• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian utama pada bagian ini adalah merumuskan operasionalisasi LKMS berkelanjutan, menjangkau rumahtangga miskin dan berdampak terhadap pengurangan kemiskinan. Oleh karena itu, untuk merumuskan LKMS supaya berkelanjutan, di sisi lain menjangkau rumahtangga miskin dan berdampak terhadap pengurangan kemiskinan, didahului dengan evaluasi terhadap kondisi empiris LKMS di daerah penelitian, yang merupakan sintesa hasil penelitian terkait keberlanjutan, jangkauan layanan dan dampak LKMS terhadap pengurangan kemiskinan. Sintesa hasil penelitian tersebut selanjutnya akan

dikaitkan dengan konsep “The Triangle of Microfinance”.

Evaluasi Keberlanjutan, Jangkauan dan Dampak LKMS terhadap Pengurangan Kemiskinan

Sintesa Hasil Penelitian

Secara teoritikal bahwa sejak periode tahun 1990an terjadi pergeseran paradigma opersionalisasi LKM. Semula jangkauan layanan LKM difokuskan kepada rumahtangga miskin dalam kaitannya program pengurangan kemiskinan, sehingga keterlibatan donor maupun pemerintah relatif besar. Namun sejak tahun 1990an, seiiring dengan berkurangnya peran donor maupun pemerintah, maka untuk keberlanjutan operasionalisasi LKM lebih mengarah kepada komersialisasi dengan menerapkan prinsip-prinsip pasar. LKM dituntut untuk efisien yaitu bagaimana caranya bisa menutup biaya operasional lembaga sekaligus juga mendapat keuntungan. Di satu sisi adanya tuntutan efisiensi untuk keberlanjutan usahanya, namun disisi lain harus mewujudkan misi sosialnya seperti halnya LKM yang berdiri sebelum tahun 1990 an, yaitu jangkauan layananannya ditujukan bagi rumahtangga miskin sehingga bisa dijadikan sebagai instrument dalam pengurangan kemiskinan. Untuk itu Zeller dan Meyer (2002)

mengungkapkan konsep “The Triangle of Microfinance”. Dalam konsep tersebut,

ketiga aspek keberlanjutan, jangkauan layanan dan dampak bisa berjalan melalui inovasi kelembagaan dari sisi LKM. Dan yang terpenting adalah dari aspek

kerangka kebijakan sektoral dan makroekonomi juga lingkungan sosial ekonomi yang membuat mekanisme ketiga aspek LKM tersebut berjalan. Berdasarkan kerangka konseptual dari Zeller dan Meyer (2002) tersebut, LKMS akan dianalisis dan sintesanya tersaji pada gambar 10.1.

Seluruh LKMS responden berdiri pada era tahun 1990an yaitu antara tahun 1994 sampai 2010. Sumber utama permodalan berasal dari modal sendiri, mobilisasi dana masyarakat juga berasal dari linkage program. Tidak seperti umumnya LKM generasi awal yang berdiri dikaitkan dengan program pengurangan kemiskinan sehingga partisipasi pemerintah maupun donor sangat besar. Sehingga seluruh biaya operasional ditanggung oleh pemerintah dan donor

130

juga mengabaikan aspek mobilisasi dana masyarakat. Namun, banyak dari LKM tersebut mengalami masalah dengan keberlanjutan, setelah tidak adanya sumber dana dari donor dan pemerintah, karena ketidakmampuan dalam menutup biaya operasional juga mengabaikan aspek mobilisasi dana masyarakat. Berbeda dengan LKM generasi awal tersebut, LKMS berdiri atas inisiasi dari masyarakat. LKMS atau dikenal dengan sebutan BMT berintikan konsep baitul Maal wa Tamwil. Kegiatan BMT adalah mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha mikro dan kecil, antara lain mendorong kegiatan menabung dan pembiayaan kegiatan ekonominya. Sedangkan kegiatan baitul maal menerima titipan dana ZISWaf dari dana Zakat, Infaq dan Shadaqoh dan waqaf. Kegiatan baitul maal yang melekat kepada BMT tersebutlah yang membedakan dengan lembaga keuangan lainnya terutama lembaga keuangan konvensional.

