• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA HAK ASUH ANAK

B. Penyelesaian sengketa hak asuh anak dibawah umur

Perceraian merupakan peristiwa hukum, karena ia merupakan sebuah rangkaian proses panjang mulai tahap persiapan, masuk pengadilan dan melewati proses sidang hingga jatuhnya putusan. Dalam berbagai kasus, ada pasangan

suami-istri yang hanya meminta putusan cerai saja, tanpa mempedulikan hak asuh anak dan harta bersama. Disamping itu ada juga pasangan suami-istri yang tidak hanya meminta putusan cerai, tetapi tetap meminta putusan hak asuh anak dan harta bersama.

Dalam menentukan hak asuh anak, pasti terdapat kesukaran dalam menentukan pihak mana yang telah dan mampu untuk menjalankan hak asuh anak tersebut. Tetapi satu-satunya aturan yang dengan jelas dan tegas memberikan pedoman bagi hakim dalam memutus pemberian hak asuh atas anak tersebut terdapat dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi perceraian :

1) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

2) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.

3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayah.

Ketentuan KHI diatas nampaknya tidak dapat berlaku secara universal, karena hanya akan mengikat bagi mereka yang memeluk agama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama). Namun, permasalahan bisa saja muncul pada mereka yang beragama islam dan diperiksa dipengadilan agama namun salah satu pihak yaitu ibu teridikasi akan kembali ke agama semula (murtad). Pada awal pernikahan agama kedua orang tuanya sama tetapi kemudian salah satu pihak berpindah agama, yang menjadi masalah dengan siapakah anak

disesuaikan dengan agama asal kedua orang tua atau dapat disesuaikan dengan agama orang tua yang pindah agama. Dengan ajaran agaman yang mana penyelenggaraan perlindungan agama berupa pembinaan, pembimbingan dan pengamalan dilakukan.

Sebenarnya jika merujuk kepada sumber-sumber hukum perkawinan Indonesia, tidak ada aturan ataupun pasal yang menyatakan hak asuh seorang ibu gugur karena pindah agama, adapun ketentuan pasal 1 ayat (11) No. 35 tahun 2014 menjelaskan pengertian kekuasaan orang tua yang dalam mengasuh dan menumbuh kembangkan anak harus sesuai dengan agama yang dianutnya, sementara Pasal 42 ayat (2) UU No.35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak menyatakan agama anak sebelum ia dapat menentukan pilihannya mengikut agama orang tuanya, tanpa ada penjelasan bagaimana jika agama kedua orang tuanya berbeda.

Berdasarkan ketentuan Pasal 26 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, adalah untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindunginya. Menumbuh kembangkan sesuai kemampuan, bakat dan minatnya dan mencegah terjadinya perkawinan usia dini. Apabila orangtua tidak ada atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggungjawabnya, kewajiban itu dapat dialihkan ke keluarga.

Berdasarkan Pasal 31 ayat (4) UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak sebenarnya mengatur mengenai kuasa asuh yang dilaksanakan oleh selain orang tua kandung, jika ternyata orang tua kandung tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan

tanggungjawabnya sehingga dialihkan ke keluarga atau orang perseorangan atau lembaga pemerintah/masyarakat yang disyaratkan harus seagama dengan si anak.

Menurut Undang-undang Perlindungan anak, segala tindakan yang menyangkut diri anak harus selalu ditujukan untuk kepentingan terbaik bagi anak, dan aspek kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap tindakan penyelenggaraan perlindungan anak. Begitu juga dalam penyelenggaraan perlindungan terhadap agama anak, yang meliputi pembinaan, pembimbingan dan pengamalan ajaran agama, setiap anak harus dijamin untuk dapat beribadah menurut agamanya.

Penyelesaian hak asuh anak terkait perlindungan terhadap akidah merupakan putusan yang berpedoman pada kemashalatan dan bagi kepentingan bagi anak. Anak yang belum mummayiz merupakan hak ibunya namun disuatu kasus dimana hak asuh anak yang belum mummayiz jatuh ketangan ayah hal tersebut dengan alasan bahwa akidah salah satu alasan yang dapat diterima pengadilan agama untuk memutus siapa yang pantas sebagai pemegang hak asuh anak.

