selaku bagian-bagian untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, fungsi menentukan kedudukan suatu badan. Satu fungsi dapat dipegang oleh satu badan atau lebih dan sebaliknya, beberapa fungsi dapat dipegang oleh satu badan.16

Selain harus menjalankan fungsinya masing-masing, setiap organ juga harus dapat saling mengimbangi dan saling melakukan pengawasan terhadap cabang kekuasaan lainnya (check and balances).17 Hal tersebut diperlukan

13 Jilmy Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, op. cit.

hlm vii

14 Maria Farida Indrati, “Pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 Ditinjau dari Sistem Pemerintahan Negara, Cita Hukum, dan Norma Fundamental Negara Republik Indonesia”, Tesis Master Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hlm. 29.

15 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, op. cit.

hlm. 115.

16 C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 166.

17Luthfi Widagdo Eddyono, op. cit. hlm 14

(21)

agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang atau kesewenang-wenangan.18 Dengan demikian kekuasaan dapat dibatasi (sesuai dengan fungsinya) dan dapat dikontrol secara internal oleh lembaga lain yang sederajat, maupun secara eksternal oleh rakyat sebagai konstituen nyata yang diwakili oleh lembaga-lembaga lain.19

Prinsip checks and balances merupakan prinsip ketatanegaraan yang menghendaki agar kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. Kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara dapat dicegah dan ditanggulangi.20

Prinsip check and balances dalam tataran teori pemisahan kekuasaan melahirkan pengawasan terhadap lembaga-lembaga negara atau organ-organ yang menjalankan fungsi –fungsi kekuasaan negara. Menurut Saldi Isra, pengawasan merupakan suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar penyelenggaraan negara sesuai dengan rencana. Jika dikaitkan dengan hukum pemerintahan, pengawasan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin sikap pemerintah agar berjalan sesuai hukum yang berlaku. Dikaitkan dengan hukum tata negara, pengawasan berarti suatu

18 Achmad Roestandi, op. cit., hlm. 106.

19 Hendra Nurtjahjo, “Kedudukan Bank Sentral dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945”, dalam Jurnal Konstitusi Vol. 4 No. 4, Desember 2007, hlm. 111.

20 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hlm 61.

(22)

kegiatan yang ditujukan untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga negara sesuai dengan hukum yang berlaku.21

Hal ini sejalan dengan pendapat A.D. Belinfante yang menyatakan, agar suatu negara dapat disebut sebagai negara demokrasi, maka pengorganisasiannya harus memenuhi aturan dasar (grondregels). Salah satu diantaranya, tidak ada seorangpun dapat melaksanakan suatu kewenangan tanpa dapat mempertanggungjawabkannya atau pelaksanaan kewenangan itu tidak dapat dilaksanakan tanpa ada kontrol. Dalam makna kontrol itu sendiri terkandung makna pertanggungjawabanm artinya, setiap penyelenggara negara harus dapat mempertanggungjawabkan tindak tanduknya. Hal demikian merupakan salah satu asas penting dalam negara demokrasi, yaitu setiap orang yang diberi kekuasaan oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan hal-hal yang dilakukannya dan tidak dilakukannya.22

Untuk mendapatkan suatu tatanan kehidupan ketatanegaraan yang demokratis, maka DPR merupakan pemegang kedaulatan tertinggi bagi terselenggaranya accountibility, karena melalui DPR-lah kekuasaan rakyat dioperasikan. Pengoperasian kekuatan rakyat itu tercermin antara lain dari fungsi pengawasan yang dijalankan oleh DPR.23 Hal ini termaktub dalam UUD 1945 setelah perubahan, yang secara eksplisit memberi fungsi pengawasan kepada DPR, Pasal 20A ayat (1) secara tegas menyatakan:

“Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”

21 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislatif Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, 2010, Jakarta, hlm, 2

22 Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017 hlm. 49-50

23 Ibid

(23)

Lebih lanjut diatur pada ayat (2), dalam melaksanakan fungsinya, DPR mempunyai hak-hak yang diatur dalam UUD 1945, beberapa diantaranya yaitu hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Fungsi pengawasan yang dimaksud dalam pasal tersebut umumnya dimaknai pengawasan terhadap pemerintah (presiden) sebagai implementasi check and balances terhadap cabang kekuasaan eksekutif. Namun jika dicermati UUD tidak menjelaskan secara tegas fungsi pengawasan yang dimiliki DPR diarahkan ke cabang kekuasaan yang mana. Fungsi tersebut lebih lanjut dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang di bawahnya. Secara khusus pengawasan terhadap lembaga-lembaga negara penunjang di dalam UUD 1945 tidak dijelaskan bagaimana pola pengawasan tersebut. Menurut pemerintah dalam keterangannya, dalam putusan mahkamah konstitusi No.