Berdasarkan hasil analisis nampak bahwa dari aspek keberlanjutan usaha, seluruh LKMS sudah efisien. Hal ini mengindikasikan bahwa seluruh LKMS sudah mampu mengoptimalkan penggunaan sumberdaya dalam meminimalkan biaya. Berdasarkan fungsi biaya, biaya dana merupakan variabel yang paling responsif terhadap biaya total dibandingkan variabel-variabel lainnya, yaitu pembiayaan dan modal. Hal ini bisa terjadi karena biaya dana di Indonesia masih relatif tinggi dibandingkan dengan negara lainnya. Sementara biaya gaji bertanda negatif dan tidak signifikan. Hal ini dikarena biaya gaji pada sebagian besar LKMS relatif rendah, karena jumlah nasabahnya masih relatif sedikit.

Analisis jangkauan layanan LKMS menggunakan model CGAP, dimana berbagai variabel yang menggambarkan multidimensi kemiskinan yaitu variabel sumberdaya manusia, ketahanan dan kerawanan pangan, perumahan, dan kepemilikan aset selanjutnya diturunkan dalam indikator-indikator. Dengan mengkorelasikan masing-masing indikator dengan variabel yang pendapatan yang diproksi dari pengeluaran pakaian per kapita pertahun, maka hanya ada 13 indikator yang menunjukkan korelasi kuat dan signifikan. Indikator-indikator tersebut adalah stok makanan pokok, frekuensi pembelian beras, frekuensi pembelian minyak sayur, frekuensi pembelian gula pasir, jumlah makanan yang tersaji dalam dua hari, naiknya konsumsi karena peningkatan pendapatan, harga lahan pertanian, harga kambing, status kepemilikan tempat tinggal, merasa kekurangan makanan dalam bulan ini, rasio bekerja dengan tidak bekerja, kualitas bahan atap, dan luas lahan yang dimiliki untuk usaha pertanian. Selanjutnya dilakukan proses faktoring yang pada akhirnya indikator-indikator dikurangi kembali. Hasil akhir menunjukkan ada 5 faktor yang membentuk indeks kemiskinan yaitu faktor 1 disebut variabel ketahanan pangan, faktor 2 disebut variabel aset, faktor 3 disebut variabel kerawanan pangan, faktor 4 disebut variabel sumberdaya manusia dan faktor 5 adalah variabel lain-lain. Selanjutnya, dihasilkan nilai indeks kemiskinan dengan nilai terendah yaitu -1.81584 dan tertinggi adalah 1.86946. Berdasarkan nilai indeks tersebut dilakukan kategorisasi untuk menunjukkan posisi jangkauan layanan LKMS. Hasil kategorisasi menunjukkan bahwa jangkauan layanan LKMS lebih ditujukan kepada rumahtangga sejahtera (54,4%).

Analisis dampak LKMS terhadap pengurangan kemiskinan menggunakan metode propensity score matching. Metode tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi selection bias ketika dilakukan evaluasi dampak. Beberapa

131 tahapan yang harus dilakukan pertama perlu dianalisis faktor-faktor yang memengaruhi peluang berpartisipasi, sekaligus variabel tersebut dijadikan kovariat yang akan menghasilkan skor propensitas. Faktor-faktor yang memengaruhi peluang berpartisipasi yaitu umur KK (-/signifikan), pekerjaan utama KK (+/tidak signifikan), pengalaman tani (-/signifikan), pernah transaksi dengan bank (+/signifikan) dan jumlah anggota RT (-/signifikan). Tahapan selanjutnya menggunakan teknik the common support, analisis matching dan estimasi dengan treatment effect menunjukkan bahwa dampak treatment pembiayaan LKMS belum berdampak terhadap pengurangan kemiskinan di daerah penelitian. Hal ini bisa terjadi karena ada lima variabel yang menyusun indeks kemiskinan, sehingga masalah kemiskinan adalah masalah yang bersifat multidimensional, tidak mungkin bisa diselesaikan dengan pinjaman/pembiayaan saja. Terutama jika dikaitkan dengan nilai pinjaman yang relatif kecil dan baru pertama kali memperoleh pembiayaan dari LKMS.

