• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

H. Sistematika Penulisan

Agar dapat diketahui secara jelas kerangka garis besar penulisan dari skripsi yang ditulis, maka hasil penelitian yang diperoleh dan dianalisis yang kemungkinan diikuti dengan pembuatan laporan akhir dengan sistematika yang mencangkup (5) bab dengan judul Tinjauan Yuridis Penetapan Hak Asuh Anak dibawah Umur Pasca Perceraian Terkait Perlindungan Terhadap Akidah (Studi Putusan Pengadilan Agama Bantul No.0438/Pdt.G/2014/PA/Btl).

Pada bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi materi uraian yang dapat menghantarkan menuju bab-bab lainnya. Bab pertama ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,tinjauan pustaka, keaslian penulisan , metode penelitian, dan sistematika penelitian.

Pada bab kedua membahas ketentuan hukum tentang hak asuh anak, yang terdiri dari ketentuan hukum menurut Undang-Undang Perkawinan, KHI , dan UU No. 35 Tahun 2004 tentang perlindungan anak, faktor penyebab timbulnya hak asuh anak, kedudukan dan kewajiban orang tua terhadap anak yang masih dibawah umur,

Pada bab ketiga ini membahas mengenai penyelesaian sengketa hak asuh anak dibawah umur terkait perlindungan terhadap akidah anak pasca perceraian orang tua . Bab ketiga ini terdiri dari : prosedur penyelesaian hak asuh anak dibawah umur,penyelesaian sengketa hak asuh anak dibawah umur terkait dengan perlindungan terhadap akidah pandangan hakim dalam penetapan hak asuh anak dibawah umur terkait perlindungan akidah anak.

Bab keempat membahas tentang pertimbangan hukum oleh hakim dalam (studi putusan MA No. 0438/Pdt.G/2014/PA.Btl), yang berisi tentang kasus posisi, pertimbangan hakim, dan analisis putusan.

Bab kelima membahas mengenai penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran, yang terakhir adalah daftar pustaka.

BAB II

KETENTUAN HUKUM DI INDONESIA TENTANG HAK ASUH ANAK PASCA PERCERAIAN

A. Hak Asuh Anak Dibawah Umur Menurut UU Perkawinan dan KHI 1. Pengertian Anak

Pengertian anak dalam hukum islam dan hukum perkawinan dihubungkan dengan keluarga. Anak dalam hubungannya dengan keluarga, seperti anak kandung, anak laki-laki dan anak perempuan, anak sah dan anak tidak sah,anak sulung dan anak bungsu, anak tiri dan anak angkat, anak piara, anak pungut, anak kemenangan, anak pisang, anak sumbang (anak haram) dan sebagainya.32

Anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai katurunan yang kedua..33 Anak adalah generasi penerus yang akan datang. Baik buruknya masa depan bangsa tergantung pula pada baik buruknya kondisi anak saat ini. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlakuan terhadap anak dengan cara yang baik adalah kewajiban bersama agar bisa tumbuh dan berkembang dengan baik

Pengertian Anak Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak sebagai berikut :

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

32 Wagiati soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, ( Bandung:Refika Aditama,2006),hal 6

33 M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum:catatan pembahasan undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak ( Jakarta:Sinar grafika,2013), hal 11

Ter Haar mengemukakan bahwa saat seseorang menjadi dewasa menurut hukum adat adalah Bahwa seseorang sudah dewasa menurut hukum ada di dalam persekutuan-persekutuan hukum yang kecial adalah pada seseorang laki-laki atau perempuan apabila ia sudah kawin dan di samping itu telah meninggalkan rumah orang tuanya ataupun rumah mertua dan pergi pindah dan mendirikan kehidupan rumah tangganya sendiri.34 Selanjutnya, Soedjono Dirjosisworo menyatakan bahwa menurut hukum adat, anak dibawah umur adalah mereka yang belum menentukan tanda-tanda fisik yang konkret bahwa ia dewasa..