36/PUU-XV/2017, kewenangan yang diberikan Pasal 20A bersifat open legal policy kepada Pemerintah dan DPR untuk mengatur terkait hak-hak DPR dalam menjalankan fungsinya.

Pengawasan terhadap penyelenggaraan kekuasaan negara baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif tidak terkecuali lembaga-lembaga negara penunjang sangat penting guna memastikan tercapainya tujuan negara melalui pelaksanaan fungsi masing-masing cabang kekuasaan tersebut.

Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana bentuk pengawasan DPR yang dijabarkan dalam peraturan perundang- undangan terhadap lembaga-lembaga negara penunjang atau Lembaga negara penunjang secara khusus Komisi Pemilihan Umum dan Komisi

(24)

Pemberantasan Korupsi. Maka penulis dalam skripsi ini mengangkat judul :

“Bentuk Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Terhadap Lembaga Lembaga Negara Penunjang (Auxiliary State Organ) (Studi: Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Pemberantasan Korupsi)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu:

1. Bagaimana kedudukan dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat sebagai cabang kekuasaan legislatif?

2. Bagaimana kedudukan lembaga negara (auxiliary state organ) penunjang dalam struktur ketatanegaraan Indonesia?

3. Bagaimana bentuk fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap lembaga negara penunjang (auxiliary state organ) (Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Pemberantasan Korupsi?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Menganalisa bagaimana kedudukan dan fungsi DPR sebagai cabang kekuasaan legislatif di Indonesia

b. Menganalisa kedudukan lembaga negara penunjang dalam struktur ketatanegaraan Indonesia

c. Menganalisa bagaimana bentuk fungsi pengawasan DPR terhadap lembaga negara penunjang dalam hal ini KPU dan KPK

(25)

D. Manfaat Penulisan

Diharapkan dari penelitian yang dilakukan ini akan memberikan manfaat antara lain:

a. Secara Teoritis

Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai tambahan khazanah ilmu dalam segi hukum terkait bentuk fungsi pengawasan DPR terhadap lembaga negara penunjang khususnya KPU dan KPK sebagai ikhtiar pengembangan ilmu pengetahuan Hukum Tata Negara.

b. Secara Praktis

Penelitian ini secara umum ditujukan kepada segenap elemen Bangsa Indonesia mulai dari akademisi, praktisi hukum, aparat penegak hukum, penyelenggara negara, mahasiswa, dan semua pihak yang ingin mengetahui menngenai bentuk fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap lembaga negara penunjang (Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Pemberantasan Korupsi

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Bentuk Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap Lembaga Negara Penunjang (Auxiliary State Organ) (Studi: Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Pemberantasan Korupsi)” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di

(26)

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli serta bukan plagiat ataupun diambil dari skripsi orang lain. Penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan apabila ada skripsi yang sama dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Konstitusi

Secara etimologis, Konstitusi berasal dari bahasa Latin, constitutio;

constitutum, yang berkaitan dengan kata jus atau ius yang berarti “hukum atau prinsip”.24 Di zaman modern, bahasa yang dijadikan rujukan mengenai istilah ini adalah Inggris, Jerman, Perancis, Italia, dan Belanda. Untuk pengertian constitution dan grundwet dalam bahasa Inggris, bahasa Belanda membedakan anatara verfassung dan grundgesetz. Bahkan dalam kepustakaan Belanda, diadakan pembedaan antara pengertian Undang-Undang Dasar (grondwet) dan konstitusi (constitutie/grondrecht).25

Demikian pula, dalam bahasa Perancis dibedakan antara Droit Constitutionalle dan Loi Constitutionalle. Istilah yang pertama identik dengan pengertian konstitusi, sedangkan yang kedua adalah undang-undang dasar dalam artian yang tertuang dalam naskah tertulis. Untuk pengertian konstitusi dalam arti undang-undang dasar, sebelum dipakai istilah grondwet, di Belanda juga pernah dipakai istilah staatsregelling.26

Penjelasan UUD 194527 sebelum perubahan pun menyatakan :

24 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 95.