Berbagai analisis yang dirangkum pada gambar 10.1 menunjukkan di satu sisi operasionalisasi LKMS responden sudah berkelanjutan yang ditandai dengan nilai efisiensi yang mendekati nilai 1. Hal ini mengindikasikan bahwa responden LKMS sudah mampu mengoptimalkan alokasi sumberdaya yang ada untuk meminimalkan biaya total. Efisiensi ini merupakan kata kunci untuk mencapai keberlanjutan usaha. Langkah awal untuk mencapai keberlanjutan adalah bagaimana LKMS bisa menutup biaya operasionalisasi dari pendapatan yang diterimanya.

Namun dari sisi jangkauan layanannya lebih ditujukan bagi rumahtangga tani yang relatif sejahtera. Hal ini secara tidak langsung mengindikasikan adanya trade off untuk mencapai keberlanjutan yang pada akhirnya lebih memfokuskan layanan kepada rumahtangga tani yang relatif sejahtera atau dikenal dengan istilah mission drift. Ketika fokus layanannya sudah bergeser, dari rumahtangga miskin kepada rumahtangga sejahtera sehingga sulit bagi LKMS bisa berperan sebagai instrumen pengurangan kemiskinan bagi rumahtangga tani di perdesaan.

Hal tersebut tentunya tidak sesuai dengan harapan. Secara teoritikal, ketiga aspek yaitu keberlanjutan, jangkauannya untuk rumahtangga miskin dan berdampak terhadap pengurangan kemiskinan akan saling terkait apabila ada inovasi kelembagan.

132

Gambar 10.1 Sintesa Analisis Keberlanjutan, Jangkauan dan Dampak LKMS terhadap Pengurangan Kemiskinan

Keberlanjutan

Jangkauan (rumahtangga Tani miskin) Dampak (pengurangan kemiskinan)

Fungsi Biaya (TC): Input: -biaya dana/asset(+/sig) Output: -pembiayaan (+/sig) Lingkungan -Modal/asset (+/sig)

Penurunan Jumlah LKMS di tahun 2011 Komersialisasi LKMS

Jangkauan Layanan rumahtangga Tani Miskin

Dampak terhadap pengurangan kemiskinan Rumahtangga Tani Keberlanjutan Nilai efisiensi Min: 0.994700 Mean:0.99475042 Max0.994841 Korelasi indikator yg merepresentasikan kemiskinan (CGAP) dengan pengeluaran pakaian (signifikan): stok makanan pokok, frekuensi pembelian beras, frekuensi pembelian minyak sayur, frekuensi pembelian gula pasir, jumlah makanan yang tersaji dalam dua hari, naiknya konsumsi karena peningkatan pendapatan, harga lahan pertanian, harga kambing, status kepemilikan tempat tinggal, merasa kekurangan makanan dalam bulan ini, rasio bekerja dengan tidak bekerja, kualitas bahan atap, luas lahan yang dimiliki untuk usaha pertanian

Faktor-faktor yang memengaruhi peluang berpartisipasi: Umur KK (-/sig) Pekerjaan utama KK (+/tdk sig)

Pengalaman tani (-/sig) Pernah transaksi dengan bank (+/sig) Jumlah anggota RT (- /sig) The Common Support: 0.076343- 0.99991 The Balancing property:memuaskan (5 blok) analisis Matching NN:20 (kontrol) Radius: 45(kontrol) Kernel: 46 (kontrol) Stratification: 46 (kontrol) Pendugaan Average treatment on treated: tidak signifikan (seluruh metode) matching) LKMS

Faktor 1 Ketahanan pangan Faktor 2 Asset

Faktor 3 Kerawanan pangan Faktor 4 SDM

Faktor 5 Lain-lain

Proses Faktoring

Nilai indeks kemiskinan Min: -1.81584

Max: 1.86946

Rumahtangga Tani sejahtera (54,4%) Kategorisasi Indeks LKMS Efisien Belum berdampak INOVASI KELEMBAGAAN