Pengadilan Agama berwenang memeriksanya karena pernikahan dilangsungkan di Kantor Urusan Agama yang berarti menikah secara Islam. Hal ini berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No.50 Tahun 2009 Tengtang perubahan kedua atas Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Adapun mengenai jatuhnya hak pengasuhan anak dibawah umur kepada ayah terkait melindungi akidah anaknya, maka yang menjadi dasar hukum Pengadilan Agama dalam mengambil keputusan tentu berdasarkan hukum positif

yaitu perundang-undangan yang berlaku serta berasal dari Hukum Material Islam sebab Pengadilan Agama selalu berkaitan dengan Syariah islam. dan jika tidak ditemukan pengaturannya maka hakim berwenang melakukan pencarian dan penggalian hukum sesuai dengan kaidah penggalian hukum yang berasal dari nilai-nilai dan norma-norma hukum nasional, hukum adat, ilmu pengetahuan dan sumber-sumber hukum agama Islam yang berasal dari kitab-kitab fiqh.71

Dalam hal menangani perkara hadhanah ternyata memerlukan pengetahuan hukum Islam yang sangat luas dan harus memenuhi tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukumnya, apabila Majelis Hakim hanya menguasai hukum materil dalam perundang-undangan dapat dikatakan masih belum mencukupi, karena besar kemungkinan akan sulit menemukan keadilan hukum yang sesuai dengan prinsip Islam.

Berikut salah satu dalil yang menegaskan pentingnya menjaga akidah anak, yakni dalam Bulughul Maram karya Ibn Hajar Al-Asqalani : 72

“ Dituturkan dari Rafi‟ ibn Sinan r.a. bahwa ia masuk islam tetapi istrinya menolak untuk masuk Islam. Maka Nabi Muhammad SAW mendudukkan sang ibu di sebuah sudut dan sang ayah di sudut yang lain. Adapun sang anak, beliau dudukkan diantar keduanya. Anak itu tampak cenderung mengikuti ibunya.

Maka beliau berdoa, “ya Allah, berilah ia hidayah.” Kemudian ia cenderung mengikuti ayahnya, dan Rafi‟ pun segera membawanya.”

Hadist tersebut oleh mayoritas ulama disepakati sebagai dasar bahwa masalah hadlanah atau pemeliharaan anak oleh ibu yang bukan muslim dipandang tidak berhak karena kekafirannya itu. Alasannya, ruang lingkup hadlanah meliputi

71 https://media.neliti.com/media/publications/40260-ID-hak-asuh-hadlanah-isteri-murtad-menurut-hukum-positif-dan-hukum-islam-analisis-a.pdf diakses pada tanggal 20 juni 2020 pukul 19.35

72 Bulughul Maram karya Ibn Hajar Al-Asqalani kitab Nikah bab Hak Asuh dan Pemeliharaan hlm. 471

pendidikan agama anak tersebut. Maka jika ibu tidak bergama islam , sudah tentu akan berpengaruh terhadap akidah anak.73 Karena akan berpengaruh terhadap ajaran agama yang telah diterimanya pertama kali. Jika anak diasuh oleh orang yang tidak segama dengannya akan berpengaruh terhadap akidah anak sehingga anak akan bingung dan tidak mampu menjalankan ajaran yang tepat bagi agama yang dianutnya. Orang yang tidak beragama islam tidak boleh diserahi hak mengasuh anak yang beragama Islam.