Dari pendapat Ter Haar dan Soedjono Dirjosisworo tersebut ternyata, menurut hukum adat Indonesia, tidak terdapat batasan umur yang pasti, sampai umur berapa seseorang masih dianggap sebagai anak dibawah umur atau sampai umur berapakah seseorang dianggap sudah dewasa.35

Adapun batas usia anak ditinjau dari undang-undang di Indonesia, ialah sebagai berikut:

1. Menurut ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, anak atau orang yang belum dewasa mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahundan tidak lebih dahulu kawin. Apabila seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun telah kawin, dan perkawinan itu dibubarkan sebelum umurnya genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka ia tidak kembali lagi ke kedudukan belum dewasa.

2. .Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dalam undang-undang ini tidak langsung mengatur tentang masalah ukuran kapan seseorang digolongkan anak, tetapi secara tersirat tercantum dalam Pasal 6

34 Ter Haar, Azas-Azas Hukum Adat, Armico, Bandung, 1984, hal. 47

35 Marsaid, Perlindungan Hukum Anak Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam (Maqasid AsySyari‟ah) (Palembang: NoerFikri, 2015),hal 57

ayat 2 yang memuat ketentuan syarat perkawinan bagi seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua. Dalam Pasal 7 ayat 1 memuat batas minimum usia untuk dapat kawin, bagi pria ialah 19 tahun, bagi wanita 16 tahun. Dimana hal ini diubah sebagaimana dalam putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017 Perubahan terhadap batas usia untuk melaksanakan perkawinan dengan menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi wanita. Batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria yaitu 19 Tahun. Sehingga ketentuan mengenai minimal umur untuk melangsungkan perkawinan dicantumkan didalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang No.1 Tahun 1974 3. Dalam Undang -Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, selain

dari pada merujuk pasal 6 ayat 2 mengenai kapan seseorang dikatakan anak maka berdasarkan ketentuan dalam pasal 47 ayat (1) dikatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas tahun) atau belum pernah melakukan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya.

4. Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, memberikan pengertian bahwa anak adalah seseorang yeng belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin

;

Berdasarkan Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut menjelaskan bahwa kreteria dapat dikatakan anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan sudah mampu mengurus diri sendiri, usia 21 tahun sudah dianggap mampu untuk menentukan kemana arah hidup seseorang, mencari pekerjaan, bahkan memilih untuk menikah dan menentukan mana yang baik dan buruk bagi mereka.

Menurut Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam,dalam hal terjadinya perceraian pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Berdasarkan pasal tersebut menyebutkan bahwa anak yang belum mummayiz atau anak dibawah umur adalah anak yang belum berumur 12 tahun. Anak dibawah umur adalah anak yang belum mampu mengurus dirinya sendiri, belum mampu berdiri sendiri karna perlu pengawasan serta kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya.

2. Faktor Penyebab Timbulnya Hak Asuh Anak

Hak asuh anak timbul dari akibat adanya perceraian, baik cerai karena kematian maupun karena cerai hidup melalui dua acara yakni:

1. Cerai talak 2. Cerai gugat.36

Perceraian tidaklah mudah untuk dilakukan karena harus ada alasan-alasan kuat yang mendasarinya. Cerai adalah putusnya hubungan perkawinan amtara suami dan istri.

Didalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, mengatur alasan-alasan terjadinya perceraian. Hal tersebut diatur didalam pasal

36 Ahmad Rofiq Op.cit hal 233

116 KHI dan pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.

6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

7. Suami melanggar taklik talak.

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. 37

Dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatur putusnya hubungan perkawinan sebagaimana berikut:

1. Pasal 113 KHI, Menyatakan perkawinan dapat putus karena:38 (1) Kematian,

(2) Perceraian,

(3) Atas Putusan Pengadilan.

2. Pasal 115 KHI dan pasal 39 ayat 1 UU no. 1 Tahun 1974 menyatakan, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan persidangan Pengadilan

37Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974, ( Lembar Negara RI Tahun 1974, No 1 Sekretariat Negara, Jakarta).