133 Inovasi Kelembagaan

Sudah banyak inovasi yang dilakukan oleh LKMS, beberapa LKMS sudah mengadopsi model Grameen Bank dengan mekanisme joint liability group. Inovasi dengan metode tersebut hanya ditujukan untuk keberlanjutan dari LKMS dan memperluas jangkauan (the breadth outreach), belum bisa mencapai aspek lainnya yaitu jangkauan LKMS bagi rumahtangga tani miskin (the depth outreach) dan dampak bagi pengurangan kemiskinan. LKMS yang menerapkan pembiayaan individual dan gabungan (individual juga joint liability group) juga sudah efisien. Hal ini tidak terlepas dari inovasi yang sudah dilakukan. Antara lain banyak LKMS yang sudah mengadopsi layanan seperti halnya perbankan yang dilakukan secara profesional, dengan menggunakan teknologi, mempermudah prosedur pembiayaan dan menggunakan juga mekanisme jemput bola. Semua inovasi tersebut membuat operasional LKMS efisien. Di samping itu, mekanisme linkage yang dilakukan LKMS yang dilakukan untuk mengatasi kekurangan modal, ternyata membantu dalam meningkatkan nilai pembiayaan dan jangkauan layanannya, walaupun di sisi lain biaya dana yang dikenakan kepada nasabah LKMS akan tinggi pula. Kondisi inilah yang sering dipertanyakan karena komersialisasi dengan memanfaatkan dana komersial tidak sejalan dengan misi pengurangan kemiskinan dan jangkauan layanan yang ditujukan untuk masyarakat terutama masyarakat paling miskin (Hamada 2010).

Berikut beberapa pengalaman LKM yang dikatakan berhasil dalam menerapkan inovasi-inovasi. Program Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah yang dikatakan sukses karena inovasi yang dilakukannya (Riedinger 1994). BKK didirikan oleh pemerintah daerah. Inovasi yang dilakukan adalah pemberian kemudahan akses kepada masyarakat perdesaan dimana staf secara regular mendatangi nasabahnya, prosedur yang sederhana untuk pinjaman dengan referensi dari kepala desa tanpa harus ada collateral, fleksibilitas penggunaan pinjaman, tidak mempermasalahkan gender, mampu mengurangi perilaku rent seeking, tidak ada subsidi tingkat suku bunga, insentif tingkat pengembalian kembali dan insentif bagi kinerja staf.

Penelitian Arsyad (2005) terkait inovasi yang dilakukan oleh Lembaga Perkreditan Desa (LPD di Bali) yaitu kelembagaan formal dan informal untuk keberlanjutan LPD. Kelembagan formal terkait dengan peran pemerintah daerah, sementara kelembagaan non formal terkait dengan norma, adat istiadat dan sanksi adat yang berlaku. LPD berdiri karena kebijakan dari pemerintah daerah, sementara faktor kelembagaan non formal terkait dengan norma, adat istiadat dan sanksi yang berlaku. Faktor adat berperan misalkan ketika ada nasabah yang tidak bisa melunasi kredit maka sanksi sosial berlaku yaitu tidak diperbolehkannya nasabah beserta keluarganya dikubur di lingkungan tersebut. Hal itu menyebabkan tingkat pengembalian pinjaman yang tinggi sehingga akan mempengaruhi keberlanjutan usaha. Dari dua LKM tersebut, inovasi yang dilakukan hanya untuk mencapai keberlanjutan dan memperluas jangkauan layanan, tidak ditujukan untuk tujuan masyarakat miskin dan kaitannya dengan pengurangan kemiskinan.

Berbeda dengan kedua lembaga keuangan tersebut dimana proses pendiriannya melibatkan kelembagaan formal, yaitu pemerintah daerah. LKMS adalah lembaga swadaya masyarakat, dalam pengertian didirikan dan dikembangkan oleh masyarakat. Pada awal berdiri biasanya yang dipergunakan adalah sumber daya masyarakat setempat termasuk dana atau modal

134

(Perhimpunan BMT Indonesia 2012). Yang menarik dari LKMS dibandingkan dengan lembaga keuangan mikro lainnya yaitu mempunyai dua konsep yang melandasi operasionalisasi LKMS. Konsep tersebut terdiri dari konsep baitul maal dan baitul tamwil. Kegiatan baitul tamwil adalah mengembangkan usaha- usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha mikro dan kecil, antara lain mendorong kegiatan menabung dan pembiayaan kegiatan ekonominya. Sedangkan kegiatan baitul maal menerima titipan dana ZISWaf dari dana Zakat, Infaq dan Shadaqoh dan waqaf. Kegiatan baitul maal yang melekat kepada BMT tersebutlah yang membedakan dengan lembaga keuangan lainnya terutama lembaga keuangan konvensional.