25 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, op. cit. hlm 93.

26 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, op. cit. hlm 93

27 Terkait dengan keberadaan Penjelasan UUD 1945 tersebut, menurut Jimly Asshiddiqie, tidak ada kelaziman undang-undang dasar memiliki Penjelasan yang resmi. Penjelasan UUD 1945 itu

(27)

“Undang-Undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar tertulis, sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.”

Berkaitan dengan itu, C.F Strong sebagaimana dikutip oleh Luthfi Widagdo Eddyono menyatakan bahwa pembedaan konstitusi yang tertulis dan tidak tertulis merupakan hal yang sungguh-sungguh keliru, karena tidak ada konstitusi yang benar-benar tertulis dan tidak ada pula konstitusi yang benar-benar tidak tertulis.28 Menurut C. F Strong konstitusi merupakan suatu kerangka masyarakat politik (negara) yang diorganisir dengan dan melalui hukum yang menetapkan adanya lembaga-lembaga permanen dengan fungsi yang telah diakui dan hak-hak yang telah ditetapkan.29

Atas prakarsa Gijsbert Karel van Hogendorp pada 1813, istilah grondwet dipakai untuk menggantikan istilah staatsregelling yang memiliki makna bahwa:

a. Sesuatu yang dinamakan konstitusi itu tidak saja aturan tertulis, tetapi juga apa yang dipraktikkan dalam kegiatan penyelenggaraan negara; dan

b. Sesuatu yang diatur itu tidak saja berkenaan dengan organ negara beserta komposisi dan fungsinya,baik di tingkat pusat sendiri bukanlah hasil kerja badan yang menyusun dan menetapkan UUD 1945 (BPUPKI dan PPKI), melainkan hasil kerja pribadi Supomo yang kemudian dimasukkan bersama-sama Batang Tubuh ke dalam Berita Republik Tahun 1946 dan kemudian dalam Lembaran Negara RI Tahun 1959. Jimly Asshiddiqie, “Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Sistem Hukum Nasional”, (Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional “Perkembangan Sistem Hukum Nasional Pasca Perubahan UUD 1945”, diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di Surabaya, 27-29 April 2006), hlm. 3.

28 Luthfi Widagdo Eddyono, Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Oleh Mahkamah Konstitusi, Jurnal konstitusi Vol. 7 No. 3 Juni 2010, hlm 10.

29 Ibid, hlm 11

(28)

maupun di tingkat pemerintah daerah (local government), tetapi juga mekanisme hubungan antara negara atau organ negara itu dengan warga negara.30

Konstitusi suatu negara termuat dalam Undang-Undang Dasar dan berbagai aturan konvensi. Konstitusi atau Undang-Undang Dasar merupakan aturan dasar atau aturan pokok negara yang menjadi sumber dan dasar bagi terbentuknya aturan hukum yang lebih rendah. Disebut aturan atau aturan pokok negara karena ia hanya bersifat pokok dan masih merupakan norma tunggal, tidak disertai norma sekunder.

Hans Kelsen31 dalam teori hierarki norma (stufen bau theory) berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang dalam suatu tata susunan hierarki. Suatu norma yang lebih rendah berlaku dan bersumber atas dasar norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi itu, berlaku dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri, yang bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu yang dikenal dengan istilah grundnorm (norma dasar). Norma dasar sebagai norma yang tertinggi itu dibentuk langsung oleh masyarakat dan menjadi sumber bagi norma-norma yang lebih rendah, oleh karena itu norma dasar itu disebut dengan presupposed atau ditetapkan terlebih dahulu.

30 Ibid, hlm. 95.

31 Hans Kelsen dalam kutipan Taufiqurroman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 53.

(29)

Struktur sistem norma berlapis atau berjenjang itu oleh Hans Nawiasky kemudian dikualifikasikan menjadi empat tingkat norma yang secara berurutan terdiri atas:32

a. Tingkat pertama : staatsfundamentalnorm, atau staatsgrundnorm, yaitu norma fundamental negara, norma pertama atau norma dasar.

b. Tingkat kedua : staatsgrundgesetz, yaitu norma hukum dasar negara, aturan pokok negara, atau konstitusi.

c. Tingkat ketiga : formell gesetz atau gesetzrechts, yaitu norma hukum tertulis, undang-undang, atau norma hukum konkret.

d. Tingkat keempat : verordnung dan autonome satzung, aturan pelaksana dan aturan otonom.