` 38 Pasal 133 Kompilasi Hukum Islam

Agama ,setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

3. Pasal 114 KHI menegaskan, bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugat cerai.

Proses perceraian yang sah dan terjadi ketika:

1. Seorang suami mengatakan kalimat “saya ceraikan kamu” dengan maksud menceraikan dengan kalimat dan bahasa jelas yang mengarah kepada perceraian

2. Suami mengatakan perkataan yang mengandung makna cerai dengan bahasa apapun, apabila dia memang bertujuan melontarkan perceraian dalam kalimatnya. Seperti perkataan “Aku ingin berpisah denganmu”

artinya istrinya sudah ditalak. Tetapi jika dia tidak bermaksud menceraikan istrinya denga perkataan itu maka tidak jatuh talak. 39 Berakhirnya hubungan perceraian bukan berarti masalah hubungan rumah tangga begitu saja selesai, akan tetapi masih ada akibat -akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian menurut Undang-undnag Nomor 1 Tahun 1974 atau peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam berdampak kepada bukan hanya hubungan suami istri, melaikan tempat tinggal, dan sebagainya, tetapi yang paling penting mengenai nasib anak-anak dan kepentingannya, biasanya terjadi terhadap anak yang masih dibawah umur atau yang belum mummayiz. Peristiwa perceraian mengakibatkan terlantarnya pengasuhan anak, tidak jarang terjadi perebutan mengenai hak asuh anak, masing-masing bekas suami isteri merasa paling berhak dan paling layak untuk menjalankan hak asuh anak. 40 Tidak sedikit kasus perceraian dengan cerita perseteruan yang sangat serius antara suami dan istri pasca perceraian dengan

39 Nadya Putri Karoza, Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Asuh Anak (hadlanah) berdasarkan UU No.1 tahun 1974 dan UU No.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Skripsi, Fakultas Hukum, USU. Hal 21

40 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (cet-2, Kencana, Jakarta, 2004), hal. 166-7.

berbagai alasan yang dibuat agar ditetapkan sebagai pemegang atas pemegang hak asuh anak.

3. Hak Asuh Anak dibawah Umur Pasca Perceraian Menurut KHI dan UU Perkawinan

Hak asuh atau hadhlanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.41 Hadhanah menurut bahasa adalah Al-janbu yang berarti erat atau dekat, Sedangkan menurut istilah memelihara anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil atau belum dapat mandiri,berdiri sendiri, menjaga kepentingan pribadi anaknya, melindungi dari segala yang mebahayakan dirinya, mendidik rohani dan jasmani serta akalnya supaya si anak dapat berkembang dan dapat mengatasi masalah dan persoalan hidup yang dihadapinya.42 Anak yang sudah mummayiz (berumur 12 tahun) hendaklah diselidiki oleh yang berwajib siapakah diantara kedua orang tuanya yang lebih baik dan lebih cakap untuk mendidik serta memelihara anak tersebut dengan baik dan mampu memelihara jasmani dan rohani anak. Selain persoalan hadhanah , akibat hukum perceraian dengan biaya Hadhanah dan biaya nafkah anak tersebut dan harta serikat ( harta Bersama). 43

Pengertian hak asuh anak menurut Kompilasi Hukum Islam terdapat didalam Pasal 1 Huruf (g) yang mana bunyinya sebagai berikut : “Pemeliharaan anak atau hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anaka hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.”

41 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam ,( Jakarta: Akademika Presindo,2004),hal 113

42 Hakim Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, ( Bandung: Pustaka setia, 2000), hal 224

43 M. Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam,(Medan: Fakultas Hukum Darmawangsa, 1993), hal,133

Ketentuan hak asuh anak dalam keluarga di Indonesia terdapat dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI. Menurut Pasal 45 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menegaskan bahwa kedua orang tua sama-sama memiliki hak kewajiban dalam memelihara dan mendidik anak -anak mereka dengan sebaik-baiknya. Kewajiban kedua orang tua tersebut menurut ayat (2) berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Penegasan hak asuh anak pasca perceraian juga dicantumkan dalam pasal 41 huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 yang menegaskah bahwa akibat putusnya perceraian ialah baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak.

