• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis pada bagian ini bertujuan untuk menjawab hipotesis bahwa lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) menjangkau rumahtangga tani miskin di perdesaan Bogor Jawa Barat. Mayoritas masyarakat miskin di Indonesia tinggal di perdesaan. Tidak adanya akses terhadap kredit/pembiayaan sebagai salah satu alasan kenapa mereka tetap miskin. Kredit/pembiayaan sebagai instrumen yang powerful untuk memotong rantai kemiskinan. Berbagai studi menunjukkan bahwa kredit dapat meningkatkan pendapatan, sehingga potensial untuk bisa menabung, adanya akumulasi modal konsekuensinya akan semakin meningkatkan pendapatan. Namun, menyediakan kredit bagi masyarakat miskin sektor pertanian di perdesaan dalam banyak kasus merupakan aktivitas yang tinggi biayanya. Perbankan tidak akan tertarik melayani segmen masyarakat ini. Kehadiran LKMS diharapkan bisa menjembatani masyarakat miskin ini untuk memperoleh layanan keuangan baik berupa pembiayaan dan tabungan. Penggunaan metode dari CGAP (Consultative Group to Assist the Poorest) bisa menunjukkan multidimensi kemiskinan dari nasabahnya. Metode ini merupakan metode yang sudah terstandarisasi dan sudah diujicobakan diberbagai negara dalam mengukur jangkauan layanan LKM bagi masyarakat miskin. Dengan pengukuran ini bisa diperbandingkan antara nasabah dan bukan nasabah berdasarkan nilai indeks kemiskinan relatif.

Indeks Kemiskinan Relatif dalam Pengukuran Jangkauan Layanan LKMS

Berdasarkan data sekunder dan survey lapangan tersaji pada bab 6, nilai pembiayaan rata-rata LKMS relatif kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa jangkauan layanan LKMS diperuntukkan untuk masyarakat miskin. Hanya masyarakat miskin yang memerlukan nilai pembiayaan yang relatif kecil tersebut. Namun, pengukuran jangkauan layanan dengan menggunakan rata-rata pinjaman sebagai indikator masyarakat miskin yang menjadi target jangkauan layananya, relatif sederhana dan sangat kasar (Navajas et al. 2000). Untuk itu, perlu dipertimbangkan indikator lainnya yang menggambarkan secara komprehensif kondisi masyarakat miskin yang menjadi nasabahnya.

Untuk itu hasil perhitungan skor kemiskinan yang standar dari CGAP pada bab 7 akan digunakan. Untuk keperluan tersebut maka perlu dilakukan kategorisasi dan perbandingan. Adanya perbandingan antara nasabah dan bukan nasabah berdasarkan nilai indeks kemiskinan tersebut dalam mengukur jangkauan layanan LKMS, maka dikatakan indeks kemiskinan yang digunakan adalah indeks kemiskinan relatif.

Analisis jangkauan layanan LKMS dengan menggunakan analisis komponen utama (PCA) dilakukan beberapa tahapan (Henry et al. 2000). Setelah diketahui variabel-variabel penyusun dan nilai indeks kemiskinan, selanjutnya dibuat ranking skor kemiskinan. Pembuatan indeks kemiskinan relatif dilakukan

108

untuk tiap rumahtangga berdasarkan skor ranking kemiskinan. Nilai dari nasabah LKMS dan bukan nasabah sekarang dapat diperbandingkan untuk mengindikasikan apakah jangkauan layanan LKMS bagi masyarakat miskin. Dalam metodologi ini, nilai cutoff 33% digunakan untuk mendefinisikan grup termiskin dari populasi lokal, dalam hal ini sebagai grup bukan nasabah. Keputusan ini didasarkan kepada kegunaan kategorisasi penduduk lokal ke dalam terciles yang dapat diinterpretasikan secara lebih luas untuk merepresentasikan grup yang diranking dari mulai yang terendah, menengah dan tertinggi dari rumahtangga yang diranking oleh kemiskinan relatif. Dalam penelitian ini sampel terdiri dari 79 nasabah dan 52 bukan nasabah. Adapun Pembuatan grup kemiskinan adalah sebagai berikut;

Gambar 8.1 Proses Penentuan Skor Cut off dalam Pembagian Skor Kemiskian Gambar 8.1 Menunjukkan penggunaan skor cut off untuk pembuatan terciles kemiskinan dari rumahtangga bukan nasabah. Skor cut off antara -0.91041 dan 0.16785. Berdasarkan Skor cut off inilah, akan ditentukan posisi jangkauan LKMS.