Gambar 10.2 menyajikan inovasi kelembagaan dalam LKMS yang menghubungkan tiga aspek yang terdiri dari keberlanjutan, jangkauan dan dampak LKMS bagi pengurangan kemiskinan.

Gambar 10.2 Inovasi Kelembagaan dalam LKMS

Secara konseptual dalam LKMS, untuk masyarakat yang sangat miskin dan miskin pendanaan tidak menggunakan skema bisnis atau komersial (baitul tamwil) tetapi menggunakan baitul maal. Baitul maal dirancang untuk program pemberdayaan kelompok rumahtangga miskin atau sangat miskin. Kelompok tersebut dibantu dengan menggunakan dana-dana sosial yang berasal dari masyarakat, seperti halnya zakat, infak dan sedekah serta tidak diperbolehkan mengambil keuntungan sama sekali atas dana tersebut. Sebagian pendanaan tersebut bahkan tidak perlu dikembalikan kepada BMT karena bersifat hibah. Namun, BMT selalu mengusahakan agar bantuan menjadi produktif yang disertai

Dampak Jang kauan Keber lanjutan Sinerji antara Baitul Maal dan Tamwil

Kerangka Kebijakan Sektoral dan Makroekonomi juga Lingkungan sosial Ekonomi

135 bantuan teknis lainnya, agar masyarakat miskin yang menjadi sasaran program itu bisa menghasilkan secara berkesinambungan. Mekanisme penyaluran tersebut melalui dana bergulir (Persatuan BMT Indonesia 2012). Selama ini, pinjaman bagi masyarakat miskin selain digunakan untuk kegiatan produktif tetapi juga untuk memenuhi konsumsi, hal ini menyebabkan rendahnya return on investment dan membuatnya kesulitan dalam pengembalian pinjaman (Ahmed 2002). Bagi masyarakat termiskin, pemberian zakat bisa digunakan untuk pemenuhan konsumsi dan pembiayaan dengan pinjaman tanpa marjin atau bagi hasil (skim qard hasan). Dengan demikian peran baitul maal sebagai sarana untuk mengantarkan rumahtangga tani miskin menjadi rumahtangga tani yang memperoleh pendapatan secara berkesinambungan. Sumber dana baitul maal bisa bersinerji dengan elemen masyarakat kelas menengah atas dalam menggalang sumber dana sosial seperti dana zakat, infak, shodaqoh dan dana-dana sosial lainnya. Dana zakat, infak, shodaqoh dapat digunakan sebagai bantuan konsumtif sebagai jaring pengaman, sekaligus sebagai sumber dana yang murah untuk dana bergulir (FEUI 2011). Adanya UU Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, memberikan peluang kerjasama LKMS sebagai pengelola dana wakaf tunai untuk digulirkan kepada nasabahnya. Salah satu pendekatan yang digunakan Badan Wakaf Indonesia (BWI) adalah memberikan izin dan sertifikasi terhadap lembaga keuangan syariah (LKS) untuk menghimpun dan mengelola wakaf uang. LKS ini bisa berbentuk bank maupun non bank. Institusi non bank yang ditunjuk untuk pengelola wakaf uang ini antara lain LKMS (Beik dan Arsyanti 2015). Dengan pertimbangan, selama ini LKMS sudah mempunyai pengalaman secara profesional dalam penyaluran pembiayaan dan banyak LKMS sudah beroperasi secara efisien. Terkait dengan pengembangan wakaf tunai, langkah penting lainnya adalah integrasi wakaf dengan sektor keuangan syariah untuk pengembangan wakaf produktif (Wibisono 2011). Adapun integrasi wakaf dengan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) yaitu wakaf menjadi sumber dana LKMS dan menjadi technical assistance programs untuk mengembangkan keahlian rumahtangga tani miskin. Dengan adanya UU No.1 tahun 2013 tentang lembaga keuangan mikro, membuat operasionalisasi LKMS teregulasi, memungkinkan bisa lebih banyak menghimpun dana-dana sosial tersebut, karena selama ini sering dipertanyakan aspek regulasi dari LKMS.