Kekhawatiran Hakim terhadap aqidah anak ketika diasuh oleh ibunya yang murtad lebih dijadikan pertimbangan dari pada maslahatan dan kepentingan terbaik yang diperoleh anak itu ketika bersama ibunya, karena ibu yang murtad diyakini dapat membawa dampak buruk pada aqidah anak . Pertimbangan Hakim di atas juga berdasarkan atas pasal 42 (2) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak bagaimana mengenai agama anak yang belum bisa menentukan pilihannya, maka agama anak adalah ikut orang tuanya. Didalam pemeriksaan persidangan ditemukan perbedaan agama antar kedua orang tua anak, maka Hakim Pengadilan Agama berpendapat bahwa anak hasil perkawinan Islam maka dianggap sebagai anak yang beragama Islam. Salah satu kewajiban orang tua adalah memberikan jaminan perlindungan anak dalam memeluk agamanya dan menjalankan perintah agamanya, dengan ini peran orang tua sangat penting untuk memberikan pengajaran, bimbingan terhadap anak. Hal ini yang digunakan Hakim dalam memandang penentuan agama anak. Berdasarkan gambaran di atas jelas bahwa pertimbangan mengenai hak asuh anak tetap mengupayakan untuk menjunjung hak anak dalam perlindungan agamanya.

73 Op Cit Ahmad Rafiqoh Hal 201

C. Pandangan Hakim dalam Penetapan Hak Asuh Anak di Bawah Umur Terkait Perlindungan Terhadap Akidah Anak

Penetapan terhadap hak asuh anak diajukan ke pengadilan Agama.

Pengadilan Agama merupakan salah satu instansi pemerintah dibawah naungan Dapartemen Agama yang menangani masalah-masalah hukum perdata dan merupakan Pengadilan Agama di tingkat pertama sesuai dengan keberadaannya itu maka Lembaga peradilan ini melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang hukum perdata terutama hukum keluarga islam bagi umat islam dan hukum perdata.74

Saat mengadili perkara yang menjadi kewenangannya Pengadilan Agama, seperti bunyi pada pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam undang- undang ini.” Artinya : bahwa pihak-pihak yang berperkara harus sama-sama beragama islam atau saat terjadi hubungan islam, kedua belah pihak sama-sama beragama Islam.75

Suatu perkara yang diajukan ke pengadilan harus berakhir dengan adanya suatu putusan hakim atau pengadilan, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, di ucapkan dipersidangan dan untuk bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara antara pihak.

74 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, (Jakarta: Pustaka Bangsa Press,2003) hal 25

75 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2006) hal.15

Pertimbangan tentang akidah sebagai kelayakan mengasuh anak dibawah umur merupakan pertimbangan dari sudut syarí yang mengedepankan salah satu maqhosidusy syaríyyah ( tujuan syariát Islam ) yang menjaga keutuhan agama islam dengan ditopang beberapa Hadist Rasulullah.76 Hukum islam yang harus digali dan dikembangkan oleh pengadilan Agama adalah nilai-nilai dasar yang universal dan berorientasi pada tujuan syariat islam yang terpeliharanya 5 (lima) hal yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara keturunan, memelihara akal dan memlihara harta. Maqashid Syariah adalah menyelamatkan manusia dari dunia sampai akhirat . Salah satu aspek maqashid Syariah adalah keharusan yaitu sesuatu yang harus ada demi kelangsungan kehidupan manusia, jika sesuatu itu tidak ada, maka kehidupan manusia akan hancur. Dimana tujuannya adalah menyelamatkan agama, jiwa, akal, keturunan, dan kehormatan.

Hak anak merupakan hal terpenting yang harus diperhatikan guna tumbuh kembang anak secara baik. Sehingga Undang-Undang dipandang perlu untuk melindungi hak-hak yang berkaitan dengan agama anak. Khususnya mengenai perlindungan yang berkaitan dengan agama anak. Pertimbangan mengenai akidah anak adalah yang terpenting untuk menjamin agar anak itu tetap pada agamanya.

Jika hak pengausuhan anak dibawah umur diberikan kepada pihak yang keluar dari agama islam atau kembali keagamanya semula, maka dikhawatirkan hak-hak mengenai agama anak akan terbengkalai. 77

Kekhawatiran hakim terhadap akidah anak ketika diasuh oleh ibunya yang kembali keagamanya semula (murtad) lebih dijadikan pertimbangan dari pada

76 Skripsi , Muhammad Karman, Tinjuan Hukum Terhadap Hak Asuh Anak Dari Istri yang Murtad, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara , 2015 hal 56

77 Ibid hal 53

mashalat yang diperoleh anak itu ketika bersama ibunya. karena ibu yang murtad diyakini dapat membawa dampak buruk pada aqidah anak.