Undang-Undang Dasar atau konstitusi adalah hukum tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan, di mana aturan yang berada di bawah UUD harus sesuai dengan apa yang diatur dalam UUD atau konstitusi.

Konstitusi yang baik adalah konstitusi yang tidak rigid atau kaku, dimana sebuah konstitusi tersebut harus berkembang mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat. Perubahan yang terjadi pada konstitusi akan menimbulkan terjadinya perubahan yang ada di bawahnya yang merupakan peraturan teknis dari konstitusi itu sendiri.

2. Konsep Lembaga Perwakilan

Lembaga perwakilan dewasa ini menjadi perlambang tegaknya demokrasi. Lembaga perwakilan berdiri sebagai partner sekaligus lawan dari pemerintah. Hubungan diantara keduanya dalam penyelenggaraan negara akan membuktikan berjalannya demokrasi. Hal ini dapat dilihat dari desain yang diciptakan oleh Konstitusi hingga pada peraturan hukum lainnya yang mengatur tentang Lembaga Perwakilan. Jimly Asshiddiqie menyebutkan

32 Ibid, hlm. 54.

(30)

bahwa demokrasi tidak dapat dilepaskan dari hubungan antara tradisi dan institusi.33 Institusi dan Tradisi saling mempengaruhi satu sama lainnya, tradisi sebagai cara bagaimana masyarakat melaksanakannya demokrasi, sedangkan institusi sebagai perwujudan penataan dari demokrasi itu sendiri.34

Lembaga perwakilan dalam istilahnya sering disebutkan sebagai Assembly yakni berkumpul.35 Pengertian berkumpul tersebut dapat dipahami sebagai suatu kondisi untuk membahas masalah yang dimiliki rakyat.

Lembaga tersebut dapat dikatakan juga sebagai wadah dimana rakyat mengumpulkan masalahnya, untuk kemudian dicarikan solusi terbaiknya.

Istilah lain yang digunakan terhadap lembaga perwakilan adalah parlemen atau dewan perwakilan rakyat yang berasal dari kata parler (berbicara).36 Pada prinsipnya akan menentukan apa yang harus dilaksanakan, suara mana disalurkan melalui utusan-utusan yang mereka dudukan di forum perwakilan itu (demos+cratein= rakyat+pemerintah).37

Para utusan menjadi penyambung keinginan dari rakyat, yang belum dapat dijangkau oleh pemerintah. Peran lembaga perwakilan juga dalam hal ini tidak hanya kemudian menyampaikan apa yang dibutuhkan rakyat saja.

Lembaga perwakilan juga dalam konsepsi modern sering dikaitkan dengan penyebutannya sebagai lembaga legislatif. Peran lembaga perwakilan di sini yang ditonjolkan adalah sebagai perumus undang-undang. Rumusan dari undang-undang tersebut yang kemudian dikatakan dapat mengubah jalannya

33 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta, Sinar Grafika, 2011 hlm 296

34 Ibid

35 Miriam Budiarjo, op. cit. hlm 315.

36 Solly Lubis, Ilmu Negara (edisi revisi), Bandung: Mandar Maju, 2014, hlm 68, hlm 65.

37 Ibid

(31)

penyelenggaraan negara. Namun hal ini justru menyempitkan esensi perwakilan itu sendiri. Padahal lembaga perwakilan memiliki fungsi lain seperti pengawasan, representasi adapun beberapa sarjana menambahkan fungsi deliberative dan penyelesaian konflik.38

Lembaga perwakilan pada akhirnya harus mampu memahami bagaimana untuk memenuhi kehendak rakyat, secara aktif yakni melalui pengawasan tadi dan bukan hanya membiarkan penyelenggaraan negara berjalan diatas satu pandangan saja. Pemahaman terhadap kehendak rakyat yang dijamin perwujudannya dalam negara, tidak dapat dilepaskan dari pandangan JJ Rousseau. Pandangan Rousseau terhadap kehendak rakyat adalah sebagai berikut:39

1. Kekuasaan tertinggi ada pada rakyat , sebab dalam kontrak sosial nampaklah kehendak umum (volonte generale) sebagai akar situasi sipil ini. Dengan demikian rakyat dapat langsung mengambil keputusan dalam pembentukan peraturan tanpa perantara wakil-wakil;

2. Kekuasaan rakyat yang berdaulat adalah bersifat mutlak, suci, dan kebal;

3. Rousseau menolak konsep pembagian kekuasaan seperti yang dicontohkan oleh John Locke dan Montesquieu;

4. Bentuk pemerintahan dapat berbeda-beda: monarki, aristokrasi, demokrasi. Semangat yang dibangun dalam penyelenggaraan negara haruslah respublica (kepentingan umum, republik), jika tidak diikuti maka pemerintah harus digeser.