Begitu juga sinerji dengan pemerintah terkait dengan program pengurangan kemiskinan, mengingat banyak LKMS yang sudah operasionalisasinya berkelanjutan, strukturnya kuat dan kredibel. Dengan memanfaatkan LKMS maka program pemerintah terkait pengurangan kemiskinan akan lebih terarah dibandingkan dengan membuat program baru yang belum teruji. Penempatan dana pemerintah dalam kaitannya dengan program kemiskinan bisa ditempatkan di baitul maal. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyediakan barang publik. Dengan adanya penempatan dana pemerintah di baitul maal akan semakin banyak rumahtangga miskin yang mempunyai akses kepada layanan keuangan dengan menggunakan skema baitul maal, yang pada akhirnya meningkat statusnya menjadi usaha mikro dan kecil. Terdapat keuntungan bagi pemerintah bila melakukan pola pendayagunaan dana pengentasan kemiskinan melalui kemitraan dengan baitul maal. Pertama, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas program pengentasan kemiskinan. Kedua, menurunkan tingkat penyalahgunaan dana pengentasan kemiskinan dan

136

meningkatkan efektivitasnya. Ketiga, memperkenalkan iklim persaingan di birokrasi dalam pengelolaan dana pengentasan kemiskinan (Wibisono 2011).

Salah satu model yang bisa dikembangkan dengan memanfaatkan dana zakat dan sosial lainnya yaitu berdasarkan model Wilson (2007) dalam Rahman (2007). Integrasi zakat dengan LKMS tidak hanya memperbaiki kondisi dari masyarakat miskin akan tetapi juga untuk meyakinkan tingkat pengembalian pembiayaan kepada LKMS (aspek keberlanjutan usaha LKMS). Kaitannya dengan tingkat pengembalian pembiayaan, perlu dipertimbangkan skim wakalah seperti halnya yang digunakan oleh asuransi syariah. Dalam model wakalah tersebut, LKMS bertindak sebagai agen yang mana dananya disediakan dari zakat, dana sosial lainnya (dari pemerintah dan donor). LKMS akan mendapat fee manajemen atas kerjanya dalam mengelola dana. Pengusaha mikro/masyarakat miskin, sebagai peserta, akan diberi dana oleh LKMS, dan membayar angsuran dengan elemen tabarru (sumbangan) tersaji pada gambar 10.3.

Gambar 10.3 Model Wakalah untuk Keuangan Mikro (Wilson 2007 dalam Rahman 2007)

Menurut Wilson (2007) dalam Rahman 2007, keuntungan dari model wakalah adalah dengan menggabungkan beberapa fitur dari kredit dengan manajemen keuangan yang profesional, sehingga dapat dipastikan tidak muncul konflik kepentingan dengan kepentingan peserta. Potensi konflik kepentingan tersebut timbul apabila pihak manajemen menerapkan sistem remunerasi yang berlebihan dan tidak transparan. Oleh karena itu, dengan model wakalah, manajemen dibayar oleh biaya tetap, dan mereka tidak berbagi dalam dana

Zakat & Sosial lainnya

Dana keuangan mikro dalam model wakalah Perusahaan Pengelola

Agen Keuangan Mikro

Peserta Pen g em bal ian P in jam an

Fee Manajemen Tabarru/

sumbangan

Modal awal Penyaluran Dana

137 wakalah. Satu-satunya penerima manfaat hanya peserta. Terakhir, dana sumbangan dapat dianggap sebagai tabarru yaitu sebuah istilah yang menyiratkan solidaritas dan kepedulian.