Disisi lain perlu dicermati dari sudut pandang yuridis normative, pertimbangan Hakim Pengadilan Agama setidaknya menyimpang dari dua ketentuan hukum:78

1) Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang menentukan pengasuhan anak dibawah umur ( dibawah usia 12 tahun) berada pada pengasuhan ibunya, tanpa pernah menyinggung permasalahan agama ibunya, sebagai perbandingan pasal 16 huruf h, menyebutkan bahwa perceraian karena murtad itu dapat dilakukan apabila ternyata kemurtadan tersebut akan menimbulkan perpecahan rumah tangga. Dalam pemahaman a contrario, manakala kemurtadan tersebut tidak menimbulkan perpecahan , maka istri berhak untuk mengasuh anak tersebut dalam naungan ikatan perkawinan yang sah. Oleh karenanya pasangan suami istri tetap berhak mengasuh anak tersebut, meskipun salah satu pihak murtad.

2) Ketentuan dari Hukum Hak Asasi Manusia yang tertera pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 51 ayat (2) dimana setelah putusnya perkawinan , seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, termaksud dalam hal pemeliharan bagi anak-anaknya, memberikan kasih sayang dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.

78 Ibid Hal 57

Seorang ibu maupun ayah mempunyai hak yang sama untuk mengasuh dan mendidik anaknya, perlindungan hukum dalam koridor hak asasi manusia merupakan sesuatu hak yang universal, tanpa batas apapun dan berlaku bagi siapapun ( tidak ada pertimbangan perbedaan agama, ras, suku, maupun lainnya yang sering menjadi momok untuk membedakan hak asasi seseorang dengan yang lainnya). Oleh karenanya latar belakang dari pemikiran tersebut , ketidak bolehan seorang istri yang kembali keagama semula (murtad) untuk mengasuh anaknya, adalah pelanggaran yang asasi bagi seorang ibu untuk mengasuh anaknya yang ia kandung sendiri dan diberikan kasing sayang yang tiada tara. Terlebih lagi jika keadaan si anak masih sangat memerlukan pengasuhan dari ibunya (mummayiz).

Majelis Hakim sebagai pembuat keputusan harus mempertimbangkaan juga sikap atau perilaku dari masing-masing pihak. Seorang ibu tidak mutlak dapat memperoleh hak asuh anak dibawah umur jatuh ketangannya setelah perceraian.79 Pihak Ibu yang diketahui berdasarkan fakta beserta bukti dipengadilan terdapat indikasi yang menyebabkan ibu tidak dapat memperoleh hak asuh anak, maka hak asuh anak dibawah umur akan diberikan kepada pihak ayah yang dianggap lebih mampu dan layak dalam memilihara, mendidik, menjaga , menumbunh kembangkan anak sesuai dengan agama yang danutnya , serta menjaga akidah anak.

Bicara mengenai hak asuh anak, ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan suatu hak asuh anak berpindah dari pihak yang satu kepihak yang lainnya. Misalnya, diketahui pihak pemegang hak asuh melakukan penganiyaan

79 Hasil Wawancara dengan Ibu Emmafatri, Hakim Pengadilan Agama Medan Tanggal 3 Januari 2020, pukul 09.00 WIB

atau tidak mampu memberikan pengajaran moril terhadap anak, menelantarkan anaknya. Hak asuh anak yang telah jatuh ketangan ibunya juga dapat berpindah ketangan ayahnya ataupun ketangan keluarga terdekat baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu dikarenakan beberapa faktor.

Faktor-faktor yang dapat menghilangkan hak pemegang hak asuh anak adalah sebagai berikut:

1. Pihak yang diberikan hak asuh anak tidak mampu memelihara dan tidak memiliki kemauan untuk menjaga anaknya.

2. Pihak yang diberikan hak asuh anak tidak mampu menafahi dan membiayai segala kebutuhan anaknya, meskipun pihak ayah tetap berkewajiban memberikan nafkah, apabila ayah dianggap tidak dapat memenuhi kewajiban memberi nafkah maka pihak ibu juga ikut memikul biaya kebutuhan anak.