Konsep yang dibangun oleh Rousseau nampak bahwa dia mencita- citakan konsep partisipasi rakyat langsung. Rakyat untuk dapat mewujudkan kepentingannya harus mampu berdiri sendiri, sebagai seorang individu.

38 Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Op. cit, hlm 301. Mirriam Budiarjo mengungkap hanya 2 (dua) fungsi utama dari badan legislatif, yakni membuat kebijakan, dan mengontrol badan eksekutif. Lihat Mirriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Opcit, hlm 322- 323. Ramlan Surbakti mengungkapkan adanya fungsi lain seperti menyetujui atau mengusulkan seorang atau lebih pejabat negara seperti yang dikehendaki oleh Konstitusi ataupun undang- undang. Lihat Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Grasindo, Jakarta, 2010, hlm 225.

39 Soetandyo Wignjosoebroto, Pergeseran Paradigma dalam Kajian-Kajian Sosial dan Hukum, Op. cit, hlm 71

(32)

Kepentingan individu inilah yang kemudian bersatu menjadi kepentingan kolektif yang dikenal sebagai kehendak umum. Kehendak umum ini selanjutnya dapat diaplikasikan dalam tataran praktikal karena pada dasarnya untuk mengadakan suatu konsep demokrasi langsung tidaklah mungkin.

Konsep demokrasi langsung ini hanya dimungkinkan pada konsep demokrasi kuno Athena. Theo Huijbers mengungkapkan bahwa pada akhirnya pandangan Rousseau dapat diwujudkan apabila dilakukan melalui wakil rakyat yang turut serta mengambil keputusan dalam penyelenggaraan negara.40

Konsep perwakilan pada dasarnya kemudian menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah mungkin seluruh kepentingan yang ada dapat diwakili karena dalam suatu forum terbuka tidaklah mungkin kemudian dapat langsung muncul suatu konsep yang sama, dan selanjutnya mengantarkan pada suatu konsep mayoritas suara. Konsep pengejawantahan kekuasaan tertinggi pada rakyat tidak akan pernah lepas dari problema mayoritas dan kepentingan kelompok pada akhirnya, namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa konsep tersebut sangatlah memungkinkan untuk memanifestasikan keinginan rakyat meskipun diwarnai kepentingan mayoritas dan kelompok.

Namun hal tersebut tidak bisa dipungkiri karena kehendak rakyat dewasa ini untuk dapat sampai pada wujud lembaga perwakilan, harus dipatri dan dibentuk dari partai politik. Partai politik itu sendiri dapat dikatakan tidak

40 Ibid, hlm 92. Teori kontrak sosial sebagai sebuah instrumen untuk mewujudkan kehendak umum, belum mampu menjabarkan secara detail bagaimana kontrak yang dibuat oleh rakyat dan pemerintah tanpa melalui sebuah partisipasi langsung yang menjadi kekurangan terbesar daripada konsep yang dibangun oleh Rousseau. Soetandyo misalnya untuk mampu mewujudkan kesepakatan antara rakyat dan pemerintah mengungkap bahwa: kontrak sosial adalah suatu proses perjanjian dan kesepakatan yang melahirkan apa yang disebut konstitusi. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Pergeseran Paradigma dalam Kajian-Kajian Sosial dan Hukum, Op. cit, hlm 71.

(33)

akan pernah terlepas dari kepentingannya sendiri, sehingga dapat saja kepentingan rakyat tertutup oleh kepentingan partai politik. Namun dalam hal ini tidak akan dibahas lebih lanjut mengenai bagaimana kehendak rakyat tersebut sangat dipengaruhi oleh unsur politik, pembahasan akan lebih difokuskan pada desain kelembagaan dari lembaga perwakilan itu sendiri.