Di sisi lain, masih perlunya peran pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. Teori public finance (Musgrave 1989) mengungkapkan bahwa tidak seluruhnya semua masalah ekonomi diselesaikan oleh mekanisme pasar seperti halnya dengan social goods. Social goods yang dimaksud terkait dengan eksternalities, distribusi pendapatan, masalah-masalah ekonomi lainnya (pengangguran, kemiskinan, inflasi, pertumbuhan dan lain-lain). Dalam hal tersebut mekanisme pasar gagal (market failure) menyelesaikannya. Pasar pada hakekatnya adalah wahana untuk mengekspresikan kebebasan individu, untuk mencari keuntungan individual. Oleh karena itu, aktivitas-aktivitas perekonomian yang bersifat kolektif publik dan atau aktivitas tidak bermotif keuntungan tidak bisa diselenggarakan oleh pasar. Berdasarkan hal tersebut, tidak mungkin masalah kemiskinan diserahkan langsung pada entitias pasar dalam hal ini LKMS dengan skema komersialnya.

Sesuai dengan hasil analisis, sisi baitul tamwil pada LKMS hanya menjangkau rumahtangga tidak miskin dan dari sisi dampaknya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengurangan kemiskinan. Berdasarkan hasil sintesa penelitian tersebut skema baitul tamwil hanya diperuntukkan untuk skema komersial. Sulit dengan skema komersial tersebut untuk bisa mencapai tiga aspek dalam LKM. Tetapi, apabila baitul maal di LKMS berkembang maka harus diikuti dengan perkembangan dari sisi baitul tamwil. Ketika banyak rumahtangga tani sangat miskin dan miskin telah meningkat statusnya menjadi rumahtangga tani usaha mikro maka akan memanfaatkan dana komersial dari LKMS. Selama ini unit bisnis dari LKMS ini telah berfungsi dengan baik sebagai lembaga intermediasi di perdesaan, karena seluruh modal ditambah dengan dana masyarakat maupun linkage sudah disalurkan untuk pembiayaan. Pembiayaan merupakan produk utama dari LKMS sebagai lembaga intermediasi. Dana pihak ketiga tidak disimpan dalam pembelian sekuritas (hasil wawancara dengan salah satu LKMS terbesar), sehingga akan menggerakan sektor riil. Dalam analisis fungsi biaya sebagai outputnya hanya pembiayaan, tidak ada variabel sekuritas seperti halnya dalam model SFA di perbankan. Berbeda dengan perbankan, selain memberikan pinjaman atau pembiayaan, perbankan juga mengalokasikan dana pihak ketiganya dalam bentuk kepemilikan sekuritas.

Di samping itu, LKMS juga berperan dalam menjembatani rumahtangga tani yang belum akses atau berpartisipasi dalam layanan keuangan dari perbankan. Dari hasil survey pun menunjukkan bahwa sebagian besar rumahtangga tani belum pernah bertransaksi dengan perbankan. Berdasarkan hasil survey dinyatakan bahwa selama ini hanya 9.16 % rumahtangga tani yang pernah bertransaksi dengan bank, baik berupa transaksi kredit maupun tabungan. Hal ini mengindikasikan masih rendahnya rumahtangga tani yang belum akses kepada pinjaman atau pembiayaan dari perbankan. Dengan LKMS, rumahtangga tani di perdesaan dihubungkan dengan layanan keuangan, sesuai dengan visi nasional keuangan inklusif. Keuangan inklusif adalah mewujudkan sistem keuangan yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, penanggulangan kemiskinan serta pemerataan pendapatan di Indonesia (Buchori 2012). Di samping inovasi kelembagaan yang menghubungkan antara

138

keberlanjutan, jangkauan layanan terhadap rumahtangga miskin dan berdampak bagi pengurangan kemiskinan, hal yang sangat penting adalah kerangka kebijakan sektoral dan makroekonomi juga lingkungan sosial yang membuat ketiga aspek LKMS berjalan secara sinerji.

Kerangka Kebijakan Sektoral dan Makroekonomi juga Lingkungan sosial Ekonomi

Berdasarkan hasil analisis bahwa variabel biaya dana merupakan variabel yang paling responsif terhadap variabel biaya total. Seperti diketahui, komponen biaya modal di Indonesia relatif mahal, dibandingkan dengan Negara Jepang.

Dokumen terkait