3. Pihak yang diberikan hak asuh berbuat sesukanya, Misalnya: seorang ayah yang diberikan hak asuh namun ayah tersebut sering pulang malam, mabuk-mabukan, berselingkuh, tidak mampu menjaga dan memberikan pendidikan agama kepada anak, maka otomatis hak asuh berpindah ketangan ibunya ( jika hak asuh sebelumnya jatuh ketangan ayahnya). Begitu juga sebaliknya apabila hak asuh telah jatuh ketangan ibunya namun pihak ibu tidak punya waktu untuk menjaga dan memberikan Pendidikan bagi anaknya ataupun ibunya sudah menikah lagi.

4. Pihak yang diberikan hak asuh tidak seagama dengan agama anak (pindah agama). Hal ini sering menjadi penyebab putusnya hubungan

suami-istri atau perkawnan. Misalnya: seorang ibu yang pindah agama ketika anaknya belum mummayiz maka otomatis hak asuh berpindah ketangan ayahnya. 80

Majelis Hakim Pengadilan Agama Medan memberikan pandangan terhadap penetapan hak asuh anak terkait perlindungan terhadap akidah, permohonan terhadap gugatan yang didasarkan atas perlindungan anak untuk menjaga akidah merupakan permohonan yang kuat untuk dapat memenangkan hak asuh anak jatuh ketangannya dengan melihat fakta dan bukti beserta keterangan saksi didalam persidangan. Hal ini berkaitan dengan agama yang dianut oleh anaknya tersebut, apabila anak yang lahir dari perkawinan yang sah dan menurut Agama islam, maka anak tersebut wajib diasuh oleh orang tua yang beragama islam pula. Hal ini sesuai dengan penjelasan didalam Undang-Undang Perlindungan Anak bahwa setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya. Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orangtuanya dan melihat ketentuan Undang-Undang Perlindungan Anak bahwa kuasa asuh orang tua terhadap anak harus segama dengan agama yang dianut anak yang akan diasuhnya.81 Anak yang telah diperkenalkan dan diajarkan agama islam maka orang tua wajib memberikan Pendidikan,pembinaan, bimbingan dan pengamalan ajaran agama islam yang baik, sehingga mampu membentuk akidah dan akhlak anaknya sesuai dengan tuntunan agama islam.

80 Undang -Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan anak (Lembar Negara RI Tahun 2014, No 297. Sekretariat Negara. Jakarta.)

81 Hasil Wawancara dengan Ibu Emmafatri, Hakim Pengadilan Agama Medan tanggal 3 Januari 2020, Pukul 09.00 WIB

BAB IV

PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PUTUSAN (NOMOR.0438/PDT.G/2014/PA.BTL)

A. Kasus Posisi

Perkara perdata dalam putusan Pengadilan Agama Bantul Nomor 0438/Pdt.G/2014/Btl merupakan perkara perdata tentang perceraian dan hak asuh anak. Adapun Para pihak didalam perkara ini adalah Penggugat, umur 40 tahun, agama Islam, pendidikan S1, pekerjaan Karyawan Swasta, tempat tinggal di Kabupaten Bantul dan Tergugat, umur 49 tahun, agama Islam, pendidikan , pekerjaan Karyawan Swasta, tempat tinggal Kabupaten Bantul; seperti tertera dalam kutipan Akta Nikah Nomor.--. .Bantul , bahwa Penggugat berdasarkan surat gugatannya tertanggal 17 April 2014 yang telah terdaftar pada Kepaniteraan Pengadilan Agama Bantul dalam register dengan Nomor 0438/Pdt.G/2014/PA.Btl mengajukan hal-hal sebagai berikut:

Selama di dalam perkawinan antara Penggugat dan Tergugat keduanya menetap dan bertempat tinggal di rumah milik ibunya Penggugat, yaitu di Kabupaten Bantul. Selama mengarungi bahtera rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat telah terlahirkan 1 (satu) orang putri, yaitu bernama : anak penggugat dan tergugat, terlahir pada tanggal 1 Februari 2008.