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan diatas jika terjadi perceraian memberikan pengasuhan anak tetap menjadi tanggung jawab kedua orang tua dan tidak memberikan uraian yang tegas jika terjadi sengketa atau perebutan hak asuh anak maka hak asuh anak diberikan kepada bapak atau Ibu.

Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 tentang perkawinan , KHI memberikan uraian lebih detail tentang hal itu. Didalam KHI setidaknya ada dua pasal yang menentukan pengasuhan anak yaitu pasal 105 dan 156. Sebagaimana terdapat pada pasa l05 dan 156 KHI . Didalam Pasal 105 Pemeliharaan anak yang belum mummayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya dan pemeliharaan anak yang sudah mummayiz atau sudah berumur 12 Tahun diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya, sebagaimana terdapat didalam Pasal 156 menyebutkan bahwa akibat dari

perceraian anak yang belum mummayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

a. Garis Keturunan

1. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibunya;

2. Ayah

3. Wanita-wanita garis lurus keatas dari ayahnya;

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibunya;

6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayahnya;

b. Anak yang sudah mummayiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah tercukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadlanah pula.

d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

e. Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b),(c),(d).

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya pemeliharaan tidak turut kepadanya.

Hadis lain yang juga dijadikan dasar dalam perumusan pasal 105 dan 156 KHI tersebut adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a. yang arti lengkapnya sebagai berikut:44

Seorang anak perempuan berkata : “Wahai Rasulullah SAW suamiku menghendaki pergi Bersama anakku, sementara ia telah memberi manfaat kepadaku dan mengambil air minum untukku disumur Abi “Inbah”. Maka datanglah suaminya, Rasulullah bersabda kepadanya: “Wahai anak kecil, ini ayah dan ibumu, peganglah tangan keduanya mana yang kamu kehendaki”. Maka anak itu memegang tangan ibunya, lalu perempuan itu pergi Bersama anaknya.

Hadis diatas dijadikan dasar pasal 105 ayat (2) dimana bagi anak yang mampu memilih (mummayiz) maka anak tersebut disuruh memilih hendak ikut dengan ayah atau ibunya, namun pendapat Hanaffiyah menegaskan Ibu tetap lebih berhak memeliharanya karena seorang perempuan lebih mampu memberikan perhatian, kasih sayangnya terhadap anak dan mengurus anak.45

Pengadilan Agama juga dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajibannya untuk memelihara, mengasuh dan mendidik anak tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.46

Perlu diketahui bahwa ḥaḍ`lanah ini berkaitan dengan perwalian dimana kita harus membedakan antara ḥaḍlanah dan Perwalian. Perwalian ialah kewenangan yang diberikan kepada seorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau orang tua yang masih hidup namun tidak cakap melakukan perbuatan hukum, sedangkan ḥaḍānah dalam kajian fiqih yaitu

40 Al-Shan'any, Subul al-salam, juz 3 , ( kairo:Dar Ihya al- Turats al- Araby, 1379H/1960M ) Hal.227

45 Ahmad Rofiq, op.cit, hal 200

46 Dr. Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, (Kencana predana Media Group), hal 131

memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sessuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang merusaknya.

Perkawinan yang telah berlangsung sewaktu-waktu dapat putus, hal itu walaupun dipandang masih secara negatif didalam masyarakat namun oleh Undang-undang diperkenankan jika antara suami dan istri sekiranya tidak dapat lagi untuk dipersatukan didalam berumah tangga. Anak menjadi persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-hanya dalam keluarga dan bagaimana seharusnya ia dipelihara dan diperlakukan dengan baik oleh kedua orang tuanya.