Jangkauan Layanan LKMS

Dari skor cut off di atas, selanjutnya dilakukan pengkategorian indeks kemiskinan relatif berdasarkan tiga kategori yaitu skor indeks kemiskinan rendah,

Rumahtangga nasabah dengan skor kurang dari -0.91041

Rumahtangga nasabah dengan skor antara - 0.91041 dan 0.16785

Rumahtangga nasabah dengan skor lebih dari 0.16785

rendah sedang Tinggi

Indeks Skor Kemiskinan

-1.81584 -0.91041 0.16785 1.86946 33% menengah bukan nasabah 33% terbawah bukan nasabah 33% tertinggi bukan nasabah

109 sedang dan tinggi. Semakin tinggi nilai indeks maka tingkat kesejahteraan responden rumahtangga tani relative baik, sebaliknya jika nilai indeksnya rendah maka responden tersebut berada pada kategorian miskin/tingkat kesejahteraannya relatif rendah. Selanjutnya dilakukan perbandingan antara indeks kemiskinan nasabah dan bukan nasabah. Dengan demikian, indeks kemiskinannya merupakan indeks kemiskinan relatif karena dilakukan perbandingan nilai indeks antara nasabah dan bukan nasabah. Adapun kategorisasi nilai indeks sebagai berikut:

1. jika nilai indeks kurang dari -0.91041 (nilai indeks rendah), artinya masyarakat yang berada pada kategori ini merupakan rumahtangga tani miskin

2. jika nilai indeks antara -0.91041 sampai 0.16785 (nilai indeks sedang), artinya masyarakat yang berada pada kategori ini merupakan rumahtangga kelas menengah.

3. jika nilai indeks diatas 0.16785 (nilai indeks tinggi), artinya masyarakat yang berada pada kategori ini merupakan rumahtangga sejahtera.

Berdasarkan kategorisasi nilai indeks tersebut, kemudian dilakukan perbandingan antara nilai indeks kemiskinan rumahtangga tani nasabah dan bukan nasabah sebagai berikut:

Tabel 8.1 Jangkauan Layanan LKMS berdasarkan Perhitungan Indeks Kemiskinan Relatif (Rumahtangga Tani Nasabah dan Bukan Nasabah)

Kelompok Indeks Kemiskinan Relatif Bukan Nasabah Nasabah Total Rendah (Rumahtangga tani miskin) 17 (32.7) 17 (21.5) 34 (26) Sedang (Rumahtangga

tani kelas menengah)

18 (34.6) 19 (24.1) 37 (28.2) Tinggi (Rumahtangga tani sejahtera) 17 (32.7) 43 (54.4) 60 (45.8) Total 52 (100) 79 (100) 131 (100) Sumber: Data primer yang diolah (2015)

Keterangan: ( ) presentasi

Dengan melakukan perbandingan antara nasabah dan bukan nasabah maka indeks kemiskinan tersebut menjadi indeks kemiskinan relatif (tabel 8.1 dan gambar 8.2). Dengan demikian pengukuran kemiskian bukan berdasarkan garis kemiskinan. Berdasarkan indeks kemiskinan relatif tersebut akan ditunjukkan kategori posisi jangkauan LKMS. Setelah dilakukan kategorisasi indeks antara rumahtangga tani nasabah dan bukan nasabah maka mayoritas tingkat kesejahteraan rumahtangga tani nasabah LKMS lebih baik dibandingkan dengan rumahtangga tani bukan nasabah LKMS, karena berada pada kelompok indeks tertinggi yaitu sebanyak 54,4% dan sedang 24.1%. Hasil perhitungan tersebut diperkuat dengan data bahwa mayoritas nasabah adalah baru pertama kali berpartisipasi dalam pembiayaan LKMS. Berdasarkan hal tersebut, jangkauan

110

layanan LKMS lebih ditujukan kepada rumahtangga tani menengah ke atas atau nilai indeks yang mengarah kepada indeks sedang dan tinggi. Sementara rumahtangga tani miskin yang menjadi nasabah LKMS hanya 21.5%. Hal ini menunjukkan bahwa LKMS di daerah penelitian memberikan layanan keuangan lebih banyak kepada rumahtangga tani yang lebih sejahtera, jika dibandingkan dengan yang bukan nasabah.