Desain lembaga perwakilan ini tidak akan dapat dilepaskan dari pola yang dimiliki oleh demokrasi. Demokrasi dalam praktiknya akan berpengaruh terhadap penyelenggaraa dari lembaga perwakilan. Namun demokrasi itu sendiri berangkat dari proses pengolahan yang dilakukan oleh kebudayaan dan paham tertentu. Bisa saja kebudayaan dan paham yang ada di suatu bangsa/negara menganggap pemikiran demokrasinya adalah yang terbaik, sedangkan di bangsa/negara lagi bisa saja itu berbeda. Hal ini yang akan membedakan desain maupun bagaimana lembaga perwakilan tersebut menjalankan fungsi-fungsinya.

3. Pemisahan Kekuasaan dan Prinsip Check and Balances

Pertama kali mengenai fungsi-fungsi kekuasaan negara dikenal di Perancis pada abad ke-XVI, pada umumnya diakui lima yaitu: (i) fungsi diplomacie; (ii) fungsi defencie; (iii) fungsi financie; (iv) fungsi justicie; dan (v) fungsi policie.41 Oleh John Locke (1632-1704) dalam bukunya Two Treatises on Civil Goverment (1690) kemudian konsepsi mengenai fungsi kekuasaan negara itu dibaginya menjadi tiga, yaitu (i) fungsi legislatif; (ii) eksekutif; (iii) fungsi federatif (hubungan luar negeri), yang masing-masing terpisah satu sama lain. Bagi John Locke, fungsi peradilan tercakup dalam

41 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Op. cit.

hlm. 29.

(34)

fungsi eksekutif atau pemerintahan. John Locke memandang mengadili itu sebagai uittvoering, yaitu termasuk pelaksanaan undang-undang.42

Pada tahun 1748, Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran John Locke yang ditulis dalam bukunya L’Esprit des Lois (The Spirit of the Law). Alasan Montesquieu mengembangkan konsep Trias Politika didasarkan pada sifat despotis raja-raja Bourbon, ia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan dimana warga negaranya merasa lebih terjamin haknya.

Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.

Menurutnya ketiga jenis kekuasaan ini haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya. Terutama adanya kebebasan badan yudikatif yang ditekankan oleh Montesquieu yang mempunyai latar belakang sebagai hakim, karena disinilah letaknya kemerdekaan individu dan hak asasi manusia perlu dijamin dan dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurutnya adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang (diutamakan tindakan politik luar negeri), sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.43

Montesquieu mengemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin jika ketiga fungsi kekuasaan tidak dipegang oleh satu orang atau badan tetapi oleh ketiga orang atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya “kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau

42 Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 282.

43 Miriam Budiardjo, Ibid., hlm. 282-283

(35)

dalam satu badan penguasa, maka tak akan ada kemerdekaan, akan menjadi malapetaka jika seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan ataukah dari rakyat jelata, diserahi menyelenggarakan ketiga kekuasaan tersebut, yakni kekuasaan membuat undang-undang, menyelenggarakan keputusan-keputusan umum, dan mengadili persoalan- persoalan antara individu-individu”.44

Sementara itu, C. Van Vollenhoven mengembangkan pandangan yang tersendiri mengenai soal ini. Menurutnya, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu terdiri atas empat cabang yang kemudian di Indonesia biasa diistilahkan dengan catur praja, yaitu (i) fungsi regeling (pengaturan); (ii) fungsi bestuur (penyelenggaraan pemerintahan); (iii) fungsi rechtsspraak atau peradilan; dan (iv) fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan.

Sedangkan Goodnow mengembangkan ajaran yang biasa diistilahkan dengan di praja, yaitu (i) policy making function (fungsi pembuatan kebijakan); dan (ii) policy executing function (fungsi pelaksanaan kebijakan). Namun, pandangan yang paling berpengaruh di duni adalah seperti yang dikembangkan oleh Montesquieu, yaitu adanya tiga cabang kekuasaan negara yang meliputi fungsi legislatif, eksekutif, dan yudisial.45

Teori pemisahan kekuasaan Montesquieu mengalami perkembangan dan mendapat kritikan. Pemisahan kegiatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak dapat dipisahkan secara tajam satu dengan yang lain. Menurut E.