Demi masa depan Penggugat maupun anak hasil perkawinannya dengan Tergugat juga karena tujuan hidup berumah tangga yang sejahtera dan rukun antara Penggugat dan Tergugat layaknya suami tidak mungkin dapat tercapai lagi maka Penggugat terpaksa mengajukan gugat cerai. Penggugat juga memiliki Anak

perempuannya yang bernama anak penggugat dan tergugat. Penggugat juga megajukan permohonan hak asuh anak jatuh ketangannya dikarenakan anaknya masih kecil dan masih di bawah umur (usia 6 tahun) sangat membutuhkan sosok ibu untuk mengurus dan memenuhi kebutuhan anak tersebut untuk menjamin kehidupan anak yang berupa biaya hidup dan pendidikannya untuk masa depannya hingga anak menjadi dewasa memerlukan biaya hidup perbulannya sebesar Rp 5.000.000 (lima juta rupiah), maka setelah perceraian terjadi menurut hukum biaya tersebut harus ditanggung bersama antara Penggugat dan Tergugat selaku orang tuanya.

Berdasarkan dalil-dalil gugatan tersebut tergugat menolak secara tegas yang diajukan oleh penggugat dalam gugatannya tertanggal 17 April 2014, kecuali yang secara tegas telah diakui kebenarannya oleh tergugat . Bahwa benar antara tergugat dengan penggugat pada tanggal 28 Juni 2003 atau bertepatan dengan 27 Rabiutsani 1424 H pukul 10.00 WIB telah terjadi perkawinan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan --, Kabupaten Sleman sebagaimana tercatat dalam Kutipan Akta Nikah Nomor : -- tertanggal 28 Juni 2003 , dan tergugat telah mengucapkan Sighat Ta‟lik talak;

Penyebab terjadinya percekcokkan, perselisihan dan pertengkaran (Syiqaq) antara tergugat dengan penggugat bermula pada saat tergugat membuka komputer penggugat dengan tidak sengaja menemukan file surat tertanggal 06 Oktober 2007 ditulis oleh Termohon ditujukan kepada seorang pria yang bernama PIL (Pria Idaman Lain) .Bahwa setelah membaca isi surat tersebut, tergugat berusaha menanyakan kebenaran surat tersebut kepada penggugat. Setelah kejadian tersebut tergugat mencoba mencari tahu informasi mengenai sosok pria yang bernama PIL,

alhasil didapat informasi jika pria tersebut adalah bekas pacar atau mantan pacar sebelum penggugat menikah dengan Tergugat dan Pria tersebut diketahui telah memiliki istri dan anak.

Penyebab terjadinya percekcokkan juga disebankan oleh faktor perbedaan akidah atau keyakinan agama yang berbeda. Sebelum menikah penggugat adalah warga negara Indonesia yang beragama katholik dan orang tua penggugat hingga jawaban ini diajukan masih beragama katholik bahkan sebagian keluarga besar termohon memeluk agama katholik dan kristen, namun sebelum menikah termohon bersedia untuk pindah agama dan ikut pemohon memeluk agama Islam, namun yang terjadi penggugat tidak pernah melaksanakan dan mengerjakan kewajiban Sholat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan (kecuali dalam kondisi datang bulan) dan penggugat masih mengerjakan aktifitas keagamaan secara Katholik; setelah menikah, penggugat tidak mau dan bahkan tidak pernah menjalankan ibadah sholat lima waktu sesuai yang dituntunkan Al-qur‟an dan tidak pernah menjalankan puasa di bulan suci Ramadhan. Tergugat kerap mengingatkan penggugat agar melaksanakan dan mengerjakan kewajiban-kewajiban tersebut, namun hal tersebut diabaikan oleh penggugat. Sikap penggugat lama-kelamaan cenderung mengarah keaktifitas keagamaan secara katholik, bahkan tidak pernah menjalankan ibadah sholat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan (kecuali tengah datang bulan). Kemudian Pada saat natal, tergugat pernah diminta untuk mengantarkan penggugat dan ibunya ke gereja.

Sampai di gereja, ternyata Penggugat ikut masuk kedalam gereja bersama ibunya.

Sampai di gereja, ternyata Penggugat ikut masuk kedalam gereja bersama ibunya.

Dokumen terkait