Sumber: data primer yang diolah (2015)

Gambar 8.2 Jangkauan Layanan LKMS berdasarkan Perhitungan Indeks Kemiskinan Relatif (Rumahtangga Tani Nasabah dan Bukan Nasabah) Hal ini bisa dijelaskan dengan fenomena komersialisasi dari LKM. Ciri generasi kedua dari LKM adalah bertujuan mencapai keberlanjutan usaha untuk menutup operasional usaha lembaga tanpa tergantung kepada lembaga donor dan pemerintah (Montgomery and Weiss 2011), dengan demikian operasionalisasi LKM lebih bersifat komersil yang berorientasi kepada keuntungan (Charitonenko et al 2004). Ada ketakutan bahwa rumahtangga miskin pun tidak akan terjangkau oleh jangkauan LKM (Li et al. 2011b). Di Indonesia, program pemerintah terkait dengan dana bergulir, tanpa disyaratkan pinjaman bergulir tersebut untuk masyarakat miskin, maka dana bergulir tersebut lebih ditujukan untuk masyarakat yang lebih sejahtera.Hal ini dilakukan untuk keberlanjutan dana bergulir tersebut (Nugroho et al. 2010).

Pada akhir 1990-an, beberapa studi secara kritis menyoroti gejolak makin tersingkirnya golongan paling miskin dari pelayanan keuangan mikro sebagai akibat sampingan dari penekanan yang berlebihan pada kelancaran pembayaran

dan “kehidupan” LKM (Smeru 2005). Berdasarkan hasil studi literaturnya

tersebut dinyatakan bahwa pengguna keuangan mikro adalah yang hidup di sekitar garis kemiskinan, yang paling miskin jarang terjangkau oleh layanan keuangan mikro. Ada empat faktor yang menyebabkan tersingkirnya kelompok paling miskin dari layanan LKMS, yaitu bentuk pinjaman yang tidak fleksibel dengan pembayaran mingguan yang kaku dan tidak adanya pelayanan tabungan; dominasi staf program terhadap nasabah yang tidak memungkinkan adanya komunikasi

0 10 20 30 40 50 60

rendah sedang tinggi

21.5 24.1 54.4 32.7 34.6 32.7 Pr e sen tasi

Kelompok Indeks Kemiskinan Relatif

Nasabah

111 timbal balik, sistem pengawasan antaranggota dalam kelompok yang justru dapat menyingkirkan orang yang paling miskin atau yang paling kesulitan; dan adanya tekanan yang menyebabkan nasabah justeru terperangkap kredit informal berbunga tinggi. Secara umum dikatakan bahwa ketersingkiran golongan paling miskin tersebut disebabkan oleh rancangan layanan keuangan mikro yang tersedia tidak sesuai dengan pola penghidupan golongan masyarakat termiskin, yang kegiatan ekonominya (produksi, konsumsi, perdagangan, tabungan, pinjaman dan kegiatan mencari nafkah) dilakukan dengan skala kecil dan mempunyai tingkat kerentanan sangat tinggi terhadap gejolak perekomian.

Adanya tuntutan keberlanjutan usaha tetapi di lain pihak LKM harus merealisasikan misi sosialnya yang terefleksikan pada jangkauan layanannya (service outreach) terhadap masyarakat miskin akan menimbulkan terjadinya trade off (Hermes et al 2011; Nugroho AE 2009; Acharya et al 2009; Hermes and Lensink, 2011; Montgomery and Weiss 2011; Hartarska et al 2013). Hal tersebut didasarkan kepada asumsi bahwa nilai pinjaman yang kecil bagi orang miskin akan meningkatkan biaya operasi, sehingga pinjaman yang besar diprediksi akan meningkatkan profitabilitas dan keberlanjutan dari LKM (Olivares 2005)

Perkembangan inilah yang menyebabkan LKM merubah perilakunya dalam memperluas layanan dan aktivitasnya, dengan meninggalkan nasabah miskin untuk dialihkan kepada nasabah berpendapatan tinggi dengan pinjaman yang besar pula. Kondisi inilah sering disebut dengan Mission Drift dari LKM (Ledgerwood and White 2006; Mersland and Strom 2010).