Utrecht, pemisahan mutlak yang dikemukakan oleh Montesquieu mengakibatkan adanya badan negara yang tidak ditempatkan dibawah

44 Miriam Budiardjo, Ibid., hlm. 283

45 Jimly Asshiddiqie op.cit., hlm. 29-30

(36)

pengawasan badan kenegaraan lainnya. Ketiadaan pengawasan ini mengakibatkan terbukannya kemungkinan suatu badan kenegaraan melampaui batas kekuasaannya. Jika dilihat dari fungsi negara pada negara hukum modern, pembagian tiga fungsi kekuasaan negara tidak dapat diterima secara mutlak, karena badan negara juga dapat diberi lebih dari satu fungsi.46

Miriam Budiardjo menyatakan pada abad ke-20 dalam negara yang sedang berkembangan dimana kehidupan ekonomi dan sosial telah menjadi demikian kompleksnya serta badan eksekutif mengatur hampir semua aspek kehidupan kehidupan masyarakat, Trias Politika dalam arti “pemisahan kekuasaan” tidak dapat dipertahankan lagi.47 Selain itu, dewasa ini hampir semua negara modern mempunyai tujuan untuk kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya (Welfare State). Untuk mencapai tujuan tersebut negara dituntut menjalan fungsi secara tepat, cepat, dan komprehensip dari semua lembaga negara yang ada. Dengan kata lain persoalan yang dihadapai oleh negara semakin kompleks dan rumit sehingga penanganannya tidak dapat dimonopoli dan diselesaikan secara otonom oleh negara tertentu saja, melainkan perlu adanya kerjasama antar lembaga negara yang ada.48

Dalam perkembangan sejarah, teori dan pemikiran tentang pengorganisasian kekuasaan dan tentang organisasi negara berkembang sangat pesat. Menurut Jimly Asshiddiqie, hal ini disebabkan tuntutan keadaan dan kebutuhan nyata, baik faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh globalisme versus lokalisme yang

46 E.Utrech, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cet. 4, 1960, hlm. 17-24

47 Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 282

48 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Hubungan Kewenangan DPRD dan Kepala Daerah), Alumni, Jakarta, 2006, hlm. 74

(37)

semakin kompleks menyebabkan variasi struktur dan fungsi organisasi serta institusi kenegaraan berkembang dalam banyak ragam dan bentuknya.49

Prinsip checks and balances merupakan prinsip ketatanegaraan yang menghendaki agar kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. Kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadipribadi yang sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara dapat dicegah dan ditanggulangi.50 Mekanisme checks and balances dalam suatu demokrasi merupakan hal yang wajar, bahkan sangat diperlukan.

Hal itu untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh seseorang atau pun sebuah institusi, atau juga untuk menghindari terpusatnya kekuasaan pada seseorang ataupun sebuah institusi, karena dengan mekanisme seperti ini, antara institusi yang satu dengan yang lain akan saling mengontrol atau mengawasi, bahkan bisa saling mengisi.51

Prinsip tersebut mulanya merupakan prinsip yang diterapkan dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat, di mana sistem ketatanegaraan dimaksud memadukan antara prinsip pemisahan kekuasaan dan prinsip checks and balances. Kekuasaan negara dibagi atas kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang masing-masing dipegang oleh lembaga yang berbeda tanpa adanya kerjasama satu sama lain, sedangkan dengan checks and balances, antara satu lembaga dan lembaga lainnya terdapat

49 Jimly Asshiddiqie op.cit., hlm. 1

50 Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, op. cit., hlm 61.

51 Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm 89.

(38)

keseimbangan kekuasaan dan mekanisme saling kontrol. Prinsip checks and balances tidak dapat dipisahkan dari masalah pembagian kekuasaan.

Sebagamana ditulis oleh Robert Weissberg,52 “A principle related to separation of powers is the doctrine of checks and balances. Whereas separation of powers devides governmental power among different officials, checks and balances gives each official some power over the others.

G. Metode Penulisan

Penelitian (research) sesuai dengan tujuannya dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.53

Kata metode berasal dari kata Yunani methods yang berarti cara atau jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.54 Dalam nmemecahkan suatu masalah, kerja seorang ilmuwan akan berbeda dengan seorang awam. Seorang ilmuwan selalu menempatkan logika serta menghindarkan diri dari pertimbangan subjektif.

Sebaliknya bagi awam, kerja memecahkan masalah lebih dilandasi oleh campuran pandangan perorangan ataupun dengan apa yang dianggap sebagai masuk akal oleh banyak orang oleh sebab itu seorang ilmuwan harus memiliki metode ilmiah.