Di dalam pasal 105 (a) dan pasal 156 Kompilasi Hukum Islam meskipun pasal tersebut menyebutkan bahwa pemeliharaan atau pengasuhan anak yang belum mummayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, dan akibat dari perceraian anak yang belum mummayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya.47 Hakim memiliki wewenang untuk menentukan pihak mana yang berhak memperoleh hak asuh anak dengan melihat fakta beserta bukti atau hakim tetap dapat melakukan diskresi, diskresi merupakan kebebasan mengambil suatu keputusan yang diambil terlebih dahulu sebelum menghadapi suatu situasi, bahwa tidak selamanya ibu mendapatkan hak menjadi pengasuh anak dengan berbagai alasan, seperti jika dalam proses persidangan ditemukan fakta bahwa ibu dari anak itu adalah seorang penjudi, pemabuk, ringan tangan dan menelantarkan anak, maka bisa jadi hak asuh anak jatuh kepada pihak ayah.48

47 Ibid.,Hal 132

48 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.cit. Hal 293

Ayah berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada anak kandungnya dan seorang anak kandung mendapatkan nafkah dari ayah kadungnya baik pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan-kebutuhan lainnya meskipun perkawinan antara kedua orang tuanya telah putus karena perceraian. Semua biaya hadlanah dan nafkah anak tetap merupakan kewajiban ayah sesuai kemampuannya terhadap anak-anaknya yang belum berusia 21 tahun.49

Menurut Abdurrahman Ghazali dalam buku fiqh munakatnya menjelaskan tentang periode hak asuh anak (hadlanah) itu adalah :

1. Periode Sebelum mummayiz

Periode ini ketika anak baru lahir sampai menjelang umur tujuh tahun atau delapan tahun. Pada masa ini seorang anak yang belum mummayiz atau belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan berbahaya bagi dirinya.50 Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya seperti makan, pakaian, memberihkan diri, bahkan sampai pada pengaturan bangun dan tidur, karena ituorang yang menjaganya harus mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu baik (shaleh) dikemudian hari yang memenuhi syarat ini adalah wanita. Konkritnya para ulama menunjukkan bahwa pihak ibu yang lebih berhak terhadap anaknya, maka selanjutnya melakukan hadlanah.51 Disamping itu ibu lebih mengerti kebutuhan anak dalam masa tersebut dan lebih mampu mencurahkan seluruh perhatian serta kasih sayangnya, demikian juga anak sangat membutuhkan kehadiran ibu didekatnya.

49 Pasal 49 Huruf d Kompilasi Hukum Islam

50 Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, ( Jakarta : kencana, 2006), hal 185

51 Ibid hal 186

Penguasaan atas anak oleh salah satu pihak bukan berarti menghalangi suatu hubungan dengan pihak lain. Anak harus diberikan kepastian hukum (rechtzekerheid) agar memiliki kepastian dengan siapa dia diasuh agar tidak terus diperebutkan.52

2. Periode mummayiz

Masa mummayiz adalah dari umur 7 tahun sampai menjelang baligh dan berakal. Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk yang menimpa dirinya, dan anak pada kondisi ini telah tumbuh akalanya secara sederhana.53

B. Hak Asuh Anak Dibawah Umur Pasca Perceraian Ditinjau Dari UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

1. Pengertian Hak Asuh Anak Menurut UU No. 13 Tahun 2014 Tetang Perlindungan Anak

Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat . kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.

Hak asuh anak menurut Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang No.35 tahun 2014 menyebutkan bahwa hak asuh anak adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh

52 Hasiba Zahra P, Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Anak Akibat Perceraian Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974, Skripsi, Fakultas Hukum , USU, 2018.

Hal 28

53 Abdul Rahman Ghazaly, loc.cit

kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dankemampuan, bakat, serta minatnya.

Menurut Arif Gosita kepastian hukum diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negative yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan.54

Pasal 14 UU No.35 tahun 2014 Tentang Perlindungan anak, menyebutkan:

“Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terkahir”.

Dalam penjelasannya ditegaskan bahwa “pemisahan yang dimaksud

Dalam penjelasannya ditegaskan bahwa “pemisahan yang dimaksud

Dokumen terkait