Sebenarnya dalam LKMS ada mekanisme tersendiri terkait dengan masalah trade off yang dikhawatirkan akan mengarah kepada mission drift. Pemisahan antara fungsi sosial dan bisnis dilakukan LKMS. Seperti telah dibahas pada bab sebelumnya, bahwa LKMS atau BMT memiliki dua fungsi utama, selain lembaga bisnis juga mempunyai fungsi sebagai baitul maal atau rumah pembendaharaan yang bersifat sosial. Untuk masyarakat yang sangat miskin dan miskin pendanaan tidak menggunakan skema bisnis atau komersial tetapi menggunakan baitul maal. Baitul maal dirancang untuk program pemberdayaan kelompok masyarakat miskin atau sangat miskin. Kelompok tersebut dibantu dengan menggunakan dana-dana social yang berasal dari masyarakat, seperti halnya zakat, infak dan sedekah serta tidak diperbolehkan mengambil keuntungan sama sekali atas dana tersebut. Sebagian pendanaan tersebut bahkan tidak perlu dikembalikan kepada BMT karena bersifat hibah. Namun, BMT selalu mengusahakan agar bantuan menjadi produktif yang disertai bantuan teknis lainnya, agar masyarakat miskin yang menjadi sasaran program itu bisa menghasilkan secara berkesinambungan (PBMT 2012).

Hasil Pemetaan BMT oleh BI dan beberapa universitas juga menunjukkan bahwa banyak LKMS sudah mengumpulkan dan ZISWaf kemudian dialokasikan bagi rumahtangga miskin seperti yang ditunjukkan pada gambar 8.3.

112

Sumber: Pemetaan Potensi &Profil BMT di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kerjasama BI dan Perguruan Tinggi (UNPAD, UNDIP & UNAIR, 2011) dalam Buchori (2012)

Gambar 8.3 Persentase Penggunaan Dana Sosial

Pada gambar 8.3 penggunaan dana sosial yang ada di BMT sebagian besar didistribusikan untuk masyarakat miskin di sekitar BMT yaitu sebesar 81.69%, nasabah yang kesulitan usaha 10.92%, juga didistribusikan tergantung proposal yang diajukan 3.17% dan lainnya.

Mekanisme yang dilakukan oleh LKMS dalam mendistribusikan dana sosial tersebut salah satunya dengan model dana bergulir, namun tidak menggunakan skema bisnis atau komersial (Haluan BMT 2020). Bahkan sebagian dari bantuan tersebut ada yang berbentuk hibah yang tidak perlu dikembalikan ke BMT. Namun BMT selalu mengupayakan agar bantuan menjadi produktif, sehingga bisa disertai dengan bantuan teknis lainnya, agar masyarakat miskin yang menjadi sasaran program itu berproduksi atau menghasilkan pendapatan secara berkesinambungan. Baru kemudian menggunakan skema pembiayaan komersial BMT. Melalui pemisahan dalam target sasaran tersebut maka baitul maal fokus untuk memberikan pembiayaan bagi kelompok the poorest of the poor. Sementara baitul tamwil, sebagai unit bisnis dari LKMS akan memfokuskan kepada pembiayaan komersial yang bertujuan untuk mencari keuntungan. Pembiayaan akan dialokasikan kepada sumber-sumber yang menguntungkan.

Optimalisasi peran baitul maal sebagai sarana untuk mengantarkan masyarakat miskin menjadi masyarakat yang memperoleh pendapatan secara berkesinambungan, perlu terus diupayakan. Sinerji secara langsung dengan elemen masyarakat kelas menengah atas dalam menggalang sumber dana sosial seperti dana zakat, infak, shodaqoh dan dana-dana sosial lainnya. Sinerji lainnya melalui Badan Amil Zakat/Lembaga Amil Zakat atau Badan Wakaf Indonesia dalam mengoptimalkan penggunaan sumber dana dari lembaga-lembaga tersebut. Begitu juga sinerji dengan pemerintah terkait dengan program pengurangan kemiskinan, mengingat banyak LKMS yang sudah operasionalisasinya berkelanjutan, strukturnya kuat dan kredibel (ditunjukkan pada bab 6). Dengan memanfaatkan LKMS maka program pemerintah terkait pengurangan kemiskinan bisa lebih terarah, karena selama ini sudah berperan dalam pemberian pembiayaan dibandingkan dengan membuat program baru yang belum teruji.

81.69% 10.92%

3.17% 4.23%

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Masyarakat miskin di sekitar BMT Nasabah Kesulitan Usaha Tergantung Proposal Lain-lain

113 9 DAMPAK PEMBIAYAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH

Dokumen terkait