Dalam pembahasan skripsi ini, metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

52 Robert Weissberg, Understanding American Government, Holt Rinehart and Winston, New York, 1979, hlm 35

53 Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM PERS, Malang, 2009, hlm. 91.

54 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, PT Gramedia, Jakarta, 1997, hlm. 6.

(39)

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan inventarisasi bahan pustaka atau data sekunder, berupa hukum positif dan literatur yang berhubungan dengan judul skripsi penulis.55

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normatif yang didasarkan pada studi terhadap bahan- bahan kepustakaan atau studi terhadap dokumen berupa peraturan tertulis dan bahan-bahan hukum lain.56

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research) untuk memperoleh berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah sebagai dasar analisis dalam membahas permasalahan dalam skripsi ini.

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang diteliti adalah bahan hukum yang terdiri dari UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang pernah dan/atau masih berlaku di Indonesia. Bahan sekunder berupa buku-buku, majalah, surat kabar, situs

55 Bambang Suggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm. 42

56 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 9.

(40)

internet, maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan

Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh manfaatnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang dasar-dasar pemikiran dan gambaran umum tentang permasalahan yang akan dibahas, serta berisi tentang teknis penulisan skripsi ini yang dimulai dengan mengemukakan latar belakang pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan BAB II : KEDUDUKAN DAN FUNGSI DEWAN

PERWAKILAN RAKYAT SEBAGAI CABANG KEKUASAAN LEGISLATIF

Bab ini memaparkan tentang kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai cabang kekuasaan legislatif, fungsi serta tugas dan wewenangnya dalam sistem pemerintahan Indonesia.

BAB III : KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA

(41)

Bab ini akan menjelaskan tinjauan tentang lembaga negara, sejarah lahirnya Lembaga negara penunjang, kedudukan Lembaga negara penunjang dalam struktur ketatanegaraan Indonesia dan klasifikasi Lembaga negara penunjang.

BAB IV : BENTUK FUNGSI PENGAWASAN DPR TEHADAP LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (KOMISI PEMILIHAN UMUM DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI)

Bab ini berisikan tentang pokok utama dari kajian skripsi penulis, yaitu membahas tentang bagaimana Bentuk Fungsi Pengawasan DPR Terhadap Lembaga negara penunjang secara Khusus Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan mengenai permasalahan yang dibahas dalam bab-bab sebelumnya dan saran-saran penulis terkait permasalahan tersebut.

(42)

BAB II

KEDUDUKAN DAN FUNGSI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT SEBAGAI CABANG KEKUASAAN LEGISLATIF

A. KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD NRI TAHUN 1945

Sebelum dilakukan perubahan UUD 1945, struktur dan/atau hierarki peraturan perundang-undangan menempatkan UUD 1945 berada pada posisi paling atas.

Setelah itu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara pada posisi kedua, yang anggota-anggotanya terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah dengan Utusan Golongan dan Utusan Daerah. Di bawah Majelis Permusyawarakatan Rakyat adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kemudian Presiden, Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA).1

Sebelum perubahan UUD 1945, ada enam lembaga tinggi negara yang disebutkan dalam UUD 1945, yaitu:

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);

2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);

3. Presiden dan Wakil Presiden RI;

4. Mahkamah Agung RI (MA RI);

5. Dewan Pertimbangan Agung (DPA); dan

1 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Gramata Publishing, 2016, Bekasi, hlm 22.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun skripsi ini berjudul “ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN DALAM TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Kasus di Lembaga

Penulisan skripsi yang berjudul “Analisa Putusan Tentang Tindak Pidana Dengan Sengaja Dan Tanpa Hak Mendistribusikan Informasi Elektronik Yang Memiliki Muatan Penghinaan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh Islamic Social Reporting (ISR), Kepemilikan Institusional (KI), Dewan Komisaris Independen (DKI), dan

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Peran Lembaga Keuangan Syari’ah dalam

dibentuk untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan di Amerika Serikat dengan menjamin simpanan nasabah pada bank umum dan melindungi

Kelemahan dalam pasal ini adalah, tidak disebutkannya bentuk perjudian apa yang diperbolehkan tersebut, ataukah sama bentuk perjudian sebagaimana yang

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyelesaian kredit yang mengalami kemacetan pada Kredit Usaha Rakyat di PT.Bank Rakyat Indonesia Cabang Kota Binjai

Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana statuta yang dimiliki oleh sebuah federasi olahraga internasional yang merupakan organisasi internasional non pemerintahan